31
BAB III PERWAKAFAN MENURUT PP NOMOR 28 TAHUN 1977
A. Pengertian, Rukun, Syarat, Tujuan dan Fungsi Wakaf Menurut PP Nomor
28 Tahun 1977
1. Pengertian Wakaf
Pengertian mengenai wakaf menurut hukum positif dapat dijumpai dalam PP No. 28 Tahun 1977, Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang
“Wakaf” dan dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, buku Ketiga.
Pengertian wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977, disebutkan di dalam Bab I pasal 1 ayat 1 : Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dan pengertian wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat di dalam buku III Bab I pasal 215 ayat 1 : Wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya
guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan pengertian wakaf dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat 1 : Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan danatau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah danatau kesejahteraan umum menurut syariat.
Definisi wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang- undang No. 41 Tahun 2004 diatas lebih umum dari definisi dalam PP
No.28 Tahun 1977, yang lebih cenderung memperhatikan aspek kesejarahan dan kenyataan empirik yang hidup dalam masyarakat
Indonesia serta pertimbangan pelaksanaannya. Disamping itu, corak Syafi’iyyah pun masih nampak, yakni mazhab yang dianut oleh mayoritas
umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya hukum wakaf tersebut, maka wakaf dibatasi hanya pada wakaf tanah milik.
Definisi wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam lebih menekankan sosialisasi hukum perwakafan bagi umat Islam di Indonesia serta
mencerminkan suatu keinginan untuk menerapkan definisi tersebut secara bertahap. Bahkan lebih penting lagi, Kompilasi Hukum Islam dan PP No.
28 Tahun 1977 mempunyai suatu kecenderungan yang menuju kepada
pembentukan hukum Islam yang khas Indonesia yang dapat kita sebut Fiqh Indunisiyy.
1
Unsur pembaharuan hukum Islam dalam wakaf ini adalah adanya unsur
kelembagaannya. Padahal
pengertian wakaf
sebagaimana dikemukakan oleh para pakar hukum Islam tidak mengandung makna
pembentukan kelembagaannya itu, melainkan hanya mengandung dua aspek yang terdapat dalam kata Habbasa dan Tashaddaqta. Ungkapan
pertama menunjukkan aspek yang bersifat pasif, dimana si pemilik harta membatasi diri dari perbuatan hukum tertentu terhadap hartanya tanpa
penegasan apakah harta tersebut terlepas dari kekuasaannya hak miliknya atau tidak. Sedangkan ungkapan kedua menunjukkan aspek yang bersifat
positif, dimana si pemilik harta mensedekahkan manfaat harta tersebut. 2.
Rukun Dan Syarat Wakaf Rukun dan Syarat wakaf menurut hukum positif, adalah sebagai berikut :
a. Wakif orang yang mewakafkan
PP No. 28 Tahun 1977 Bab I pasal 1 ayat 2, menyebutkan bahwa : Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum
yang mewakafkan tanah miliknya. Sebagaimana disebutkan juga dalam PMA No. 1 Tahun 1978 Bab I pasal 1 sub c. Sedangkan
menurut UU No. 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat 2 dan Kompilasi
1
Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, Jakarta : Yayasan Tiara, 1993, h. 52
Hukum Islam Bab I pasal 215 ayat 2, yang berbunyi : Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan
benda miliknya. Karena mewakafkan itu merupakan perbuatan hukum, maka wakif haruslah orang atau orang-orang ataupun badan hukum
yang memenuhi syarat untuk melakukan tindakan hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam PP No. 28 Tahun 1977 pasal 3 ayat 1,
yang berbunyi : “Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang
telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa
paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pasal di atas tersebut dijelaskan secara rinci di dalam penjelasan PP No. 28 Tahun 1977, sebagai berikut : pencantuman
secara terperinci syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menghindari tidak sahnya perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern
cacat atau kurang sempurna cara berfikir maupun faktor ekstern karena merasa dipaksa oleh orang lain.
