Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)

(1)

DEKOMPOSISI KETIMPANGAN PENDAPATAN

DI INDONESIA PASCA KRISIS

(TAHUN 1999-2005)

OLEH NURALIYAH

H14094025

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

RINGKASAN

NURALIYAH, ”Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)” dibimbing oleh YetiLis Purnamadewi.

Dari tahun 1968 sampai dengan 1997, Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu lebih dari 7 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut mendadak berakhir dengan adanya krisis keuangan asing yang dimulai pada tahun 1997. Mengikuti devaluasi baht Thailand, rupiah terdepresiasi dari 3.000 rupiah per dolar Amerika pada bulan Agustus 1997 menjadi sekitar 15.000 pada bulan Juni 1998. Hal tersebut membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13,18 persen yang dibarengi tidak terkendalinya tingkat inflasi. Tingkat inflasi mencapai lebih dari 50 persen yang merupakan inflasi tertinggi sejak 1960an. Fluktuasi yang tajam dalam perekonomian Indonesia sedikit banyak berpengaruh terhadap standar hidup dan distribusi pendapatan. Masyarakat Indonesia bukan hanya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun bagaimana pertumbuhan ekonomi itu mampu menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi tingkat ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ketimpangan ekonomi, khususnya ketimpangan pendapatan merupakan suatu keadaan dimana distribusi pendapatan masyarakat menunjukan keadaan yang tidak merata dan lebih menguntungkan golongan-golongan tertentu. Di lain pihak ada golongan-golongan berpendapatan tertentu yang merasa kurang diperhatikan dan cenderung kurang menikmati hasil-hasil pembangunan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tren dan dekomposisi ketimpangan di Indonesia menurut lokasi (kota-desa), pulau dan provinsi, umur, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin.

Alat analisis yang digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam penelitian ini adalah Indeks Theil dan Koefisien Gini. Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi pendapatan per kapita rumahtangga di Indonesia adalah data pengeluaran yang diperoleh dari Susenas, yang disebabkan karena sulitnya memperoleh data pendapatan rumahtangga. Selain itu penduduk Indonesia terkenal dengan “low profile” dalam hal memberikan informasi pendapatan ketika

enumerator menanyakan pendapatan yang diperoleh.

Hasil penelitian ini menunjukkan faktor pendidikan yang paling berpengaruh terhadap ketimpangan di Indonesia. Tren ketimpangan di Indonesia selama periode 1999-2005 baik yang diukur dengan indeks Theil dan Koefisien Gini mengalami peningkatan. Demikian pula jika mengamati ketimpangan pengeluaran per kapita rumahtangga di perkotaan dan di pedesaan, dimana masing-masing juga meningkat. Ketimpangan di perkotaan selalu lebih besar dibandingkan di pedesaan. Ketimpangan pendapatan antar provinsi memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada total ketimpangan. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan ketimpangan paling tinggi pada tahun 2002. Sementara itu pada periode 1999-2005, ketimpangan antar pulau ternyata tidak memberikan pengaruh


(3)

yang signifikan terhadap total ketimpangan. Penurunan ketimpangan antar pulau tidak akan memengaruhi ketimpangan di Indonesia. Sedangkan ketimpangan antar kelompok umur tidak berpengaruh terhadap ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan metode Theil ternyata ketimpangan antar tingkat pendidikan pada periode 1999-2005 memberikan kontribusi yang signifikan terhadap total ketimpangan.

Kontribusi yang diberikan oleh ketimpangan pendapatan antar jenis kelamin ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total ketimpangan. Kontribusi ketimpangan antar kelompok pada periode 1999-2005 kurang dari 1 persen terhadap total ketimpangan, yang berarti faktor jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap total ketimpangan.


(4)

DEKOMPOSISI KETIMPANGAN PENDAPATAN

DI INDONESIA PASCA KRISIS

(TAHUN 1999-2005)

OLEH NURALIYAH

H14094025

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(5)

Judul Skripsi : Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)

Nama : Nuraliyah NRP : H14094025

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc NIP. 19641018 199103 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003

Dr. Ir.DD Rina O72


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Oktober 2009

N u r a l i y a h H14094025


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nuraliyah lahir pada tanggal 7 Januari 1976 di Jakarta. Penulis merupakan anak dari pasangan Bapak Syamsuar dan Ibu Nurlaeli. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 010 pagi Jakarta Timur pada tahun 1987, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 62 Jakarta pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 54 Jakarta dan lulus pada tahun 1993.

