102
panti apabila terjadi suatu perihal yang cukup serius dan berakibat anak penyandang cacat tubuh sakit keras, melarikan diri, kecelakaan ataupun meninggal dunia, yang
mana formulir tersebut telah diperbuat terlebih dahulu oleh pihak panti secara massal dan kemudian harus di tanda tangani oleh orang tuawali dengan disaksikan oleh
pihak kelurahan dalam hal ini lurah ataupun kepala desa yang menjadi saksi sebelum menyerahkan anaknya untuk mengikuti program rehabilitasi. Perjanjian tentang hak,
kewajiban dan tanggung jawab pihak Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara tidak pernah di buat secara rinci baik itu secara di bawah tangan ataupun
notariel. Kondisi ini dapat mempersulit pembuktian apabila terjadi suatu permasalahan ataupun kerugian yang cukup serius terhadap para pihak.
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian dapat dikatakan batal demi hukum jika
perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Suatu perjanjian dapat di batalkan demi hukum jika syarat objektif hal tertentu dan causa yang halal tidak terpenuhi dan dapat dimintakan pembatalan jika
syarat subyektif sepakat mengikatkan diri dan kecakapan para pihak tidak terpenuhi di dalamnya. Dalam hal yang demikian tidak terpenuhinya syarat objektif, secara
yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk
melakukan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain telah gagal. Tak
Universitas Sumatera Utara
103
dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena jabatannya, menyatakan bahwa
tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
135
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu
pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum orang tua walinya ataupun ia sendiri apabila sudah menjadi cakap dan pihak yang memberikan
perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Tentang perjanjian yang tidak halal, teranglah perjanjian tersebut tidak boleh
dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan dan ketertiban jelaslah
perjanjian-perjanjian itu harus dicegah. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum menurut ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata, yakni: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Para pihak yang membuat suatu kesepakatan merupakan subyek hukum. Subyek
hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, sehingga dapat dibagi menjadi 2 dua yaitu orang dan badan hukum. Orang sebagai manusia memiliki status
sebagai subyek hukum sejak saat ia dilahirkan dalam keadaan hidup tidak
135
Subekti, Opcit, hal.22.
Universitas Sumatera Utara
104
terlahir dalam keadaan meninggal dan ada kepentingan yang menghendaki.
136
Dalam perjanjian antara panti dengan orang tuawali yang menjadi subyek hukumnya adalah Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara dan pihak
orang tua atau wali dari anak penyandang cacat tubuh. Adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian
artinya telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan oleh para pihak yang bersangkutan.
137
Kesepakatan disini adalah kesepakatan dan kesanggupan sebagaimana yang tercantum dalam pernyataan formulir P4 dari orang tuawali
kepada pihak panti selama anaknya mengikuti program rehabilitasi di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada dasarnya orang tuawali yang
melakukan penandatanganan di formulir yang berisikan pernyataan tersebut, yang kemudian ditempelkan materai seharga Rp. 6000,- sebagai tanda lunas
pajak, memiliki pengertian bahwa perjanjian tersebut telah dianggap disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pihak panti dan pihak orang tua wali dengan
ketentuan saksi adalah kepala desa ataupun kepala kelurahan tempat anak penyandang cacat tubuh bermukim, sehingga sah lah perjanjian tersebut dan
mengikat sebagai undang-undang bagi keduanya dan secara otomatis pihak panti juga beranggapan bahwa orang tuawali sudah mengerti mengenai isi dari
136
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarief dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata Suatu Pengantar,
Cet. 1, Jakarta: Gitama Jaya, 2005, hal. 21.
137
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia Buku Kesatu, Cet.2, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
105
perjanjian sebelum melakukan penandatanganan.
138
Penandatanganan suatu kontrak mengandung arti bahwa para pihak sudah setuju dengan adanya kontrak
tersebut, termasuk sudah setuju dengan isinya. Ketentuan ini menyimpulkan bahwa sebelum menandatangani suatu kontrak para pihak mestilah terlebih
dahulu membaca dan mengerti terhadap isi kontrak tersebut. Inilah yang disebut dengan “kewajiban membaca” duty read terhadap suatu kontrak.
