39
1. Bahan hukum primer: bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh
pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan traktat.
2. Bahan hukum sekunder: bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer,
contohnya: buku, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.
3. Bahan hukum tertier: bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan
sekunder, contohnya: kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya.
55
6. Alat Pengumpulan Data
Adapun alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa:
a. Studi dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen tentang perjanjian
rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh. Dokumen ini merupakan sumber informasi penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari
ketentuan norma dan perundang-undangan maupun perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara interview quide.
Wawancara dilakukan untuk mengokohkan analisis data normatif yang digunakan.
7. Analisa Data
Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan
55
Burhan Ashshofa, Opcit, hal.103.
Universitas Sumatera Utara
40
kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban penelitian.
56
Setelah data
diperoleh maka dikelompokkan sesuai dengan kategorinya.
Penelusuran analisa bahan dimulai dari pengaturan hukum terhadap rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh menurut Undang Undang Penyandang
Cacat, pelaksanaan perjanjian rehabilitasi pada Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, serta perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh
yang dikaitkan dengan perjanjian yang dibuat, kemudian dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu
ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisis dan merupakan hasil dari
penelitian.
56
Ibid, hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
41
BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK
PENYANDANG CACAT TUBUH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT
A.
Pengaturan Hukum Terhadap Anak dan Penyandang Cacat Tubuh 1.
Pengertian Anak dan Penyandang Cacat Tubuh a.
Pengertian Anak
Diversifikasi batasan usia yang jelas sangatlah diperlukan agar dapat dijadikan
pedoman dalam pendefinisian seorang anak. Batasan usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.
57
Undang Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan pengertian anak dalam Pasal 1 butir 1, dinyatakan sebagai berikut: “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Agung Wahyono dan Siti Rahayu menyatakan: “batasan usia ini biasanya dipergunakan sebagai tolak ukur sejauh mana anak bisa dipertanggungjawabkan
perbuatannya.“
58
Pengertian anak menurut Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November
57
Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 24.
58
Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993, hal. 20.
29
Universitas Sumatera Utara
42
1989 disebutkan “anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal”. Pengertian anak menurut UUD 1945, oleh Irma Setyowati Soemitro
dijabarkan sebagai berikut: yaitu seorang anak harus memperoleh hak-haknya yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar baik secara raga, jasmaniah maupun sosial atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial,
59
tidak terkecuali anak penyandang cacat tubuh.
b. Pengertian Penyandang Cacat Tubuh
Anak dengan kecacatan adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang mengalami hambatan fisik dan atau mental yang mengganggu tumbuh
kembangnya secara
wajar sehingga
memerlukan pemenuhan
kebutuhan, pengembangan dan penanganan khusus sesuai dengan kondisi dan derajat
kecacatannya yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental.
60
Anak penyandang cacat tubuh merupakan anak yang memiliki kelainan fisik sehingga dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan secara layak.
Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat di dalam pasal 1 ayat 1 memberikan pengertian tentang penyandang cacat, yaitu: Setiap
59
Irma Setyowaty Soemitro, Loc.cit.
60
Kementerian Sosial, Pedoman Deteksi Dini Kecacatan Anak, Opcit, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
43
orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya yang terdiri dari:
1. Penyandang cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada
fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan bicara;
2. Penyandang cacat mental adalah kelainan mental danatau tingkah laku, baik
cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; 3.
Penyandang cacat fisik mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.
Secara garis besar cacat fisik dapat dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:
1. Cacat tubuh, meliputi;
a. Cerebral Palsy kerusakan fungsi otak yang menyebabkan gangguan
pergerakan, keseimbangan dan kejang otot b.
Polio lumpuh layu tulang c.
Meninghitis radang otak d.
Epilepsi ayan e.
Mascular Distropy pengecilanpengerutan otot f.
Multiple Acllerosis layu otot g.
Para Plegia kelayuhan atau kelumpuhan pada kedua tungkai biasanya pinggang kebawah
h. Hemi Plegia gangguan pada fungsi seluruh gerak bagian atas tubuh
i. Mono Plegia gangguan pada fungsi salah satu gerak bagian atas
j. Quadry Plegia kelumpuhan pada tangan dan kaki secara keseluruhan
k. Kehilangan anggota tubuh akibat amputasi.
