Peranan KUA dalam melakukan pencatatan dan pengawasan tanah wakaf : studi kasus di KUA kec. cilandak kota jakarta selatan

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

MOCHAMAD NUR SALIM 202044101409

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh

Mochamad Nur Salim NIM: 202044101409

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Prof.Dr.H. Hasanuddin AF, MA.

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

CILANDAK KOTA JAKARTA SELATAN )telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Februari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (PA).

Jakarta, 21 Februari 2011 Dekan

Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM PANITIA UJIAN

Ketua : Drs.H.Ahmad Yani, MA ( )

NIP. 196404121994031004

Sekretaris : Moch. Syafii, S.Ei ( )

Pembimbing : Prof.Dr.H.Hasanuddin, AF, MA ( )

NIP. 150 150 917

Penguji I : Dr.H.A.Tholabi Kharlie, S.Ag, MA ( ) NIP. 197608072003121001

Penguji II : Dr.Moh.Ali Wafa, S.Ag, M.Ag ( )


(4)

i

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik, hidayah, dan Inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnya shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW beserta sahabat keluarganya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

2. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Dan sekretaris program studi Ahwal Syakhsiyyah, Ibu Hj. Rosdiana, M.Ag.

3. Bapak Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA. sebagai pembimbing yang dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.


(5)

ii

5. Segenap jajaran staff dan karyawan akademik perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, perpustakaan Gandaria, KUA Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan.

6. Teman-teman PA/PMH, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang terus memberikan motifasi dan spirit kepada penulis dalam proses penulisan skripsi.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya pahala yang berlipat ganda. Amin.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada pembaca, meski skripsi ini tidak lepas dari kekurangannya.

Jakarta, 10 Februari 2011 M. 07 Rabiul Awal 1432 H.


(6)

iii

DAFTAR ISI……… ii

BAB I : PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 7

D. Tinjauan Kepustakaan……… 8

E. Metode Penelitian……….. 11

F. Sistematika Penulisan……… 13

BAB II : PERWAKAFANMENURUT HUKUM ISLAM………. 15

A. Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan Dan Fungsi Wakaf……… 15

B. Macam-macam Tanah Wakaf……… 26

C. Pengelolaan Tanah Wakaf………. 29

BAB III : PERWAKAFAN MENURUT PP. NO. 28 TAHUN 1977……… 31

A. Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan Dan Fungsi Wakaf Menurut PP.No.28 Tahun 1977……….. 31


(7)

iv

JAKARTA SELATAN………... 55

A. Letak Geografis Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan………. 55

B. Pengelolaan Tanah Wakaf dan Tata Cara Perwakafan di Wilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan……… 58

C. Problematika Pengelolaan Tanah Wakaf di Wilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan……….. 61

D. Peranan KUA Terhadap Pengelolaan Tanah Wakaf di Wilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan………... 64

E. Analisis Penulis Terhadap Pencatatan dan Pengawasan Tanah Wakaf di Wilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan………. 69

BAB V : PENUTUP……….. 70

A. Kesimpulan……….. 70

B. Saran-saran………... 73


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai suatu lembaga Islam, Wakaf telah menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Sebagian besar rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf. Wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang potensial untuk lebih dikembangkan guna membantu masyarakat yang kurang mampu, namun sayangnya banyak tanah wakaf yang pemanfaatannya masih bersifat konsumtif bukan bersifat produktif.

Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir-miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat Islam. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dapat dikelola secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat tidak akan terealisasi secara optimal.

Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat, maka perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini


(9)

peruntukannya hanya bersifat konsumtif dan dikelola secara tradisional sudah saatnya kini wakaf dikelola secara produktif dan dengan manajemen yang memadai. Saat ini manajemen pengelolaan wakaf sangat memprihatinkan, sebagai akibatnya cukup banyak saat ini yayasan pendidikan Islam yang terlantar dalam pengelolaannya. Hal ini disebabkan karena umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah saja, yang dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasionalnya. Sekarang sudah saatnya umat Islam memikirkan masalah wakaf yang kekurangan biaya dalam pengelolaannya.

Untuk mengelola wakaf secara produktif ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelumnya, antara lain yakni melakukan pengkajian dan perumusan kembali mengenai konsepsi fiqih wakaf di Indonesia, membuat undang-undang perwakafan, dan perlu adanya suatu badan wakaf yang bersifat nasional.1

Wakaf merupakan lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah SWT, dan disisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakaf muncul dari suatu pernyataan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia. Oleh karenanya wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang dapat dipergunakan bagi seorang muslim untuk mewujudkan dan memelihara hubungan manusia dengan Allah SWT, dan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan si wakif

1

Uswatun Hasanah.Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf, makalah disampaikan pada acara penataran peningkatan kualitas Nadzir, di Kanwil Propinsi DKI Jakarta, 9 Oktober 2003. h. 15


(10)

dihari kemudian, karena ia merupakan bentuk amalan yang pahalanya terus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan umat.

Wakaf sebagai lembaga yang diatur dalam ajaran Islam tidak dijumpai secara tersurat dalam Al-Qur’an, namun demikian terdapat ayat-ayat yang memberi petunjuk dan dapat dijadikan sebagai sumber perwakafan. Sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat Ali Imran ayat 92 :

ﻢﯿﻠﻋ ﮫﺑ ﷲا نﺈﻓءﻲﺷ ﻦﻣاﻮﻘﻔﻨﺗﺎﻣو نﻮﺒﺤﺗﺎﻤﻣاﻮﻘﻔﻨﺘىﺘﺣﺮﺒﻟااﻮﻟﺎﻨﺗ ﻦﻟ

: ن ا ﺮ ﻤ ﻋ ل أ )

۹ ۲

(

Artinya :

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,

maka sesungguhnya Allah SWT maha mengetahui”

Para ahli hadis dan kebanyakan ahli fiqih mengidentikkan wakaf dengan shadaqah jariyah. Hadis Nabi yang dijadikan landasan hukum lembaga perwakafan adalah yang berbunyi :

(ﺪﯿﻌﺳ ﻦﺑا) ﺔﺒﯿﺘﻗو بﻮﯾأ ﻦﺑ ﻲﺤﯾﺎﻨﺛﺪﺣ

وا

ﻟ ﺎ ﻗ ﺮ ﺠ ﺣ ﻦ ﺑ

ﻮا

ﮫﯿﺑأ ﻦﻋءﻼﻌﻟا ﻦﻋ ﻞﯿﻋﺎﻤﺳإ ﺎﻨﺛﺪﺣ :

ا تﺎﻣ اذإ : لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر نا ةﺮﯾﺮھ ﻲﺑأ ﻦﻋ

ﻧ ﻹ

ﻵإ ﮫﻠﻤﻋ ﮫﻨﻋ ﻊﻄﻘﻧا نﺎﺴ

: ث ﻼ ﺛ ﻦ ﻣ

هاور ) ﮫﻟﻮﻋﺪﯾ ﺢﻟﺎﺻ ﺪﻟووأ ﮫﺑ ﻊﻔﺘﻨﯾ ﻢﻠﻋوأ ﺔﯾرﺎﺟ ﺔﻗﺪﺻ

( ﻢ ﻠ ﺴ ﻣ

2

Artinya :

“Menceritakan kepada kami, Yahya bin Ayub dan Qutaibah (Ibn Said) dan Ibnu Hujrin

mereka berkata : Ismail (putra Ja’far) dari ‘Alai, dari bapaknya, dari Abu Hurairah menceritakan kepada kami sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda : “apabila anak

Adam itu meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal, yakni

2

Imam Abu Husain Muslim Ibn Al-Hajjaj Al-Qusairy An-Nisaiburi, Shahih Muslim, (Damaskus : Daarul Fiqr, t. Th), h. 70


(11)

shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakan

padanya” (Hadis Riwayat Muslim)

Shadaqah Jariyah dalam Hadis di atas direalisasikan antara lain dalam lembaga wakaf yang pahalanya terus mengalir kepada si wakif, selama harta benda yang diwakafkan masih ada dan dipergunakan oleh umat.

Hadis yang lebih tegas menunjukkan dasar hukum lembaga wakaf adalah Hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar tentang tanah khaibaryang berbunyi :

ﺎ ﻨ ﺛ ﺪ ﺣ

ﺎﻧﺮﺒﺧا ﻲﻤﯿﻤﺘﻟا ﻲﺤﯾ

ﻊﻓ ﺎﻧ ﻦﻋ نﻮﻋ ﻦﺑا ﻦﻋﺮﻀﺧا ﻦﺑا ﻢﯿﻠﺳ

ب ﺎ ﺻ ا ل ﺎ ﻗ ﺮ ﻤ ﻋ ﻦ ﺑ ا ﻦ ﻋ

ﺗﺎﻓ ﺮﺒﯿﺨﺑ ﺎﺿراﺮﻤﻋ

ﺎﺘﺴﯾ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻲ

ﺎﮭﯿﻓ هوﺮﻣ

: ﷲا لﻮﺳرﺎﯾ لﺎﻘﻓ

ﻲ ﻧ ا

ﺖﺴﺒﺣ ﺖﺌﺷ نا لﺎﻗ ﮫﺑ ﻲﻧﺮﻣﺎﺗﺎﻤﻓ ﮫﻨﻣ يﺪﻨﻋ ﺲﻔﻧاﻮھ ﻂﻗﻻﺎﻣ ﺐﺻا ﻢﻟ ﺮﺒﯿﺨﺑ ﺎﺿرا ﺖﺒﺻا

ﺎﮭﻠﺻا

ﺒﯾ ﻻ ﮫﻧا ﺮﻤﻋ ﺎﮭﺑ ﺖﻗﺪﺼﺗو

ءاﺮﻘﻔﻟا ﻲﻓ ﺮﻤﻋ قﺪﺼﺘﻓ لﺎﻗ ﺐھﻮﯾ ﻻو ثرﻮﯾ ﻻو عﺎﺘ

( ﻢﻠﺴﻣ هاور ) ﻒﯿﻌﻀﻟاو ﻞﯿﺒﺴﻟا ﻦﺑاو ﷲا ﻞﯿﺒﺳ ﻲﻓو بﺎﻗﺮﻟا ﻲﻓو ﻲﺑﺮﻘﻟا ﻲﻓو

3

Artinya :

“Menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya Tamimi, mengabarkan kepada kami

Sulaim Ibnu Akhdzor dari ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata : “Umar

mempunyai tanah khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW meminta untuk

mengolahnya seraya berkata : “Ya Rasulullah aku memiliki sebidang tanah di khaibar

tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku mengambil manfaatnya

bagaimana aku harus berbuat untuk tanah itu ? Nabi bersabda : “Jika kau

menginginkannya, tahanlah dan shadaqahkanlah hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan”, maka Ibnu ‘Umar

menshadaqahkan-nya ( mewakafkan tanah khaibar itu ) kepada fakir miskin, karib

kerabat, hamba sahaya, ibnu sabil dan tamu” ( Hadis Riwayat Muslim )

Mengenai bagaimana keutamaan harta wakaf dapat dijelaskan bahwa mewakafkan harta benda jauh lebih utama daripada bersedekah dan berderma biasa,

3


(12)

sebab harta wakaf itu kekal dan terus menerus, selama harta itu masih tetap menghasilkan sebagaimana layaknya dengan cara produktif.4

Pasal 29 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Pasal ini memberi pengertian bahwa umat Islam berhak untuk menjalankan segala aktivitas keagamaan termasuk didalamnya untuk mewakafkan harta bendanya dan hal ini dijamin oleh Undang-undang, Keputusan Menteri Agama tentang susunan organisasi dan tata kerja DEPAG, dan ini dijelaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam.

