71
Bentuk kegiatan rehabilitasi sosial anak penyandang cacat di masyarakat dalam mencapai tujuan rehabilitasi sosial secara tuntas, antara lain:
1. Pemutakhiran Data Anak Cacat;
2. Peningkatan Peran Keluarga;
3. Penguatan Jaringan Kerja Antara Lembaga;
4. Pelayanan Pendampingan dan Advokasi untuk Anak Cacat;
5. Pengembangan Perlindungan Sosial Bagi Anak
93
. Kegiatan yang berhubungan dengan rehabilitasi sosial tersebut dilakukan
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, dengan bekerja sama dengan Dinas Sosial di seluruh kabupaten kota maupun pihak kementerian sosial pada
bagian yang khusus menangani penyandang cacat, hanya saja pelaksanaannya belum terlalu efektif dikarenakan faktor birokrasi maupun terkendala pada sumber daya
manusia yang sangat terbatas.
94
3. Tujuan Rehabilitasi
Program kegiatan rehabilitasi anak penyandang cacat sesuai Pasal 4 Undang Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang diselenggarakan
melalui pemberdayaan penyandang cacat berguna untuk terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat itu sendiri.
Tujuan dari pelaksanaan program rehabilitasi terhadap anak penyandang cacat antara lain:
1. Terlaksananya rehabilitasi terhadap anak cacat sedini mungkin, untuk mencegah
terjadinya kecacatan permanen dan memperoleh kesempatan tercapainya pemulihan yang maksimal;
93
Kementerian Sosial, Standarisasi Pelayanan, Opcit, hal. 36-45.
94
Wawancara dengan R.S.N. Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011
Universitas Sumatera Utara
72
2. Terpenuhinya hak-hak anak cacat untuk hidup, tumbuh, kembang dan
berpartisipasi; 3.
Pulihnya dan dicapainya kemampuan anak secara fisik, mental dan sosial secara optimal;
4. Tumbuhnya kesadaran anak akan potensi yang dimilikinya serta tersedianya
sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mewujudkan potensi-potensi tersebut;
5. Meningkatkan kemandirian anak dalam arti ditingkatkannya kemampuan anak
mengurus diri sendiri dan mengaktualisasikan potensi kerja yang dimilikinya seoptimal mungkin.
95
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman.
96
4. Prinsip Dasar Kegiatan Rehabilitasi
Prinsip dasar kegiatan rehabilitasi ditinjau dari jenis, dilakukan dengan berorientasi pada pengembalian fungsi, individualisasi dan orientasi pada jenis
kecacatan serta kasus yang dimiliki. Ditinjau dari kemampuan pelaksana provider, prinsip dasar kegiatan rehabilitasi meliputi: prinsip kerja tim dan kerja atas dasar
profesi. Adapun ditinjau dari tempat, waktu dan sarana rehabilitasi berprinsip pada integritas, keluwesan tempat dan waktu, kesederhanaan serta keterlibatan orang tua
dan masyarakat.
97
95
Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak,
Kementerian Sosial RI, Jakarta, 2004, hal. 28.
96
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat Pasal 35.
97
Kementerian Sosial, Standandarisasi Pelayanan, Opcit, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
73
Pelaksana rehabilitasi itu sendiri secara teori yang ada, seharusnya terdiri dari para petugas yang tergabung dalam tim rehabilitasi, yaitu: para dokter spesialis
rehabilitasi, syaraf, ortopedi, THT, mata, jiwa dan ahli anak, serta para medis yang terdiri dari: fisioterapist, ahli terapi okupasi, prostetis dan ortotis, terapis wicara,
perawat rehabilitasi, ahli optikal, ahli audiologi, psikolog, pekerja sosial dan ahli okupasi terapi.
98
Selanjutnya unsur yang juga penting dalam prinsip dasar kegiatan rehabilitasi itu sendiri adalah adanya seorang pendidik yang berkompeten. Tugas utama pendidik
dalam perannya di bidang rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh adalah bertujuan untuk melakukan assesment baik yang berhubungan dengan aspek fisik, psikis, sosial
dan keterampilan untuk memperoleh data tentang kemampuan dan ketidakmampuan anak pada aspek-aspek tersebut diatas. Selanjutnya mengadakan pencatatan data yang
berhubungan dengan kecacatannya termasuk perkembangan kemampuan dan ketidakmampuan anak. Melaksanakan bentuk-bentuk kegiatan rehabilitasi yang
dilaksanakan dalam kegiatan proses belajar mengajar dan disesuaikan dengan batas- batas tertentu yang digariskan oleh bagian medik, sosial psikologis dan keterampilan.
Melakukan pembinaan kepada orang tua untuk membantu melakukan rehabilitasi dan pengawasan terhadap aktivitas anak sehari-hari di lingkungan keluarga. Akhirnya,
melakukan rujukan anak untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi sesuai dengan kebutuhan. Antara tenaga rehabilitasi, guru dan orang tua perlu bekerjasama dengan
98
Wawancara dengan R.S.N., Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011
Universitas Sumatera Utara
74
baik dalam rangka kelancaran pelaksanaan kegiatan rehabilitasi, yang pada gilirannya akan mengantarkan anak menjadi mampu mengikuti pendidikan dengan baik di
sekolah dan mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar di lingkungan masyarakat.