Ketentuan-ketentuan tersebut juga berlaku bagi yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan dengan penyesuaian
persyaratan seperlunya sesuai dengan persyaratan subyek hukum tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan hukum Indonesia yang dapat menjadi wakif adalah badan hukum yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan dalam
PP No. 28 Tahun 1977, yaitu badan-badan hukum yang mempunyai hak milik atas tanah. Badan-badan hukum yang dimaksud disini
adalah : 1 Bank Negara, 2 Perkumpulan Koperasi Pertanian, 3 Badan Keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri.
b. Barang yang diwakafkan
Yang dapat dijadikan benda wakaf mauquf bih, menurut PP No.28 Tahun 1977 pasal 4 adalah sebagai berikut : “Tanah
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan,
sitaan dan perkara”. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 Bab I pasal 1 menyebutkan : “Tanah yang diwakafkan harus
merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang baik seluruhnya maupun sebagian harus bebas dari beban ikatan, jaminan, sitaan dan
sengketa”. Sedangkan menurut UU No . 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1 ayat
5 dan Kompilasi Hukum Islam Bab I pasal 215 ayat 4
menyebutkan : “benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali
pakai dan bernilai ekonomis menurut ajaran Islam”. Dijelaskan pula lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 217 ayat 3
yang berbunyi : “benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat 4 harus merupakan benda milik yang bebas dari segala
pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa”. Kemudian dijelaskan kembali dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 223 ayat 4 huruf b dan
c sebagai berikut : “jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari kepala desa yang
diperkuat oleh camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud”.
Sedangkan bunyi pasal huruf c adalah sebagai berikut : “surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak
bergerak yang bersangkutan”. Sebagaimana telah dijelaskan pasal demi pasal mengenai benda wakaf, PP No. 28 Tahun 1977
menyebutkan bahwa benda wakaf itu hanya tanah milik saja. Sedangkan menurut UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum
Islam benda wakaf itu mencakup benda bergerak yang harus disertai surat-surat dan dokumen yang merupakan kelengkapan dari benda
tersebut. Dalam hal ini, antara PP No.28 Tahun 1977 dengan Kompilasi Hukum Islam mengenai benda wakaf mempunyai maksud
yang sama, yaitu untuk menghindari sengketa dikemudian hari. c. Tujuan wakaf mauquf ‘alaih
Tujuan wakaf tidak disebut secara rinci dalam PP No.28 Tahun 1977, hal tersebut hanya dinyatakan sepintas lalu dalam rumusan
pengertian wakaf, yaitu pada pasal 1, kemudian disebut dalam pasal 2 ketika menegaskan mengenai fungsi wakaf, begitu pula halnya dengan
pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004, dan pasal 215 dan pasal 216 Kompilasi Hukum Islam mengenai pengertian dan fungsi wakaf.
Menurut PP No. 28 Tahun 1977, UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum Islam, tujuan perwakafan adalah untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya. Hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam. Untuk melestarikan tujuan tersebut, maka harus
adanya pengelolaan yang baik yang dilakukan oleh nadzir, yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan-
pemeliharaan dan pengurusan benda-benda wakaf tersebut agar manfaatnya dapat kekal dinikmati oleh masyarakat. Oleh karena itu
pula, dalam sistem perwakafan ini tujuan wakaf yang merupakan unsur atau rukun dalam fiqih tradisional digantikan tempatnya oleh
nadzir agar wakafnya itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hak dan kewajiban nadzir tersebut secara rinci dalam PP No.28 Tahun
1977, UU No. 41 Tahun 2004, Kompilasi Hukum Islam dan PMA No. 1 Tahun 1978 dengan segala peraturan pelaksanaannya. Menurut PP
No. 28 Tahun 1977 pasal 1 ayat 4, disebutkan bahwa : “Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf”. Begitu juga yang disebutkan dalam PMA No. 1 huruf e, dan yang disebutkan dalam UU
No. 41 Tahun 2004 pasal 1 ayat 4 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat 5. Yang dimaksud dengan kelompok orang disini adalah
yang merupakan satu kesatuan atau merupakan pengurus dari benda wakaf tersebut. Jadi bukan seorang, sebagaimana dimungkinkan dalam
fiqih tradisional. Hal ini mungkin dimaksudkan agar pengurusan harta wakaf dapat dilakukan secara lebih baik oleh kumpulan orang yang
dapat saling mengawasi dan menghindari terulangnya kejadian dimasa lampau, dimana banyak harta wakaf yang hilang status hukumnya
dengan menjadi milik perorangan nadzir wakaf tersebut. Dalam hukum fiqih tradisional, nadzir tidak termasuk ke dalam rukun unsur-
unsur wakaf. Seseorang bisa saja menjadi nadzir, jika si wakif menunjuknya untuk menjadi nadzir. Para ahli hukum fiqih Islam
fuqaha, berpendapat bahwa nadzir tidak harus orang lain atau kelompok orang, tetapi wakif dapat menunjuk sendiri seseorang untuk
menjadi nadzir dari harta yang diwakafkannya itu.
