Analisa Yuridis Terhadap Perjanjian Rehabilitasi Anak Cacat Tubuh Oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak d

(1)

(Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang

Terletak di Medan)

TESIS

OLEH

RINI MIRZA

087011100/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI

ANAK CACAT TUBUH OLEH KEMENTERIAN SOSIAL

REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT

(Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang

Terletak di Medan)

TESIS

Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

OLEH

RINI MIRZA

087011100/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak di Medan)

Nama Mahasiswa : RINI MIRZA

Nomor Pokok : 087011100

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 10 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Idha Aprilliana, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Anak merupakan salah satu amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan dalam kehidupan. Khususnya anak penyandang cacat tubuh, berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pemerintah membentuk Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebagai salah satu unit pelaksana teknis yang menyelenggarakan program rehabilitasi terhadap para penyandang cacat tubuh potensial. Dalam pelaksanakan perekrutan peserta program rehabilitasi, panti membuat suatu perjanjian dalam bentuk formulir perjanjian baku berupa pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada panti yang berisikan klausula “Tidak akan menuntut apapun jika anak kami mendapatkan halangan (melarikan diri, sakit yang keras, kecelakaan dan atau meninggal dunia) selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”. Dengan adanya klausula eksonerasi ini bagaimana perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang berbasis pada hukum peraturan perundangan, kemudian mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika peraturan perundangan itu bekerja di dalam masyarakat.

Rehabilitasi diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dengan memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat tubuh agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalaman untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar. Pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dilakukan dengan sebuah format perjanjian baku dibawah tangan yang dibuat oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam bentuk formulir pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada Panti yang di dalamnya terdapat klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini membatasi atau membebaskan tanggung jawab panti terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi. Sehingga berlawanan antara program pemerintah yang ingin memberikan perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh dengan melaksanakan program rehabilitasi namun tanggung jawab terhadap perlindungan anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi penyandang cacat tubuh tidaklah jelas. Perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh sebaiknya tidak hanya melalui program rehabilitasi sosial saja, namun perlindungan di segala hal. Hendaknya Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara membuat format perjanjian dalam perekrutan peserta rehabilitasi sosial yang isinya lebih spesifik, seimbang, terperinci dan jelas. Perjanjian harus jelas mengenai hak dan tanggung jawab para pihak dan sebaiknya dibuat berupa perjanjian secara notariel.

Kata kunci : Perjanjian Rehabilitasi, Anak Penyandang Cacat Tubuh, Rehabilitasi Anak Penyandang Cacat Tubuh.


(6)

ABSTRACT

Child is one of the trusteeships as well as blessing from God that we must take care of because the child has a dignity, value and the rights to get legal protectionand is equal life with others. Especially for the children with physical defect, the government, based on law No.4/1997 on Handicapped Persons, established Panti Soaial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara as one of the technical implementation units that runs a rehabilitation program for the potential handicapeed persons. In the implementation of recruitment of the participants for the rehabilitation program, the Panti makes a standart written agreement in the form of statement of the parents/guardians of the handicapped children stating in clause that they will not claim for anything if something happens to their children stating in a clause that they will not claim for anything if something happens to their children (escaping from the Panti, developing serious illness, getting accident and/or passing away) during their period of participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. With this exoneration clause, the research question is “how legal protection is given to the handicapped children during their participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”

This is analytical descriptive study with empirical juridical approach. Based on the regulations of legislation, this study was employed to observe the existing action and reaction related to the application of this regulation of legislation in the society.

Rehabilitation is done by government and/or community members by reactivating and developing either the physical, mental or social capatabilities of the handicapped persons in order to be able to implement their social function in line with their talent, ability and experience to intergrate through communication and interaction and proper ife in their community. The implementation of rehabilitation agreement for handicapped children in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara was done through a standart agreement format made underhanded by Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatra Utara in the form of a form stating the readiness of parents/guardians of the children to accept what they have written in the exoneration clause. This exoneration clause limits or exonerates the Panti’s responbility for the handicapped children participating in the rehabilitation program. This is against the program of government which wants to provide legal protection to the handicapped children by implementing the rehabilitation program, but the responsibility to protect the handicapped children during their participating in the rehabilitation program is not clear. Legal protection for the handicapped children should not only through the social rehabilitation program but also in any problem the handicapped children may have. The management of Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara is suggested to make the format of agreement which is more specific, balanced, detailed and clear in recruiting the participants for the social rehabilitation program. The agreement must clearly state the rights and responsibilities of the parties involved and it would be much better if the agreement is madebefore and with a notary.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil alamin Penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa telah memberikan nikmat dan petunjuknya kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak Di Medan)”

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn), pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan tesis ini tidak akan mungkin selesai tanpa adanya arahan, bimbingan, bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak, sehingga akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: Bapak Prof. Hasballah Thaib, MA, Phd, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, atas kesediaan Bapak dan Ibu dalam memberikan bimbingan, arahan sampai selesainya penulisan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum dan Ibu Dr. Idha Aprilliana, SH, M.Hum selaku dosen penguji yang telah sangat banyak memberikan masukan, petunjuk dan arahan yang sangat berguna dalam menyempurnakan tesis ini, sejak tahap seminar proposal sampai selesainya penulisan tesis ini.


(8)

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua, Sekretaris dan Staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:

a. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. b. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris

Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. c. Seluruh Staf Biro Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu Guru besar serta Staf Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

5. Seluruh teman-teman di MKn khususnya Kelas B angkatan 2008 atas bantuan dan perhatiaannya.

6. Seluruh staff, kelayan dan orang tua kelayan yang telah memberikan keterangan dan informasi selama penulis melakukan penelitian di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.


(9)

Dalam kesempatan ini khusus penulis mengungkapkan rasa kasih sayang dan kasih tulus kepada orang tua tercinta Ayahanda Drs. H. Mukhtaruddin Zam-Zam M.Kes dan Ibunda Hj. Farida Hanum Tanjung yang penuh kasih sayang telah memberi motivasi serta doa dan juga kepada kakanda Rina Mirza, S.Pdi, S.Psi beserta Suami Rudi Hadiansyah Putra, S.Si dan juga Keponakan tersayang Malika Fayanna Maiza Hadiansyah.

Terakhir kepada suamiku tercinta Rifai Damanik, SH dan juga anandaku tercinta Syifa Azkassya Faizi Damanik yang telah memberikan banyak semangat, kesempatan dan kasih sayang selama menyelesaikan pendidikan.