139
Namun adanya kesepakatan yang terjadi karena kekhilafan atau karena paksaan atau penipuan salah satu pihak dalam suatu perjanjian maka dapat menjadikan
kesepakatan atau perjanjian tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1321 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Kesepakatan adalah persetujuan atas kehendak para pihak dalam perjanjian untuk menyamakan persepsi seia sekata mengenai pokok perjanjian apa yang
dikehendaki dan apakah pokok perjanjian yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Sebelum adanya persetujuan, para pihak akan mengadakan
perundingan terlebih dahulu dan harus memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian beserta syarat-syaratnya. Pihak yang lainnya juga
menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai persetujuan yang mantap. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari
138
Wawancara dengan R.S.N, Pegawai Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Pada tanggal 28 Februari 2011
139
Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Bisnis, Buku Ke 2, Citra Aditya Bhakti, Medan 2003, hal.89.
Universitas Sumatera Utara
106
pihak manapun. Persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan.
140
Mengenai persetujuan kehendak disini, pihak orang tuawali tidak dapat mengutarakan kehendaknya dalam bentuk perjanjian secara tertulis karena
perjanjian dalam bentuk sebuah pernyataan tersebut dibuat dalam bentuk formulir yang di buat secara massal untuk semua penyandang cacat yang akan
masuk ke dalam panti. Walaupun demikian orang tuawali beranggapan hal tersebut adalah suatu hal yang biasa atau wajar, hanya saja sebelum melakukan
penandatanganan, tetap secara lisan orang tuawali menyatakan kehendaknya kepada pihak panti untuk menjaga dan mendidik anaknya sebaik mungkin.
141
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Dalam sebuah perikatan atau perjanjian, kecakapan para pihak merupakan syarat subyektif kedua yang wajib terpenuhi agar terbentuknya suatu perjanjian yang
sah. Kecakapan bertindak dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangangan bertindak. Dapat saja orang yang cakap bertindak dalam hukum
namun tidak berwenang dalam melakukan suatu perbuatan hukum dan juga sebaliknya dapat saja orang berwenang dalam melakukan suatu tindakan hukum
namun tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1329 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
140
Ibid, hal. 228-229.
141
Wawancara dengan salah satu orang tua dari anak penyandang cacat, Nyonya W. Pada tanggal 10 Januari 2011
Universitas Sumatera Utara
107
“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”
Pasal ini mengartikan bahwa selain dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum.
Pasal 1330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata memberikan pembatasan orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap dalam bertindak secara
hukum. Orang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: a.
Orang-orang yang belum dewasa; b.
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; c.
Perempuan yang telah kawin. Sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan baik yang sudah
menikah maupun yang belum menikah maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi. Pada umumnya
orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin. Akibat hukum
ketidakcakapan para pihak dalam membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika
pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, sepanjang tidak dipungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi
pihak-pihak.
142
Dalam hal perjanjian pernyataan kesanggupan yang di buat Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara untuk anak penyandang cacat
142
Munir Fuady, Opcit, hal. 231.
Universitas Sumatera Utara
108
tubuh diwakili oleh orang tuawali yang cakap dan berwenang dalam melakukan suatu perbuatan hukum, untuk bertindak menandatangani formulir form 4 tentang
pernyataan dan kesanggupan selama mengikuti ketentuan program rehabilitasi yang dilakukan panti.
3. Suatu hal tertentu;
Perjanjian tanpa adanya “suatu hal tertentu” adalah batal demi hukum.
143
Suatu hal tertentu merupakan pokok dari perjanjian. Objek yang diperjanjikan disebut
prestasi. Objek perjanjian atau prestasi yang wajib dipenuhi dalam perjanjian haruslah jelas. Pasal 1234 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan
prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
144
Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Prestasi yang terdapat dalam perjanjian adalah pernyataan kesanggupan dari
orang tua: a.
Untuk menerima kembali anak tersebut setelah dinyatakan selesai dari pelatihan oleh panti atau terpaksa dipulangkan karena tidak menaati
peraturan yang berlaku dan atau menderita sakit yang serius karena kelalaian anak itu sendiri;
b. Tidak menuntut apapun jika anak mereka mendapat halangan melarikan
diri, kecelakaan dan atau meninggal dunia selama mengikuti program rehabilitasi di Panti;
143
J. Satrio, Hukum Perikatan-perikatan yang lahir dari Perjanjian, Buku I, Cet. 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 32.
144
Salim H.S. Opcit, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
109
c. Sanggup bekerjasama mendukung dan memberi motivasi kepada anaknya
selama mengikuti program rehabilitasi sosial di Panti. Ketidakjelasan mengenai pokok perjanjian, objek perjanjian atau prestasi itu
kabur, sulit, bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu dapat dibatalkan nietig, void.
