Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan Dan Fungsi Wakaf

15

BAB II PERWAKAFAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan Dan Fungsi Wakaf

1. Pengertian Wakaf Kata wakaf berasal dari bahasa Arab ﻒﻗو yang menurut lughah ﺋﺎﻗ ماد ﻦﻜﺳو ﻢ selalu berdiri di tempat dan tenang, kata wakaf tersebut berarti berdiri yang disamakan dengan kata مﺎﻗ . Kata ﻒﻗو kata benda abstrak mashdar atau kata kerja fi’il و ﻒﻘﯾ ﻒﻗ yang dapat berfungi sebagai kata kerja intransitif fi’il lazim atau transitif fi’il muta’addi. Akan tetapi, pengertian yang dipakai dalam tulisan ini ialah kata wakaf dari bentuk transitif. Dari kata ﻒﻗو tersebut kemudian muncullah istilah yang umum, yaitu ﻒﻗﻮﻟا . Selanjutnya dari kata asal itu pula kita temui arti ﺲﺒﺤﻟا penahanan. ﻒﻗﻮﻟا wakaf bila dijamakkan menjadi ﻒﻗوا dan فﻮﻗو , sedangkan kata kerjanya fi’il adalah ﻒﻗو , hal ini menutur kata kitab Tadzkirah karya Allamah Al-Hilli. Menurut arti bahasanya, wakaf berarti menahan atau mencegah, misalnya ﺮﯿﺴﻟا ﻦﻋ ﺖﻔﻗو saya menahan diri dari berjalan. 1 1 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : Basril Press, 1994, Cet. II, h. 383 Dalam istilah syara’, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan hak pemilikan asal ﺲﯿﺒﺤﺗ ﻞﺻﻷا , lalu menjadikannya sebagai barang yang diwakafkan dan tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk jual beli, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan dan sejenisnya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Suhadi, wakaf adalah pemisahan suatu harta benda. Pemisahan benda itu ditarik dari benda milik perorangan dialihkan penggunaannya kepada jalan kebaikan yang diridhai Allah SWT, sehingga benda-benda tersebut tidak boleh dihutangkan, dikurangi atau dilenyapkan. 2 Begitu juga dalam Ensiklopedi Islam 1994 : 168 disebutkan bahwa, wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, yang digunakan untuk kepentingan umum di jalan Allah SWT. 3 Ahmad Azhar Basyir menyebutkan bahwa, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk 2 Imam Suhadi, Hukum Wakaf Di Indonesia, Jakarta : Dua Dimensi, 1985, h. 31 3 Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung : Al-Ma’arif, 1987, Juz 4, h. 148 penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapat keridhaan Allah SWT. 4 Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal bahwa wakaf adalah menahan sesuatu, baik dalam pengertian konkrit maupun abstrak, yakni wakaf dalam pengertian sesuatu yang ditahan. Pengertian yang dikemukakan para Fuqaha Pakar Hukum Islam tidaklah sama. Abdullah Ibn Qudamah dari Mazhab Hambali mendefinisikan wakaf sebagai berikut : þ ﻤﻟا ﻞﯿﺒﺴﺗو ﻦﯿﻌﻟا ﺲﯿﺒﺤﺗ Artinya : “ Menahan pokoknya dan menggunakan manfaatnya “ 5 Sementara Syafi’iyah mendefinisikan wakaf sebagai berikut : حﺎﺒﻤﻟا فﺮﺼﻣ ﻰﻠﻋ ﮫﺘﺒﻗ ﻲﻓ فﺮﺼﺗ ﻊﻄﻘﺑ ﮫﻨﯿﻋ ءﺎﻘﺑ ﻊﻣ ﮫﺑ عﺎﻔﺘﻧﻻا ﻦﻜﻤﯾ لﺎﻣ ﺲﺒﺣ Artinya : “ Menahan suatu benda yang dapat dimanfaatkan, sementara pokoknya tidak hilang karena diambil kegunaan dan manfaatnya, sepanjang penggunaan itu dibolehkan menurut hukum “ Jumhur ulama, yakni mayoritas pakar hukum Islam, dan dua tokoh Hanafiyah, Abu Yusuf dan Muhammad, sebagaimana dikutip Abdul Wahab Khallaf, mengemukakan bahwa wakaf adalah : 4 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Bandung : Ijarah Syirkah Al-Maarif, 1987, h. 5 5 Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan Perkembangannya, Jakarta : Yayasan Tiara, 1993, h. 50 و سﺎﻨﻟا ﻦﻣ ﺪﺣﻻ ﺔﻛﻮﻠﻤﻣ نﻮﻜﺗ ﻦﻋ ﻦﯿﻌﻟا ﺲﺒﺣ ﻮھ ﻒﻗﻮﻟا ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا ﻚﻠﻣ ﻢﻜﺣ ﻰﻠﻋ ﺎﮭﻠﻌﺟ لﺎﻤﻟاو لﺎﺤﻟا ﻲﻓﺮﯿﺨﻟا تﺎﮭﺟ ﻦﻣ ﺔﮭﺟ ﻰﻠﻋﺎﮭﻌﯾﺮﺑ قﺪﺼﺘﻟاو Artinya : “ Wakaf adalah menahan benda untuk tidak dimiliki oleh