Akhirnya atas segala bantuan semua pihak, semoga mendapat balasan dari Allah SWT. Besar harapan penulis, tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Mei 2011 Penulis


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi

Nama : Rini Mirza

Tempat/tanggal lahir : Medan, 23 Oktober 1985

Alamat : Jl. Balam Nomor 57 B, Medan

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

II. Nama Orang tua

Ayah : Drs. H. Mukhtaruddin Zam Zam M.kes

Ibu : Hj. Farida Hanum Tanjung

III. Keluarga

Suami : Rifai Damanik, SH

Anak : Syifa Azkassya Faizi Damanik

IV. Pendidikan

SD : SD IKAL (Ikatan Keluarga Logistik) Medan.

SLTP : SLTP Sultan Iskandar Muda Medan.

SLTA : SMU Negeri 15 Medan.

Strata I : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latarbelakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 22

G. Metodelogi Penelitian ... 24

1. Sifat Penelitian ... 24

2. Jenis Penelitian ... 24

3. Lokasi Penelitian ... 26

4. Tekhnik Pengumpulan Data ... 26

5. Sumber Data ... 26

6. Alat Pengumpulan Data ... 27

7. Analisa Data ... 27

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT ... 29

A. Pengaturan Hukum Terhadap Anak dan Penyandang Cacat Tubuh 29 1. Pengertian Anak dan Penyandang Cacat Tubuh ... 29

a. Pengertian Anak ... 29

b. Pengertian Penyandang Cacat Tubuh... 30

2. Hak Anak dan Penyandang Cacat ... 40

a. Hak Anak ... 40

b. Hak Penyandang Cacat ... 43

B. Pengertian Umum Rehabilitasi Anak Penyandang Cacat ... 51

1. Defenisi Rehabilitasi ... 51

2. Jenis Rehabilitasi ... 53

a. Rehabilitasi Medik ... 53


(12)

c. Rehabilitasi Pelatihan ... 56

d. Rehabilitasi Sosial ... 57

3. Tujuan Rehabilitasi ... 59

4. Prinsip Dasar Kegiatan Rehabilitasi ... 60

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA UTARA ... 69

A. Tinjauan Umum Lokasi Penelitian ... 69

B. Ketentuan Umum Perjanjian ... 80

1. Pengertian Perjanjian ... 80

2. Bentuk Bentuk Perjanjian ……..……….... 82

3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 90

4. Asas-Asas Perjanjian ... 101

5. Unsur-Unsur Dari Perjanjian ... 109

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA “BAHAGIA” SUMATERA DIKAITKAN DENGAN ADANYA PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN ... 113

A. Landasan Hukum Perlindungan Anak Penyandang Cacat ...113

B. Perjanjian di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara .122 1. Klausula Baku Dalam Perjanjian ... 122

2. Pencantuman Klausula Eksonerasi didalam Perjanjian...127

C. Hambatan dan Upaya Perlindungan Hukum Anak Penyandang Cacat Tubuh Dalam Kaitannya Dengan Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian ... 139

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 141

A. Kesimpulan ... 141

B. Saran ... 143

DAFTAR PUSTAKA ... 145


(13)

ABSTRAK

Anak merupakan salah satu amanah sekaligus karunia Tuhan yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan dalam kehidupan. Khususnya anak penyandang cacat tubuh, berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Pemerintah membentuk Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara sebagai salah satu unit pelaksana teknis yang menyelenggarakan program rehabilitasi terhadap para penyandang cacat tubuh potensial. Dalam pelaksanakan perekrutan peserta program rehabilitasi, panti membuat suatu perjanjian dalam bentuk formulir perjanjian baku berupa pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada panti yang berisikan klausula “Tidak akan menuntut apapun jika anak kami mendapatkan halangan (melarikan diri, sakit yang keras, kecelakaan dan atau meninggal dunia) selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”. Dengan adanya klausula eksonerasi ini bagaimana perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu penelitian yang berbasis pada hukum peraturan perundangan, kemudian mengamati reaksi dan interaksi yang terjadi ketika peraturan perundangan itu bekerja di dalam masyarakat.

Rehabilitasi diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dengan memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat tubuh agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan bakat, kemampuan dan pengalaman untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar. Pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dilakukan dengan sebuah format perjanjian baku dibawah tangan yang dibuat oleh Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam bentuk formulir pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali kepada Panti yang di dalamnya terdapat klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini membatasi atau membebaskan tanggung jawab panti terhadap anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi. Sehingga berlawanan antara program pemerintah yang ingin memberikan perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh dengan melaksanakan program rehabilitasi namun tanggung jawab terhadap perlindungan anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi penyandang cacat tubuh tidaklah jelas. Perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh sebaiknya tidak hanya melalui program rehabilitasi sosial saja, namun perlindungan di segala hal. Hendaknya Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara membuat format perjanjian dalam perekrutan peserta rehabilitasi sosial yang isinya lebih spesifik, seimbang, terperinci dan jelas. Perjanjian harus jelas mengenai hak dan tanggung jawab para pihak dan sebaiknya dibuat berupa perjanjian secara notariel.

Kata kunci : Perjanjian Rehabilitasi, Anak Penyandang Cacat Tubuh, Rehabilitasi Anak Penyandang Cacat Tubuh.


(14)

ABSTRACT

Child is one of the trusteeships as well as blessing from God that we must take care of because the child has a dignity, value and the rights to get legal protectionand is equal life with others. Especially for the children with physical defect, the government, based on law No.4/1997 on Handicapped Persons, established Panti Soaial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara as one of the technical implementation units that runs a rehabilitation program for the potential handicapeed persons. In the implementation of recruitment of the participants for the rehabilitation program, the Panti makes a standart written agreement in the form of statement of the parents/guardians of the handicapped children stating in clause that they will not claim for anything if something happens to their children stating in a clause that they will not claim for anything if something happens to their children (escaping from the Panti, developing serious illness, getting accident and/or passing away) during their period of participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. With this exoneration clause, the research question is “how legal protection is given to the handicapped children during their participation in the rehabilitation program in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara”

This is analytical descriptive study with empirical juridical approach. Based on the regulations of legislation, this study was employed to observe the existing action and reaction related to the application of this regulation of legislation in the society.