99
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara memiliki prinsip dasar yang di jadikan pedoman dalam melakukan pendekatan yang sesuai kepada anak
penyandang cacat, antara lain: 1.
Destigmatisasi; Pada dasarnya kecacatan yang dialami oleh anak sudah merupakan beban berat
bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Oleh karena itu anak cacat jangan lagi diberi cap yang menambah beban baru bahwa ”anak tidak berguna”, ”anak pembawa
sial”, ”anak kutukan Tuhan” dan sebagainya. Karena itu rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh harus menghindari tumbuhnya dan menghilangkan bila
sudah ada sebutan buruk stigma demikian pada anak penyandang cacat tubuh. 2.
Deisolasi; Sama seperti manusia lain, anak penyandang cacat tubuh tidak ingin dikucilkan
dari lingkungan sosialnya, ia juga ingin mencintai dan dicintai, menerima dan diterima, menemani dan ditemani. Rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh
perlu menghindari kegiatan yang akan mengisolasi anak penyandang cacat tubuh sehingga tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya.
99
file.upi.eduai.php?dir=DirektoriA20...20LUAR20BIASA... diakses pada tanggal 4 Maret 2011, 01:57.
Universitas Sumatera Utara
75
3. Desensitifisasi;
Ada kecenderungan bahwa anak penyandang cacat tubuh memiliki perasaan rendah diri, tidak berguna, membebani orang lain dan lain-lain, yang
menyebabkan ia mudah marah dan tersinggung. Untuk itu rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh perlu dirancang agar anak penyandang cacat tubuh tidak
terlalu sensitif atas kecacatannya. 4.
Di sini dan saat ini here and now; Rehabilitasi sosial kepada anak penyandang cacat tubuh harus dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan nyata dimana anak penyandang cacat tubuh itu berada pada saat ini. Artinya rehabilitasi dirancang dengan mempertimbangkan ruang dan
waktu dimana dan kapan rehabilitasi dilaksanakan sehingga sesuai dengan kebutuhan anak penyandang cacat tubuh dan lingkungannya.
5. Keanekaragaman pelayanan diversifikasi;
Rehabilitasi sosial anak penyandang cacat tubuh hendaknya tidak hanya menekankan pada satu aspek, namun memenuhi beragam aspek yang dibutuhkan.
Tidak sekedar menekankan pada mobilitas atau aksesibilitas saja, misalnya memberikan kursi roda. Tetapi jauh lebih kaya daripada itu yaitu meningkatkan
mentalitas kemandirian anak sehingga ia dapat hidup dan mengembangkan potensi yang dimiliki.
6. Dedramatisasi;
Kecacatan yang dialami oleh anak penyandang cacat tubuh adalah suatu masalah, tetapi kecacatan itu hendaknya juga jangan dibesar-besarkan seolah-olah dengan
Universitas Sumatera Utara
76
kecacatan itu maka dunia akan kiamat baginya. Guna menghindari tumbuhnya kondisi seperti itu maka anak penyandang cacat tubuh harus dibawa kedalam
kehidupan nyata sesuai dengan nilai-nilai sosial dimana mereka tinggal. 7.
Mengembangkan empati, bukan simpati. Memperlihatkan simpati yang bernada kasihan atau menyayangi secara
berlebihan dapat merusak rehabilitasi yang diperlukan bagi anak penyandang cacat tubuh. Oleh karena itu perasaan simpati mendalam harus dihindari. Kepada
anak penyandang cacat tubuh yang diberikan adalah empati, sehingga mereka mampu menemukan suasana rehabilitasi sosial secara wajar seperti yang juga
dialami oleh anak-anak lain seusianya.
100
Jenis kegiatan rehabilitasi yang digunakan untuk meningkatkan peranan keluarga dalam pengertian kesadaran dan rasa tanggung jawab agar dapat melindungi,
merawatmemelihara, mendidik, melatih anggota keluarga yang cacat adalah sebagai berikut:
1. Kampanye sosial
a. Tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial
berbagai pihak yang menurut perundang-undangan dan secara sosial budaya terkait langsung dan tidak langsung dalam rehabilitasi anak penyandang cacat.
b. Sasaran kampanye sosial antara lain: keluarga, lembaga pendidikan,
kesehatan, kependudukan, dunia usaha serta lembaga pemerintah paling bawah DesaKelurahan.
c. Materi yang dikampanyekan antara lain: undang-undang yang terkait dengan
peningkatan perlindungan dan atau kesejahteraan anak, pengetahuan dan keterampilan pembinaan anak penyandang cacat di rumah tangga, di
masyarakat atau ditempat kerja dan sebagainya.
