121
Asas kepatutan dituangkan dalam Pasal 1339 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan menurut kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman tentang asas kepatutan adalah “Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang
hubungan ditentukan oleh rasa keadilan dalam masyarakat”.
168
10. Asas Kebiasaan.
Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang intinya menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang menjadi keadaan dan kebiasaan yang diikuti.
169
5. Unsur-Unsur Dari Perjanjian
Perjanjian dapat di rincikan dalam beberapa unsur. Adapun unsur-unsur dari perjanjian, antara lain:
a. Adanya perbuatan hukum;
b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang;
c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan;
d. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih
e. Pernyataan kehendak wilsverklaring yang sesuai itu harus saling bergantung
satu sama lain; f.
Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum; g.
Akibat hukum itu ditujukan untuk kepentingan yang satu atas bebas yang lain atau timbal balik;
168
Badrulzaman., Loc. Cit., hal. 43-44.
169
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
122
h. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan peundang-
undangan.
170
Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan: “Persetujuan hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang- undang.”
Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan bestendig gebruikelijk beding dianggap
secara diam-diam dimasukkan didalamnya perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.”
Dari kedua ketentuan ini dapatlah disimpulkan bahwa elemen-elemen dari perjanjian adalah:
1. Isi perjanjian itu sendiri;
2. Kepatutan;
3. Kebiasaan;
4. Undang-undang.
171
Isi perjanjian adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban mereka didalam perjanjian tersebut. Di dalam perjanjian
pernyataan kesanggupan dari orang tuawali yang di keluarkan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dengan tegas menyatakan kesanggupan orang tua
170
Ibid.
171
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
123
untuk mematuhi ketentuan dari panti. Pernyataan ini berisikan sebuah Kepatutan. Kepatutan diatur di dalam Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yang
bersama-sama dengan kebiasaan dan undang undang harus diperhatikan pihak-pihak dalam melaksanakan perjanjian. Undang undang yang dimaksud dalam ketentuan ini
adalah undang undang pelengkap karena undang undang bersifat memaksa yang tidak dapat disimpangi oleh para pihak. Hubungan antara kepatutan dan undang undang
berdasarkan praktek peradilan disimpulkan bahwa kepatutan itu dapat mengubah isi perjanjian. Yang menjadi masalah dalam ketentuan-ketentuan diatas ialah tentang
hubungan masing-masing elemen perjanjian, apa yang dimaksud dengan kebiasaan dan bagaimanakah hubungan antara kebiasaan dan undang undang.
172
Undang undang memberikan beberapa pedoman dalam menafsirkan perjanjian, yaitu antara lain:
1. Kata-kata jelas, Pasal 1342 Kitab Undang Undang Hukum Perdata: “Jika kata-
kata suatu persetujuan jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran.”
2. Kebiasaan sebagai elemen perjanjian, Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan.”
3. Penafsiran sistematis, Pasal 1348 Kitab Undang Undang Hukum Perdata:
“Semua janji yang dibuat dalam suatu persetujuan harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka persetujuan
sebelumnya.”
4. Ada keraguan, Pasal 1349 Kitab Undang Undang Hukum Perdata: “Jika ada
keragu-raguan, maka suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan untuk keuntungan orang
yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.”
5. Penafsiran maksud kepada kedua pihak, Pasal 1350 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata: “Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam mana suatu
172
Ibid, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
124
persetujuan disusun, namun persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata- nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak sewaktu membuat persetujuan.”
6. Penafsiran tidak membatasi maksud para pihak, Pasal 1351 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata: “Jika seorang dalam suatu persetujuan menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa dengan
demikian hendak mengurangi maupun membatasi kekuatan persetujuan menurut hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan.”
173
Penjelasan ini diberikan untuk menghindari keragu-raguan tetapi bukan berarti bermaksud mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan menurut hukum dalam
hal tidak adanya penjelasan. MA, putusan tanggal 11-9-1957 Nomor 74KSip1955: “Apabila isi suatu surat persetujuan dapat diartikan dalam dua macam, yakni yang
satu menguntungkan si penandatangan dan yang lain merugikannya, maka adalah patut, dalam hal pertengkaran mengenai isi surat itu untuk membebani si
penandatangan akan membuktikan positumnya tentang hal itu”. Dalam keputusan ini MA menilai bahwa yang patut memikul beban pembuktian kebenaran dari fakta-fakta
sengketa adalah penandatangan bertanggungjawab atas kebenaran isi surat yang ditandatanganinya.