Rehabilitation is done by government and/or community members by reactivating and developing either the physical, mental or social capatabilities of the handicapped persons in order to be able to implement their social function in line with their talent, ability and experience to intergrate through communication and interaction and proper ife in their community. The implementation of rehabilitation agreement for handicapped children in Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara was done through a standart agreement format made underhanded by Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatra Utara in the form of a form stating the readiness of parents/guardians of the children to accept what they have written in the exoneration clause. This exoneration clause limits or exonerates the Panti’s responbility for the handicapped children participating in the rehabilitation program. This is against the program of government which wants to provide legal protection to the handicapped children by implementing the rehabilitation program, but the responsibility to protect the handicapped children during their participating in the rehabilitation program is not clear. Legal protection for the handicapped children should not only through the social rehabilitation program but also in any problem the handicapped children may have. The management of Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara is suggested to make the format of agreement which is more specific, balanced, detailed and clear in recruiting the participants for the social rehabilitation program. The agreement must clearly state the rights and responsibilities of the parties involved and it would be much better if the agreement is madebefore and with a notary.


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga harus senantiasa kita jaga, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak dasar sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan cikal bakal sumber daya manusia dari suatu bangsa dan merupakan unsur utama dalam proses pembangunan.1 Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam upaya mencapai sasaran pembangunan, dimana hal tersebut berkaitan erat dengan potensi anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Setiap anak memiliki hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi serta hak untuk memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

Kedudukan anak diatur dalam UUD 1945 pada Pasal 34 ayat (1), yang menyatakan sebagai berikut: ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.” Irma Setyowati Soemitro menjelaskan pengertian anak menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:

“Ketentuan UUD 1945 ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang berarti makna anak yaitu seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara lahiriah, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial.”2

1

Penjelasan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 16.


(16)

Hak anak juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak, yaitu termuat di dalam Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration on the Rights of the Child 1989) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Hak-Hak Anak. Peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak anak dan dukungan kepada kelembagaan merupakan suatu hal yang sangat di perlukan dalam mendukung pelaksanaan perlindungan hak anak, seperti yang tertuang di dalam Pasal 1 butir (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi.”

Arif Gosita juga memberikan pengertian perlindungan anak sebagai berikut: 1. Suatu usaha individu atau kelompok untuk melindungi anak dalam melaksanakan

haknya dan kewajibannya secara manusiawi positif;

2. Suatu hasil interaksi pihak-pihak tertentu, akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi untuk memahami dan menghayati hakikat perlindungan anak maka harus dipelajari pihak-pihak yang terlibat pada adanya (eksistensi) perlindungan anak tersebut;

3. Suatu tindakan individu yang dipengaruhi oleh unsur-unsur struktur sosial tertentu masyarakat tertentu, seperti: kepentingan (yang dapat menjadi motivasi individu bertindak), lembaga-lembaga sosial, nilai-nilai sosial, norma, status, peran dan sebagainya;

4. Perlindungan anak adalah suatu perwujudan keadilan dalam suatu masyarakat. Keadilan disini diartikan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara manusiawi positif. Sebaiknya diusahakan adanya suatu gerakan nasional mengenai perlindungan anak untuk mencapai perwujudan keadilan ini demi kesejahteraan anak yang merata;


(17)

5. Perlindungan anak adalah suatu usaha bersama setiap anggota masyarakat. Setiap anggota masyarakat adalah partisipan dalam mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan masing-masing. Selain itu dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada musyawarah antar yang bersangkutan, yaitu: objek dan subjek perlindungan. Harus diutamakan perspektif kepentingan yang diatur daripada perspektif kepentingan mengatur;

6. Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti mengabaikan pemantapan pembangunan nasional akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan nasional yang dapat menganggu pembangunan dan kesejahteraan sosial rakyat;

7. Perlindungan anak merupakan suatu tolak ukur peradapan masyarakat tertentu yang bersangkutan;

8. Perlindungan anak adalah suatu usaha memberdayakan anak dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan dan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkaitan dengan hukum publik maupun privat.3

Barda Nawawi Arief seperti yang dikutip oleh Aminah Aziz memberikan istilah perlindungan hukum anak kepada perlindungan anak yang diartikannya sebagai upaya (fundamental rights and freedom of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.4

Anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi merupakan kenyataan yang masih banyak terjadi di masyarakat Indonesia, sehingga diperlukan pelayanan secara khusus, seperti yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yakni: 1. Anak-anak yang tidak mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat

terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar;

2. Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial;

3

Arif Gosita, dkk, Persyaratan Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Perlindungan Anak yang Baik, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Medan, 2001, hal. 69.

4


(18)

3. Anak-anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat;

4. Anak-anak yang cacat rohani dan/atau jasmani adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan/atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Anak penyandang cacat jasmani merupakan anak yang memiliki kelainan fisik di dalam tubuhnya sehingga dapat mengganggu tumbuh kembangnya secara optimal serta memberikan rintangan dan hambatan bagi dirinya sendiri untuk melakukan kegiatan secara layak seperti anak pada umumnya. Kelainan fisik tersebut pada hakikatnya bukan berarti membuat anak penyandang cacat tubuh tersebut kehilangan hak dan peluang untuk hidup sejajar dengan orang lain, sebab mereka juga memiliki potensi yang dapat dikembangkan secara maksimal. Pelayanan khusus dari pemerintah sangat dibutuhkan anak penyandang cacat tubuh seperti program rehabilitasi, yaitu suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan anak penyandang cacat tubuh mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.5 Dengan demikian anak penyandang cacat tubuh harus mendapatkan perlindungan hukum dan kesetaraan kehidupan seperti yang tertuang dalam Pasal 51 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan sebagai berikut: “Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.” Anak penyandang cacat tubuh juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai

5

Kementerian Sosial RI, Petunjuk Umum, Kementerian Sosial RI Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, Kementerian Sosial RI, Medan, 2005, hal. 7.


(19)

kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kesamaan kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat dapat dengan mudah terwujud jika ada sarana, prasarana dan upaya yang memadai, terpadu dan berkesinambungan sehingga pada akhirnya akan menciptakan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat tubuh itu sendiri.6

Penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial serta perlindungan secara khusus kepada anak penyandang cacat tubuh merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan juga masyarakat.7 Kementerian Sosial selaku pemerintah yang terkait untuk mengemban amanat dalam memberikan perlindungan khusus kepada anak penyandang cacat tubuh, harus menjamin hak anak penyandang cacat tersebut untuk menerima pendidikan, pelatihan, pelayanan kesehatan, pelayanan pemulihan fisik dan mental maupun persiapan untuk lapangan pekerjaan yang layak nantinya dengan memberikan keterampilan dan kemampuan lain yang menunjang serta membantu anak dalam mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu, termasuk pengembangan budaya dan rohaninya sesuai yang di amanatkan dalam konvensi hak anak.8

Kementerian Sosial secara berkelanjutan juga melakukan pembangunan dibidang kesejahteraan sosial, termasuk didalamnya upaya untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat tubuh yang merupakan

6

Kementerian Sosial, Standarisasi Pelayanan Minimal Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Dalam Panti, Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Penyandang Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, Jakarta, 2004, hal. 1.