100
Wawancara, R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011
Universitas Sumatera Utara
77
d. Metode kampanye disesuaikan dengan situasi, kondisi, permasalahan serta
potensi lokal setiap wilayah. Beberapa metode antara lain: diskusi, dialog, sambung rasa leaflet, booklet, media cetak dan elektronik, seni budaya lokal
termasuk juga berbagai lomba yang menarik.
e. Tahapan kegiatan, antara lain: menyusun rencana kegiatan, menentukan lokasi
kegiatan, melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah lokal KabupatenKotaKecamatanKelurahan, membentuk tim lintas profesi dan
instansi, pelaksanaan kegiatan dan evaluasi.
f. Petugas kampanye adalah Peksos fungsional, Tenaga Medis, Psikolog dan
lain-lain.
101
2. Deteksi dini kecacatan
a. Kegiatan deteksi dini kecacatan ini dapat menjadi bagian dari kampanye
sosial di atas, namun dapat juga berdiri sendiri. b.
Tujuan kegiatan adalah untuk meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab sosial keluarga, khususnya dalam menemu kenali kecacatan pada anak secara
dini dan pencegahannya. c.
Sasaran deteksi dini adalah keluarga didalam masyarakat. d.
Tahapan kegiatan sebagai berikut: menyusun rencana kegiatan, menentukan lokasi kegiatan deteksi dini Posyandu, Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
RBM Anak cacat, Taman Penitipan Anak TPA, Kelompok Bermain KB, Taman Kanak-Kanak TK, UPSK dll. Melakukan koordinasi dengan instansi
pemerintah lokal KabupatenKotaKecamatanKelurahanDesa, membentuk tim lintas profesi dan instansi, pelaksanaan kegiatan, evaluasi, rujukan dan
tindak lanjut.
e. Metoda penelitian bio psikososial, dialog, sambung rasa, penyebaran leaflet.
f. Petugas Peksos Fungsional, Tenaga medis, psikolog, orsos.
g. Kegiatan ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan unit pelayanan sosial
keliling UPSK untuk penyandang cacat.
102
3. Penumbuh-kembangan Forum Keluarga dengan Anak Cacat FKDAC
a. Tujuan forum ini untuk menjadi wadah dan forum koordinasi para orang tua
yang mempunyai anak penyandang cacat di suatu daerah Forum Keluarga Dengan Anak Cacat KDAC merupakan lembaga kerjasama pertukaran
informasi dan keterampilan antara keluarga yang memiliki anak cacat. Selain dapat menjadi alat motivasi dan advokasi bagi keluarga. Forum juga dapat
101
Kementerian Sosial RI, Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Cacat, Opcit
, hal.39.
102
Ibid, hal. 40-41.
Universitas Sumatera Utara
78
menjadi sarana Dinas SosialInstansi terkait dalam upaya perlindungan dan peningkatan hak-hak anak cacat di masyarakat.
b. Sasaran kegiatan ini antara lain: keluarga dengan anak cacat, SLB, SDLB,
Dinas SosialInstansi terkait lainnya. c.
Metode penumbuhkembangan forum dapat menyesuaikan dengan situasi, kondisi, permasalahan serta potensi lokal setiap wilayah.
d. Tahapan penumbuhkembangan Forum KDAC antara lain: Sosialisasi
pentingnya forum, kesepakatan membentuk forum, membentuk pengurus forum, kegiatan pendampingan dan advokasi untuk forum, kegiatan fasilitasi,
pengembangan, supervise dan evaluasi, melakukan koordinasi dengan instansi terkait tingkat lokal propinsikabupatenkota, SLB atau orsos anak cacat dan
perguruan tinggi dan lain-lain.
e. Petugas Peksos Fungsional, Petugas Sosial KabupatenKotaPropinsi, Tenaga
Medis, Relawan Sosial dan lain-lain sesuai keperluan.
103
4. Penguatan jaringan kerja antar lembaga, meliputi antara lain:
a. Bertujuan untuk pertukaran informasi, peningkatan sinergi serta
pengembangan pelayanan pada anak cacat. b.
Sasaran: Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, organisasi sosialLSM, keluarga, masyarakat, dunia usaha dan sebagainya.
c. Tahapan kegiatannya: perencanaan kegiatan, mengundang sasaran anggota
jaringan dan pertemuan pembahasan jaringan kerja penyatuan visi-misi pelayanan, media pertemuan, pola kerja, penyusunan rencana pelayanan,
pembagian tugas, evaluasi bersama serta tindak lanjut.
d. Petugas Sosial PropinsiKabupatenKota, Peksos Fungsional, Pimpinan
Lembaga yang bergabung.
104
5. Pelayanan pendampingan dan advokasi untuk anak cacat, meliputi antara lain:
a. Betujuan untuk meningkatkan pelayanan, pemulihan, pemeliharaan serta
terpenuhinya hak-hak anak cacat berupa hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan partisipasi.
b. Sasarannya: anak cacat dalam keluarga, keluarga langsungpengganti dan
komunitas. c.