2. Cacat Netra penglihatan, meliputi:
a. Cacat mata total kehilangan kemampuan penglihatan secara total
b. Low Vision kurang awas pada jarak pandang tertentu
Universitas Sumatera Utara
44
c. Buta Warna
d. Diffu Bluring kekaburan penglihatan.
3. Cacat RunguWicara, meliputi:
a. Cacat Rungu: berhubungan dengan kerusakan alat dan organ pendengaran
yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi atau suara.
b. Cacat Wicara: berhubungan dengan kerusakan atau kehilangan kemampuan
berbahasa, mengucapkan kata-kata, ketepatan dan kecepatan berbicara serta produksi suara. Ciri-cirinya: Tidak dapat memproduksi suara atau bunyi,
kurang atau tidak menguasai perbendaharaan kata, gagap, berkomunikasi dengan menggunakan gerakan tubuh atau simbol.
c. Cacat Rungu Wicara: yaitu ketidakmampuan dalam memproduksi suara dan
berbahasa yang disebabkan karena kerusakan alat dan organ pendengaran sehingga anak tidak mengenal cara mempergunakan organ bicara dan tidak
mengenal konsep bahasa.
61
Pembahasan dalam penelitian ini adalah anak dengan kategori penyandang cacat tubuh atau tuna daksa. Cacat tubuh berarti suatu keadaan rusak atau terganggu
sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau
dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan
atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu.
62
Pada prinsipnya anak penyandang cacat tubuh tersebut yang terdapat di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara hanya menderita kecacatan fisik
namun sehat secara lahiriah atau psikis.
61
Ibid, hal. 28-30.
62
T. Sutjihati Soemantri, Opcit, hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
45
Tuna daksa secara rinci dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu:
1. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran:
a. Faktor keturunan
b. Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan
c. Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak
d. Pendarahan pada waktu kehamilan
e. Keguguran berulang yang dialami ibu.
2. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:
a. Penggunaan alat pembantu kelahiran seperti tang, tabung vacum dan lain-
lain yang tidak lancar b.
Penggunaan obat bius yang tidak sesuai prosedur pada waktu kelahiran 3.
Sebab-sebab sesudah kelahiran: a.
Infeksi b.
Trauma c.
Tumor d.
Kondisi-kondisi lainnya
63
Sedangkan Frances G. Koening mengklasifikasi tuna daksa menurut beberapa hal yaitu:
1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan,
meliputi; a.
Club-foot kaki seperti tongkat b.
Club-hand tangan seperti tongkat c.
Polydactylism jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki
d. Syndactylism jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan lainnya
e. Torticolis gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka
f. Spina-bifida sebagian dari sum-sum tulang belakang tidak tertutup
g. Cretinism kerdilkatai
h. Mycrocephalus kepala yang kecil, tidak normal
i. Hydrocephalus kepala yang besar karena berisi cairan
j. Clefpalats langit-langit mulut yang berlubang
k. Herelip gangguan pada bibir dan mulut
l. Congenital hip dislocation kelumpuhan pada bagian paha
63
Ibid, hal. 125.
Universitas Sumatera Utara
46
m. Congenital amputation bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu
n. Fredresich ataxia gangguan pada sum-sum tulang belakang
o. Coxa valga gangguan pada sendi paha, terlalu besar
p. philis kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis
2. Kerusakan pada waktu kelahiran
a. Erb’s palsy kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik
waktu kelahiran b.
Fragilitas osium tulang yang rapuh dan mudah patah 3.
Infeksi a.
Tuberkulosis tulang menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku b.
Osteomyelitis radang di dalam dan di sekeliling sum-sum tulang karena bakteri
c. Poliomyelitis infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan
d. Pott’s disease tuberkulosis sum-sum tulang belakang
e. Still’s disease radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen
pada tulang f.
Tuberkulosis pada lutut atau pada sendi lain 4.
Kondisi traumatic atau kerusakan traumatic a.
Amputasi anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan b.
Kecelakaan akibat luka bakar c.
Patah tulang 5.
Tumor a.
Oxostosis tumor tulang b.
Osteosisi fibrosa cystic kista atau kantung yang berisi cairan di dalam tulang
6. Kondisi-kondisi lainnya
a. Flatfeet telapak kaki yang rata, tidak berlekuk
b. Kyphosis bagian belakang sum-sum tulang belakang yang cekung
c. Lordosis bagian muka sum-sum tulang belakang yang cekung
d. Perthe’s disease sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan
e. Rickets tulang yang lunak karena nutrisi, menyebabkan kerusakan tulang
dan sendi f.