7Ibid. 8


(20)

bagian integral dari pembangunan nasional agar seluruh lapisan masyarakat dapat terjangkau oleh pembangunan. Program pembangunan kesejahteraan sosial bagi pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan sosial bagi anak penyandang cacat dilaksanakan berpedoman kepada Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.9 Perundang-undangan tersebut menjelaskan bahwa setiap anak penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan untuk mendapatkan pemeliharaan kesejahteraan sosial melalui sistem jaminan sosial nasional dengan menerima pemberian bantuan/stimulant agar terpenuhi segala aspek kehidupan dan penghidupannya.

Pasal 7 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat juga menyebutkan bahwa: “Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta setiap penyandang cacat juga mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan derajat kecacatan dan kemampuannya.” Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa selain memiliki hak atas persamaan kesempatan dalam mendapatkan pendidikan, penyandang cacat juga memiliki kewajiban yang sama baik di kehidupan bermasyarakat, bangsa dan bernegara.

Pelayanan rehabilitasi melalui sistem panti adalah merupakan suatu jenis pelayanan yang dinilai cukup efektif agar terbinanya anak penyandang cacat tubuh

9

Buletin Peduli Edisi XVIII Agustus 2007, Kementerian Sosial Republik Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 3.


(21)

sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan penghidupan di masyarakat. Panti yang berada di bawah struktural Kementerian Sosial salah satunya adalah Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, selanjutnya panti tersebut akan menjadi tempat dilakukannya penelitian. Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara merupakan unit pelayanan terpadu bagi penyandang cacat tubuh melalui program rehabilitasi yang dilaksanakan dengan bentuk pengasramaan selama 1 (satu) tahun dan seluruh biaya dibebankan kepada anggaran APBN, kecuali biaya uang saku/uang harian adalah tanggung jawab orang tua/wali.10 Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara tersebut dibentuk oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan tujuan untuk membantu pemulihan kondisi fisik, psikis, mental dan sosial, serta pemberian keterampilan praktis kepada penyandang cacat tubuh, sehingga mereka bisa dan berkemampuan untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan baik di masyarakat, juga diharapkan agar penyandang cacat tubuh tersebut memiliki kualitas hidup yang baik, sejahtera dan juga mandiri.

Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk merekrut peserta program rehabilitasi terlebih dahulu memberikan format pengisian keterangan anak penyandang cacat dalam bentuk formulir yang diisi dan ditandatangani oleh orang tua/wali serta anak penyandang cacat tubuh itu sendiri. Formulir ini berisi kondisi sosial, catatan lengkap mengenai kondisi kecacataan, pemeriksaan kesehatan untuk rehabilitasi dan lain sebagainya,

10

Wawancara dengan R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011.


(22)

termasuk di dalamnya formulir surat pernyataan kesanggupan dari orang tua/wali yang berisikan pernyataan tidak akan menuntut apa pun kepada pihak panti dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara jika peserta program rehabilitasi mendapatkan halangan seperti sakit yang serius karena kelalaian sendiri, melarikan diri, kecelakaan ataupun meninggal dunia ketika anak tersebut sedang mengikuti proses program rehabilitasi, yang juga di tandatangani oleh lurah/Kepala Desa tempat anak bermukim sebagai pihak yang mengetahui atau saksi (terdapat dalam Form 4, LIHAT LAMPIRAN). Formulir ini tertuang dalam bentuk perjanjian baku yang di buat secara sepihak oleh Kementerian Sosial dan pihak panti. Berdasarkan hasil wawancara terjadi kedubiusan mengenai siapa yang menerbitkan format formulir ini, ada pihak yang mengatakan formulir ini di buat oleh pusat dalam hal ini Kementerian Sosial Republik Indonesia11. Kemudian pada tahap wawancara selanjutnya ada pihak panti yang lainnya mengatakan formulir ini di buat oleh panti dalam hal ini Sub Bagian Program dan Advokasi.12

Formulir pernyataan merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum mengikuti program rehabilitasi yang terdapat didalam Form 4 tersebut merupakan salah satu bentuk perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klasulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada

11

Wawancara dengan H.B, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 10 Januari 2011.

12

Wawancara dengan R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011


(23)

dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Jadi yang dibakukan adalah klausul-klausulnya dan bukan formulir perjanjiannya.13

Ketentuan yang terkesan memberatkan pihak orang tua/wali dalam perjanjian baku tersebut adalah adanya pencantuman klausula berupa syarat yang membatasi atau bahkan meniadakan tanggung jawab sepihak, yaitu pihak pembuat perjanjian (dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara). Pencantuman klausula demikian yang membatasi, mengecualikan atau bahkan meniadakan tanggung jawab pihak panti tersebut menyebabkan perjanjian baku terkesan sebagai perjanjian yang tidak adil dan tidak seimbang antara para pihak. Pemakaian klausula pada sebuah perjanjian yang memberatkan salah satu pihak merupakan hal yang sering terjadi. Klausula ini disebut klausula eksonerasi atau istilah lainnya yaitu klausula eksemsi, klausula ini biasa dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat terhadap pihak yang kedudukannya lebih lemah dalam sebuah perjanjian. Klausula ini dapat terjadi atas kehendak salah satu pihak yang dituangkan dalam perjanjian secara individual atau secara massal.14 Klausula eksonerasi umumnya dibuat dengan tujuan agar satu pihak dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap pihak lainnya, dengan kata lain agar ia dapat menghindari kewajiban yang mungkin timbul dikemudian hari. Perjanjian pada dasarnya dibuat atas kesepakatan bebas antara dua belah pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum agar melaksanakan suatu prestasi yang tidak

13

Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 66.

14


(24)

bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat luas, namun adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang sehingga pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.15

Perjanjian yang dibuat Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dalam bentuk sebuah formulir pernyataan kesanggupan orang tua, yang ditandatangani pada saat pihak panti akan merehabilitasi anaknya untuk tidak menuntut apa pun kepada pihak panti tentunya bertentangan dengan asas keseimbangan dalam perjanjian berkontrak, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini memberikan pembatasan salah satu pihak dari tanggung jawab hukum jika terjadi hal-hal diluar kehendak, sehingga terkesan menguntungkan pihak panti dalam hal ini Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan dapat menimbulkan kerugian kepada pihak orang tua/wali. Pihak orang tua/wali tentunya akan merasa dirugikan, apabila terjadi masalah yang timbul diluar kemampuan dan kekuasaan dari pihaknya dan sangat merugikan, karena ternyata anaknya memiliki kedudukan dan perlindungan hukum yang sangat lemah selama mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

Orang tua/wali pada satu sisi juga memerlukan fasilitas rehabilitasi untuk anaknya selaku penyandang cacat tubuh, kebutuhan inilah yang akhirnya membuat orang tua/wali menyetujui dan selanjutnya menandatangani surat perjanjian/formulir

15

Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 53.