174
Dengan demikian perjanjian itu mengikat para pihak yang melakukannya. Perjanjian pernyataan kesanggupan yang telah di sepakati oleh orang tuawali dan
pihak panti akan menjadi suatu perjanjian yang mengikat bagi para pihak yang harus dijalani. Walaupun perjanjian pernyataan kesanggupan yang di keluarkan panti
berupa perjanjian baku dalam bentuk formulir. Namun demikian perjanjian haruslah di buat seimbang antara hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian juga perlu diadakan
penafsiran tentang isi dari perjanjian itu, sehingga jelas diketahui maksud-maksud pihak ketika mengadakan perjanjian itu dan menjadi tidak memberatkan salah satu
pihak.
173
Ibid, hal. 94.
174
Ibid, hal. 94-95.
Universitas Sumatera Utara
125
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENYANDANG CACAT
TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA UTARA DIKAITKAN DENGAN ADANYA PENCANTUMAN KLAUSULA
EKSONERASI DALAM PERJANJIAN A.
Landasan Hukum Perlindungan Anak Penyandang Cacat
Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga negaranya termasuk juga didalamnya perlindungan terhadap anak.
Perlindungan anak merupakan salah satu hal utama yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, beberapa ahli memberikan pengertian tentang perlindungan
anak, diantaranya adalah sebagai berikut: Menurut Bismar Siregar dkk mengatakan bahwa:
“Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Oleh sebab itu
masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.
175
Irma Setyowati membedakan pengertian perlindungan anak kedalam dua pengertian, yakni:
a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang
hukum publik dan bidang hukum keperdataan.
175
Bismar Siregar dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, hal. 22.
113
Universitas Sumatera Utara
126
b. Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi bidang sosial, bidang kesehatan
dan bidang pendidikan.
176
Arif Gosita menyebutkan bahwa perlindungan anak juga terhadap: a.
Kekuatan yang merusak anak, yang ada dalam diri anak atau yang dari luar diri anak tersebut.
b. Ketidakmampuan anak mempertahankan diri dalam masyarakat.
177
Perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum atas tindakan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi
kegiatan perlindungan anak tersebut. Jaminan hukum yang dimaksud tersebut telah diatur oleh perundang-undangan.
Dalam pemahaman hukum perlindungan anak, maka perlu dipahami tiga jenis perwujudan perlindungan anak, yaitu: perlindungan anak langsung, perlindungan
anak tidak langsung dan perlindungan anak semu. Perlindungan anak ini dapat ditinjau perlindungan terhadap siapa, oleh siapa dan bagaimana cara perlindungan
tersebut. Perlindungan anak langsung dapat berwujud sebagai berikut:
1. Pengadaan suatu usaha pencegahan yang melindungi dan menyelamatkan anak
dari berbagai macam ancaman yang memungkinkan anak menjadi korban mental, fisik dan sosial;
2. Pengadaan pengawasan positif terhadap anak agar anak yang bersangkutan
tumbuh dan berkembang dengan baik interen dan eksteren; 3.
Penjagaan anak terhadap gangguan dari dalam dan dari luar dirinya; 4.
Pembinaan anak mental, fisik dan sosial; 5.
Sosialisasi anak terhadap lingkungannya;
176
Irma Setyowati, Opcit, hal. 13.
177
Arif Gosita, Opcit, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
127
6. Penyaluran dinamika anak;
7. Penyadaran anak akan hak-haknya serta pengembangannya;
8. Penyadaran anak akan kewajibannya serta pengembangannya;
9. Pembiaran anak yang melakukan sesuatu yang positif dibawah pengawasan;
10. Pengasuhan anak asih, asah, asuh;
11. Pendewasaan anak yang dapat bertanggungjawab;
12. Penanggulangan permasalahan anak secara rasional positif, dapat
dipertanggungjawabkan dan bermanfaat; 13.
Memperlakukan anak sebagai perwujudan pengembangan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan anak;
14. Pengganjaran pemberian imbalan yang edukatif konstruktif kepada anak;
15. Mengusahakan pendidikan kepribadian agar anak dapat secara mandiri
bertanggungjawab menghadapi berbagai macam tantangan dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan;
16. Penyuluhan yang bertanggungjawab kepada anak dalam rangka membekali anak
dengan kemampuan menghadapi tantangan hidup sepanjang jaman; 17.
Membina anak mengerti, menghayati dan menerapkan hukum sesuai kemampuannya.
178
Usaha perlindungan anak tidak langsung merupakan kegiatan usaha
perlindungan anak yang tidak secara langsung ditujukan kepada anak, tetapi kepada orang atau pihak lain yang terlibat dalam berbagai tindakan usaha perlindungan anak,
yaitu: 1.
