Unsur-Unsur Dari Perjanjian Analisa Yuridis Terhadap Perjanjian Rehabilitasi Anak Cacat Tubuh Oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Su

121 Asas kepatutan dituangkan dalam Pasal 1339 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan menurut kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Menurut Mariam Darus Badrulzaman tentang asas kepatutan adalah “Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan oleh rasa keadilan dalam masyarakat”. 168 10. Asas Kebiasaan. Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang intinya menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas, tetapi juga hal-hal yang menjadi keadaan dan kebiasaan yang diikuti. 169

5. Unsur-Unsur Dari Perjanjian

Perjanjian dapat di rincikan dalam beberapa unsur. Adapun unsur-unsur dari perjanjian, antara lain: a. Adanya perbuatan hukum; b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang; c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan; d. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih e. Pernyataan kehendak wilsverklaring yang sesuai itu harus saling bergantung satu sama lain; f. Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum; g. Akibat hukum itu ditujukan untuk kepentingan yang satu atas bebas yang lain atau timbal balik; 168 Badrulzaman., Loc. Cit., hal. 43-44. 169 Ibid. Universitas Sumatera Utara 122 h. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan peundang- undangan. 170 Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan: “Persetujuan hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang- undang.” Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan bestendig gebruikelijk beding dianggap secara diam-diam dimasukkan didalamnya perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.” Dari kedua ketentuan ini dapatlah disimpulkan bahwa elemen-elemen dari perjanjian adalah: 1. Isi perjanjian itu sendiri; 2. Kepatutan; 3. Kebiasaan; 4. Undang-undang. 171 Isi perjanjian adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban mereka didalam perjanjian tersebut. Di dalam perjanjian pernyataan kesanggupan dari orang tuawali yang di keluarkan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dengan tegas menyatakan kesanggupan orang tua 170 Ibid. 171 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 89. Universitas Sumatera Utara 123 untuk mematuhi ketentuan dari panti. Pernyataan ini berisikan sebuah Kepatutan. Kepatutan diatur di dalam Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yang bersama-sama dengan kebiasaan dan undang undang harus diperhatikan pihak-pihak dalam melaksanakan perjanjian. Undang undang yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah undang undang pelengkap karena undang undang bersifat memaksa yang tidak dapat disimpangi oleh para pihak. Hubungan antara kepatutan dan undang undang berdasarkan praktek peradilan disimpulkan bahwa kepatutan itu dapat mengubah isi perjanjian. Yang menjadi masalah dalam ketentuan-ketentuan diatas ialah tentang hubungan masing-masing elemen perjanjian, apa yang dimaksud dengan kebiasaan dan bagaimanakah hubungan antara kebiasaan dan undang undang. 172 Undang undang memberikan beberapa pedoman dalam menafsirkan perjanjian, yaitu antara lain: 1. Kata-kata jelas, Pasal 1342 Kitab Undang Undang Hukum Perdata: “Jika kata- kata suatu persetujuan jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran.” 2. Kebiasaan sebagai elemen perjanjian, Pasal 1347 Kitab Undang Undang Hukum Perdata: “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.” 3. Penafsiran sistematis, Pasal 1348 Kitab Undang Undang Hukum Perdata: “Semua janji yang dibuat dalam suatu persetujuan harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka persetujuan sebelumnya.” 4. Ada keraguan, Pasal 1349 Kitab Undang Undang Hukum Perdata: “Jika ada keragu-raguan, maka suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.” 5. Penafsiran maksud kepada kedua pihak, Pasal 1350 Kitab Undang Undang Hukum Perdata: “Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam mana suatu 172 Ibid, hal. 90. Universitas Sumatera Utara 124 persetujuan disusun, namun persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata- nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak sewaktu membuat persetujuan.” 6. Penafsiran tidak membatasi maksud para pihak, Pasal 1351 Kitab Undang Undang Hukum Perdata: “Jika seorang dalam suatu persetujuan menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak mengurangi maupun membatasi kekuatan persetujuan menurut hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan.” 173 Penjelasan ini diberikan untuk menghindari keragu-raguan tetapi bukan berarti bermaksud mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan menurut hukum dalam hal tidak adanya penjelasan. MA, putusan tanggal 11-9-1957 Nomor 74KSip1955: “Apabila isi suatu surat persetujuan dapat diartikan dalam dua macam, yakni yang satu menguntungkan si penandatangan dan yang lain merugikannya, maka adalah patut, dalam hal pertengkaran mengenai isi surat itu untuk membebani si penandatangan akan membuktikan positumnya tentang hal itu”. Dalam keputusan ini MA menilai bahwa yang patut memikul beban pembuktian kebenaran dari fakta-fakta sengketa adalah penandatangan bertanggungjawab atas kebenaran isi surat yang ditandatanganinya. 174 Dengan demikian perjanjian itu mengikat para pihak yang melakukannya. Perjanjian pernyataan kesanggupan yang telah di sepakati oleh orang tuawali dan pihak panti akan menjadi suatu perjanjian yang mengikat bagi para pihak yang harus dijalani. Walaupun perjanjian pernyataan kesanggupan yang di keluarkan panti berupa perjanjian baku dalam bentuk formulir. Namun demikian perjanjian haruslah di buat seimbang antara hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian juga perlu diadakan penafsiran tentang isi dari perjanjian itu, sehingga jelas diketahui maksud-maksud pihak ketika mengadakan perjanjian itu dan menjadi tidak memberatkan salah satu pihak. 173 Ibid, hal. 94. 174 Ibid, hal. 94-95. Universitas Sumatera Utara 125