Setelah tamat SMU, pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta, tamat pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah ke jenjang S-1 di Universita Terbuka, dan tamat pada tahun 2001. Lulus dari Akademi Ilmu Statistik, penulis langsung ditempatkan untuk bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini terutama kepada Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc yang memberikan bimbingan baik teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Widyastutik, M.Si yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Meskipun demikian, semua kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang memberikan dorongan sepenuhnya, kedua permata hatiku, yaitu Adiva Razita Syazwani dan Bianca Azra Syazwani, dan kepada saudara-saudara yang penulis sayangi serta teman-teman yang memberi dukungan serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2009

N u r a l i y a h H14094025


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur yang tiada henti kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Penulis berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:

1. Dr. Rusman Heriawan, M.S, sebagai Kepala BPS beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan sangat berharga kepada penulis melanjutkan studi ke IPB.

2. Kepala Pusdiklat BPS beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis guna melanjutkan studi ke IPB.

3. Dedi Budiman Hakim, Ph.D, sebagai Ketua Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor beserta staf dan jajarannya atas semua keramahtamahannya menerima penulis sebagai peserta didiknya. 4. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc, selaku dosen pembimbing, semoga Tuhan

senantiasa memberikan Berkat Melimpah atas kesabaran, ketelatenan dan kesungguhan dalam mendampingi penulis menyusun skripsi ini.

5. Widyastutik, M.Si, selaku dosen penguji dalam sidang skripsi. Terima kasih atas lontaran pertanyaan yang diberikan. Pertanyaan dan kritik yang diberikan menjadi justifikasi ilmiah atas skripsi ini.

6. Papa dan Mama tercinta yang dengan cucuran keringat dan sentuhan kasih, serta doa tiada pernah terputus yang bisa membuat penulis berada di sini.


(10)

7. Kedua bidadari kecilku: Diva dan Bianca yang selalu bikin kangen saat memikirkannya.

8. Adik-adik dan kaka di rumah yang selalu menyemangati diriku untuk dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik.

9. Eyang Toha dan Eyang Ratih yang tak henti-hentinya memberikan doa untuk kebaikan diriku.

10.Dosen dan staf pengajar selama matrikulasi; Pak Parulian, Pak Alla, Bu Wid, Firdaus, Pak Toni, Bu Rina, Bu Tantri, Bu Sri, Pak Fahmi, Bu Wiwiek, Bu Fifi, Mbak Dian, mas Ade Kholis, Mbak Dian dan Teh Win, juga Kang Iwan dan pasukannya, membuat IPB nyaman dan berasa di rumah sendiri.

11.Teman-teman seperjuangan bps09_s2ipb. Canda dan ceria antar kita, menjadikan badai UTS dan UAS yang datang silih berganti semakin menyejukkan dan mempersatukan hati kita. When we hold on together,


(11)

DEKOMPOSISI KETIMPANGAN PENDAPATAN

DI INDONESIA PASCA KRISIS

(TAHUN 1999-2005)

OLEH NURALIYAH

H14094025

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

RINGKASAN

NURALIYAH, ”Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)” dibimbing oleh YetiLis Purnamadewi.

Dari tahun 1968 sampai dengan 1997, Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu lebih dari 7 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut mendadak berakhir dengan adanya krisis keuangan asing yang dimulai pada tahun 1997. Mengikuti devaluasi baht Thailand, rupiah terdepresiasi dari 3.000 rupiah per dolar Amerika pada bulan Agustus 1997 menjadi sekitar 15.000 pada bulan Juni 1998. Hal tersebut membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13,18 persen yang dibarengi tidak terkendalinya tingkat inflasi. Tingkat inflasi mencapai lebih dari 50 persen yang merupakan inflasi tertinggi sejak 1960an. Fluktuasi yang tajam dalam perekonomian Indonesia sedikit banyak berpengaruh terhadap standar hidup dan distribusi pendapatan. Masyarakat Indonesia bukan hanya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun bagaimana pertumbuhan ekonomi itu mampu menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi tingkat ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ketimpangan ekonomi, khususnya ketimpangan pendapatan merupakan suatu keadaan dimana distribusi pendapatan masyarakat menunjukan keadaan yang tidak merata dan lebih menguntungkan golongan-golongan tertentu. Di lain pihak ada golongan-golongan berpendapatan tertentu yang merasa kurang diperhatikan dan cenderung kurang menikmati hasil-hasil pembangunan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tren dan dekomposisi ketimpangan di Indonesia menurut lokasi (kota-desa), pulau dan provinsi, umur, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin.