145
4. Suatu sebab yang halal.
Suatu sebab yang halal mempunyai 2 dua fungsi yaitu : a.
Perjanjian harus mempunyai sebab, karena tanpa sebab maka perjanjian batal; b.
Sebab harus halal, karena kalau tidak halal maka perjanjian batal.
146
Isi perjanjian harus mengandung suatu sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini berdasarkan
Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang bunyinya “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang Undang atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Apabila terjadi suatu perjanjian dengan suatu sebab yang tidak halal, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum sesuai Pasal 1335 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Suatu sebab yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata dalam arti isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai
145
Ibid.
146
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
110
oleh pihak-pihak. Undang undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang
undang adalah isi perjanjian yang mengambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang oleh undang undang atau tidak, apakah
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.
147
Pada perjanjian dipanti, terdapat adanya klausula yang mengatakan bahwa orang tuawali tidak akan menuntut apa pun kepada pihak panti ketika terjadi hal-hal
yang di luar batas kemampuan panti, misalnya sakit keras, melarikan diri ataupun meninggal dunia, di sini letak permasalahan yang ada ketika anak penyandang
cacat menjadi tidak memiliki perlindungan terhadap kepastian hukum yang ada selama ia berada dipanti dan orang tuawali juga tidak dapat memperjuangkannya
karena telah menyepakati formulir kesanggupan yang ada pada saat anaknya akan masuk pertama kali untuk direhabilitasi.
Jika terdapatnya klausula yang sangat berat sebelah dalam suatu kontrak perjanjian baku, apalagi jika pihak yang kepadanya disodorkan formulir
kontrak tersebut berada dalam keadaan tidak berdaya, seperti kecilnya kesempatan memilih untuk membuat kontrak dengan pihak lainnya, maka
klausula tersebut dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesusilaan, prinsip mana yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu perjanjian.
Menurut pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan prinsip umum. Jika ada klausula kontrak yang
147
Ibid, hal. 232.
Universitas Sumatera Utara
111
sangat berat sebelah, apalagi jika kontrak tersebut dipergunakan secara massal atau kontrak yang sangat berat sebelah tersebut, sudah dapat dianggap
bertentangan dengan ketertiban umum public policy, sehingga klausula atau kontrak yang bersangkutan harus dianggap batal demi hukum.
148
Yang dimaksud dengan perjanjian yang sangat “berat sebelah” adalah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja
yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku tersebut tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban pihaknya dan sebaliknya hanya
menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya, sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan.
149
Walaupun demikian suatu causa yang tidak halal juga tidaklah mudah ditemukan rumusannya dalam perjanjian. Setiap pihak yang mengadakan suatu perjanjian
dapat saja menyebutkan suatu isi perjanjian sehingga walaupun sebenarnya perjanjian itu terbit dari suatu causa yang tidak halal atau dilarang oleh undang
undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum, menjadi tampak sebagai suatu perjanjian yang diperkenankan oleh hukum.
Dalam hal ini, maka yang terpenting adalah pelaksanaan prestasi yang dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Hal yang menjadi tolak ukur
konkrit disini adalah apakah pelaksanaan prestasi tersebut akan melanggar undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaaan baik atau ketertiban umum.
148
Munir fuady, Opcit, hal. 80.
149
Sutan Remy Sjahdheini, Opcit, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
112
Jika tidak, maka tentunya kita tidak dapat menduga-duga ada causa yang dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum dalam suatu perjanjian. Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata ayat 3 menyatakan “perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik”. Perjanjian yang dibuat dengan causa yang tidak halal akan hanya menerbitkan perikatan alamiah yang tidak dapat dituntut pemenuhannya di
hadapan hukum, karena pada dasarnya pihak panti selaku pemerintah yang berwenang juga memiliki itikad baik untuk melaksanakan tugas dan fungsinya
sebagai mana petunjuk pelaksana yang ada dalam setiap programnya dan memang hanya kewajiban secara prosedural tertulis yang tidak mampu
dilaksanakan oleh pihak panti. Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak
atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang dan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Yang dimaksud dengan itikad baik dalam
Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan
diatas rel yang benar.
150
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum
150
Salim H.S. Opcit, hal. 234-235.
Universitas Sumatera Utara
113
kepada pihak-pihak yang membuatnya. Para pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada pihak yang melanggar perjanjian,
maka dianggap sama dengan melanggar undang-undang sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum.
4. Asas-Asas Perjanjian