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PENYANDANG CACAT

TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA UTARA DIKAITKAN DENGAN ADANYA PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN A. Landasan Hukum Perlindungan Anak Penyandang Cacat Negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga negaranya termasuk juga didalamnya perlindungan terhadap anak. Perlindungan anak merupakan salah satu hal utama yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, beberapa ahli memberikan pengertian tentang perlindungan anak, diantaranya adalah sebagai berikut: Menurut Bismar Siregar dkk mengatakan bahwa: “Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Oleh sebab itu masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya. 175 Irma Setyowati membedakan pengertian perlindungan anak kedalam dua pengertian, yakni: a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan bidang hukum keperdataan. 175 Bismar Siregar dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta, hal. 22. 113 Universitas Sumatera Utara 126 b. Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi bidang sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. 176 Arif Gosita menyebutkan bahwa perlindungan anak juga terhadap: a. Kekuatan yang merusak anak, yang ada dalam diri anak atau yang dari luar diri anak tersebut. b. Ketidakmampuan anak mempertahankan diri dalam masyarakat. 177 Perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum atas tindakan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Jaminan hukum yang dimaksud tersebut telah diatur oleh perundang-undangan. Dalam pemahaman hukum perlindungan anak, maka perlu dipahami tiga jenis perwujudan perlindungan anak, yaitu: perlindungan anak langsung, perlindungan anak tidak langsung dan perlindungan anak semu. Perlindungan anak ini dapat ditinjau perlindungan terhadap siapa, oleh siapa dan bagaimana cara perlindungan tersebut. Perlindungan anak langsung dapat berwujud sebagai berikut: 1. Pengadaan suatu usaha pencegahan yang melindungi dan menyelamatkan anak dari berbagai macam ancaman yang memungkinkan anak menjadi korban mental, fisik dan sosial; 2. Pengadaan pengawasan positif terhadap anak agar anak yang bersangkutan tumbuh dan berkembang dengan baik interen dan eksteren; 3. Penjagaan anak terhadap gangguan dari dalam dan dari luar dirinya; 4. Pembinaan anak mental, fisik dan sosial; 5. Sosialisasi anak terhadap lingkungannya; 176 Irma Setyowati, Opcit, hal. 13. 177 Arif Gosita, Opcit, hal. 71. Universitas Sumatera Utara 127 6. Penyaluran dinamika anak; 7. Penyadaran anak akan hak-haknya serta pengembangannya; 8. Penyadaran anak akan kewajibannya serta pengembangannya; 9. Pembiaran anak yang melakukan sesuatu yang positif dibawah pengawasan; 10. Pengasuhan anak asih, asah, asuh; 11. Pendewasaan anak yang dapat bertanggungjawab; 12. Penanggulangan permasalahan anak secara rasional positif, dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat; 13. Memperlakukan anak sebagai perwujudan pengembangan kebenaran, keadilan dan kesejahteraan anak; 14. Pengganjaran pemberian imbalan yang edukatif konstruktif kepada anak; 15. Mengusahakan pendidikan kepribadian agar anak dapat secara mandiri bertanggungjawab menghadapi berbagai macam tantangan dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan; 16. Penyuluhan yang bertanggungjawab kepada anak dalam rangka membekali anak dengan kemampuan menghadapi tantangan hidup sepanjang jaman; 17. Membina anak mengerti, menghayati dan menerapkan hukum sesuai kemampuannya. 178 Usaha perlindungan anak tidak langsung merupakan kegiatan usaha perlindungan anak yang tidak secara langsung ditujukan kepada anak, tetapi kepada orang atau pihak lain yang terlibat dalam berbagai tindakan usaha perlindungan anak, yaitu: 1. Orang tua atau mereka yang terlibat dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar dalam dirinya; 2. Mereka yang bertugas mengasuh, membina dan mendampingi anak dengan berbagai cara; 3. Mereka yang terlibat mencegah anak kelaparan, mengusahakan kesehatan dan sebagainya dengan berbagai cara; 4. Mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya; 5. Mereka yang terlibat dalam melaksanakan sistem peradilan. Kepada mereka harus diberikan penyuluhan, bimbingan, pelatihan, pendampingan dalam mengusahakan perlindungan anak diberbagai bidang kehidupan dan penghidupan mencari nafkah. 