Tahapan kegiatan: identifikasi kebutuhan pelayanan pendampingan dan advokasi, merencanakan kegiatan pemenuhan kebutuhan pelayanan
pendampingan dan advokasi, melaksanakan supervise dan evaluasi dan terminasi.
103
Ibid, hal. 42-43.
104
Ibid, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
79
d. Petugasnya: pekerja sosial fungsional dari instansi sosial setempat, relawan
sosial dan petugas lain yang berkompeten. e.
Metode, meliputi: bimbingan sosial individual, bimbingan sosial keluarga, bimbingan sosial kelompok, pendampingan sosial dan pembelaan sosial.
105
6. Pengembangan perlindungan sosial bagi anak cacat.
Merupakan upaya perlindungan sosial bagi anak cacat yang tidak mampu di masyarakat perlu dilakukan secepat mungkin, sehingga proses tumbuh kembang
mereka tidak terhambat, karena keterlambatan bisa diartikan sebagai diskriminasi terhadap anak-anak yang menyandang cacat. Pengembangan perlindungan
tersebut meliputi: a.
Tujuan perlindungan sosial bagi anak cacat untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak cacat yang karena berbagai hal tidak mampu hidup secara
layak; seperti tindakan diskriminasi, keluarga tidak mampu miskin, bencana alam dan sosial lainnya.
b. Sasaran dari perlindungan sosial adalah anak-anak cacat yang berasal dari
keluarga tidak mampu, baik untuk sekolah maupun mendapatkan pelayanan medis atau kesehatan.
c. Jenis kegiatan perlindungan sosial antara lain: bantuan makanan, pakaian dan
peralatan sekolah, penyediaan pelayanan khusus bagi anak cacat, pemberian bea siswa bagi anak cacat, penyediaan jasa konsultasi dan konseling, gerakan
teman asuh dan penyediaan aksesibilitas pelayanan pendidikan lainnya bagi anak cacat, seperti penyediaan fasilitas olah raga, fasilitas belajar, sarana
perpustakaan dan sebagainya.
d. Tahapan kegiatan, antara lain: identifikasi masalah yakni menentukan jumlah
anak cacat yang berhak mendapatkan bantuan identitas anak dan identitas keluarga, pengungkapan
106
Dari uraian di atas dapat diilihat bahwa peraturan yang ada Undang Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sudah mencerminkan keseriusan pemerintah dalam hal menangani permasalahan bagi para penyandang cacat,
termasuk di dalamnya anak penyandang cacat tubuh, namun realisasinya yang tekadang tidak sesuai dengan pengharapan. Bentuk tanggung jawab pemerintah
adalah dengan memfasilitasi penyandang cacat untuk direhabilitasi mental dan vokasinya dengan sistem pelayanan berbasis panti sudah cukup baik, karena ternyata
105
Ibid, hal 44.
106
Ibid, hal 45.
Universitas Sumatera Utara
80
setelah di bangkitkan kepercayaan dirinya dan di berikan keterampilan praktis, sesungguhnya anak penyandang cacat juga cukup terampil. Anak penyandang cacat
tersebut hanya butuh di bimbing dan di bangkitkan mentalnya agar optimis memandang hidup dan menerima kenyataan hidup, karena kekurangan penyandang
cacat hanya terletak pada keterbatasan fisik dan pada prinsipnya setiap orang tua menginginkan anaknya untuk tumbuh dengan sehat dan normal, karena anak
merupakan aset, tumpuan harapan serta kebanggan orang tua.
Universitas Sumatera Utara
81
BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN REHABILITASI ANAK PENYANDANG
CACAT TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA UTARA
A. Tinjauan Umum Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara berdiri tahun 1995 berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22HUK1995
tentang Organisasi Panti Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial Repubik Indonesia dan berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 25HUK1998
tanggal 15 April 1998 yang menetapkan panti sosial ini sebagai Panti Sosial Tipe A dengan kapasitas tampung sebanyak 100 seratus orang.
107
Sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah, Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara diserahkan pengelolaannya ke
Pemerintah Daerah. Dengan berjalannya waktu dan perkembangan situasi, panti ini tidak dapat memberikan pelayanan secara optimal dikarenakan faktor anggaran yang
tidak tercukupi sehingga menimbulkan keprihatinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara yang kemudian menyarankan Gubernur untuk
menyerahkan kembali pengelolaan panti ini kepada Kementerian Sosial, melalui surat Nomor: 619718Sekr tanggal 15 Desember 2003, yang diperkuat dengan persetujuan
DPRD Sumatera Utara terhadap penyerahan kembali panti kepada Kementerian Sosial melalui Surat Keputusan DPRD Propinsi Sumatera Utara Nomor 14K2004.
107
Buletin Peduli. Opcit, hal.8.
69
Universitas Sumatera Utara
82
Pertimbangan yang mendasari hal tersebut adalah bahwa lokasi panti yang begitu luas dan jangkauan pelayanan yang cukup luas harus dikelola secara baik dan optimal,
baik dari segi sumber daya manusia, program maupun anggaran.