Dalam ajaran Islam wakaf adalah salah satu bentuk ibadah maaliyah yaitu ibadah berupa penyerahan harta yang dipunyai seseorang menurut cara-cara yang ditentukan. Ibadah maaliyah ini salah satunya adalah mewakafkan harta benda ( ibadah wakaf ). Ibadah ini menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam masyarakat. Agar hak dan kepentingan masyarakat itu dapat berjalan serta terjalin kebersamaan, pemerintah perlu mengatur dengan peraturan perundang-perundangan. Hal ini dengan cepat direspon dan menjadi perhatian utama, oleh karena itu pula pada Undang-undang Pokok Agraria ( UU No. 5 tahun 1960 ) diletakkan dasar-dasar umum pengaturan tanah wakaf di Indonesia. Dalam pasal 49 ayat (1) Undang-undang tersebut menyebutkan dengan jelas bahwa hak milik tanah

4

Abdurrahman,Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, ( Bandung : Alumni 1990 ), h. 8


(13)

badan-badan keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi oleh negara. Badan-badan tersebut dijamin dan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya, kalau perlu, (2) dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai kepadanya. Dan dalam ayat (3) bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 49 Undang-undang agraria ini ditetapkan tanggal 17 Mei 1997, dan dimuat dalam lembar negara nomor 38.5

Sebagaimana disebutkan dalam ayat (3) di atas bahwa hal tersebut (perwakafan tanah milik) diatur oleh peraturan pemerintah, yang menjadi latar belakang lahirnya peraturan pemerintah No.28 tahun 1977 adalah (1) pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah selain dari belum memenuhi kebutuhan juga tidak diatur secara tuntas dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri. (2) banyaknya penyimpangan di atas menimbulkan keresahan umat Islam yang menjurus pada perasaan antipati terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga tersebut dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana pembangunan kehidupan beragama umat. Selain itu (3) di dalam masyarakat banyak terjadi persengketaan mengenai tanah wakaf karena tidak jelasnya status tanah yang diwakafkan.

Agar perwakafan tersebut tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari, Kantor Urusan Agama ( KUA ) sebagai ujung tombak dari pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen Agama memiliki peranan aktif dalam menangani masalah

5


(14)

perwakafan tersebut, oleh sebab itu Skripsi ini Penulis beri judul : ”Peranan KUA Dalam Melakukan Pencatatan Dan Pengawasan Tanah Wakaf ( Studi Kasus Di KUA Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan)“.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka Penulis akan membatasi permasalahan dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pencatatan wakaf yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan ?

2. Bagaimana pengawasan KUA terhadap tanah wakaf yang dikelola oleh nadzir diwilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pencatatan tanah wakaf di wilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengawasan KUA terhadap tanah wakaf yang dilakukan oleh nadzir di wilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan.


(15)

D. Tinjauan Kepustakaan

Fungsi wakaf menurut PP No.28 tahun 1977 adalah mengekalkan manfaat wakaf, sesuai dengan tujuan wakaf yaitu untuk kepentingan peribadatan dan keperluan umum lainnya. Agar wakaf itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka pelembagaannya haruslah selama-lamanya.

Setiap harta wakaf hendaklah diusahakan hasil dan pemanfaatannya secara maksimal, karena itu perlu ada orang yang bertanggung jawab mengawasi, menjaga, memelihara serta mengelola harta wakaf itu, kemudian menggunakan atau membagikan kepada yang berhak menerimanya.

Semula kekuasaan pengelolaan harta wakaf itu berada ditangan wakif, sebab dialah pemilik asal harta itu, kemudian kepadanya pula kembali wewenang mengawasi, mengelola dan memanfaatkannya. Untuk menetapkan pengelola wakaf tidak memerlukan pernyataan tertentu. Wakif berhak mengangkat penggantinya jika ia merasa tidak sanggup lagi mengurusnya. Jika wakif meninggal dunia, maka hakim mengangkat ahli warisnya. Hakim tidak boleh mengangkat orang lain tanpa seizin dari wakif.

Menurut Mazhab Maliki mensyaratkan terpisahnya harta wakaf dari wakif, karena kedudukan wakif hanyalah sebagai pengawas, sedang pengelola wakaf dari orang atau badan terorganisir.


(16)

Menurut Mazhab Syafi’i hak pengelolaan wakaf berada ditangan orang selain wakif, kecuali jika dalam sighat wakaf ditetapkan ada tiga kemungkinan, yaitu :

1. Pengelola tetap berada pada wakif, karena dialah yang berkepentingan terhadap tercapainya tujuan wakaf, semakin besar manfaat wakaf semakin besar pula pahala yang mengalir padanya.

2. Pengelola itu berada pula kepada pemakai manfaat atau hasil wakaflah yang paling berkepentingan.

3. Pengawasan itu berada ditangan hakim atau pemerintah, karena pemerintah atau hakim berkewajiban melindungi hak penerima wakaf, hak wakif dan terhadap kemungkinan terjadinya peralihan status wakaf dikemudian hari.

Dengan demikian penyerahan, pengelolaan serta pendayagunaan wakaf sebagaimana diatur secara garis besar dalam syariat dan secara teknis administratif dalam PP Nomor 28 tahun 1977 serta beberapa peraturan pelaksanaannya merupakan bukti ketaatan wakif kepada Allah dan Rasul-Nya serta Ulil Amri.

Dalam sistem perwakafan tanah milik di Indonesia ditentukan pula kedudukan Nadzir menurut PP itu merupakan salah satu unsur wakaf, tanpa adanya unsur ini wakaf dianggap tidak sah di Indonesia.

Nadzir mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam PP No.28 tahun 1977 Pasal (7) yang berbunyi sebagaimana berikut :


(17)

1. Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf.

2. Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.

3. Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat 2 diatur lebih lanjut oleh menteri Agama.

Tentang hak dan kewajiban Nadzir disebutkan juga di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978 pasal 10 dan pasal 11, di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 220 dan disebutkan di dalam Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor : KEP/75/78 Sub ke IV.

Sedangkan bagi Nadzir yang melanggar atau mengabaikan kewajiban akan dikenakan sangsi sebagaimana yang disebutkan dalam PP No.28 tahun 1977 pasal 14 yang berbunyi :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 5, pasal 6 ayat (3), pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), pasal 9, pasal 10 dan pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)”.

Sedangkan upaya agar jangan sampai terjadi penyimpangan dari tugas Nadzir, maka harus adanya peran serta Ulama terutama pejabat yang terkait mengawasi pengelolaan harta wakaf sebagaimana disebutkan dalam PP No.28 tahun 1977 pasal 13


(18)

yang berbunyi “Pengawasan perwakafan tanah milik dan tata caranya di beberapa tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh menteri Agama” yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No.1 tahun 1978 pasal 14, pengawasan dan bimbingan perwakafan tanah dilakukan oleh unit-unit organisasi DEPAG secara herarkis sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Agama tentang susunan organisasi dan tata kerja DEPAG. Dan dijelaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 227 yang berbunyi “Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya”.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu metode penelitian yang berfokus pada pemecahan masalah yang terjadi pada saat ini dan aktual untuk dikemukakan. Adapun teknik dalam pengumpulan data adalah :

Sumber datanya adalah data primer dan sumber data sekunder. Yang dimaksud dengan sumber data primer adalah sumber data yang langsung dan segera diperoleh peneliti untuk tujuan yang khusus. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang dilaporkan oleh orang luar selain diri peneliti sendiri. Adapun sumber data yang diambil adalah sebagai informan.


(19)

Data Primer diambil dari : Dokumentasi, dengan mencari data-data sebagai upaya pengumpulan data dengan mudah dan tepat dan data primer juga digali melalui Interview atau wawancara adalah sebagai suatu proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik, Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pelaksanaannya maka mengacu pada interview bebas (inguided interview) dan interview terpimpin (guided interview), yaitu pewawancara menanyakan kepada informan dengan pertanyaan yang telah terstruktur kemudian satu persatu diperdalam mencari keterangan lebih lanjut. Yang diwawancarai adalah para wakif dan nadzir wakaf di wilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan, juga pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan tanah wakaf tersebut, dalam hal ini Kepala KUA Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan dan para Ulama setempat. Peneliti menanyakan tentang proses perwakafan hingga pengelolaan tanah wakaf tersebut.

Sedangkan data sekunder digali dari studi pustaka, konsep-konsep hukum dan pendapat para ahli hukum mengenai hal perwakafan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah kebenaran hasil penelitian yang dilakukan dengan cara mencari dan menemukan konsep-konsep yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Setelah pengumpulan data dilakukan, selanjutnya penulis menganalisis data-data tersebut dengan menghubungkan ketentuan normatif (Das Sein ) dengan implementasinya dalam realita kehidupan (Das Solen), dengan metode deskriptif yang


(20)

meliputi : Unsur dan persyaratan wakaf tanah milik, Tata cara mewakafkan tanah milik, Kewajiban dan hak Nadzir, Pengelolaan dan pengawasan tanah yang telah diwakafkan

Dengan demikian satuan analisis dalam penelitian ini adalah peristiwa perwakafan tanah milik termasuk pengelolaan dan pengawasan yang dikaitkan dengan kesadaran hukum masyarakat untuk melaksanakan hukum Islam dan PP No. 28 Tahun 1977.