2
Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan nadzir seperti yang terdapat dalam hukum positif
merupakan pengembangan dari hukum fiqih Indonesia. PP No. 28 Tahun 1977 pasal 6 ayat 1 dan 2 menyebutkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir, baik nadzir perorangan maupun nadzir yang berbentuk badan hukum agar dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Bunyi dari pasal 6 ayat 1 adalah : “Nadzir
2
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1998, h. 112
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal 1 yang terdiri dari perorangan, maka harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1 Warganegara Republik Indonesia 2 Beragama Islam
3 Sudah dewasa 4 Sehat jasmani dan rohani
5 Tidak berada dibawah pengampuan 6 Bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan Sedangkan bunyi pasal 6 ayat 2, jika nadzir tersebut
berbentuk suatu badan hukum, maka harus memenuhi persyaratan berikut :
1 Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia 2 Mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan Mengenai persyaratan nadzir ini juga disebutkan di dalam UU
No. 41 Tahun 2004 pasal 10 ayat 1, 2 dan 3, dan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 219 ayat 1 dan 2, yang
menyatakan bahwa : Nadzir wakaf, baik perorangan maupun badan hukum harus terdaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat untuk mendapatkan pengesahan dari Kepala KUA Kecamatan yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
PPAIW. Pendaftaran tersebut dimaksudkan untuk menghindari perbuatan perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang
ditetapkan, dan juga untuk memudahkan dalam pengawasan. Hal ini disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977 pasal 6 ayat 3 yang
berbunyi : “Nadzir yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 harus di daftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah
mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapat pengesahan”. Sedangkan tentang banyaknya jumlah nadzir
ditentukan dalam PP No. 28 Tahun 1977 pasal 6 ayat 4, yang berbunyi : “Jumlah nadzir yang diperbolehkan untuk suatu daerah
seperti dimaksud dalam ayat 3 ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan”. Penetapan Menteri Agama itu tercantum
dalam PMA No. 1 Tahun 1978 Bab IV pasal 8 ayat 1, yang berbunyi: Nadzir yang terdiri dari perorangan harus merupakan suatu
kelompok yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang dan salah seorang diantaranya sebagai ketua.
Kemudian dalam PMA ini diperjelas lagi oleh pasal 9 ayat 1, 2 dan ayat 3, yang berbunyi :
1 Jumlah nadzir perorangan dalam satu Kecamatan ditetapkan sebanyak-banyaknya sejumlah desa yang terdapat di Kecamatan
tersebut. 2 Jumlah nadzir perorangan dalam satu desa ditetapkan satu nadzir.
3 Jika nadzir berbentuk badan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 2 PP No. 28 Tahun 1977, maka jumlah nadzir
ditentukan sebanyak badan hukum yang ada di Kecamatan tersebut.
Masalah nadzir inipun dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 219 ayat 5, yang berbunyi : Jumlah nadzir yang
diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud pasal 215 ayat 5 sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-
banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
Masa kerja nadzir perorangan tidaklah mutlak seumur hidup, sebagaimana diatur dalam PMA No. 1 Tahun 1978 Bab IV pasal 8
ayat 2, yang berbunyi : Seorang anggota nadzir berhenti dari jabatannya apabila :
1 Meninggal dunia 2 Mengundurkan diri
3 Dibatalkan kedudukannya sebagai nadzir oleh kepala KUA karena :
a Tidak memenuhi syarat, seperti diatur dalam pasal 6 ayat 1 PP No. 28 Tahun 1977
b Melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatannya sebagai nadzir
c Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir Dalam UU No. 41 Tahun 2004 juga disebutkan mengenai
masalah ini, yaitu pada pasal 45 ayat 1 yang berbunyi : 1 Meninggal dunia bagi nadzir perorangan
2 Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk nadzir organisasi atau
nadzir badan hukum 3 Atas permintaan sendiri
4 Tidak melaksanakan tugasnya sebagai nadzir danatau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku
5 Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Dan juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 221 ayat 1 yang berbunyi :
Nadzir diberhentikan oleh kepala KUA Kecamatan karena : 1 Meninggal dunia
2 Atas permohonannya sendiri 3 Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir, dan
4 Melakukan suatu kejahatan sehingga di pidana
Sedangkan untuk kelanjutannya dijelaskan pula dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 221 ayat 2, yang berbunyi : “bilamana terdapat lowongan jabatan nadzir karena salah satu alasan
sebagaimana tersebut dalam ayat 1, maka penggantinya diangkat oleh kepala KUA Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan
dan Camat setempat”. Dan ayat 3 dari pasal 221 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “seorang nadzir yang telah berhenti,
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sub a, tidak dengan sendirinya diganti oleh salah seorang ahli warisnya”.