179 178 Ibid. 179 Ibid, hal.72. Universitas Sumatera Utara 128 Tindakan tersebut di atas sesuai dengan program yang dilakukan oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, yaitu memberikan perlindungan terhadap anak penyandang cacat baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Dapat terlihat dari pelayanan rehabilitasi yang diberikan oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara berupa tindakan pembinaan fisik, mental maupun sosial serta tersedianya sarana dan prasarana yang memadai kemudian adanya usaha dari pihak panti untuk selalu melakukan kerja sama yang baik dengan orang tua ataupun pihak pengajar untuk tetap ikut mengevaluasi anak dalam setiap tingkat perkembangannya. Usaha perlindungan anak semu merupakan tindakan perlindungan anak yang dimana orang yang melaksanakan tindakan tersebut hanya semata-mata mencari keuntungan pribadi dari kegiatan usaha-usaha perlindungan tersebut. Anak-anak yang dilindungi dieksploitasi dengan cara dimanfaatkan baik psikis, maupun di kehidupan sosial dengan berbagai cara. Usaha perlindungan ini mengutamakan perspektif kepentingan yang mengatur untuk di lindungi dan bukan perspektif kepentingan yang diatur yang dilindungi. Tindakan ini sangat memerlukan adanya pengawasan, manajemen dalam usaha-usaha perlindungan anak tersebut untuk mencegah timbulnya korban diantara anak yang dilindungi. 180 Usaha perlindungan semu ini sudah tentu bukanlah usaha perlindungan yang dilakukan oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara ketika ditinjau dari segi materi yang didapat karena panti tidak mencari keuntungan dari kegiatan 180 Ibid. Universitas Sumatera Utara 129 rehabilitasi tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa pihak panti tidak meminta biaya kepada penyandang cacat yang hendak mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara karena panti tersebut merupakan Panti Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat yang ditangani Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang di bawah struktural Kementerian Sosial Republik Inodonesia sehingga dana yang diperoleh berasal dari APBN, tetapi tidak demikian ketika dikaitkan dengan bentuk perjanjian yang di buat, tentunya karena perjanjian tersebut lebih mengedepankan perspektsif dari kepentingan yang mengatur, dalam hal ini pihak panti selaku pembuat perjanjian dibandingkan pihak anak penyandang cacat itu sendiri. Partisipasi dalam perlindungan anak pada hakikatnya adalah hak asasi dan kewajiban setiap orang yang tidak boleh dihalangi pelaksanaannya. Partisipasi dalam perlindungan anak digariskan dan didukung oleh berbagai peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Perlindungan anak dengan pendekatan secara yuridis seperti yang dikemukakan oleh Bismar Siregar atau perlindungan bersifat yuridis seperti yang dikemukan oleh Irma Setyowati dapat ditemukan pada undang undang perlindungan anak. Sebelum membahas lebih lanjut tentang perlindungan hukumnya, Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengertian tentang perlindungan anak yaitu pada Pasal 1 butir 2 dinyatakan: Universitas Sumatera Utara 130 “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Menurut Pasal 2 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Tujuan dari perlindungan anak yang termuat dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dinyatakan sebagai berikut: “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.” Secara khusus undang undang memberikan perlindungan terhadap penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan yang ada pada mereka, tetapi pada kenyataannya perhatian masyarakat akan keterbatasan yang dimiliki Penyandang cacat masih kurang, bahkan seringkali Universitas Sumatera Utara 131 diabaikan dan dianggap sebagai beban. Tidak jarang ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki menjadi masalah tersendiri dan perlu mendapatkan perhatian. Padahal pengaturan hukum dalam perundang- undangan telah jelas menetapkan bahwa setiap perusahaan harus mempekerjakan sedikitnya 1 satu orang penyandang cacat yang dapat memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang di butuhkan, untuk setiap 100 seratus orang karyawan yang dimiliki perusahaan dan untuk perusahaan yang menggunakan tekhnologi tinggi juga harus memberlakukan hal yang demikian walaupun jumlah karyawannya kurang dari 100 seratus orang, 181 tetapi pada kenyataannya Perusahaan atau pengusaha banyak beralasan kurangnya keahlian dan pendidikan serta kekurangan fisik penyandang cacat dapat menghambat kinerjanya dalam bekerja. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan penyelidikan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini dinas tenaga kerja atau pada pihak kepolisian dan kejaksaan terhadap perusahaan ataupun pengusaha tersebut. Karena pelanggaran undang undang tersebut termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana dan bisa di kenai sanksi pidana maupun sanksi administratif. Dengan demikian diharapkan upaya pemberdayaan penyandang cacat melalui kebutuhan kuota tenaga kerja tersebut bisa efektif untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat di Indonesia. Pemberdayaan yang dilakukan oleh Panti Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yaitu membekali penyandang cacat tubuh agar diterima bekerja diperusahaan- perusahan bekerja sama dengan dinas tenaga kerja. Dinas tenaga kerja yang 181 Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat Pasal 15. Universitas Sumatera Utara 132 seharusnya mendata penyandang cacat tersebut dan kemudian menyalurkan ke perusahaan-perusahaan tetapi dikarenakan hal tersebut kurang efektif, terkendala pada birokrasi maka Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara lebih menitikberatkan kepada pemberian keterampilan yang dapat dipergunakan penyandang cacat untuk membuka usaha sendiri sesuai dengan bakat dan minat masing-masing ataupun bekerja pada home industry yang tidak terlalu memiliki prosedur yang sulit. 182 Aksesibilitas fisik bangunan umum dan lingkungan bagi penyandang cacat untuk saat ini juga belum banyak dilaksanakan kendati peraturan hukum telah lama di sahkan. Terlihat masih banyaknya keterbatasan jumlah gedung dan fasilitas umum seperti mall, pasar, sarana penyeberangan jalan, kantor pemerintah, sekolah, bank dan prasarana umum lainnya yang menyediakan akses bagi penyandang cacat, meskipun telah diatur dalam PP No.43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Rendahnya implementasi ini disebabkan antara lain karena ketidaktahuan, enggan melaksanakan, tidak ada pengawasan baik dari pemerintah maupun masyarakat, serta tidak gencarnya penegakan hukum yang mengatur permasalahan itu. Dengan demikian penyandang cacat perlu memahami hak-haknya bukan berarti untuk diistimewakan, tetapi juga jangan dimarginalkan. Kewajiban dan tanggungjawab yang diamanahkan undang-undang kepada negara dan pemerintah terhadap penyandang cacat, antara lain: 182 Wawancara dengan R.S.N., Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011 Universitas Sumatera Utara 133 1. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik danatau mental; 2. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak; 3. Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak; 4. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak; 5. Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak; Pemerintah secara yuridis memang memberikan kesempatan yang sama bagi anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan yang biasa maupun yang luar biasa, tetapi pada kenyataannya anak penyandang cacat yang berada di sekolah pendidikan biasa hanya sebagian kecil bahkan terhitung langka. Walaupun demikian kesempatan yang diberikan tetap ada, namun hanya saja kemampuan untuk mengikuti sekolah biasa merupakan hal yang sangat sulit bagi anak penyandang cacat itu sendiri. Perlindungan khusus yang diperoleh anak penyandang cacat dapat dilakukan melalui upaya: a. Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; Universitas Sumatera Utara 134 b. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan c. Memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. Perlindungan khusus tersebut selanjutnya dilaksanakan pemerintah melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia melalui Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan anak penyandang cacat secara yuridis dibidang hukum publik yang diatur pada undang- undang telah dilakukan pemerintah yang salah satunya melalui Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