(25)

P4 tersebut. Orang tua/wali dan terutama sekali anak penyandang cacat tubuh yang berada di dalam panti seharusnya mendapatkan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum dari pemerintah bukan sebaliknya. Sangatlah kontradiktif ketika melihat pada penjabaran sebelumnya, jika di kaitkan dengan peraturan yang ada, karena terkesan pemerintah tidak memiliki tanggung jawab secara hukum dalam bentuk perjanjian yang tertulis akan keamanan dan keselamatan diri anak penyandang cacat tubuh selama mengikuti program rehabilitasi. Oleh sebab itu maka perlu dicari kepastian dan perlindungan hukumnya ketika di kaitkan dengan adanya perjanjian baku yang mencantumkan syarat eksonerasi tersebut karena pada prinsipnya anak penyandang cacat tubuh sangat memerlukan suatu upaya perlindungan dengan memperlakukannya secara manusiawi sesuai dengan harkat, martabat dan hak anak yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang dimiliki serta memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dalam pengembangan individu.16

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh ditinjau dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat?

16


(26)

2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dikaitkan dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan atau mengetahui jawaban dari rumusan masalah yang telah diajukan, sehingga penjelasan terhadap rumusan masalah tersebut dapat diberikan. Mengacu pada judul dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh ditinjau dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dikaitkan dengan adanya pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian.

D. Manfaat Penelitian


(27)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perjanjian dan hukum perlindungan anak penyandang cacat tubuh serta hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh di lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia khususnya di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan diharapkan memberi masukan bagi penyempurnaan dalam pelaksanaan perjanjian rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh yang berdampak terhadap perlindungan hukumnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul: “ANALISA YURIDIS TERHADAP

PERJANJIAN REHABILITASI ANAK CACAT TUBUH OLEH

KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang terletak di Medan)”, belum pernah ada. Oleh karena itu, penelitian ini dapat


(28)

dinyatakan asli. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.

Bahwa tercatat pernah diteliti yang hampir sama dengan judul penelitian tesis ini ada satu, yakni penelitian dengan judul “PERWALIAN ANAK PANTI ASUHAN SETELAH DIUNDANGKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus Di Panti Asuhan Islam), diteliti oleh Yunita Hasibuan/MKn Universitas Sumatera Utara. F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.17 Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani, secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.18

Menurut Shorte Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang salah satunya lebih tepat ditujukan sebagai disiplin akademik, yaitu “Suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena” dan “Suatu pernyataan tentang

17

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

18

H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 21.


(29)

sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.”19

Menurut Neuman: “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”20

Teori berfungsi sebagai landasan berfikir dengan mengukur sesuatu berdasarkan variabel yang tersedia. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian yang hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.21

Teori digunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.22 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.23 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.24 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan

19

Malcom Waltres, Modern Sociological Theory, sage publications, 1994, hal. 2, dalam H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto.

20

W. L. Neuman, Social Research Methods, Allyn dan Bacon, London, 1991, hal. 20 dalam H. R Otje Salman dan Anton F. Susanto.

21

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 126.

22

J. J. J. M. Wuisman, Asas-Asas Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal.203.

23Ibid

, hal. 16.

24

Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.


(30)

cara-cara bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil terdahulu.25

Menurut Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan klausula yang logis di antara perubahan

(variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir

(frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di

dalam bidang tersebut.26

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan untuk memberikan arahan atau petunjuk gejala yang diamati dan teori keseimbangan untuk pemecahan permasalahan penelitian sisi substansi setiap sistem hukumnya.

Teori keadilan ini dipelopori oleh Aristoteles, pandangan-pandangannya tentang keadilan bisa di dapat dalam karyanya yaitu : nicomachean ethics, politics

dan rethoric. Lebih khususnya dalam nicomachean ethics yang sepenuhnya ditujukan

bagi keadilan. Berdasarkan filsafat umum aristoteles mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukum, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.” Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik

mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa dipahami tentang kesamaan dan yang dimaksudkan ketika akan mengatakan bahwa

25

Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke II, Rineka, Jakarta, 2003, hal. 23.

26

Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo, Teori dan Strategis Pembangunan Nasional, Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.


(31)

semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan, prestasi dan sebagainya yang di miliki. Tetapi dari pembedaan ini aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.27

Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur yaitu dengan memberikan keadilan kepada setiap orang yang berhak menerima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus, sesuai dengan permasalahan di sini yaitu keadilan bagi anak dengan kondisi tubuh yang cacat, karena pada dasarnya anak cacat juga manusia biasa yang berhak mendapatkan perlakuan yang sebaik-baiknya. Untuk terlaksananya hal tersebut maka teori hukum ini harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regel” (peraturan/ketentuan umum) yang mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Adanya paksaan luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya;

b. Sifat Undang-Undang yang berlaku bagi siapa saja.28

Apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan maka akan kerap tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan pada satu sisi tidak jarang

27

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2004, hal. 24.

28


(32)

keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.29

Roscoe Pound menyatakan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.30 Dengan kata lain bahwa hukum merupakan pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pandangan Pound ini dapat disimpulkan bahwa unsur normatif (ratio) dan empirik (pengalaman) dalam suatu peraturan hukum harus ada. Kedua hal tersebut adalah sama perlunya, artinya hukum yang ada pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian dikonkretisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli hukum sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai hukum oleh Negara.31 Selanjutnya hukum tersebut berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi. Kehidupan dalam tertib hukum akan membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan. Dalam keadilan dan kesusilaan tersebut, kebebasan masih tetap ada, hanya saja bukan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kemauan umum. Pound juga menempatkan hukum sebagai inti dari semua

29

Ibid. hal. 25.

30

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, bandung, 2007, hal. 66.

31

Mulhadi, Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Di Indonesia, Medan, 2005, hal. 9.