Scilosis tulang belakang yang berputar, bahu dan paha yang miring.
64
64
Ibid, hal. 123.
Universitas Sumatera Utara
47
Karakteristik anak tuna daksa biasanya mengalami gangguan psikologis yang cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif serta memisahkan diri dari
lingkungannya.
65
Potensi fisik pada anak tuna daksa yang dapat dikembangkan menjadi tidak utuh, karena adanya bagian tubuh yang tidak sempurna sehingga dalam
usahanya untuk mengaktualisasikan diri biasanya dikompensasikan oleh bagian tubuh yang lain, misalnya: bila ada kerusakan pada tangan kanan, maka tangan kiri akan
lebih berkembang sebagai kompensasi kekurangan yang dialami tangan kanan. Namun disamping itu, kerusakan pada salah satu bagian tubuh tidak jarang juga
menimbulkan kerusakan pada bagian tubuh lainnya, misalnya kerusakan pada salah satu sendi paha akan berakibat pada miringnya letak tulang pinggul. Secara umum
perkembangan fisik anak tuna daksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.
66
Perkembangan emosi anak tuna daksa sendiri tergantung dukungan dan pengaruh dari orang tua, keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya. Hasil
penelitian Fizgerald menunjukkan bahwa reaksi dan perlakuan keluarga merupakan salah satu sumber frustasi bagi anak-anak tuna daksa, yang tidak jarang justru
berdampak lebih berat daripada ketunadaksaannya itu sendiri. Orang tua anak tuna daksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap terlalu melindungi
over protection , misalnya dengan memenuhi segala keinginannya, melayani secara
berlebihan dan sebagainya, sehingga menyebabkan pada akhirnya anak tuna daksa
65
http:www.slbk-batam.orgindex.php?pilih=halid=73, diakses tgl 5 Maret 2011, 22:46.
66
T. Sutjihati. Soemantri, Opcit, hal. 126.
Universitas Sumatera Utara
48
merasakan ketergantungan yang berlebihan kepada orang tua maupun keluarga lainnya dan juga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang tidak
dikenalnya.
67
Sebaliknya banyak juga keluarga atau orang tua yang menganggap keberadaan anak tuna daksa merupakan sebuah aib keluarga dan harus di tutupi.
Prilaku yang demikian akan berdampak menjadi kurangnya rasa kepercayaan diri pada anak penyandang cacat tubuh, sehingga anak penyandang cacat tubuh menjadi
susah untuk dapat berkembang dengan baik.
68
Di tinjau dari perkembangan sosialnya, anak-anak tuna daksa seringkali tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan anak-anak seusianya, terutama
dalam kelompok sosial yang lebih resmi. Khususnya mereka yang karena kondisinya harus sering tinggal di rumah, menunjukkan kebutuhan untuk bergaul dengan teman-
teman sebayanya yang tidak tuna daksa sangat dibutuhkan. Apabila mereka terlalu lama harus beristirahat di dalam rumah, maka hal ini dapat menyebabkan anak
tersebut akan mengalami deprivasi dan isolasi dari teman-temannya.
69
Perkembangan kepribadian individu anak tuna daksa secara keseluruhan dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain:
1. Tingkat ketidakmampuan kesulitan akibat ketunadaksaan, merupakan suatu
variabel yang penting dalam perkembangannya, walaupun hal ini tidak terlepas dari perlakuan anak-anak normal terhadap anak-anak tuna daksa itu sendiri.
67
Ibid, hal. 131.
68
Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011.
69
T. Sutjihati. Soemantri, Opcit, hal. 133.
Universitas Sumatera Utara
49
Dreikurs mengungkapkan bahwa individu tuna daksa merumuskan responnya terhadap ketunadaksaan sesuai dengan “gaya hidupnya”. Gaya hidup ini
menurut Adler terbentuk pada masa anak-anak melalui hambatan dan pengalaman yang dihadapi individu tersebut. Cara penerimaan dalam “gaya
hidup” tuna daksa merupakan faktor yang paling menentukan perkembangan kepribadian individu.