Adapun pedoman penulisan skripsi ini adalah buku Pedoman Skripsi Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN SyarifHidayatullah Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis dalam menguraikan dan menganalisa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini dan sekaligus agar pembaca memahami uraian selanjutnya, maka penulis mensistematikakan skripsi ini ke dalam bentuk sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan, dalam bab ini berisi : Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.


(21)

Bab II : Perwakafan Menurut Hukum Islam, dalam bab ini berisi : Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan Dan Fungsi Wakaf, Macam-macam Harta Wakaf, dan Pengelolaan Harta Wakaf.

Bab III : Perwakafan Menurut PP No. 28 Tahun 1977, dalam bab ini berisi : Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan Dan Fungsi Wakaf Menurut PP No. 28 Tahun 1977, Macam-macam Harta Wakaf Menurut PP No. 28 Tahun 1977, dan Pengelolaan Harta Wakaf Menurut PP No. 28 Tahun 1977.

Bab IV : Perwakafan Di Wilayah Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan, bab ini merupakan inti dari pokok pembahasan skripsi ini yang akan menjelaskan dan menganalisa data mengenai : Pengelolaan Tanah Wakaf di wilayah Kecamatan Cilandak dilihat dari letak Geografis Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan, Pengelolaan Tanah Wakaf dan Tata Cara Perwakafan di wilayah Kecamatan Cilandak, Problematika Pengelolaan Tanah Wakaf di wilayah Kecamatan Cilandak, Peranan KUA Terhadap Pengelolaan Tanah Wakaf di wilayah Kecamatan Cilandak, dan Analisis Penulis Terhadap Pencatatan dan Pengawasan Tanah Wakaf di wilayah Kecamatan Cilandak. Bab V : Penutup, dalam bab terakhir ini berisi : Kesimpulan dari pembahasan yang

telah diuraikan sebelumnya dan juga berisi saran-saran yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.


(22)

15 BAB II

PERWAKAFAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan Dan Fungsi Wakaf 1. Pengertian Wakaf

Kata wakaf berasal dari bahasa Arab " ﻒﻗو " yang menurut lughah "ﻦﻜﺳو ﻢﺋﺎﻗ ماد " selalu berdiri di tempat dan tenang, kata wakaf tersebut berarti berdiri yang disamakan dengan kata "مﺎﻗ ". Kata " ﻒﻗو " kata benda abstrak (mashdar) atau kata kerja (fi’il)"ﻒﻘﯾ ﻒﻗو "yang dapat berfungi sebagai kata kerja intransitif (fi’il lazim) atau transitif (fi’il muta’addi). Akan

tetapi, pengertian yang dipakai dalam tulisan ini ialah kata wakaf dari bentuk transitif.

Dari kata " ﻒﻗو " tersebut kemudian muncullah istilah yang umum, yaitu" ﻒﻗﻮﻟا ". Selanjutnya dari kata asal itu pula kita temui arti" ﺲﺒﺤﻟا "(penahanan). " ﻒﻗﻮﻟا "(wakaf) bila dijamakkan menjadi" ﻒﻗوا " dan " فﻮﻗو ", sedangkan kata kerjanya (fi’il) adalah " ﻒﻗو ", hal ini menutur kata kitab Tadzkirah karya Allamah Al-Hilli. Menurut arti bahasanya, wakaf berarti menahan atau mencegah, misalnya" ﺮﯿﺴﻟا ﻦﻋ ﺖﻔﻗو" (saya menahan diri dari berjalan).1

1

Muhammad Jawad Mugniyah,Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta : Basril Press, 1994), Cet. II, h. 383


(23)

Dalam istilah syara’, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan ( hak pemilikan ) asal

"

ﺲﯿﺒﺤﺗ

"ﻞﺻﻷا ,lalu menjadikannya sebagai barang yang diwakafkan dan tidak

diwariskan, digunakan dalam bentuk jual beli, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan dan sejenisnya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Suhadi, wakaf adalah pemisahan suatu harta benda. Pemisahan benda itu ditarik dari benda milik perorangan dialihkan penggunaannya kepada jalan kebaikan yang diridhai Allah SWT, sehingga benda-benda tersebut tidak boleh dihutangkan, dikurangi atau dilenyapkan.2

Begitu juga dalam Ensiklopedi Islam (1994 : 168) disebutkan bahwa, wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, yang digunakan untuk kepentingan umum di jalan Allah SWT.3

Ahmad Azhar Basyir menyebutkan bahwa, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk

2

Imam Suhadi,Hukum Wakaf Di Indonesia, (Jakarta : Dua Dimensi, 1985), h. 31

3


(24)

penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapat keridhaan Allah SWT.4

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal bahwa wakaf adalah menahan sesuatu, baik dalam pengertian konkrit maupun abstrak, yakni wakaf dalam pengertian sesuatu yang ditahan.

Pengertian yang dikemukakan para Fuqaha (Pakar Hukum Islam) tidaklah sama. Abdullah Ibn Qudamah dari Mazhab Hambali mendefinisikan wakaf sebagai berikut :

þ ﻤﻟا ﻞﯿﺒﺴﺗو ﻦﯿﻌﻟا ﺲﯿﺒﺤﺗ Artinya :

“ Menahan pokoknya dan menggunakan manfaatnya “5

Sementara Syafi’iyah mendefinisikan wakaf sebagai berikut :

حﺎﺒﻤﻟا فﺮﺼﻣ ﻰﻠﻋ ﮫﺘﺒﻗ ﻲﻓ فﺮﺼﺗ ﻊﻄﻘﺑ ﮫﻨﯿﻋ ءﺎﻘﺑ ﻊﻣ ﮫﺑ عﺎﻔﺘﻧﻻا ﻦﻜﻤﯾ لﺎﻣ ﺲﺒﺣ

Artinya :

“ Menahan suatu benda yang dapat dimanfaatkan, sementara

pokoknya tidak hilang karena diambil kegunaan dan manfaatnya, sepanjang penggunaan itu dibolehkan menurut hukum “

Jumhur ulama, yakni mayoritas pakar hukum Islam, dan dua tokoh Hanafiyah, Abu Yusuf dan Muhammad, sebagaimana dikutip Abdul Wahab Khallaf, mengemukakan bahwa wakaf adalah :

4

Ahmad Azhar Basyir,Hukum Islam Tentang Wakaf, (Bandung : Ijarah Syirkah Al-Maarif, 1987), h. 5

5

Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan Perkembangannya, (Jakarta : Yayasan Tiara, 1993), h. 50


(25)

و سﺎﻨﻟا ﻦﻣ ﺪﺣﻻ ﺔﻛﻮﻠﻤﻣ نﻮﻜﺗ ﻦﻋ ﻦﯿﻌﻟا ﺲﺒﺣ ﻮھ ﻒﻗﻮﻟا ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا ﻚﻠﻣ ﻢﻜﺣ ﻰﻠﻋ ﺎﮭﻠﻌﺟ

لﺎﻤﻟاو لﺎﺤﻟا ﻲﻓﺮﯿﺨﻟا تﺎﮭﺟ ﻦﻣ ﺔﮭﺟ ﻰﻠﻋﺎﮭﻌﯾﺮﺑ قﺪﺼﺘﻟاو

Artinya :

“ Wakaf adalah menahan benda untuk tidak dimiliki oleh seseorang serta menjadikannya dalam status milik Allah SWT, serta mensedekahkan manfaatnya untuk berbagai bentuk kebajikan, baik kebajikan duniawi maupun

ukhrowi “6

Definisi-definisi di atas, memiliki unsur perbedaan dan unsur persamaan. Unsur-unsur persamaan definisi tersebut, antara lain adalah : a. Bahwa benda yang diwakafkan itu hendaklah bernilai ekonomis serta

statusnya berubah ke dalam status wakaf.

b. Penggunaan wakaf diperuntukkan bagi kepentingan yang diperbolehkan hukum.

c. Definisi itu menggunakan terminologi habs, yakni satu kata yang digunakan dalam hadis yang menjadi dasar hukum wakaf, seperti dalam hadis Ibn Umar.

Perbedaan definisi tersebut kiranya berlatar belakang konsepsi masing-masing tentang wakaf itu. Definisi pertama nampaknya merupakan pengulangan sabda Nabi. Definisi kedua lebih luas dari definisi pertama karena mengandung kualifikasi objek dari wakaf itu sambil menekankan nilai penggunaannya yang mesti sesuai dengan nilai ajaran yang terkandung didalamnya, yakni nilai agamisnya. Sementara definisi ketiga lebih

6


(26)

menekankan perubahan status benda wakaf yang berpindah kepada status milik Allah dari status milik perorangan. Disamping itu definisi inipun mengandung aspek waktu yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dapat diperlukan seketika maupun bertempo.

2. Rukun Dan Syarat Wakaf

Uraian di atas membuka jalan untuk menganalisa perbedaan wakaf secara konsepsional diantara definisi yang dikemukakan oleh para pakar hukum Islam. Namun demikian kriteria yang disepakati untuk mengukur keabsahan perbuatan hukum berkaitan erat dengan rukun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk itu, sebagaimana dinyatakan :

را ﻊﻤﺘﺟااذﺎﻣ تﻼﻣﺎﻌﻤﻟاو تادﺎﺒﻌﻟا ﻲﻓ ﺢﯿﺤﺼﻟا ﻢﻜﺤﻟا ﻖﺣ ﻲﻓاﺮﺒﺘﻌﻣ نﻮﻜﯾ ﻰﺘﺣ ﮫﻃءاﺮﺷو ﮫﻧﺎﻛ

Artinya :

“ Sesungguhnya perbuatan hukum yang sah dalam bidang ibadah dan

muamalah itu ialah apabila telah terpenuhi rukun-rukun dan syariatnya

sehingga perbuatan hukum itu dianggap benar menurut hukum “

Rukun dan Syarat dalam penyelenggaraan wakaf (insya al-waqf) menurut hukum Islam adalah :

a. Wakif (pihak yang menyerahkan wakaf)

Para ulama Mazhab sepakat bahwa akal sehat merupakan syarat bagi sahnya melakukan wakaf. Selain itu mereka juga sepakat bahwa baligh merupakan persyaratan lainnya. Ditambah lagi dengan syarat orang yang


(27)

merdeka (bukan budak) dan memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum atas harta.7

b. Mauquf (barang yang diwakafkan)