108
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara merupakan salah satu unit pelaksana teknis Kementerian Sosial Republik Indonesia dibawah Direktorat Jenderal
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dengan wilayah pelayanan regional terbatas yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan
Riau dan Sumatera Barat. Berlokasi di Jalan Williem Iskandar Nomor 377 Medan. Semenjak tahun 2009 hingga sekarang Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia”
Sumatera Utara telah melaksanakan 3 tiga kali program rehabilitasi terhadap penyandang cacat tubuh. Setiap angkatan program rehabilitasi ini dilaksanakan
selama satu tahun.
Peserta Program Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh Di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara
Tahun 2009-2011.
109
No Tahun
Jumlah Peserta Anak
Dewasa Tidak
selesai Selesai
1 2009
50 20
30 --
50 2
2010 60
24 36
4 56
3 2011
80 38
42 --
--
dari tabel ini jelas terlihat setiap tahun meningkatnya peserta program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Peserta di tahun 2009 yang
berjumlah 50 lima puluh orang, seluruh peserta selesai mengikuti program
108
Ibid.
109
Wawancara, R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011
Universitas Sumatera Utara
83
rehabilitasi selama satu tahun dan telah dinyatakan lulus seluruhnya. Sedangkan di tahun 2010 dengan peserta yang berjumlah 60 enam puluh orang terdapat 4 empat
orang yang tidak mengikuti program rehabilitasi penyandang cacat tubuh sampai dengan selesai. Hal ini disebabkan beberapa masalah baik itu dari Panti maupun dari
peserta. Untuk di tahun 2011 hingga saat ini penyandang cacat tubuh yang mengikuti program rehabilitasi di panti berjumlah 80 delapan puluh orang.
Panti ini memiliki fasilitas pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat tubuh potensial berupa sarana dan prasarana pengasramaan, pendidikan yang
meliputi bimbingan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan tingkat lanjut serta kegiatan penunjang lainnya.
110
Panti ini juga memberikan informasi, rujukan, koordinasi dan kerjasama dengan instansi lain
sehingga pada akhirnya penyandang cacat tersebut mampu untuk berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
111
Kementerian Sosial Republik Indonesia mendirikan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dengan visi untuk mewujudkan kualitas hidup penyandang
cacat tubuh yang sejahtera, mandiri, sejajar dan bebas hambatan.
112
Serta memiliki misi untuk memberikan pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat tubuh
yang terdiri dari:
110
Kementerian Sosial RI, Struktur Organisasi Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara
, Departemen Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial, Jakarta, 2006, hal. 4.
111
Ibid, hal. 5.
112
Ibid, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
84
1. Melakukan perlindungan, peningkatan harkat dan martabat, serta kualitas hidup
dari penyandang cacat tubuh. 2.
Mencegah, meminimalisasi dan memperbaiki kondisi mental dan psikologis penyandang cacat tubuh.
3. Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pelayanan dan
rehabilitasi sosial penyandang cacat tubuh. 4.
Memberikan pelayanan dan jaminan sosial bagi penyandang cacat tubuh. 5.
Melakukan kajian pengembangan metode dan tata cara rehabilitasi sosial penyandang cacat tubuh.
113
Secara rinci dapat dilihat fungsi dan peran Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara adalah untuk melakukan :
1. Pelaksanaan penyusunan rencana program, evaluasi dan laporan;
2. Pelaksanaan registrasi, observasi, identifikasi, diagnosa sosial dan perawatan;
3. Pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi bimbingan mental,
sosial, fisik dan keterampilan; 4.
Pelaksanaan pemberian informasi dan advokasi; 5.
Pelaksanaan pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rehabilitasi sosial; 6.
Pelaksanaan urusan tata usaha.
114
Panti Sosial Bina Dasa “Bahagia” Sumatera Utara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memiliki sebuah standar pelayanan minimal atau batas standar, untuk
melakukan pelayanan terhadap penyandang cacat tubuh yang mengikuti program rehabilitasi. Standar pelayanan minimal adalah suatu spesifikasi teknis rehabilitasi
sosial penyandang cacat dalam panti yang dilakukan untuk menjadi patokan dalam kegiatan rehabilitasi sosial penyandang cacat dalam panti.
Kementerian Sosial Republik Indonesia dalam hal ini selaku kementerian yang membawahi Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara memberikan
113
Ibid, hal. 8.
114
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
85
dasar pemikiran dan batasan tentang Standar Pelayanan Minimal terhadap program rehabilitasi sosial penyandang cacat, yaitu:
1. Penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai
kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Untuk mewujudkan
kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat diperlukan sarana dan upaya yang lebih memadai, terpadu dan berkesinambungan yang pada
akhirnya akan menciptakan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.
2. Program rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat pada hakekatnya dilaksanakan
oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan lingkup kebijakan yang kondusif, untuk mendorong pemerintah bersama
masyarakat dapat berperan aktif dan optimal, sehingga program rehabilitasi sosial penyandang cacat dalam panti lebih profesional.