(33)

kehidupan sosial yang adil dan bermoral.32 Keadilan disini dikonsepsikan sebagai hasil-hasil konkrit yang bisa diberikan kepada masyarakat. Dimana hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghidari pembenturan antara manusia.33

Teori yang digunakan selanjutnya adalah teori keseimbangan. Kata “seimbang” (evenwicht) menunjukkan pada pengertian suatu “keadaan” pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Suatu pengakuan akan kesetaraan kedudukan individu dengan komunitas dalam kehidupan bersama.34

Herlien Budiono memberikan pengertian tentang tujuan suatu kontrak, yang diturunkan dari asas laras (harmonis) dalam hukum adat, yakni: “Tujuan dari kontrak ialah mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan.”35 Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya menyatakan bahwa kedudukan satu pihak yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kedua belah pihak seimbang.36

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan secara terus

32

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010,hal. 86-87.

33 Keadilan Dan Kepastian Hukum,

http;//yahya zein.blogspot.com/2008/07/keadilan-dan-kepastian-hukum.html diakses pada tanggal 10 Februari 2011.

34

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 304.

35Ibid

,hal. 310.

36

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.88.


(34)

menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Khususnya perlindungan terhadap anak dengan kecacatan tubuh. Dengan segala keterbatasan kemampuan fisiknya, anak dengan kecacatan tubuh merupakan kelompok masyarakat kurang beruntung dan membutuhkan perhatian khusus baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas.

Anak dengan kecacatan mempunyai hak yang sama dengan anak lainnya, yakni hak untuk hidup, hak tumbuh kembang, hak untuk mendapatkan perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Pasal 1 butir (7) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan anak cacat sebagai anak yang mengalami hambatan fisik dan atau mental sehingga menggangu pertumbuhannya secara wajar. Dalam pasal yang sama butir (15) juga dijelaskan bahwa anak cacat merupakan kelompok anak yang memerlukan perlindungan dan perhatian yang khusus, termasuk pemenuhan kebutuhannya melalui rehabilitasi.

Perjanjian pada hakekatnya adalah dua orang pihak atau lebih berjanji dan sepakat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan dari satu pihak kepada pihak lainnya. Berhubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sifat pokok dari hukum perjanjian adalah bahwa hukum ini semula mengatur hubungan hukum antara orang-orang, jadi semula tidak antara orang dan suatu benda.37

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

37


(35)

3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

Orang memiliki status sebagai subjek hukum sejak saat ia dilahirkan dalam keadaan hidup (tidak terlahir dalam keadaan meninggal) dan ada kepentingan yang mengkehendakinya.38 Adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian sehingga telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan oleh para pihak yang bersangkutan.39 Perjanjian maupun kontrak mempunyai hubungan dengan perikatan dan perjanjian. Mengenai hubungan perikatan yaitu perjanjian itu menerbitkan perikatan.40

Asas-asas fundamental yang melingkupi hukum kontrak ialah: a. Asas konsensualisme;

Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka. b. Asas kekuatan mengikat perjanjian (verbindende kracht der overeenkomst);

Bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat.

c. Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid);

Bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun kesusilaan.41

38

Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarief dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 21.

39

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 10.

40

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1980, hal. 10.

41


(36)

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.42 Konsep ini diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak dan digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.43 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan, pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Konsepsi adalah suatu pengertian mengenai suatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.44

Penelitian ini dirumuskan dengan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi sebagai berikut:

1. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Soedikno Mertokusumo perjanjian merupakan hubungan hukum antara

42

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei,LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 34.

43

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian,Raja Grafindo, Jakarta, 1998, hal. 3.

44


(37)

dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.45

2. Rehabilitasi sosial anak cacat diartikan sebagai proses pemberian pelayanan dan bantuan, perlindungan, pemeliharaan taraf kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan khusus anak cacat yang dilakukan dalam bentuk penanganan secara cepat, tepat dan benar untuk mencapai tingkatan perkembangan yang optimal, sebagai wujud perlindungan anak untuk memperoleh kehidupan yang layak baik fisik, mental dan sosial.46

3. Anak penyandang cacat tubuh yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah anak dengan kecacatan tubuh (tuna daksa) berusia di bawah 18 tahun yang mengalami hambatan fisik yang mengganggu tumbuh kembangnya secara wajar sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan, pengembangan dan penanganan khusus sesuai dengan kondisi dan derajat kecacatannya yang berada di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara.

4. Cacat tubuh atau tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.47

45

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 97.

46

Kementerian Sosial RI, Pedoman Deteksi Dini Kecacatan Anak, Departemen Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Jakarta, 2006, hal. 3.

47


(38)

5. Anak yang dimaksud dalam penelitian ini menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni: ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

6. Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara adalah salah satu unit pelaksana teknis Kementerian Sosial Republik Indonesia di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial yang merehabilitasi anak tuna daksa dengan wilayah pelayanan regional terbatas, meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat.

G. Metodelogi Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.48 Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Soerjono Soekamto mengemukakan bahwa penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.49

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian

48

Mohammad Nazir, Metode Penelitan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 13.

49


(39)

dengan meneliti data sekunder (bahan pustaka) terhadap data primer dilapangan karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta prilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum tersebut.50

Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.51

Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. Meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat mengimplementasikan dalam praktek dilapangan.52

Studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.53 Dengan metode pendekatan analitis

(analytical approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang

50

Ibid.

51

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 47.

52

Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006, hal. 14.

53


(40)

terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktek.54

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Williem Iskandar Nomor 377 Medan.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa yang berkaitan dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian yang kemudian mengambil kesimpulan.

Penelitian yang dilakukan berupa penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan anak penyandang cacat tubuh yang mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan juga orang tua/wali anak penyandang cacat tubuh serta pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, yang dalam penelitian ini dipilih sebagai informan dan narasumber.

5. Sumber Data

Pengelompokan data kepustakaan berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya, yakni antara lain:

54

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, 2007, hal. 310.


(41)

1. Bahan hukum primer: bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan traktat.

2. Bahan hukum sekunder: bahan-bahan yang isinya membahas bahan primer, contohnya: buku, artikel, laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.

3. Bahan hukum tertier: bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan primer dan sekunder, contohnya: kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya.55

6. Alat Pengumpulan Data

Adapun alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: a. Studi dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen tentang perjanjian

rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh. Dokumen ini merupakan sumber informasi penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan maupun perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide). Wawancara dilakukan untuk mengokohkan analisis data normatif yang digunakan.

7. Analisa Data

Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan

55


(42)

kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban penelitian.56 Setelah data diperoleh maka dikelompokkan sesuai dengan kategorinya.