Para ulama Mazhab sepakat bahwa, disyaratkan untuk barang yang diwakafkan itu persyaratan-persyaratan yang ada pada barang yang dijual, yaitu bahwa barang tersebut merupakan sesuatu yang konkrit, yang merupakan hak milik orang yang mewakafkannya. Para ulama Mazhab juga sepakat bahwa dalam wakaf tersebut disyaratkan adanya kemungkinan memperoleh manfaat dari barang yang diwakafkannya itu, dengan catatan bahwa barang itu sendiri tetap adanya. Para ulama juga sepakat tentang kebolehan wakaf dengan barang-barang yang tidak bergerak, misalnya : tanah, rumah dan kebun. Mereka juga sepakat, kecuali Hanafi, tentang sahnya wakaf dengan barang-barang bergerak, seperti binatang dan sumber pangan manakala manfaatnya bisa diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri. Para ulama mazhab sepakat pula tentang keabsahan mewakafkan sesuatu dengan ukuran yang berlaku di masyarakat, misalnya : sepertiga, separuh dan seperempat, kecuali pada masjid dan kuburan.8

7

Ibid, Juhaya S. Praja, h. 54

8


(28)

c. Mauquf ‘Alaih (tujuan wakaf)

Tujuan wakaf (dalam tujuan itu tercermin yang menerima hasil wakaf)

atau mauquf ‘alaih harus jelas, misalnya (1) untuk kepentingan umum, seperti : mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit dan amal-amal sosial lainnya. Dapat pula ditentukan tujuannya (2) untuk menolong fakir miskin, orang-orang terlantar dengan jalan membangun panti asuhan. Dapat pula disebutkan tujuan wakaf itu (3) untuk keperluan anggota keluarga sendiri, walaupun misalnya anggota keluarga itu sendiri dari orang-orang yang mampu. Namun yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas diperuntukkan bagi kepentingan umum dan kemaslahatan masyarakat.9 Sebagimana diungkapkan oleh para ulama, bahwa wakaf dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : (1) Wakaf Ahli, yakni wakaf yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, dan (2) Wakaf Khairi, yakni wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf Khairi inilah yang sejalan benar dengan jiwa amalan wakaf yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir. Dilihat dari kedua macam tujuan wakaf ini, maka orang yang menerima wakaf (orang yang berhak memelihara barang yang diwakafkan dan memanfaatkannya) disyaratkan sebagai berikut :

9

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI Press, 1998), h. 86


(29)

a) Hendaknya orang yang diwakafi tersebut ada ketika wakaf itu terjadi. Kalau dia belum ada, misalnya mewakafkan sesuatu pada orang yang akan dilahirkan maka menurut Imamiyah, Syafi’i dan Hambali wakaf tersebut tidak sah, namun menurut Maliki adalah sah. Para ulama Mazhab sepakat bahwa, wakaf terhadap orang yang belum ada tapi merupakan kelanjutan dari orang yang sudah ada adalah sah. Misalnya, mewakafkan kepada anak-anaknya dan keturunan mereka yang akan lahir. Sedangkan wakaf kepada anak yang ada dalam kandungan menurut Syafi’i, Imamiyah dan Hambali adalah tidak sah, sebab ia belum mempunyai kelayakan untuk memiliki kecuali sesudah dilahirkan dalam keadaan hidup.

b) Hendaknya orang yang menerima wakaf itu mempunyai kelayakan untuk memiliki.

c) Hendaknya jelas orangnya dan bukan tidak diketahui. Jadi, jika tanpa disebutkan secara jelas siapa orang yang menerima wakaf tersebut, maka batallah wakafnya.

d) Hendaknya sesuatu yang diwakafkan tersebut bukan merupakan maksiat kepada Allah SWT, seperti tempat pelacuran, perjudian dan tempat-tempat maksiat lainnya. Adapun wakaf kepada non muslim, seperti orang Dzimmi, disepakati oleh para ulama Mazhab adalah sah. Ini sesuai dengan Firman Allah SWT :


(30)

ﻢھوﺮﺒﺗ نا ﻢﻛرﺎﯾد ﻦﻣ ﻢﻛﻮﺟﺮﺧاو ﻦﯾﺪﻟا ﻲﻓ ﻢﻛﻮﻠﺗﺎﻘﯾ ﻢﻟ ﻦﯾ ﺬﻟا ﻦﻋ ﷲا ﻢﻛﺎﮭﻨﯾﻻ

ﻟا اﻮﻄﺴﻘﺗو

: ﺔﻨﺤﺘﻤﻤﻟا ) ﻦﯿﻄﺴﻘﻤﻟا ﺐﺤﯾ ﷲا نا ﻢﮭﯿ

۸

(

Artinya:

“ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil

terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan

tidak pula mengusir kamu dari negerimu “ (QS. Al-Mumtahanah : ayat 8)

d. Sighat (Pernyataan) wakaf

Seluruh ulama Mazhab sepakat bahwa wakaf terjadi dengan menggunakan redaksi waqaftu (saya mewakafkan), sebab kalimat ini menunjukkan pengertian wakaf yang sangat jelas, tanpa perlu adanya petunjuk-petunjuk tertentu, baik dari segi bahasa, syara’maupun tradisi. Sebenarnya wakaf bisa terjadi dengan semua kalimat yang menunjukkan maksud tersebut, bahkan dengan bahasa asing sekalipun, sebab bahasa dalam konteks ini adalah sarana untuk mengungkapkan maksud. Sighat (pernyataan wakaf) ini dapat dilakukan dengan lisan, tulisan atau isyarat yang dapat memberi pengertian wakaf. Lisan dan tulisan dapat dipergunakan oleh orang yang tidak bisa menggunakan cara lisan atau tulisan. Hal ini dimaksudkan agar pernyataan wakaf benar-benar dapat diketahui dengan jelas, untuk menghindari kemungkinan terjadinya persengketaan dikemudian hari. Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua Mazhab sebagai ‘akad

tabarru ; yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qabul dari pihak penerima dan dicukupkan dengan ijab si wakif. Para fuqaha mensyaratkan tiga syarat ikrar wakaf, yaitu :


(31)

a) Ikrar itu tidak terikat oleh sesuatu yang tidak ada ketika ikrar itu dinyatakan si wakif.

b) Ikrar itu tidak disertai dengan syarat-syarat yang tidak sesuai dengan syariat.

c) Ikrar itu tidak disertai dengan pembatasan waktu. Sehubungan dengan syarat yang pertama, para fuqaha memperkenalkan tiga jenis ikrar, yaitu :Munjiz, Mudlafat danMu’allaqat. Ikrar Munjizialah ikrar yang menyatakan bahwa wakaf itu terjadi dan sah menurut hukum seketika ikrar tersebut dinyatakan oleh si wakif. IkrarMudlafatialah ikrar yang menyatakan terjadinya wakaf tetapi wakaf itu tidak langsung berlaku sesuai ikrar wakaf yang dinyatakan oleh is wakif, wakaf itu baru berlaku beberapa saat kemudian. Ikrar Mu’allaqat ialah ikrar wakaf

yang dikaitkan dengan keadaan tertentu yang dapat mempengaruhi ada dan tidak adanya wakaf itu. Keabsahan dua jenis ikrar yang pertama disetujui oleh para fuqaha, sementara ikrar yang ketiga diperselisihkan. Hanabilah mengakui ikrar jenis ketiga, hanya jika dihubungkan dengan kematian si wakif.

Sedangkan untuk sah-nya amalan wakaf, diperlukan syarat sebagai berikut:

a. Wakaf itu tidak dibatasi dengan waktu tertentu, sebab amalan wakaf berlaku untuk selamanya.


(32)

c. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan tanpa digantungkan kepada akan terjadinya sesuatu peristiwa di masa yang akan datang, sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan wakaf. Berbeda halnya bila wakaf digantungkan dengan kematian si wakif, yang dalam hal ini berlaku hukum wasiat.

d. Wakaf merupakan hal yang mesti dilaksanakan tanpa syarat boleh memilih (membatalkan atau melangsungkan) wakaf yang telah dinyatakan, sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya.

3. Tujuan Dan Fungsi Wakaf

Tujuan wakaf menurut hukum Islam, difahamkan dari hadis Ibn Umar:

“Ia menyedekahkan hasil hartanya itu kepada orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, digunakan pada jalan Allah, orang terlantar dan tamu”.

Dari hadis di atas dipahami ada dua macam tujuan wakaf, yakni : (1) untuk mencari keridhaan Allah SWT, dan (2) untuk kepentingan masyarakat. Perbedaan sasaran wakaf atau peruntukkan wakaf diantara ulama Mazhab adalah hal yang tak terelakkan. Perbedaan ini pada hakikatnya diawali dengan perbedaan konsepsi wakaf itu sendiri. Malikiyah menganggap wakaf itu sah bila dikaitkan dengan aqidah, dalam arti tujuan wakaf untuk syiar agamanya. Akibatnya, wakaf muslim dan non muslim untuk syiar agamanya adalah sah,


(33)

sementara Syafi’iyah dan Hanabilah memandang wakaf untuk kepentingan ibadah dan umum, maka wakaf non muslim yang ditujukan untuk kemaslahatan umum adalah sah sepanjang sesuai dengan kepentingan Islam. Sedangkan Hanafiyah menyatakan tidak sah.

Fungsi wakaf menurut hukum Islam adalah memperoleh manfaat dari benda wakaf tersebut sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini wakaf untuk selama-lamanya terdapat perbedaan pendapat diantara ulama Mazhab. Para ulama Mazhab kecuali Malik berpendapat, bahwa selama-lamanya merupakan syarat sahnya wakaf walaupun tidak disebutkan syarat selama-lamanya oleh wakif. Dasar pendapat mereka ialah hadis Ibnu Umar yang menyatakan, bahwa harta wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan juga tidak boleh diwariskan. Menurut Malik wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk waktu tertentu, misalnya untuk waktu setahun dan setelah itu kembali kepada pemiliknya semula. Dasar pendapat Malik adalah sesuai dengan dzahir hadis Ibnu Umar, maka wakaf itu semacam sedekah, setiap sedekah boleh terbatas waktunya dan boleh pula tidak terbatas waktunya.

B. Macam-macam Harta Wakaf

Telah dijelaskan terdahulu bahwa salah satu unsur penting wakaf adalah benda yang diwakafkan. Tanpa adanya benda wakaf tersebut, maka wakaf tidak akan terealisasikan. Benda wakaf menurut para fuqaha dalam beberapa hal adalah sama, yakni keharusan benda wakaf tersebut bermanfaat dan bernilai ekonomis


(34)

dalam arti sesuatu yang dapat diperjual belikan, tahan lama baik bendanya, manfaatnya atau manfaatnya dapat diambil oleh penerima (mustahik).