3. Selama ini dalam kegiatan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat dalam panti
baik milik pemerintah maupun swasta dilaksanakan secara rutinitas dan konvensional sesuai dengan pedoman yang ada, namun dalam perkembangan
selanjutnya terdapat kelemahan-kelemahan dilihat dari perspektif pekerjaan sosial. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan dalam mengukur kinerja panti
rehabilitasi sosial penyandang cacat.
4. Dalam rangka peningkatan profesionalitas pelayanan rehabilitas bagi penyandang
cacat dalam panti diperlukan standar pelayanan yang mencakup bangunan gedung, sarana dan prasarana, pelayanan sosial, pelayanan profesional, sumber
daya manusia dan administrasi yang dapat menjadi tolak ukur keberhasilan panti dalam melaksanakan pelayanan sosial secara profesional.
5. Standar pelayanan minimal rehabilitasi sosial penyandang cacat dalam panti
merupakan persyaratan minimal yang harus diikuti oleh lembaga-lembaga pelayanan kesejahteraan sosial dalam rangka memelihara dan meningkatkan
kualitas pelayanan sosial secara profesional.
115
Maksud dan tujuan dibuatnya standar pelayanan minimal rehabilitasi sosial yang di lakukan Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara ini adalah:
1. Standar pelayanan minimal program rehabilitasi sosial penyandang cacat dalam
panti ini dimaksudkan untuk dijadikan pedoman atau aturan atau patokan oleh para penyelenggara program panti dalam menyelenggarakan rehabilitasi sosial
bagi penyandang cacat sasaran garapan.
115
Kementerian Sosial RI, Standarisasi Pelayanan, Opcit, hal. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
86
2. Apabila standar pelayanan minimal ini diterapkan dengan sungguh-sungguh oleh
para pengelola
panti rehabilitasi
sosial penyandang
cacat, maka
profesionalitasmutu pelayanan dengan sendirinya eksis dan meningkat. 3.
Tujuan akhirnya adalah penyandang cacat mampu hidup mandiri secara sosial dan ekonomis.
116
Prinsip yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pada penyelenggaraaan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat dalam panti adalah sebagai
berikut: 1.
Melaksanakan rehabilitasi sosial penyandang cacat sesuai dengan rambu-rambu hukum yang berlaku yaitu dengan memperhatikan perundang-undangan dan
peraturan yang berlaku; 2.
Penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat dengan memperhatikan fungsi panti sebagai pusat pelayanan rehabilitasi, pusat informasi
dan laboratorium; 3.
Dalam pemberian pelayanan, panti sosial menggunakan pendekatan ganda, yaitu: disamping memberikan pelayanan kepada penyandang cacat, juga memberikan
pelayanan kepada orang tuakeluarga atau orang-orang yang terkait dengan penyandang cacat;
4. Menyediakan pelayanan dan fasilitas berdasarkan kebutuhan penerima pelayanan
guna meningkatkan fungsi sosialnya; 5.
Memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan, tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan;
6. Penerima pelayanan berpartisipasi dalam menentukan jenis-jenis pelayanan yang
diperlukan dalam pemecahan masalahnya sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan informasi dan pengukuran yang dilakukan pekerja sosial dan profesi
terkait;
7. Kebutuhan penyandang cacat menjadi fokus dari kebijakan pengembangan dan
penentuan pelayanan; 8.
Panti sosial penyandang cacat sebagai lembaga rehabilitasi sosial didalam melaksanakan kegiatannya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi pelayanan sosial, berdasarkan metode, pendekatan serta prinsip-prinsip pekerjaan sosial dan profesi lain yang terkait sebagai pendukung;
9. Dapat dimintai pertanggungjawabannya oleh masyarakat dalam pelaksanaan
manajemen organisasi dan profesional; 10.
Memasyarakatkan informasi tentang aksesibilitas penyandang cacat agar dapat memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana prasarana serta perlindungan
sosial dan hukum.
117
116
Kementerian Sosial, Struktur Organisasi, Opcit, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
87
Tahap-tahap dalam kegiatan pelayanan di dalam standar khusus pelayanan rehabilitasi adalah:
1. Pendekatan awal;
Dalam tahap ini dilaksanakan pendaftaran calon penyandang cacat, seleksi calon penyandang cacat, penerimaan dan registrasi.
2. Pengungkapan dan pemahaman masalah;
Suatu kegiatan mengkaji dan menganalisa masalah dan potensi penyandang cacat, sumber-sumber di luar penyandang cacat yang dapat membantu
pemecahan masalah penyandang cacat.
3. Penempatan kedalam program;
Menempatkan penyandang cacat didalam program yang ada dalam panti berdasarkan potensi dan minatnya.