seseorang serta menjadikannya dalam status milik Allah SWT, serta mensedekahkan manfaatnya untuk berbagai bentuk kebajikan, baik kebajikan duniawi maupun ukhrowi “ 6 Definisi-definisi di atas, memiliki unsur perbedaan dan unsur persamaan. Unsur-unsur persamaan definisi tersebut, antara lain adalah : a. Bahwa benda yang diwakafkan itu hendaklah bernilai ekonomis serta statusnya berubah ke dalam status wakaf. b. Penggunaan wakaf diperuntukkan bagi kepentingan yang diperbolehkan hukum. c. Definisi itu menggunakan terminologi habs, yakni satu kata yang digunakan dalam hadis yang menjadi dasar hukum wakaf, seperti dalam hadis Ibn Umar. Perbedaan definisi tersebut kiranya berlatar belakang konsepsi masing- masing tentang wakaf itu. Definisi pertama nampaknya merupakan pengulangan sabda Nabi. Definisi kedua lebih luas dari definisi pertama karena mengandung kualifikasi objek dari wakaf itu sambil menekankan nilai penggunaannya yang mesti sesuai dengan nilai ajaran yang terkandung didalamnya, yakni nilai agamisnya. Sementara definisi ketiga lebih 6 Ibid , Juhaya S. Praja,. menekankan perubahan status benda wakaf yang berpindah kepada status milik Allah dari status milik perorangan. Disamping itu definisi inipun mengandung aspek waktu yang berarti bahwa perbuatan hukum itu dapat diperlukan seketika maupun bertempo. 2. Rukun Dan Syarat Wakaf Uraian di atas membuka jalan untuk menganalisa perbedaan wakaf secara konsepsional diantara definisi yang dikemukakan oleh para pakar hukum Islam. Namun demikian kriteria yang disepakati untuk mengukur keabsahan perbuatan hukum berkaitan erat dengan rukun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk itu, sebagaimana dinyatakan : را ﻊﻤﺘﺟااذﺎﻣ تﻼﻣﺎﻌﻤﻟاو تادﺎﺒﻌﻟا ﻲﻓ ﺢﯿﺤﺼﻟا ﻢﻜﺤﻟا ﻖﺣ ﻲﻓاﺮﺒﺘﻌﻣ نﻮﻜﯾ ﻰﺘﺣ ﮫﻃءاﺮﺷو ﮫﻧﺎﻛ Artinya : “ Sesungguhnya perbuatan hukum yang sah dalam bidang ibadah dan muamalah itu ialah apabila telah terpenuhi rukun-rukun dan syariatnya sehingga perbuatan hukum itu dianggap benar menurut hukum “ Rukun dan Syarat dalam penyelenggaraan wakaf insya al-waqf menurut hukum Islam adalah : a. Wakif pihak yang menyerahkan wakaf Para ulama Mazhab sepakat bahwa akal sehat merupakan syarat bagi sahnya melakukan wakaf. Selain itu mereka juga sepakat bahwa baligh merupakan persyaratan lainnya. Ditambah lagi dengan syarat orang yang merdeka bukan budak dan memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum atas harta. 7 b. Mauquf barang yang diwakafkan Para ulama Mazhab sepakat bahwa, disyaratkan untuk barang yang diwakafkan itu persyaratan-persyaratan yang ada pada barang yang dijual, yaitu bahwa barang tersebut merupakan sesuatu yang konkrit, yang merupakan hak milik orang yang mewakafkannya. Para ulama Mazhab juga sepakat bahwa dalam wakaf tersebut disyaratkan adanya kemungkinan memperoleh manfaat dari barang yang diwakafkannya itu, dengan catatan bahwa barang itu sendiri tetap adanya. Para ulama juga sepakat tentang kebolehan wakaf dengan barang-barang yang tidak bergerak, misalnya : tanah, rumah dan kebun. Mereka juga sepakat, kecuali Hanafi, tentang sahnya wakaf dengan barang-barang bergerak, seperti binatang dan sumber pangan manakala manfaatnya bisa diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri. Para ulama mazhab sepakat pula tentang keabsahan mewakafkan sesuatu dengan ukuran yang berlaku di masyarakat, misalnya : sepertiga, separuh dan seperempat, kecuali pada masjid dan kuburan. 