Kontrofersi tentang harta atau benda wakaf di kalangan fuqaha erat hubungannya dengan konsep masing-masing mengenai harta benda (maal). Oleh karena perbedaan konsep itulah muncul masalah : harta dalam pengertian apa yang dapat dijadikan sebagai benda wakaf, apakah benda wakaf bedanya ainal-waqf, atau manfaat yang dimaksud benda wakaf itu pada hakikatnya adalah benda, maka dapatkah manfaat dan hak memanfaatkan benda itu sebagai harta dalam pengertianmaal.

Walaupun definisi mengenai benda wakaf dikalangan fuqaha Mujtahidin berbeda satu dengan lainnya, tetapi definisi wakaf yang mereka kemukakan tersebut nampaknya berpegang kepada prinsip bahwa benda yang diwakafkan itu pada hakikatnya adalah pengekalan manfaat dari benda wakaf tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqiey, bahwa tidak sah suatu wakaf jika barang (sesuatu) yang diwakafkan itu tidak dapat kita ambil manfaat dari padanya.

Mengetahui benda wakaf yang ideal bagi pengembangan wakaf di Indonesia bisa dilakukan dengan mengmati definisi wakaf yang telah dikemukakan oleh fuqaha. Berikut ini diungkapkan beberapa definisi wakaf tersebut agar dapat dinalisis kemungkinan-kemungkinan pengembangan wakaf dimasa yang akan datang.


(35)

Jumhur fuqaha dan dua tokoh Hanafiyah, Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan bahwa wakaf adalah menahan benda (habs al-‘ain), sehingga benda

itu tidak dapat menjadi milik seseorang melainkan dalam status hukum milik Allah serta mensedekahkan manfaatnya untuk kebaikan dimasa kini dan mendatang. Menurut Abdullah bin Abdul al-Anshari dalam Syarzad al-Mustqni, Hanabilah mengatakan bahwa wakaf adalah menahan pokoknya (benda yang diwakafkan ini) dan mensedekahkan hasilnya demi kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”.

Pengertianal-ashl dalam definisi Hanabilah ini adalah harta (maal) yang memungkinkan pemanfaatannya bila benda (‘ain) wakafnya kekal. Sementara

Syafi’iyah mensyaratkan terus menerus, seperti benda bergerak, hewan, pakaian perang dan senjata. Hal ini disebutkan dalam Al-Majmu’, yang menyatakan bahwa benda wakaf itu harus dimanfaatkan hasilnya (al-ray), baik dimasa kini maupun dimasa mendatang menurut lembaga wakaf tersebut berfungsi secara kesinambungan atau mu’abbad. Definisi ini menimbulkan masalah : apakah benda (‘ain) wakaf itu harus bersifat kekal atau manfaat benda tersebut yang

harus kekal, atau kedua-duanya (benda dan manfaatnya). Jika hal ini menjadi masalah, maka pembagian benda wakaf kedalam dua macam : benda tidak bergerak (‘aqar) dan benda bergerak (manqul) menjadi amat relevan sebagaimana

pengertian harta itu sendiri.10

10

Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan Perkembangannya, h. 58


(36)

Menurut Hanafiyah, al-ashl yang menjadi benda wakaf itu harus berupa benda tidak bergerak demi tercapainya wakaf yang mu’abbad. Benda yang tidak bergerak itu harus kekal dan berkesinambungan pemanfaatannya (yabqa wayadum), yaitu tanah. Adapun segala yang ada diatas tanah yang memungkinkan dipindah atau berubah dari kondisi satu ke kondisi lainnya adalah termasuk kedalam kategori benda bergerak, baik benda itu berupa bangunan maupun tanaman.

Dalam hal gedung dan tanaman sebagai benda wakaf yang berada di atas tanah tidak diwakafkan. Di kalangan Hanafiyah ada empat pendapat : (1) pendapat yang memperbolehkan secara mutlak, (2) pendapat yang tidak memperbolehkan benda bergerak dijadikan sebagai benda wakaf kecuali jika tanahnya diwakafkan dengan maksud agar dibangun gedung dan ditanami, (3) pendapat yang memperbolehkan bila tanahnya juga diwakafkan, (4) pendapat yang memperbolehkan secara mutlak selama ‘urf menghendaki dan

memperbolehkannya. Maliki pun berpendapat bahwa gedung dan tanaman di atas tanah yang tidak diwakafkan adalah boleh.

Muhammad bin Al-Hasan memperluas pengertian benda bergerak yang sah untuk dijadikan benda wakaf, yaitu benda bergerak yang telah diwakafkan, seperti mushaf, buku, alat kebersihan, dan sebagainya. Demikian juga uang dan biji-bijian adalah merupakan benda bergerak yang sah untuk dijadikan benda wakaf.


(37)

C. Pengelolaan Harta Wakaf

Imam Ali mengatakan bahwa, “barang-barang yang diwakafkan itu dilaksanakan seperti yang diinginkan pewakafnya”. Karena itu para ulama

Mazhab mengatakan saat yang ditetapkan pewakaf sama dengan Nash Syara’,

demikian pula dengan redaksi, dalam arti bahwa dia harus diikuti dan diamalkan selama saat yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Sedangkan pengelolanya adalah orang yang diberi kekuasaan atas wakaf tersebut. Kekuasaan ini hanya terbatas dalam memelihara, menjaga, mengelola dan memanfaatkan hasil dari barang yang diwakafkan tersebut sesuai dengan maksudnya. Kekuasaan atas wakaf dibagi menjadi : (1) kekuasaan yang bersifat umum, yaitu kekuasaan yang ada di tanganWaliyul Amri, dan (2) kekuasaan yang bersifat khusus, yaitu kekusaan yang diberikan kepada orang yang diserahi wakaf ketika dilakukan, atau orang yang diangkat oleh hakim untuk itu.

Menurut Mazhab Syafi’i hak mengelola wakaf berada di tangan orang yang selain wakif sebagai pengelolanya. Jika tidak ditetapkan, maka ada tiga kemungkinan, yaitu : (1) pengelolaan tetap ada di tangan si wakif, (2) pengelolaan berada pada pemakai manfaat atau hasil wakaf, (3) pengawasan itu berada di tangan hakim atau pemerintah. Sedangkan Mazhab Maliki mensyaratkan terpisahnya harta wakaf dari si wakif, karena kedudukan wakif hanyalah sebagai pengawas, dan pengelola diangkat oleh orang atau badan tersendiri.


(38)

31 BAB III

PERWAKAFAN MENURUT PP NOMOR 28 TAHUN 1977

A. Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan dan Fungsi Wakaf Menurut PP Nomor 28 Tahun 1977

1. Pengertian Wakaf

Pengertian mengenai wakaf menurut hukum positif dapat dijumpai dalam PP No. 28 Tahun 1977, Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang

“Wakaf” dan dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, buku Ketiga.

Pengertian wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977, disebutkan di dalam Bab I pasal 1 ayat (1) : Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dan pengertian wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat di dalam buku III Bab I pasal 215 ayat (1) : Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.


(39)

Sedangkan pengertian wakaf dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat (1) : Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat.

Definisi wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 diatas lebih umum dari definisi dalam PP No.28 Tahun 1977, yang lebih cenderung memperhatikan aspek kesejarahan dan kenyataan empirik yang hidup dalam masyarakat Indonesia serta pertimbangan pelaksanaannya. Disamping itu, corak Syafi’iyyah pun masihnampak, yakni mazhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya hukum wakaf tersebut, maka wakaf dibatasi hanya pada wakaf tanah milik. Definisi wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam lebih menekankan sosialisasi hukum perwakafan bagi umat Islam di Indonesia serta mencerminkan suatu keinginan untuk menerapkan definisi tersebut secara bertahap. Bahkan lebih penting lagi, Kompilasi Hukum Islam dan PP No. 28 Tahun 1977 mempunyai suatu kecenderungan yang menuju kepada


(40)

pembentukan hukum Islam yang khas Indonesia yang dapat kita sebutFiqh Indunisiyy.1

Unsur pembaharuan hukum Islam dalam wakaf ini adalah adanya unsur kelembagaannya. Padahal pengertian wakaf sebagaimana dikemukakan oleh para pakar hukum Islam tidak mengandung makna pembentukan kelembagaannya itu, melainkan hanya mengandung dua aspek yang terdapat dalam kata Habbasa dan Tashaddaqta. Ungkapan pertama menunjukkan aspek yang bersifat pasif, dimana si pemilik harta membatasi diri dari perbuatan hukum tertentu terhadap hartanya tanpa penegasan apakah harta tersebut terlepas dari kekuasaannya (hak miliknya) atau tidak. Sedangkan ungkapan kedua menunjukkan aspek yang bersifat positif, dimana si pemilik harta mensedekahkan manfaat harta tersebut. 2. Rukun Dan Syarat Wakaf

Rukun dan Syarat wakaf menurut hukum positif, adalah sebagai berikut : a. Wakif (orang yang mewakafkan)

PP No. 28 Tahun 1977 Bab I pasal 1 ayat (2), menyebutkan bahwa : Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Sebagaimana disebutkan juga dalam PMA No. 1 Tahun 1978 Bab I pasal 1 sub (c). Sedangkan menurut UU No. 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat (2) dan Kompilasi

1

Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, (Jakarta : Yayasan Tiara, 1993), h. 52


(41)

Hukum Islam Bab I pasal 215 ayat (2), yang berbunyi : Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Karena mewakafkan itu merupakan perbuatan hukum, maka wakif haruslah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang memenuhi syarat untuk melakukan tindakan hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam PP No. 28 Tahun 1977 pasal 3 ayat (1), yang berbunyi :

“Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pasal di atas tersebut dijelaskan secara rinci di dalam penjelasan PP No. 28 Tahun 1977, sebagai berikut : pencantuman secara terperinci syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menghindari tidak sahnya perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern (cacat atau kurang sempurna cara berfikir) maupun faktor ekstern karena merasa dipaksa oleh orang lain.

Ketentuan-ketentuan tersebut juga berlaku bagi yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan dengan penyesuaian persyaratan seperlunya sesuai dengan persyaratan subyek hukum tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Badan hukum Indonesia yang dapat menjadi wakif adalah badan hukum yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan dalam


(42)

PP No. 28 Tahun 1977, yaitu badan-badan hukum yang mempunyai hak milik atas tanah. Badan-badan hukum yang dimaksud disini adalah : (1) Bank Negara, (2) Perkumpulan Koperasi Pertanian, (3) Badan Keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.

b. Barang yang diwakafkan

Yang dapat dijadikan benda wakaf (mauquf bih), menurut PP No.28 Tahun 1977 pasal 4 adalah sebagai berikut : “Tanah

sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan,

sitaan dan perkara”. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun

1977 Bab I pasal 1 menyebutkan : “Tanah yang diwakafkan harus

merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang baik seluruhnya maupun sebagian harus bebas dari beban ikatan, jaminan, sitaan dan

sengketa”.