Dengan demikian, yang menentukan perkembangan kepribadian individu anak penyandang cacat tubuh bukan hanya faktor pembawaan dan faktor lingkungan,
akan tetapi juga bagaimana individu yang bersangkutan mengartikan dan menerima kedua faktor tersebut.
2. Usia ketika ketunadaksaan itu terjadi, sampai batas tertentu berpengaruh
terhadap laju perkembangan individu. Ketunadaksaan yang dialami pada usia yang lebih besar akan menunjukkan
efek yang lebih kecil terhadap perkembangan fisik, namun menimbulkan efek yang lebih besar pada perkembangan psikologis yang bersangkutan.
3. Nampak atau tidaknya kondisi tuna daksa, sehingga menunjukkan pengaruh
terhadap perkembangan kepribadian individu, terutama mengenai gambaran tubuhnya sendiri body image.
Kecacatan fisik umumnya sangat mudah diketahui atau dilihat oleh orang lain, meskipun berbagai macam variasinya. Kelainan fisik tersebut ada yang
menyolok tetapi ada juga yang tidak mudah terlihat oleh orang lain. Ada kesulitan yang begitu berat dan jelas sehingga mudah mengundang rasa
Universitas Sumatera Utara
50
kasihan, akan tetapi ada pula kelainan yang akibat kesulitannya tidak jelas. Faktor nampak dan tidaknya kelainan tersebut juga memiliki pengaruh yang
demikian besar dalam menentukan sikap lingkungan terhadap anak tuna daksa. Anak-anak tuna daksa pada umumnya menunjukkan sikap rendah diri, cemas
dan juga cenderung agresif. Hal demikian berhubungan dengan gambaran tubuh yang dimilikinya. Di samping itu pengaruh ketunadaksaan terhadap
perkembangan individu ditentukan juga oleh nilai psikologis bagian tubuh yang mengalami kelainan tersebut.
4. Dukungan keluarga dan dukungan masyarakat terhadap anak tuna daksa
memiliki pengaruh yang besar karena sikap keluarga dan masyarakat tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak tersebut. Orang tua atau
masyarakat yang menunjukkan sikap menolak keberadaan anak tuna daksa akan mengakibatkan anak tuna daksa merasa rendah diri, merasa dibenci dan
sebagainya. Seperti telah dikemukakan bahwa dalam pembentukan self respect pada anak
yang terpenting adalah menghargai anak dengan jalan menerima anak apa adanya sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah sebagai suatu pribadi
individu yang berguna. Tidak adanya self respect pada anak tuna daksa akan mengakibatkan mudah
timbulnya ketegangan dalam dirinya. Sedikit saja anak mengalami kesulitan maka ia akan merasa bahwa hal ini tidak akan mungkin dapat ia hadapi
sehingga anak tidak bisa menjadi mandiri.
Universitas Sumatera Utara
51
5. Sikap masyarakat terhadap anak tuna daksa menunjukkan pengaruh yang sangat
menentukan terhadap perkembangan kepribadian individu yang bersangkutan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pandangan masyarakat dewasa ini yang
memandang ukuran keberhasilan seseorang dari prestasi yang dicapainya. Keterbatasan yang disandang anak tuna daksa terkadang menghambatnya untuk
berprestasi seperti anak-anak normal lainnya sehingga dapat menimbulkan rasa tidak aman dan tingkat kecemasan yang tinggi dan pada akhirnya dapat
mengganggu perkembangan kepribadian anak tersebut. Dalam menghadapi situasi seperti itu, anak-anak tuna daksa terus berusaha melakukan berbagai
upaya agar bisa berhasil dengan cara-cara yang masih dapat diterima oleh masyarakat. Tindakan seperti itu seringkali menimbulkan hambatan-hambatan
terhadap perkembangan kepribadian anak. Misalnya dengan munculnya perasaan terpojok, tidak mempunyai kesempatan untuk meraih sukses, memiliki
tujuan yang tidak realistik dan sebagainya. Penelitian Gelman menunjukkan bahwa perlakuan stereotipik masyarakat
terhadap anak-anak tuna daksa sering menimbulkan ketakutan yang bersifat neurotic
pada anak-anak tersebut.
70
70
Ibid, hal. 134-135.
Universitas Sumatera Utara
52
2. Hak Anak dan Penyandang Cacat a. Hak Anak