8 7 Ibid , Juhaya S. Praja, h. 54 8 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 397 c. Mauquf ‘Alaih tujuan wakaf Tujuan wakaf dalam tujuan itu tercermin yang menerima hasil wakaf atau mauquf ‘alaih harus jelas, misalnya 1 untuk kepentingan umum, seperti : mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit dan amal-amal sosial lainnya. Dapat pula ditentukan tujuannya 2 untuk menolong fakir miskin, orang-orang terlantar dengan jalan membangun panti asuhan. Dapat pula disebutkan tujuan wakaf itu 3 untuk keperluan anggota keluarga sendiri, walaupun misalnya anggota keluarga itu sendiri dari orang-orang yang mampu. Namun yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas diperuntukkan bagi kepentingan umum dan kemaslahatan masyarakat. 9 Sebagimana diungkapkan oleh para ulama, bahwa wakaf dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1 Wakaf Ahli, yakni wakaf yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, dan 2 Wakaf Khairi, yakni wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf Khairi inilah yang sejalan benar dengan jiwa amalan wakaf yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir. Dilihat dari kedua macam tujuan wakaf ini, maka orang yang menerima wakaf orang yang berhak memelihara barang yang diwakafkan dan memanfaatkannya disyaratkan sebagai berikut : 9 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1998, h. 86 a Hendaknya orang yang diwakafi tersebut ada ketika wakaf itu terjadi. Kalau dia belum ada, misalnya mewakafkan sesuatu pada orang yang akan dilahirkan maka menurut Imamiyah, Syafi’i dan Hambali wakaf tersebut tidak sah, namun menurut Maliki adalah sah. Para ulama Mazhab sepakat bahwa, wakaf terhadap orang yang belum ada tapi merupakan kelanjutan dari orang yang sudah ada adalah sah. Misalnya, mewakafkan kepada anak-anaknya dan keturunan mereka yang akan lahir. Sedangkan wakaf kepada anak yang ada dalam kandungan menurut Syafi’i, Imamiyah dan Hambali adalah tidak sah, sebab ia belum mempunyai kelayakan untuk memiliki kecuali sesudah dilahirkan dalam keadaan hidup. b Hendaknya orang yang menerima wakaf itu mempunyai kelayakan untuk memiliki. c Hendaknya jelas orangnya dan bukan tidak diketahui. Jadi, jika tanpa disebutkan secara jelas siapa orang yang menerima wakaf tersebut, maka batallah wakafnya. d Hendaknya sesuatu yang diwakafkan tersebut bukan merupakan maksiat kepada Allah SWT, seperti tempat pelacuran, perjudian dan tempat-tempat maksiat lainnya. Adapun wakaf kepada non muslim, seperti orang Dzimmi, disepakati oleh para ulama Mazhab adalah sah. Ini sesuai dengan Firman Allah SWT : ﻢھوﺮﺒﺗ نا ﻢﻛرﺎﯾد ﻦﻣ ﻢﻛﻮﺟﺮﺧاو ﻦﯾﺪﻟا ﻲﻓ ﻢﻛﻮﻠﺗﺎﻘﯾ ﻢﻟ ﻦﯾ ﺬﻟا ﻦﻋ ﷲا ﻢﻛﺎﮭﻨﯾﻻ ﻟا اﻮﻄﺴﻘﺗو : ﺔﻨﺤﺘﻤﻤﻟا ﻦﯿﻄﺴﻘﻤﻟا ﺐﺤﯾ ﷲا نا ﻢﮭﯿ ۸ Artinya: “ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu “ QS. Al-Mumtahanah : ayat 8 d. Sighat Pernyataan wakaf Seluruh ulama Mazhab sepakat bahwa wakaf terjadi dengan menggunakan redaksi waqaftu saya mewakafkan, sebab kalimat ini menunjukkan pengertian wakaf yang sangat jelas, tanpa perlu adanya petunjuk-petunjuk tertentu, baik dari segi bahasa, syara’maupun tradisi. Sebenarnya wakaf bisa terjadi dengan semua kalimat yang menunjukkan maksud tersebut, bahkan dengan bahasa asing sekalipun, sebab bahasa dalam konteks ini adalah sarana untuk mengungkapkan maksud. Sighat pernyataan wakaf ini dapat dilakukan dengan lisan, tulisan atau isyarat yang dapat memberi pengertian wakaf. Lisan dan tulisan dapat dipergunakan oleh orang yang tidak bisa menggunakan cara lisan atau tulisan. Hal ini dimaksudkan agar pernyataan wakaf benar-benar dapat diketahui dengan jelas, untuk menghindari kemungkinan terjadinya persengketaan dikemudian hari. Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua Mazhab sebagai ‘akad tabarru ; yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qabul dari pihak penerima dan dicukupkan dengan ijab si wakif. Para fuqaha mensyaratkan tiga syarat ikrar wakaf, yaitu : a Ikrar itu tidak terikat oleh sesuatu yang tidak ada ketika ikrar itu dinyatakan si wakif. b Ikrar itu tidak disertai dengan syarat-syarat yang tidak sesuai dengan syariat. c Ikrar itu tidak disertai dengan pembatasan waktu. Sehubungan dengan syarat yang pertama, para fuqaha memperkenalkan tiga jenis ikrar, yaitu : Munjiz, Mudlafat dan Mu’allaqat. Ikrar Munjiz ialah ikrar yang menyatakan bahwa wakaf itu terjadi dan sah menurut hukum seketika ikrar tersebut dinyatakan oleh si wakif. Ikrar Mudlafat ialah ikrar yang menyatakan terjadinya wakaf tetapi wakaf itu tidak langsung berlaku sesuai ikrar wakaf yang dinyatakan oleh is wakif, wakaf itu baru berlaku beberapa saat kemudian. Ikrar Mu’allaqat ialah ikrar wakaf yang dikaitkan dengan keadaan tertentu yang dapat mempengaruhi ada dan tidak adanya wakaf itu. Keabsahan dua jenis ikrar yang pertama disetujui oleh para fuqaha, sementara ikrar yang ketiga diperselisihkan. Hanabilah mengakui ikrar jenis ketiga, hanya jika dihubungkan dengan kematian si wakif. Sedangkan untuk sah-nya amalan wakaf, diperlukan syarat sebagai berikut: a. Wakaf itu tidak dibatasi dengan waktu tertentu, sebab amalan wakaf berlaku untuk selamanya. b. Tujuan wakaf harus jelas. c. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan tanpa digantungkan kepada akan terjadinya sesuatu peristiwa di masa yang akan datang, sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan wakaf. Berbeda halnya bila wakaf digantungkan dengan kematian si wakif, yang dalam hal ini berlaku hukum wasiat. d. Wakaf merupakan hal yang mesti dilaksanakan tanpa syarat boleh memilih membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan, sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya. 3. Tujuan Dan Fungsi Wakaf Tujuan wakaf menurut hukum Islam, difahamkan dari hadis Ibn Umar: “Ia menyedekahkan hasil hartanya itu kepada orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, digunakan pada jalan Allah, orang terlantar dan tamu ”. Dari hadis di atas dipahami ada dua macam tujuan wakaf, yakni : 1 untuk mencari keridhaan Allah SWT, dan 2 untuk kepentingan masyarakat. Perbedaan sasaran wakaf atau peruntukkan wakaf diantara ulama Mazhab adalah hal yang tak terelakkan. Perbedaan ini pada hakikatnya diawali dengan perbedaan konsepsi wakaf itu sendiri. Malikiyah menganggap wakaf itu sah bila dikaitkan dengan aqidah, dalam arti tujuan wakaf untuk syiar agamanya. Akibatnya, wakaf muslim dan non muslim untuk syiar agamanya adalah sah, sementara Syafi’iyah dan Hanabilah memandang wakaf untuk kepentingan ibadah dan umum, maka wakaf non muslim yang ditujukan untuk kemaslahatan umum adalah sah sepanjang sesuai dengan kepentingan Islam. Sedangkan Hanafiyah menyatakan tidak sah. Fungsi wakaf menurut hukum Islam adalah memperoleh manfaat dari benda wakaf tersebut sesuai dengan tujuannya. Dalam hal ini wakaf untuk selama-lamanya terdapat perbedaan pendapat diantara ulama Mazhab. Para ulama Mazhab kecuali Malik berpendapat, bahwa selama-lamanya merupakan syarat sahnya wakaf walaupun tidak disebutkan syarat selama-lamanya oleh wakif. Dasar pendapat mereka ialah hadis Ibnu Umar yang menyatakan, bahwa harta wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan juga tidak boleh diwariskan. Menurut Malik wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk waktu tertentu, misalnya untuk waktu setahun dan setelah itu kembali kepada pemiliknya semula. Dasar pendapat Malik adalah sesuai dengan dzahir hadis Ibnu Umar, maka wakaf itu semacam sedekah, setiap sedekah boleh terbatas waktunya dan boleh pula tidak terbatas waktunya.

B. Macam-macam Harta Wakaf