Sedangkan menurut UU No . 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat (5) dan Kompilasi Hukum Islam Bab I pasal 215 ayat (4)

menyebutkan : “benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak

atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai ekonomis menurut ajaran Islam”. Dijelaskan pula lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 217 ayat (3)

yang berbunyi : “benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215


(43)

pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa”. Kemudian dijelaskan kembali dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 223 ayat (4) huruf b dan c sebagai berikut : “jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak

bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari kepala desa yang diperkuat oleh camat setempat yang menerangkan pemilikan benda

tidak bergerak dimaksud”.

Sedangkan bunyi pasal huruf c adalah sebagai berikut : “surat

atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan”. Sebagaimana telah dijelaskan pasal

demi pasal mengenai benda wakaf, PP No. 28 Tahun 1977 menyebutkan bahwa benda wakaf itu hanya tanah milik saja. Sedangkan menurut UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum Islam benda wakaf itu mencakup benda bergerak yang harus disertai surat-surat dan dokumen yang merupakan kelengkapan dari benda tersebut. Dalam hal ini, antara PP No.28 Tahun 1977 dengan Kompilasi Hukum Islam mengenai benda wakaf mempunyai maksud yang sama, yaitu untuk menghindari sengketa dikemudian hari.

c. Tujuan wakaf (mauquf ‘alaih)

Tujuan wakaf tidak disebut secara rinci dalam PP No.28 Tahun 1977, hal tersebut hanya dinyatakan sepintas lalu dalam rumusan pengertian wakaf, yaitu pada pasal 1, kemudian disebut dalam pasal 2 ketika menegaskan mengenai fungsi wakaf, begitu pula halnya dengan


(44)

pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004, dan pasal 215 dan pasal 216 Kompilasi Hukum Islam mengenai pengertian dan fungsi wakaf. Menurut PP No. 28 Tahun 1977, UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum Islam, tujuan perwakafan adalah untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya. Hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam. Untuk melestarikan tujuan tersebut, maka harus adanya pengelolaan yang baik yang dilakukan oleh nadzir, yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan-pemeliharaan dan pengurusan benda-benda wakaf tersebut agar manfaatnya dapat kekal dinikmati oleh masyarakat. Oleh karena itu pula, dalam sistem perwakafan ini tujuan wakaf yang merupakan unsur atau rukun dalam fiqih tradisional digantikan tempatnya oleh nadzir agar wakafnya itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hak dan kewajiban nadzir tersebut secara rinci dalam PP No.28 Tahun 1977, UU No. 41 Tahun 2004, Kompilasi Hukum Islam dan PMA No. 1 Tahun 1978 dengan segala peraturan pelaksanaannya. Menurut PP No. 28 Tahun 1977 pasal 1 ayat (4), disebutkan bahwa : “Nadzir

adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas

pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf”. Begitu juga yang

disebutkan dalam PMA No. 1 huruf e, dan yang disebutkan dalam UU No. 41 Tahun 2004 pasal 1 ayat (4) dan Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (5). Yang dimaksud dengan kelompok orang disini adalah


(45)

yang merupakan satu kesatuan atau merupakan pengurus dari benda wakaf tersebut. Jadi bukan seorang, sebagaimana dimungkinkan dalam fiqih tradisional. Hal ini mungkin dimaksudkan agar pengurusan harta wakaf dapat dilakukan secara lebih baik oleh kumpulan orang yang dapat saling mengawasi dan menghindari terulangnya kejadian dimasa lampau, dimana banyak harta wakaf yang hilang status hukumnya dengan menjadi milik perorangan nadzir wakaf tersebut. Dalam hukum fiqih tradisional, nadzir tidak termasuk ke dalam rukun (unsur-unsur wakaf). Seseorang bisa saja menjadi nadzir, jika si wakif menunjuknya untuk menjadi nadzir. Para ahli hukum fiqih Islam (fuqaha), berpendapat bahwa nadzir tidak harus orang lain atau kelompok orang, tetapi wakif dapat menunjuk sendiri seseorang untuk menjadi nadzir dari harta yang diwakafkannya itu.2 Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan nadzir seperti yang terdapat dalam hukum positif merupakan pengembangan dari hukum fiqih Indonesia.

PP No. 28 Tahun 1977 pasal 6 ayat (1) dan (2) menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir, baik nadzir perorangan maupun nadzir yang berbentuk badan hukum agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Bunyi dari pasal 6 ayat (1) adalah : “Nadzir

2

Muhammad Daud Ali,Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI Press, 1998), h. 112


(46)

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal 1 yang terdiri dari perorangan, maka harus memenuhi syarat-syarat berikut :

1) Warganegara Republik Indonesia 2) Beragama Islam

3) Sudah dewasa

4) Sehat jasmani dan rohani

5) Tidak berada dibawah pengampuan

6) Bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan

Sedangkan bunyi pasal 6 ayat (2), jika nadzir tersebut berbentuk suatu badan hukum, maka harus memenuhi persyaratan berikut :

1) Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

2) Mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan

Mengenai persyaratan nadzir ini juga disebutkan di dalam UU No. 41 Tahun 2004 pasal 10 ayat (1), (2) dan (3), dan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 219 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa : Nadzir wakaf, baik perorangan maupun badan hukum harus terdaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan dari Kepala KUA Kecamatan yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf


(47)

(PPAIW). Pendaftaran tersebut dimaksudkan untuk menghindari perbuatan perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan, dan juga untuk memudahkan dalam pengawasan. Hal ini disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977 pasal 6 ayat (3) yang berbunyi : “Nadzir yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus di

daftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk

mendapat pengesahan”. Sedangkan tentang banyaknya jumlah nadzir

ditentukan dalam PP No. 28 Tahun 1977 pasal 6 ayat (4), yang

berbunyi : “Jumlah nadzir yang diperbolehkan untuk suatu daerah

seperti dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan oleh Menteri Agama

berdasarkan kebutuhan”. Penetapan Menteri Agama itu tercantum

dalam PMA No. 1 Tahun 1978 Bab IV pasal 8 ayat (1), yang berbunyi: Nadzir yang terdiri dari perorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang dan salah seorang diantaranya sebagai ketua.

Kemudian dalam PMA ini diperjelas lagi oleh pasal 9 ayat (1), (2) dan ayat (3), yang berbunyi :

1) Jumlah nadzir perorangan dalam satu Kecamatan ditetapkan sebanyak-banyaknya sejumlah desa yang terdapat di Kecamatan tersebut.


(48)

3) Jika nadzir berbentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2) PP No. 28 Tahun 1977, maka jumlah nadzir ditentukan sebanyak badan hukum yang ada di Kecamatan tersebut.

Masalah nadzir inipun dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 219 ayat (5), yang berbunyi : Jumlah nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

Masa kerja nadzir perorangan tidaklah mutlak seumur hidup, sebagaimana diatur dalam PMA No. 1 Tahun 1978 Bab IV pasal 8 ayat (2), yang berbunyi :

Seorang anggota nadzir berhenti dari jabatannya apabila : 1) Meninggal dunia

2) Mengundurkan diri

3) Dibatalkan kedudukannya sebagai nadzir oleh kepala KUA karena :

a) Tidak memenuhi syarat, seperti diatur dalam pasal 6 ayat (1) PP No. 28 Tahun 1977

b) Melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatannya sebagai nadzir


(49)

c) Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir Dalam UU No. 41 Tahun 2004 juga disebutkan mengenai masalah ini, yaitu pada pasal 45 ayat (1) yang berbunyi :

1) Meninggal dunia bagi nadzir perorangan

2) Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk nadzir organisasi atau nadzir badan hukum

3) Atas permintaan sendiri

4) Tidak melaksanakan tugasnya sebagai nadzir dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

5) Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

Dan juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 221 ayat (1) yang berbunyi :

Nadzir diberhentikan oleh kepala KUA Kecamatan karena : 1) Meninggal dunia

2) Atas permohonannya sendiri

3) Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir, dan 4) Melakukan suatu kejahatan sehingga di pidana


(50)

Sedangkan untuk kelanjutannya dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 221 ayat (2), yang berbunyi : “bilamana

terdapat lowongan jabatan nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh kepala KUA Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat”. Dan ayat (3) dari pasal 221 Kompilasi Hukum

Islam, yang berbunyi : “seorang nadzir yang telah berhenti,

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya

diganti oleh salah seorang ahli warisnya”.

Sebagaimana halnya dengan syarat dan susunan nadzir yang tersebut di atas, kewajiban dan hak nadzir ditegaskan dalam PP No. 28 Tahun 1977 yang terinci lebih lanjut dalam PMA No. 1 Tahun 1978, UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum Islam.

d. Ikrar

Adapun dimaksud dengan ikrar menurut PP No. 28 Tahun

1977 pasal 1 ayat (3), adalah : “pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya”. Begitu juga halnya yang dinyatakan

dalam PMA No. 1 Tahun 1978.

Sedangkan ikrar menurut UU No. 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat (3) dan Kompilasi Hukum Islam Bab I pasal 215, bahwa : “ikrar

adalah pernyataan kehendak dari wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan benda miliknya”.


(51)

Ikrar wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977 dan PMA No. 1 Tahun 1978 disyaratkan harus dinyatakan secara lisan, jelas dan tegas kepada nadzir yang telah disahkan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan 2 orang saksi. Ikrar lisan tersebut kemudian harus dituangkan dalam bentuk tulisan. Bila seorang wakif tidak mampu menyatakan ikrarnya secara lisan, karena bisu misalnya, maka ia dapat menyatakan ikrarnya tersebut dengan isyarat. Dan bila wakif tidak dapat hadir dalam upacara ikrar wakaf, maka ikrar tersebut dapat dibuat secara tertulis dengan persetujuan kepala Kantor Departemen Agama setempat dan dibacakan kepada nadzir dihadapan PPAIW dan saksi-saksi.