Orang tua atau mereka yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar dalam dirinya;
2. Mereka yang bertugas mengasuh, membina dan mendampingi anak dengan
berbagai cara; 3.
Mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan dan sebagainya dengan berbagai cara;
4. Mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya;
5. Mereka yang terlibat dalam melaksanakan sistem peradilan. Kepada mereka harus
diberikan penyuluhan, bimbingan, pelatihan, pendampingan dalam mengusahakan perlindungan anak diberbagai bidang kehidupan dan penghidupan mencari
nafkah.
179
178
Ibid.
179
Ibid, hal.72.
Universitas Sumatera Utara
128
Tindakan tersebut di atas sesuai dengan program yang dilakukan oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, yaitu memberikan perlindungan
terhadap anak penyandang cacat baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Dapat terlihat dari pelayanan rehabilitasi yang diberikan oleh Panti Sosial Bina Daksa
“Bahagia” Sumatera Utara berupa tindakan pembinaan fisik, mental maupun sosial serta tersedianya sarana dan prasarana yang memadai kemudian adanya usaha dari
pihak panti untuk selalu melakukan kerja sama yang baik dengan orang tua ataupun pihak pengajar untuk tetap ikut mengevaluasi anak dalam setiap tingkat
perkembangannya. Usaha perlindungan anak semu merupakan tindakan perlindungan anak yang
dimana orang yang melaksanakan tindakan tersebut hanya semata-mata mencari keuntungan pribadi dari kegiatan usaha-usaha perlindungan tersebut. Anak-anak yang
dilindungi dieksploitasi dengan cara dimanfaatkan baik psikis, maupun di kehidupan sosial dengan berbagai cara. Usaha perlindungan ini mengutamakan perspektif
kepentingan yang mengatur untuk di lindungi dan bukan perspektif kepentingan yang diatur yang dilindungi. Tindakan ini sangat memerlukan adanya pengawasan,
manajemen dalam usaha-usaha perlindungan anak tersebut untuk mencegah timbulnya korban diantara anak yang dilindungi.
180
Usaha perlindungan semu ini sudah tentu bukanlah usaha perlindungan yang dilakukan oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara ketika ditinjau
dari segi materi yang didapat karena panti tidak mencari keuntungan dari kegiatan
180
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
129
rehabilitasi tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa pihak panti tidak meminta biaya kepada penyandang cacat yang hendak mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial
Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara karena panti tersebut merupakan Panti Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat yang ditangani Direktorat
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang di bawah struktural Kementerian Sosial Republik Inodonesia sehingga dana yang diperoleh berasal dari APBN, tetapi
tidak demikian ketika dikaitkan dengan bentuk perjanjian yang di buat, tentunya karena perjanjian tersebut lebih mengedepankan perspektsif dari kepentingan yang
mengatur, dalam hal ini pihak panti selaku pembuat perjanjian dibandingkan pihak anak penyandang cacat itu sendiri.
Partisipasi dalam perlindungan anak pada hakikatnya adalah hak asasi dan kewajiban setiap orang yang tidak boleh dihalangi pelaksanaannya. Partisipasi dalam
perlindungan anak digariskan dan didukung oleh berbagai peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak di berbagai bidang kehidupan
dan penghidupan. Perlindungan anak dengan pendekatan secara yuridis seperti yang
dikemukakan oleh Bismar Siregar atau perlindungan bersifat yuridis seperti yang dikemukan oleh Irma Setyowati dapat ditemukan pada undang undang perlindungan
anak. Sebelum membahas lebih lanjut tentang perlindungan hukumnya, Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengertian
tentang perlindungan anak yaitu pada Pasal 1 butir 2 dinyatakan:
Universitas Sumatera Utara
130
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Menurut Pasal 2 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang
meliputi : a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Tujuan dari perlindungan anak yang termuat dalam Pasal 3 Undang Undang
Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dinyatakan sebagai berikut: “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.”