Sebagaimana halnya dengan syarat dan susunan nadzir yang tersebut di atas, kewajiban dan hak nadzir ditegaskan dalam PP No. 28
Tahun 1977 yang terinci lebih lanjut dalam PMA No. 1 Tahun 1978, UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum Islam.
d. Ikrar Adapun dimaksud dengan ikrar menurut PP No. 28 Tahun
1977 pasal 1 ayat 3, adalah : “pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya”. Begitu juga halnya yang dinyatakan
dalam PMA No. 1 Tahun 1978. Sedangkan ikrar menurut UU No. 41 Tahun 2004 Bab I pasal 1
ayat 3 dan Kompilasi Hukum Islam Bab I pasal 215, bahwa : “ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif yang diucapkan secara lisan
danatau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan benda miliknya”.
Ikrar wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977 dan PMA No. 1 Tahun 1978 disyaratkan harus dinyatakan secara lisan, jelas dan tegas kepada
nadzir yang telah disahkan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf PPAIW dan 2 orang saksi. Ikrar lisan tersebut kemudian
harus dituangkan dalam bentuk tulisan. Bila seorang wakif tidak mampu menyatakan ikrarnya secara lisan, karena bisu misalnya, maka
ia dapat menyatakan ikrarnya tersebut dengan isyarat. Dan bila wakif tidak dapat hadir dalam upacara ikrar wakaf, maka ikrar tersebut dapat
dibuat secara tertulis dengan persetujuan kepala Kantor Departemen Agama setempat dan dibacakan kepada nadzir dihadapan PPAIW dan
saksi-saksi. Pelaksanaan ikrar wakaf diatur dalam PMA No. 1 Tahun 1978
pasal 2 ayat 1 yang berbunyi : “ikrar wakaf dilakukan secara tulisan”. Sedangkan bunyi dari ayat 2 adalah : “dalam hal wakif tidak
dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag
yang mewilayahi tanah wakaf tersebut”. Masalah ikrar wakaf ini juga dijelaskan dalam UU No. 41 Tahun 2004 pasal 17 dan Kompilasi
Hukum Islam pasal 218. Sebagaimana diuraikan dalam penjelasan PP No. 28 Tahun 1977, bahwa pasal tersebut mengharuskan adanya
perwakafan yang dilakukan secara tertulis, tidak cukup hanya dengan lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik
yang dapat dipergunakan dalam berbagai persoalan, seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub. Direktorat Agraria Kabupaten
Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari mengenai tanah yang diwakafkannya itu.
Untuk keperluan tersebut, maka seseorang yang hendak mewakafkan tanahnya harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan sertifikat
tanah dan surat-surat lainnya yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut. Guna
keperluan tersebut,
maka diperlukan
pejabat-pejabat yang
melaksanakan pembuatan aktanya. e. Saksi
Dalam pasal 9 ayat 4 PP No. 28 Tahun 1977, disebutkan dengan tegas bahwa : “pelaksanaan ikrar wakaf dianggap sah jika
dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 dua orang saksi”. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh UU No. 41 Tahun
2004 pasal 18 dan Kompilasi hukum Islam pasal 223 ayat 3. Dari kedua pasal ini dapat diartikan bahwa kalau ketentuan itu ditafsirkan
secara a Contrarior, maka pelaksanaan ikrar wakaf dianggap tidak sah apabila tidak dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua
orang saksi. Konsekwensinya adalah perwakafan yang dilakukan tanpa dihadiri dan disaksikan oleh dua orang saksi harus dipandang tidak
memenuhi syarat dan karenanya tidak sah dan tidak dilindungi oleh
hukum. Namun tidak semua orang dapat menjadi saksi. Dalam PMA No. 1 Tahun 1978 pasal 4 dijelaskan tentang syarat-syarat seorang
saksi, yang berbunyi : “saksi ikrar wakaf harus telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan
perbuatan hukum”. Syarat ini dipersiapkan untuk menjadi salah satu alat bukti dalam menghadapi sengketa hukum yang terjadi dikemudian
hari walaupun hanya sebagai alat bukti penguat saja, karena akta ikrar wakaf yang dibuat oleh kepala KUA Kecamatan sebagai PPAIW
adalah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Ketentuan tentang adanya saksi dalam perwakafan
merupakan pengembangan hukum fiqih di Indonesia. f.