B. Perjanjian di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebagai pelaksana Negara dalam melakukan perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh melalui program rehabilitasi masih lemah dalam perihal pelaksanaan perjanjian penyerahan anak cacat tubuh yang akan mengikuti program rehabilitasi. Panti hanya memberikan beberapa formulir baku yang wajib diisi dan di tanda tangani oleh orang tua dan anak penyandang cacat tubuh itu sendiri. Perjanjian formulir itu diantaranya formulir pernyataan kesanggupan dari orang tuawali berupa perjanjian baku yang klausula di dalamnya terdapat klausula eksonerasi.

1. Klausula Baku Dalam Perjanjian

Dokumen yang terkait

Evaluasi Pelaksanaan Program Bimbingan Keterampilan Bagi Penyandang Disabilitas Tubuh Di Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) “Bahagia” Sumatera Utara Unit Pelaksana Teknis(UPT).Kementerian Sosial RI

9 97 108

Upaya Panti Sosial Bina Daksa (Psbd) Bahagia Sumatera Utara Dalam Peningkatan Fungsi Sosial Orang Dengan Kecacatan (Odk)

2 66 124

Analisa Yuridis Terhadap Perjanjian Rehabilitasi Anak Cacat Tubuh Oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak d

0 25 163

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelayanan Sosial Terhadap Penyandang Tuna Daksa Oleh Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan.

17 80 89

Respon Penyandang Tuna Daksa Terhadap Pelayanan Rehabilitasi Sosial Di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara Departemen Sosial Republik Indonesia

4 57 99

Pengaruh Program Bimbingan Keterampilan Terhadap Kemandirian Penyandang Disabilitas Tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara

5 72 112

Strategi Komunikasi Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Barat Melalui Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (BRSPC) Terhadap Motivasi Peserta Didik Tuna Daksa Di Cibabat - Cimahi

0 4 1

Implementasi Rencana Program Rehabilitasi Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Netra (Studi di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang)

0 0 8

Upaya Panti Sosial Bina Daksa (Psbd) Bahagia Sumatera Utara Dalam Peningkatan Fungsi Sosial Orang Dengan Kecacatan (Odk)

0 0 12

UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

0 0 17