Pelaksanaan ikrar wakaf diatur dalam PMA No. 1 Tahun 1978 pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : “ikrar wakaf dilakukan secara tulisan”. Sedangkan bunyi dari ayat (2) adalah : “dalam hal wakif tidak

dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf tersebut”. Masalah ikrar wakaf ini juga

dijelaskan dalam UU No. 41 Tahun 2004 pasal 17 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 218. Sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP No. 28 Tahun 1977, bahwa pasal tersebut mengharuskan adanya perwakafan yang dilakukan secara tertulis, tidak cukup hanya dengan lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik


(52)

yang dapat dipergunakan dalam berbagai persoalan, seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub. Direktorat Agraria Kabupaten / Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari mengenai tanah yang diwakafkannya itu. Untuk keperluan tersebut, maka seseorang yang hendak mewakafkan tanahnya harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan (sertifikat tanah) dan surat-surat lainnya yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut. Guna keperluan tersebut, maka diperlukan pejabat-pejabat yang melaksanakan pembuatan aktanya.

e. Saksi

Dalam pasal 9 ayat (4 ) PP No. 28 Tahun 1977, disebutkan dengan tegas bahwa : “pelaksanaan ikrar wakaf dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi”.

Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh UU No. 41 Tahun 2004 pasal 18 dan Kompilasi hukum Islam pasal 223 ayat (3). Dari kedua pasal ini dapat diartikan bahwa kalau ketentuan itu ditafsirkan secaraa Contrarior, maka pelaksanaan ikrar wakaf dianggap tidak sah apabila tidak dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Konsekwensinya adalah perwakafan yang dilakukan tanpa dihadiri dan disaksikan oleh dua orang saksi harus dipandang tidak memenuhi syarat dan karenanya tidak sah dan tidak dilindungi oleh


(53)

hukum. Namun tidak semua orang dapat menjadi saksi. Dalam PMA No. 1 Tahun 1978 pasal 4 dijelaskan tentang syarat-syarat seorang saksi, yang berbunyi : “saksi ikrar wakaf harus telah dewasa dan sehat

akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan

perbuatan hukum”. Syarat ini dipersiapkan untuk menjadi salah satu

alat bukti dalam menghadapi sengketa hukum yang terjadi dikemudian hari walaupun hanya sebagai alat bukti penguat saja, karena akta ikrar wakaf yang dibuat oleh kepala KUA Kecamatan sebagai PPAIW adalah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Ketentuan tentang adanya saksi dalam perwakafan merupakan pengembangan hukum fiqih di Indonesia.

f. PPAIW

Dalam rangka tertib administrasi kepengurusan tanah wakaf, maka diperlukan pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan Akta Ikrar Wakaf. PP No. 28 Tahun 1977 pasal 9 ayat (2) menyebutkan : “Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf adalah seperti

yang dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri Agama”. Dalam PMA No. 1 Tahun 1978 pasal 5 ayat (1), (2) dan ayat (3) disebutkan :

1) Kepala KUA ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)


(54)

2) Administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan

3) Dalam hal suatu Kecamatan tidak ada Kantor Urusan Agamanya, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk kepala KUA terdekat sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kecamatan tersebut

Hal inipun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (6) dan (7). Untuk kelancaran pelaksanaan penunjukan / pengangkatan tersebut kepada kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi setingkat di seluruh Indonesia. Dengan adanya keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978, yang diatur dalam Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979, maka PPAIW mempunyai tugas dan kewajiban sebagaimana dijelaskan dalam PMA No. 1 Tahun 1978, yaitu :

1) Meneliti kehendak wakif

2) Meneliti dan mengesahkan nadzir dan anggota nadzir yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (3) dan (4) peraturan ini 3) Meneliti saksi ikrar wakaf

4) Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf 5) Membuat Akta Ikrar Wakaf


(55)

6) Menyampaikan Akta Ikrar Wakaf dan selainnya sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (2) dan (3) peraturan ini selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan sejak dibuat

7) Mendaftarkan Akta Ikrar Wakaf

8) Menyimpan dan memelihara akta dan daftarnya

9) Mengurus pendaftaran perwakafan seperti tercantum dalam pasal 10 ayat (1) peraturan ini

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (6) disebutkan mengenai kewajiban PPAIW, yaitu : “menerima ikrar wakaf dari

wakif dan menyerahkannya kepada nadzir, saksi dan PPAIW”, dan hal

ini merupakan pembaharuan hukum Islam. Dalam hal ini PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik Juncto Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Bab ketiga mengenai perwakafan telah mengubah tata cara perwakafan, yakni perwakafan tidak hanya cukup dengan ikrar tanpa catatan-catatan dan tanpa saksi melainkan harus ada kata ikrar wakaf dan harus ada saksi sekurang-kurangnya dua orang.

3. Tujuan Dan Fungsi Wakaf Menurut PP No. 28 Tahun 1977

Tujuan wakaf dalam PP No. 28 Tahun 1977 tidak disebutkan secara rinci, hanya dinyatakan sepintas lalu dalam rumusan definisi wakaf yaitu pada pasal 1. Kemudian disebutkan pula dalam pasal 2 ketika menerangkan


(56)

fungsi wakaf. Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam, hanya disebutkan dengan pasal 215 dan 216 mengenai definisi dan fungsi wakaf.

Menurut PP No. 28 Tahun 1977, UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum Islam, tujuan perwakafan adalah untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan fungsi wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977 pasal 2 adalah mengekalkan manfaat wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, begitu pula dengan bunyi pasal 216 dari Kompilasi Hukum Islam.

Yang dimaksud dengan tujuan wakaf disini ialah wakaf untuk kepentingan peribadatan dan umum lainnya. Agar wakaf itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka pelembagaannya haruslah untuk selama-lamanya. Syarat pelembagaan untuk selama-lamanya ini merupakan pengaruh kuat mazhab Syafi’i (juga mazhab Hambali, Hanafi dan Zahiri).

Selain itu juga harta kekayaan yang dipisahkan haruslah tanah milik.

B. Macam-macam Harta Wakaf Menurut PP No. 28 Tahun 1977

Benda wakaf menurut hukum positif adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 pasal 49 ayat (1) poin b dan c, PP No. 28 Tahun 1977, UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum Islam. Jika memperhatikan pasal 49 ayat (1) poin b dan c UUPA No. 5 Tahun 1960, maka akan diketahui bahwa benda wakaf itu meliputi tanah milik dan tanah bukan milik, seperti tanah guna pakai dan sebagainya. Akan tetapi jika


(57)

dilihat dari PP No. 28 Tahun 1977, bahwa benda wakaf itu hanya tanah milik. Sementara Kompilasi Hukum Islam, dalam buku ketiga yang mengatur tentang perwakafan mengatakan bahwa benda wakaf itu dimungkinkan berupa benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak itu ialah tanah, baik yang berstatus tanah milik maupun tanah bukan milik, seperti tanah guna pakai dan sebagainya. Dan yang termasuk benda bergerak itu adalah segala jenis benda sebagaimana yang telah diungkapkan oleh para fuqaha.

Pembatasan wakaf hanya dengan tanah milik dilakukan untuk menghindari kekaburan status dan kekacauan (persengketaan) mengenai tanah wakaf dikemudian hari nanti. Di dalam UUPA dinyatakan bahwa hak milik yang mempunyai sifat kepemilikan yang penuh dan bulat. Apabila benda yang bukan hak milik, ia tidak mempunyai sifat kepemilikan yang penuh dan bulat. Artinya, hak-hak atas tanah tersebut hanya dapat dimanfaatkan selama jangka waktu tertentu, dan pemegangnya tidak mempunyai kewenangan pemilikan seperti halnya dengan pemegang hak milik. Maka hal ini tidak akan memenuhi fungsi wakaf agar mengekalkan manfaat dari benda wakaf tersebut, atau dengan kata lain bahwa benda wakaf itu harus bersifat selama-lamanya (mu’abbad).

Walaupun dalam Kompilasi Hukum Islam benda wakaf tidak dibatasi hanya tanah milik saja, pada intinya tanah milik inilah yang harus diutamakan.


(58)

C. Pengelolaan Harta Wakaf Menurut PP No. 28 Tahun 1977

Pengelolaan yang dimaksud oleh PP No. 28 Tahun 1977 ialah yang menyangkut dengan hak dan kewajiban nadzir, karena pengelola wakaf adalah nadzir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh PP No. 28 Tahun 1977 pada pasal 1 ayat (4). Hal ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 220 ayat (1) dan (3). Mengenai kewajiban nadzir dijelaskan oleh PP No. 28 Tahun 1977 pada pasal 7 ayat (1), (2) dan (3), yang kemudian diperjelas dalam PMA No. 1 Tahun 1978 pasal 10 ayat (1), (2), (3) dan (4) yang berbunyi :

1. Nadzir berkewajiban mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf dan hasilnya yang meliputi :

a. Menyimpan lembar salinan Akta Ikrar Wakaf b. Memelihara tanah wakaf

c. Memanfaatkan tanah wakaf

d. Memanfaatkan dan berusaha menigkatkan hasil wakaf

e. Menyelenggarakan pembukuan / administrasi yang meliputi : 1) Buku catatan tentang keadaan tanah wakaf

2) Buku catatan pengelolaan dari hasil tanah wakaf 3) Buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf 2. Nadzir berkewajiban melaporkan :

a. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku dan sertifikatnya kepada KUA


(59)

b. Perubahan status milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya akibat ketentuan pasal 12 dan 13, dan sebagiannya diatur dalam pasal 11 ayat (3) dari peraturan ini

c. Pelaksanaan yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini, dilaporkan kepada kepala KUA setiap satu tahun sekali yaitu pada akhir bulan Desember 3. Nadzir berkewajiban pula untuk melaporkan adanya salah seorang anggota

nadzir yang berhenti dari jabatannya, sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (2) peraturan ini

4. Bilamana jumlah anggota nadzir kelompok karena berhentinya salah satu anggota atau lebih berakibat tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (1) peraturan ini, maka anggota nadzir lainnya berkewajiban mengusulkan penggantiannya dan disahkan oleh pembuat Akta Ikrar Wakaf

Sebagai imbalan kewajiban-kewajiban yang dibebankan di pundak nadzir, maka nadzir juga mempunyai hak-hak tertentu atas harta wakaf yang diurusnya tersebut. Hal ini dijelaskan dalam PP No. 28 Tahun 1977 pasal 8, yang pelaksanaannya diatur dalam PMA No. 1 Tahun 1978 pasal 11 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :

1. Nadzir berhak menerima penghasilan dari tanah wakaf yang besarnya ditetapkan oleh kepala Kandepag cq. kepala seksi dengan ketentuan tidak melebihi sepuluh persen dari hasil bersih tanah wakaf


(60)

2. Nadzir dalam menunaikan tugasnya berhak menggunakan fasilitas sepanjang diperlukan bagi tanah wakaf atau hasilnya, yang jumlahnya ditetapkan oleh kepala Kandepag dan diteruskan kepada kepala seksi. Hal ini juga dijelaskan dalam UU No. 41 Tahun 2004 pasal 12 dan Kompilasi Hukum Islam pada pasal 222

Dalam kamus umum bahasa Indonesia “Pengelola” adalah “Pengurus atau

Penyelenggara”. Sedangkan pengelolaan adalah penyelenggaraan dan

sebagainya. Pengelolaan adalah sama pengertiannya dengan manajemen, yaitu pengurusan atau mengurus.