Penelusuran analisa bahan dimulai dari pengaturan hukum terhadap rehabilitasi anak penyandang cacat tubuh menurut Undang Undang Penyandang Cacat, pelaksanaan perjanjian rehabilitasi pada Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, serta perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat tubuh yang dikaitkan dengan perjanjian yang dibuat, kemudian dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah dianalisis dan merupakan hasil dari penelitian.

56


(43)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI ANAK PENYANDANG CACAT TUBUH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT A. Pengaturan Hukum Terhadap Anak dan Penyandang Cacat Tubuh 1. Pengertian Anak dan Penyandang Cacat Tubuh

a. Pengertian Anak

Diversifikasi batasan usia yang jelas sangatlah diperlukan agar dapat dijadikan pedoman dalam pendefinisian seorang anak. Batasan usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu.57

Undang Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan pengertian anak dalam Pasal 1 butir (1), dinyatakan sebagai berikut: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Agung Wahyono dan Siti Rahayu menyatakan: “batasan usia ini biasanya dipergunakan sebagai tolak ukur sejauh mana anak bisa dipertanggungjawabkan perbuatannya.“58 Pengertian anak menurut Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November

57

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 24.

58

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 20.


(44)

1989 disebutkan “anak adalah setiap orang yang belum berusia 18 tahun kecuali berdasarkan yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.

Pengertian anak menurut UUD 1945, oleh Irma Setyowati Soemitro dijabarkan sebagai berikut: yaitu seorang anak harus memperoleh hak-haknya yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara raga, jasmaniah maupun sosial atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial,59 tidak terkecuali anak penyandang cacat tubuh.

b. Pengertian Penyandang Cacat Tubuh

Anak dengan kecacatan adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang mengalami hambatan fisik dan atau mental yang mengganggu tumbuh kembangnya secara wajar sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan, pengembangan dan penanganan khusus sesuai dengan kondisi dan derajat kecacatannya yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental.60 Anak penyandang cacat tubuh merupakan anak yang memiliki kelainan fisik sehingga dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan secara layak.

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat di dalam pasal 1 ayat (1) memberikan pengertian tentang penyandang cacat, yaitu: Setiap

59

Irma Setyowaty Soemitro, Loc.cit.

60


(45)

orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya yang terdiri dari: 1. Penyandang cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada

fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan bicara;

2. Penyandang cacat mental adalah kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit;

3. Penyandang cacat fisik mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.

Secara garis besar cacat fisik dapat dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:

1. Cacat tubuh, meliputi;

a. Cerebral Palsy (kerusakan fungsi otak yang menyebabkan gangguan

pergerakan, keseimbangan dan kejang otot)

b. Polio (lumpuh layu tulang)

c. Meninghitis (radang otak)

d. Epilepsi (ayan)

e. Mascular Distropy (pengecilan/pengerutan otot)

f. Multiple Acllerosis (layu otot)

g. Para Plegia (kelayuhan atau kelumpuhan pada kedua tungkai biasanya

pinggang kebawah)

h. Hemi Plegia (gangguan pada fungsi seluruh gerak bagian atas tubuh)

i. Mono Plegia (gangguan pada fungsi salah satu gerak bagian atas)

j. Quadry Plegia (kelumpuhan pada tangan dan kaki secara keseluruhan)

k. Kehilangan anggota tubuh akibat amputasi. 2. Cacat Netra (penglihatan), meliputi:

a. Cacat mata total (kehilangan kemampuan penglihatan secara total)


(46)

c. Buta Warna

d. Diffu Bluring (kekaburan penglihatan).

3. Cacat Rungu/Wicara, meliputi:

a. Cacat Rungu: berhubungan dengan kerusakan alat dan organ pendengaran yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi atau suara.

b. Cacat Wicara: berhubungan dengan kerusakan atau kehilangan kemampuan berbahasa, mengucapkan kata-kata, ketepatan dan kecepatan berbicara serta produksi suara. Ciri-cirinya: Tidak dapat memproduksi suara atau bunyi, kurang atau tidak menguasai perbendaharaan kata, gagap, berkomunikasi dengan menggunakan gerakan tubuh atau simbol.

c. Cacat Rungu Wicara: yaitu ketidakmampuan dalam memproduksi suara dan berbahasa yang disebabkan karena kerusakan alat dan organ pendengaran sehingga anak tidak mengenal cara mempergunakan organ bicara dan tidak mengenal konsep bahasa.61

Pembahasan dalam penelitian ini adalah anak dengan kategori penyandang cacat tubuh atau tuna daksa. Cacat tubuh berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu.62 Pada prinsipnya anak penyandang cacat tubuh tersebut (yang terdapat di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara) hanya menderita kecacatan fisik namun sehat secara lahiriah atau psikis.

61Ibid

, hal. 28-30.

62


(47)

Tuna daksa secara rinci dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu:

1. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran: a. Faktor keturunan

b. Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan

c. Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak d. Pendarahan pada waktu kehamilan

e. Keguguran berulang yang dialami ibu. 2. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:

a. Penggunaan alat pembantu kelahiran (seperti tang, tabung vacum dan lain-lain) yang tidak lancar

b. Penggunaan obat bius yang tidak sesuai prosedur pada waktu kelahiran 3. Sebab-sebab sesudah kelahiran:

a. Infeksi b. Trauma c. Tumor

d. Kondisi-kondisi lainnya63

Sedangkan Frances G. Koening mengklasifikasi tuna daksa menurut beberapa hal yaitu:

1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi;

a. Club-foot (kaki seperti tongkat)

b. Club-hand (tangan seperti tongkat)

c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau

kaki)

d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan lainnya)

e. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka)

f. Spina-bifida (sebagian dari sum-sum tulang belakang tidak tertutup)

g. Cretinism (kerdil/katai)

h. Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal)

i. Hydrocephalus (kepala yang besar karena berisi cairan)

j. Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang)

k. Herelip (gangguan pada bibir dan mulut)

l. Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha)

63


(1)

spesifik, seimbang, terperinci dan jelas. Sehingga tidak ada perbedaan penafsiran antara para pihak, baik panti maupun anak penyandang cacat tubuh dalam hal ini diwakili oleh orang tua/wali. Perjanjian harus jelas mengenai hak dan tanggung jawab para pihak. Perjanjian penyerahan anak penyandang cacat tubuh sebaiknya dibuat berupa perjanjian secara notariel untuk menjamin keseimbangan perjanjian antara orang tua/wali dengan pihak panti.