PPAIW Dalam rangka tertib administrasi kepengurusan tanah wakaf,
maka diperlukan pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan Akta Ikrar Wakaf. PP No. 28 Tahun 1977 pasal 9 ayat 2
menyebutkan : “Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf adalah seperti yang dimaksud dalam ayat 1 diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama”. Dalam PMA No. 1 Tahun 1978 pasal 5 ayat 1, 2 dan ayat 3 disebutkan :
1 Kepala KUA ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf PPAIW
2 Administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
3 Dalam hal suatu Kecamatan tidak ada Kantor Urusan Agamanya, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk kepala KUA terdekat
sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf PPAIW di
Kecamatan tersebut Hal inipun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215
ayat 6 dan 7. Untuk kelancaran pelaksanaan penunjukan pengangkatan tersebut kepada kepala Kantor Wilayah Departemen
Agama Propinsi setingkat di seluruh Indonesia. Dengan adanya keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978, yang diatur dalam
Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1979, maka PPAIW mempunyai tugas dan kewajiban sebagaimana dijelaskan dalam PMA
No. 1 Tahun 1978, yaitu : 1 Meneliti kehendak wakif
2 Meneliti dan mengesahkan nadzir dan anggota nadzir yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 3 dan 4 peraturan ini
3 Meneliti saksi ikrar wakaf 4 Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf
5 Membuat Akta Ikrar Wakaf
6 Menyampaikan Akta Ikrar Wakaf dan selainnya sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 2 dan 3 peraturan ini selambat-
lambatnya dalam waktu satu bulan sejak dibuat 7 Mendaftarkan Akta Ikrar Wakaf
8 Menyimpan dan memelihara akta dan daftarnya 9 Mengurus pendaftaran perwakafan seperti tercantum dalam pasal
10 ayat 1 peraturan ini Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat 6 disebutkan
mengenai kewajiban PPAIW, yaitu : “menerima ikrar wakaf dari wakif dan menyerahkannya kepada nadzir, saksi dan PPAIW”, dan hal
ini merupakan pembaharuan hukum Islam. Dalam hal ini PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik Juncto Inpres No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Bab ketiga mengenai perwakafan telah mengubah tata cara perwakafan, yakni perwakafan
tidak hanya cukup dengan ikrar tanpa catatan-catatan dan tanpa saksi melainkan harus ada kata ikrar wakaf dan harus ada saksi sekurang-
kurangnya dua orang. 3. Tujuan Dan Fungsi Wakaf Menurut PP No. 28 Tahun 1977
Tujuan wakaf dalam PP No. 28 Tahun 1977 tidak disebutkan secara rinci, hanya dinyatakan sepintas lalu dalam rumusan definisi wakaf yaitu
pada pasal 1. Kemudian disebutkan pula dalam pasal 2 ketika menerangkan
fungsi wakaf. Begitu pula dalam Kompilasi Hukum Islam, hanya disebutkan dengan pasal 215 dan 216 mengenai definisi dan fungsi wakaf.
Menurut PP No. 28 Tahun 1977, UU No. 41 Tahun 2004 dan Kompilasi Hukum Islam, tujuan perwakafan adalah untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan fungsi wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1977 pasal 2 adalah
mengekalkan manfaat wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, begitu pula dengan bunyi pasal 216 dari Kompilasi Hukum Islam.
Yang dimaksud dengan tujuan wakaf disini ialah wakaf untuk kepentingan peribadatan dan umum lainnya. Agar wakaf itu dapat berfungsi
sebagaimana mestinya, maka pelembagaannya haruslah untuk selama- lamanya. Syarat pelembagaan untuk selama-lamanya ini merupakan
pengaruh kuat mazhab Syafi’i juga mazhab Hambali, Hanafi dan Zahiri. Selain itu juga harta kekayaan yang dipisahkan haruslah tanah milik.
B. Macam-macam Harta Wakaf Menurut PP No. 28 Tahun 1977