Lebih jauh Mudhofir menjelaskan, bahwa fungsi pengelolaan terdiri dari pengelolaan organisasi dan pengelolaan personalia. Fungsi pengelolaan oraganisasi bertujuan mengawasi salah satu atau lebih dari fungsi pengembangan atau fungsi pengelolaan lainnya untuk menjamin pengoperasian yang aktif, yakni fungsi pengelolaan tujuan dan prosedur administratif suatu organisasi untuk melaksanakan salah satu atau beberapa fungsi pengembangan atau fungsi pengelolaan. Sedangkan pengelolaan personalia bertujuan untuk berinteraksi atau mengawasi orang yang melaksanakan kegiatan dalam fungsi.

Menurut MC Forland (1987 : 1) ada tiga langkah dalam manajemen, yaitu: (1) Perencanaan, (2) Pengorganisasian, dan (3) Pengawasan. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan lainnya.


(61)

Perencanaan merupakan upaya untuk memahami dan mengontrol komitmen-komitmen yang akan datang, yang harus dilakukan dalam kaitan dengan proses penganggaran.3

Pengorganisasian itu menyangkut hal-hal pokok sebagai berikut : (1) Maksud dari tujuan serta sasaran yang ingin dicapai, (2) Pembagian tugas kewajiban dan kewenangan serta tanggung jawab yang berkaitan dengan pengelompokan spesialisasi, dan (3) Tata hubungan antara tugas-tugas tersebut yang mengarah kepada sasaran yang hendak dicapai.4

Pengawasan ditujukan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas. Sedangkan hakikat pengawasan adalah mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Pengurusan dan pengelolaan tanah wakaf ini dilakukan oleh nadzir, sedangkan sebagai pengawasnya adalah KUA dan MUI setempat dimana wakaf tersebut berada.

3

Dorojatun Kuntjoro Jakti,Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang, (Jakarta : LP3S 1987), h. 325

4


(62)

55 BAB IV

PERWAKAFAN DI KECAMATAN CILANDAK KOTA JAKARTA SELATAN

A. Letak Geografis Kecamatan Cilandak

Wilayah Kecamatan Cilandak mempunyai luas 1.828,55 Ha. Dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara adalah wilayah kelurahan Gandaria Selatan dan kelurahan Cipete Selatan yang berbatasan dengan kecamatan Kebayoran Baru, sebelah timur berbatasan dengan kali krukut kelurahan Cilandak Timur yang termasuk dalam kecamatan Pasar Minggu, sebelah selatan adalah kelurahan Pondok Labu yang berbatasan dengan kecamatan Limo dan sebelah barat berbatasan dengan kali grogol yang termasuk dalam kecamatan Kebayoran Lama.1

Jumlah penduduk Kecamatan Cilandak, dari per-kelurahan. Tabel. 1

NO NAMA KELURAHAN JUMLAH PENDUDUK

Laki-laki dan Perempuan LUAS WILAYAH

1 Gandaria Selatan 16.378 180,00

2 Cipete Selatan 20.481 237,75

3 Cilandak Barat 57.608 608,60

4 Lebak Bulus 21.154 411,10

5 Pondok Labu 37.405 391,10

Sumber : Laporan SuDin Kependudukan Kec. Cilandak

1


(1)

70 BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari uraian di atas, pencatatan dan pengawasan tanah wakaf yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Proses pencatatan tanah wakaf di KUA Kecamatan Cilandak sudah berjalan cukup baik sesuai dengan syari’ah dan perundang-undangan yang berlaku walaupun belum maksimal, ini dikarenakan :

a. Faktor penunjang karena adanya penyuluhan-penyuluhan dari Departemen Agama (Direktorat Zakat dan Wakaf) sehingga timbullah kesadaran kepada para wakif untuk mencatatkan tanah wakaf yang diwakafkannya agar dikemudian hari tidak ada persengketaan terhadap tanah wakaf tersebut.

b. Faktor penunjang lainnya karena adanya himbauan dari para Ulama di masjid-masjid, majelis taklim atau pada acara-acara tertentu untuk mendayagunakan tanah wakaf, selain itu pula karena dukungan moril dan materil yang besar dari masyarakat dalam pengurusan tanah wakaf terutama dalam hal pemeliharaannya.

c. Faktor penghambatnya adalah karena sedikitnya nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf (satu orang nadzir dalam satu tanah wakaf), kurangnya


(2)

71

pengetahuan nadzir mengenai perwakafan, dan lambannya proses pensertifikatan tanah wakaf yang dilakukan oleh BPN sebagai institusi yang mengeluarkan sertifikat tanah wakaf.

2. Kebijaksanaan kepala KUA dalam hal pengawasan dan pengelolaan tanah wakaf ini melalui penyuluhan di masjid-masjid agar tujuan wakaf dari wakif tercapai serta tidak adanya penyimpangan dari tugas nadzir atas pemeliharaan dan pengelolaan tanah wakaf tersebut, selain itu pula kepala KUA menyarankan agar tanah wakaf yang belum disertifikatkan agar secepatnya disertifikatkan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya persengketaan tanah wakaf tersebut dikemudian hari, dan langkah selanjutnya adalah melakukan pembinaan kepada para nadzir dan mengutus salah seorang nadzir dari Kelurahan di Kecamatan Cilandak untuk mendapatkan penataran tentang pengelolaan tanah wakaf di Departemen Agama.

Dalam hal pengelolaan dan pengawasan yang dilakukan oleh nadzir dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah sangat penting dan harus dilakukan secara efektif untuk melindungi harta wakaf dari kepunahannya dan harus diusahakan kekekalannya sesuai dengan fungsi wakaf itu sendiri.

Tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada nadzir dan aparat pemerintahan ini dalam hal perwakafan secara hakiki merupakan amanah yang sangat mulia serta luhur dari Allah SWT. Untuk itu sudah sepantasnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.


(3)

Pengawasan terhadap perwakafan sebenarnya tidak diperintahkan di dalam al-Qur’an, namun untuk menjaga serta memelihara perwakafan sebagai amal yang sangat mulia serta dengan adanya penjagaan dan pengawasan tersebut mencegah kerusakan akibat penyimpangan dari pelaksanaannya. Hal ini sesuaidengan kaidah Ushul Fiqih “ Darul Mafasid Muqaddamun ‘Ala Jalbil Mashalihi (menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan).


(4)

73

B. SARAN-SARAN

1. Dalam hal pengelolaan tanah wakaf hendaklah diusahakan menggunakan sistem manajemen, sehingga dapat mendekati hasil yang baik dalam mewujudkan tujuan dari wakaf itu sendiri. Karena apabila sistem pengelolaannya sudah baik, maka tidak menutup kemungkinan nadzir mau melaporkan apa yang telah dikelolanya. Dengan sistem manajemen tersebut setidaknya dapat diketahui seberapa jauh pengelolaan yang telah dilakukan dalam mencapai tujuan dari wakaf tersebut.

2. Wakif jika masih hidup hendaknya turut mengawasi tugas nadzir dan juga memfasilitasi nadzir dalam melakukan pengelolaan tanah wakaf tersebut. Fasilitas itu berupa sumbangan materi yang sangat dibutuhkan oleh nadzir yang mengurusi wakaf yayasan yang dikelola dalam bentuk lembaga pendidikan.

3. Bagi kalangan akademisi hendaklah turut andil memberikan sumbangan pikiran kepada nadzir wakaf agar tujuan wakaf tersebut dapat terlaksana dan juga menghasilkan materi yang output-nya untuk pengembangan lebih lanjut. 4. Bagi PPAIW Kecamatan Cilandak Kota Jakarta Selatan hendaklah lebih rajin

lagi dalam melakukan pengawasannya, selain itu pula dapat memberikan penyuluhan kepada nadzir wakaf agar tujuan dari wakaf tersebut dapat tercapai dan akan adanya penngkatan lebih lanjut terutama dapat menghasilkan nilai ekonomis.


(5)

74

Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita,Bandung : Alumni 1979

Arikunto, Suharsimi, Prof, Dr, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1998, Cet.II, Edisi Revisi IV

Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Islam Tentang Wakaf, Bandung : Ijarah Syirkah Al-Maarif, 1987

Daud Ali, Muhammad,Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,Jakarta : UI Press, 1998 Hasanah, Uswatun, Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf, Makalah

disampaikan pada acara penataran peningkatan kualitas nadzir, di Kanwil Propinsi DKI Jakarta, 9 Oktober 2003

Ichsan, Ahmad,Dunia Usaha Indonesia,Jakarta : Pradya Paramita 1987

Jawad Mughniyah, Muhammad,Fiqih Lima Mazhab,Jakarta : Basril Press, 1994, Cet.II Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan

Perkembangannya,Jakarta : Yayasan Tiara, 1993

Kuntjoro Jakti, Dorojatun,Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang,Jakarta : LP3S 1987

Laporan keadaan tanah wakaf di KUA Kecamatan Cilandak tahun 2009 Laporan Tahunan Desember 2009 Kecamatan Cilandak

Mudhofir, Prinsip-prinsip Pengelolaan Pusat Sumber Belajar, Bandung : Remaja Karya 1986

Muslim, Abu Husain, Ibn Al-Hajjaj Al-Qusairy An-Nisaiburi, Shahih Muslim, Damaskus : Daarul Fiqr, t. Th.


(6)

75

Pardomuan, Hotman, Perwakafan Tanah Milik Dalam Perspektif Hukum Tanah Nasional, Makalah Seminar Peningkatan Kualitas Nadzir, Jakarta, 9 Oktober 2003. Penulis adalah pejabat BPN Sie. Penyelesaian Masalah Pertanahan Kanwil BPN DKI Jakarta. Sabiq, Sayid,Fiqih Sunnah,Bandung : Al-Ma’arif, 1987, Juz4