4. Pelaksanaan pelayanan.
Beberapa jenis pelayanan profesional yang dilaksanakan di dalam panti adalah:
1. Bimbingan fisik dan kesehatan;
Bimbingan ini diarahkan pada perkembangan sikap dan perilaku positif penyandang cacat tentang kondisi fisik dan kesehatannya. Dengan adanya
bimbingan fisik dan kesehatan ini penyandang cacat dapat menjaga kondisi fisik dan merawat kesehatannya, sehingga dapat melaksanakan peranan dan tugas-
tugas kehidupannya.
2. Bimbingan sosial;
Bimbingan sosial ini dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan sikap dan perilaku penyandang cacat yang positif terhadap lingkungan sosialnya.
Dengan adanya bimbingan ini, diharapkan penyandang cacat memiliki ketahanan sosial, sehingga mampu mengembangkan relasi sosial yang positif dan
menjalankan peranan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Bimbingan Psikososial;
Bimbingan ini diarahkan pada perkembangan pengetahuan, sikap dan perilaku penyandang cacat yang positif terhadap diri dan lingkungannya sebagai situasi
sosial psikologis yang mempengaruhi. Dengan adanya bimbingan ini, diharapkan penyandang cacat memiliki konsep diri yang positif, memiliki kepercayaan diri
dan tanggungjawab terhadap tugas-tugas sehari-hari.
4. Bimbingan SpiritualAgama;
Bimbingan ini dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan perilaku penyandang cacat yang positif terhadap diri dan lingkungannya sebagai
117
Kementerian Sosial, Standarisasi Pelayanan, Opcit, hal. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
88
perwujudan dari orang beragama. Dengan adanya bimbingan ini, diharapkan penyandang cacat memiliki keyakinan yang makin kuat terhadap ajaran agama
dan mampu menajalankannya dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan di masyarakat.
5. Bantuan BelajarPendidikan;
Bantuan belajarpendidikan khusus ditujukan untuk penyandang cacat yang masih sekolah. Dengan bantuan belajar ini diharapkan penyandang cacat dapat
melangsungkan pendidikannya dengan baik.
6. Bimbingan Keterampilan KerjaUsaha Ekonomi;
Pelatihan keterampilan dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan penyandang cacat dalam bidang usaha ekonomi produktif. Pelatihan
ini diharapkan menjadi modal bagi penyandang cacat untuk hidup secara mandiri setelah mereka kembali kepada keluarga dan masyarakat.
7. Resosialisasi;
Tahapan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan penyandang cacat dan masyarakat lingkungannya agar terjadi integrasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Bentuk kegiatan yang diberikan antara lain: bimbingan kerjausaha, bimbingan bantuan peningkatan modal, bimbingan sosial hidup
bermasyarakat dan penempatan serta penyaluran.
8. Bimbingan Lanjut;
Kegiatan pada tahapan ini lebih diarahkan sebagai upaya pemantapan dalam kehidupan dan penghidupan penyandang cacat dalam hidup bermasyarakat.
9. Terminasi.
Tahapan ini merupakan akhir dari proses rehabilitasi sosial dengan menghentikan seluruh jenis pelayanan yang diberikan kepada penyandang cacat berdasarkan
hasil konferensi kasus.
118
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dipimpin oleh seorang
Kepala Panti Eselon III dan dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha Eselon IV, Kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial Eselon IV, Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Eselon IV, Kepala Seksi Penyaluran dan Bimbingan Lanjut Eselon IV, pekerja sosial fungsional, perawat, fisioterapist, pranata komputer dan
staf-staf lainnya.
119
118
Ibid, hal. 11-13.
119
Wawancara dengan M.J.H. Pegawai Panti, pada tanggal 29 Februari 2011.
Universitas Sumatera Utara
89
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara memiliki beberapa program rehabilitasi yang terdiri dari:
1. Program pokok;
a. Pembinaan fisik
b. Pembinaan mental psikologis
c. Pembinaan mental spiritualagama
d. Pembinaan sosial
2. Program penunjang;
a. Pelatihan keterampilan kerja
1 Penjahitan pakaian pria
2 Penjahitan pakaian wanita
3 Elektronika
4 Otomotif
5 Servis telepon selular
b. Program ekstrakurikuler
1 Bimbingan kepramukaan
2 Kerajinan tangan
3 Kesenian
3. Program Pembinaan lanjutbimbingan pengembangan.
a. Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat dan berperan serta dalam
pembangunan b.
Upaya-upaya pengembangan usaha eks-penyandang cacat, dapat di berikan bantuan berupa alat-alat yang di butuhkan. Untuk mendapatkan modal belum
ada anggaran khusus, tetapi biasanya pihak panti bekerja sama dengan instansi lain
c. PBK praktik belajar kerja dilaksanakan di perusahaan-perusahaan atau
home industri , setelah penyandang cacat mengikuti ujian keterampilan
terlebih dahulu dan dinyatakan layak untuk ikut dalam praktek kerja d.
Bimbingan motivasi peningkatan usaha kerja dengan melakukan workshop kewirausahaan.
120
Fasilitas yang terdapat di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara untuk mendukung Program Rehabilitasi, terdiri dari:
1. Memiliki luas tanah 8.960 m2 128 X 79 m2 dengan luas bangunan 5.411 m2
yang terdiri dari : a.