Secara khusus undang undang memberikan perlindungan terhadap
penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan yang ada pada mereka, tetapi pada kenyataannya perhatian masyarakat
akan keterbatasan yang dimiliki Penyandang cacat masih kurang, bahkan seringkali
Universitas Sumatera Utara
131
diabaikan dan dianggap sebagai beban. Tidak jarang ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki menjadi masalah tersendiri
dan perlu mendapatkan perhatian. Padahal pengaturan hukum dalam perundang- undangan telah jelas menetapkan bahwa setiap perusahaan harus mempekerjakan
sedikitnya 1 satu orang penyandang cacat yang dapat memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang di butuhkan, untuk setiap 100 seratus orang karyawan
yang dimiliki perusahaan dan untuk perusahaan yang menggunakan tekhnologi tinggi juga harus memberlakukan hal yang demikian walaupun jumlah karyawannya kurang
dari 100 seratus orang,
181
tetapi pada kenyataannya Perusahaan atau pengusaha banyak beralasan kurangnya keahlian dan pendidikan serta kekurangan fisik
penyandang cacat dapat menghambat kinerjanya dalam bekerja. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan penyelidikan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini dinas
tenaga kerja atau pada pihak kepolisian dan kejaksaan terhadap perusahaan ataupun pengusaha tersebut. Karena pelanggaran undang undang tersebut termasuk dalam
ruang lingkup tindak pidana dan bisa di kenai sanksi pidana maupun sanksi administratif. Dengan demikian diharapkan upaya pemberdayaan penyandang cacat
melalui kebutuhan kuota tenaga kerja tersebut bisa efektif untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat di Indonesia.
Pemberdayaan yang dilakukan oleh Panti Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yaitu membekali penyandang cacat tubuh agar diterima bekerja diperusahaan-
perusahan bekerja sama dengan dinas tenaga kerja. Dinas tenaga kerja yang
181
Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat Pasal 15.
Universitas Sumatera Utara
132
seharusnya mendata penyandang cacat tersebut dan kemudian menyalurkan ke perusahaan-perusahaan tetapi dikarenakan hal tersebut kurang efektif, terkendala
pada birokrasi maka Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara lebih menitikberatkan kepada pemberian keterampilan yang dapat dipergunakan
penyandang cacat untuk membuka usaha sendiri sesuai dengan bakat dan minat masing-masing ataupun bekerja pada home industry yang tidak terlalu memiliki
prosedur yang sulit.
182
Aksesibilitas fisik bangunan umum dan lingkungan bagi penyandang cacat untuk saat ini juga belum banyak dilaksanakan kendati peraturan hukum telah lama di
sahkan. Terlihat masih banyaknya keterbatasan jumlah gedung dan fasilitas umum seperti mall, pasar, sarana penyeberangan jalan, kantor pemerintah, sekolah, bank
dan prasarana umum lainnya yang menyediakan akses bagi penyandang cacat, meskipun telah diatur dalam PP No.43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Rendahnya implementasi ini disebabkan antara lain karena ketidaktahuan, enggan melaksanakan, tidak ada pengawasan baik
dari pemerintah maupun masyarakat, serta tidak gencarnya penegakan hukum yang mengatur permasalahan itu. Dengan demikian penyandang cacat perlu memahami
hak-haknya bukan berarti untuk diistimewakan, tetapi juga jangan dimarginalkan. Kewajiban dan tanggungjawab yang diamanahkan undang-undang kepada
negara dan pemerintah terhadap penyandang cacat, antara lain:
182
Wawancara dengan R.S.N., Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011
Universitas Sumatera Utara
133
1. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan
menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran
anak dan kondisi fisik danatau mental; 2.
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak;
3. Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan
anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak;
4.
Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak;
5. Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak;
Pemerintah secara yuridis memang memberikan kesempatan yang sama bagi anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan yang biasa maupun yang luar
biasa, tetapi pada kenyataannya anak penyandang cacat yang berada di sekolah pendidikan biasa hanya sebagian kecil bahkan terhitung langka. Walaupun demikian
kesempatan yang diberikan tetap ada, namun hanya saja kemampuan untuk mengikuti sekolah biasa merupakan hal yang sangat sulit bagi anak penyandang cacat itu
sendiri. Perlindungan khusus yang diperoleh anak penyandang cacat dapat dilakukan
melalui upaya: a.
Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
Universitas Sumatera Utara
134
b. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
c. Memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi
sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. Perlindungan khusus tersebut selanjutnya dilaksanakan pemerintah melalui
Kementerian Sosial Republik Indonesia melalui Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan anak
penyandang cacat secara yuridis dibidang hukum publik yang diatur pada undang- undang telah dilakukan pemerintah yang salah satunya melalui Panti Sosial Bina
Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.
B. Perjanjian di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebagai pelaksana Negara dalam melakukan perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh melalui
program rehabilitasi masih lemah dalam perihal pelaksanaan perjanjian penyerahan anak cacat tubuh yang akan mengikuti program rehabilitasi. Panti hanya memberikan
beberapa formulir baku yang wajib diisi dan di tanda tangani oleh orang tua dan anak penyandang cacat tubuh itu sendiri. Perjanjian formulir itu diantaranya formulir
pernyataan kesanggupan dari orang tuawali berupa perjanjian baku yang klausula di dalamnya terdapat klausula eksonerasi.
1. Klausula Baku Dalam Perjanjian