3. Perlindungan terhadap anak penyandang cacat tubuh sebaiknya tidak hanya melalui program rehabilitasi saja, namun perlindungan di segala hal. Anak penyandang cacat sebenarnya tidak jauh berbeda dengan manusia normal atau biasanya. Kekurangan mereka hanya terletak pada keterbatasan fisik karena seringkali mereka merasa tidak percaya diri. Ternyata setelah mereka di bangkitkan kepercayaan dirinya, mereka sesungguhnya tidak kalah kreatif dan terampil dengan orang normal. Mereka hanya butuh di bimbing dan di bangkitkan mentalnya agar optimis memandang hidup dan menerima kenyataan hidup karena setiap manusia pasti memiliki kelebihan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Burhanuddin SDB dan Nathaniela STG, Buku 60 Contoh Perjanjian (Kontrak),

Hi-fest Publishing, Jakarta.

Ashsofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke II, Rineka, Jakarta, 2003. Aziz, Aminah, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press, Medan, 1998. Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994.

……., Azas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya Dengan Perjanjian Baku(Standar), dalam media notariat nomor 28-29, tahun VII, Juli-Oktober 1993,

... , Kompilasi Hukum Perikatan, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

……..,Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983.

Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Fajar ND, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010..

Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2004.

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang hukum Bisnis) Buku Kedua,

Cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Gosita, Arif, dkk, Persyaratan Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Perlindungan Anak yang Baik, Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Medan, 2001.

Gunawan, Johannes, Analisis Hukum Material Dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, Penataran Nasional Angkatan I Fakultas Hukum Universitas

Katolik Parahyangan, Bandung: 17-19 Maret, 2005.

H.S, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Buku Kesatu), Sinar Grafika, Jakarta, 2004.


(3)

……., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, 1989. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Hartono, C. F. G. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Huraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Bandung, 2005.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, 2007. Kementerian Sosial RI, Pedoman Deteksi Dini Kecacatan Anak, Departemen Sosial

RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Jakarta, 2006.

……. , Pedoman Umum Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Caat, Departemen Sosial RI Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Jakarta, 2004.

……., Petunjuk Umum, Kementerian Sosial RI Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, Medan, 2005.

……., Sosialisasi Program Bantuan Dana Jaminan Sosial Penyandang Cacat Berat

Tahun 2007, Buletin Peduli Edisi XVIII Agustus 2007, Kementerian Sosial Republik Indonesia, Jakarta, 2007.

……., Standardisasi Pelayanan Minimal Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Dalam Panti, Direktorat Bina Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, Jakarta, 2004.

……., Struktur Organisasi Panti Kementerian Sosial Ri Panti Sosial Bina Daksa

“Bahagia” Sumatera Utara, Medan, 2006.

Khairandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Cet. 1, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Pasca Sarjana, Jakarta., 2003,

Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Mahdi, Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarief dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya, Jakarta, 2005.


(4)

Malcom Walters, Malcom, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, 2006.

Meleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, Liberty, 1993.

………., Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991.

………, Penataran Hukum Perikatan II

Muchsin, H., Ikhtisar Ilmu Hukum, Iblam, Jakarta, 2006.

Miru, Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,

Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000.

Mulhadi, Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Di Indonesia, Medan, 2005.

Nazir, Mohammad, Metode Penelitan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998. Neuman, W.L., Social Research Methods, Allyn dan Bacon, London, 1991.

Panggabean, Henry, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian,Liberty, Yogyakarta.

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Rasjidi,Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum,

Bandung, 2007

Salman, H. R Otje, dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2004.

Satrio, J., Hukum Perikatan-perikatan yang lahir dari Perjanjian, Buku I, Cet. 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1979. Siregar, Bismar, dkk, Hukum dan Hak-Hak Anak, Rajawali, Jakarta.


(5)

Singarimbun, Masri, dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989.

Sjahdeini, Sutan Reny, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1980. …….. , Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998. Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. ………., Penelitian Hukum Normatiev, Bayumedia, Surabaya, 2006. ………., Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1998.

Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Somantri, T. Sutjihati, Psikologi Anak Luar Biasa, Refika Aditama, Bandung, 2006. Tanya, Berbard L., Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum

(Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Tjokroamidjojo, Bintaro, dan Mustafa Adidjoyo, Teori dan Strategis Pembangunan Nasional, Haji Mas Agung, Jakarta, 1988.

Prodjokdioro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000. Wadong, Maulana Hasan, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak,

Grasindo, Jakarta, 2000.

Widjaja, Gunawan, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Wuisman, J. J. J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996. Wahyono, Agung dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia,


(6)

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat

Konvensi Hak Anak

C. Artikel, Majalah/Makalah

Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak: beberapa isu hukum keluarga, Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Kementerian Sosial Republik Indonesia, Buletin Peduli Edisi XVIII Agustus 2007, Jakarta, 2007

D. Internet

http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73, diakses tgl 5 Maret 2011, 22:46.

http;//yahya zein.blogspot.com/2008/07/keadilan-dan-kepastian-hukum.html…. .diakses pada tanggal 10 Februari 2011.

file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/A%20...%20LUAR%20BIASA/... diakses


Dokumen yang terkait

Evaluasi Pelaksanaan Program Bimbingan Keterampilan Bagi Penyandang Disabilitas Tubuh Di Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) “Bahagia” Sumatera Utara Unit Pelaksana Teknis(UPT).Kementerian Sosial RI

9 97 108

Upaya Panti Sosial Bina Daksa (Psbd) Bahagia Sumatera Utara Dalam Peningkatan Fungsi Sosial Orang Dengan Kecacatan (Odk)

2 66 124

Analisa Yuridis Terhadap Perjanjian Rehabilitasi Anak Cacat Tubuh Oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat (Studi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara yang Terletak d

0 25 163

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelayanan Sosial Terhadap Penyandang Tuna Daksa Oleh Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan.

17 80 89

Respon Penyandang Tuna Daksa Terhadap Pelayanan Rehabilitasi Sosial Di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara Departemen Sosial Republik Indonesia

4 57 99

Pengaruh Program Bimbingan Keterampilan Terhadap Kemandirian Penyandang Disabilitas Tubuh di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara

5 72 112

Strategi Komunikasi Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Barat Melalui Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (BRSPC) Terhadap Motivasi Peserta Didik Tuna Daksa Di Cibabat - Cimahi

0 4 1

Implementasi Rencana Program Rehabilitasi Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Netra (Studi di UPT Rehabilitasi Sosial Cacat Netra Malang)

0 0 8

Upaya Panti Sosial Bina Daksa (Psbd) Bahagia Sumatera Utara Dalam Peningkatan Fungsi Sosial Orang Dengan Kecacatan (Odk)

0 0 12

UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

0 0 17