Kantor untuk pegawai; b.
Wisma tamu;
120
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
90
c. Wisma petugas 2 buah;
d. Aula;
e. Asrama 4 buah;
f. Musholla;
g. Ruang pendidikan;
h. Ruang keterampilan, tiap-tiap keterampilan memiliki 1 ruangan secara
terpisah; i.
Ruang rapat pertemuan; j.
Ruang makan; k.
Dapur umum; l.
Kantin; m.
Poliklinik; n.
Perpustakaan; o.
Gardu satpam; p.
Ruang assesment; q.
Ruangan fitness. 2.
Penerangan a.
PLN generator. 3.
Kendaraan dinas a.
Kendaraan roda dua 5 unit; b.
Kendaraan roda empat 2 unit; c.
Ambulance 1 unit. 4.
Sarana olahraga kesenian a.
Lapangan bola volley; b.
Lapangan bulu tangkis; c.
Lima jenis peralatan fitnes; d.
Meja pingpong; e.
Peralatan lengkap musik untuk band. 5.
Fasilitas lain a.
Lapangan upacara; b.
Kamar mandi yang sudah memiliki standar untuk pemakaian penyandang cacat tubuh;
c. Televisi dan dispenser di setiap asrama;
d. Ruangan untuk bersantai dan menerima keluarga dilengkapi dengan sofa;
e. Setiap sudutsisi di dalam panti memiliki tiangbesi penyanggah untuk bisa
berpegangan baik di dalam ruangan ataupun di sepanjang koridor;
Universitas Sumatera Utara
91
f. Alat penyanggah latihan berjalan ketika adaptasi setelah pemakaian kaki
palsu.
121
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam menerima peserta program rehabilitasi, memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh peserta
program rehabilitasi. Syarat penerimaan itu adalah sebagai berikut : 1.
Usia 15 tahun 35 tahun; 2.
Berbadan sehat dan tidak mengidap penyakit menular, dinyatakan dengan Surat Keterangan Dokter sebanyak 2 dua rangkap;
3. Bisa baca tulis;
4. Mengisi dan menandatangi pernyataan penyandang cacatorang tuawali untuk
menaati program rehabilitasi sosial; 5.
Melampirkan surat pernyataan bahwa orang tuawali bersedia menerima kembali si anak, baik yang tamat ataupun gagal dalam pembinaan;
6. Menyediakan pas foto terbaru berwarna ukuran 3x4 sebanyak 3 tiga lembar;
7. Menyerahkan foto terbaru seluruh badan ukuran postcard yang menampakkan
kecacatannya sebanyak 3 tiga lembar; 8.
Surat Keterangan dari Kepala DesaLurah tentang status Kependudukan; 9.
Menyerahkan fotokopi KTP orang tuawali sebanyak 2 dua lembar; 10.
Menyerahkan fotokopi IjazahSTTB sebanyak 2 lembar; 11.
Tidak memiliki cacat ganda mempunyai cacat yang lain seperti cacat netra, cacat rungu wicara dan atau cacat mental.
122
Setelah seluruh syarat itu terpenuhi, maka penyandang cacat dapat mengikuti program rehabilitasi penyandang cacat di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia”
Sumatera Utara, dengan cara sebagai berikut : 1.
Orang tuawali langsung menghubungi PSBD Bahagia dengan membawa rekomendasisurat keterangan dari Kepala DesaKelurahan setempat atau
Organisasi Sosial yang menyatakan calon penyandang cacat perlu mendapatkan pelayanan rehabilitasi sosial.
2. Orang tuawali dapat menghubungi Dinas Sosial setempat dengan membawa
surat keterangan dari Kepala DesaKelurahan setempat atau Organisasi Sosial yang menyatakan calon penyandang cacat perlu mendapatkan pelayanan
rehabilitasi sosial
121
Ibid.
122
Kementerian Sosial, Struktur Organisasi, Opcit, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
92
3. Pengirimanpemberangkatan secara kolektif oleh Pemerintah Propinsi,
KabupatenKota Dinas Sosial setempat dengan terlebih dahulu ada pemberitahuan kepada PSBD Bahagia Sumatera Utara.
4. Rujukan dari LBK, URSK, atau lembaga-lembaga pelayanan sejenis, diupayakan
melalui koordinasi dengan pemerintah daerah setempat.
123
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebelum melaksanakan
program rehabilitasi terlebih dahulu mengeluarkan beberapa formulir yang diantaranya merupakan formulir 4 Form 4 yang berisikan pernyataan tentang
kesanggupan dan ketentuan dipanti yang harus di patuhi dan dilaksanakan baik oleh orang tuawali maupun anak penyandang cacat tubuh peserta program rehabilitasi.
Pernyataan itu berbentuk formulir perjanjian dengan format baku yang di keluarkan oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.
B. Ketentuan Umum Perjanjian
1. Pengertian perjanjian