Alat analisis yang digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam penelitian ini adalah Indeks Theil dan Koefisien Gini. Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi pendapatan per kapita rumahtangga di Indonesia adalah data pengeluaran yang diperoleh dari Susenas, yang disebabkan karena sulitnya memperoleh data pendapatan rumahtangga. Selain itu penduduk Indonesia terkenal dengan “low profile” dalam hal memberikan informasi pendapatan ketika

enumerator menanyakan pendapatan yang diperoleh.

Hasil penelitian ini menunjukkan faktor pendidikan yang paling berpengaruh terhadap ketimpangan di Indonesia. Tren ketimpangan di Indonesia selama periode 1999-2005 baik yang diukur dengan indeks Theil dan Koefisien Gini mengalami peningkatan. Demikian pula jika mengamati ketimpangan pengeluaran per kapita rumahtangga di perkotaan dan di pedesaan, dimana masing-masing juga meningkat. Ketimpangan di perkotaan selalu lebih besar dibandingkan di pedesaan. Ketimpangan pendapatan antar provinsi memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada total ketimpangan. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan ketimpangan paling tinggi pada tahun 2002. Sementara itu pada periode 1999-2005, ketimpangan antar pulau ternyata tidak memberikan pengaruh


(13)

yang signifikan terhadap total ketimpangan. Penurunan ketimpangan antar pulau tidak akan memengaruhi ketimpangan di Indonesia. Sedangkan ketimpangan antar kelompok umur tidak berpengaruh terhadap ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan metode Theil ternyata ketimpangan antar tingkat pendidikan pada periode 1999-2005 memberikan kontribusi yang signifikan terhadap total ketimpangan.

Kontribusi yang diberikan oleh ketimpangan pendapatan antar jenis kelamin ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total ketimpangan. Kontribusi ketimpangan antar kelompok pada periode 1999-2005 kurang dari 1 persen terhadap total ketimpangan, yang berarti faktor jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap total ketimpangan.


(14)

DEKOMPOSISI KETIMPANGAN PENDAPATAN

DI INDONESIA PASCA KRISIS

(TAHUN 1999-2005)

OLEH NURALIYAH

H14094025

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(15)

Judul Skripsi : Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)

Nama : Nuraliyah NRP : H14094025

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc NIP. 19641018 199103 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003

Dr. Ir.DD Rina O72


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Oktober 2009

N u r a l i y a h H14094025


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nuraliyah lahir pada tanggal 7 Januari 1976 di Jakarta. Penulis merupakan anak dari pasangan Bapak Syamsuar dan Ibu Nurlaeli. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 010 pagi Jakarta Timur pada tahun 1987, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 62 Jakarta pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 54 Jakarta dan lulus pada tahun 1993.

Setelah tamat SMU, pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta, tamat pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah ke jenjang S-1 di Universita Terbuka, dan tamat pada tahun 2001. Lulus dari Akademi Ilmu Statistik, penulis langsung ditempatkan untuk bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini terutama kepada Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc yang memberikan bimbingan baik teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Widyastutik, M.Si yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Meskipun demikian, semua kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang memberikan dorongan sepenuhnya, kedua permata hatiku, yaitu Adiva Razita Syazwani dan Bianca Azra Syazwani, dan kepada saudara-saudara yang penulis sayangi serta teman-teman yang memberi dukungan serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2009

N u r a l i y a h H14094025


(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur yang tiada henti kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Penulis berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spritual dan material kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:

1. Dr. Rusman Heriawan, M.S, sebagai Kepala BPS beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan sangat berharga kepada penulis melanjutkan studi ke IPB.

2. Kepala Pusdiklat BPS beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis guna melanjutkan studi ke IPB.

3. Dedi Budiman Hakim, Ph.D, sebagai Ketua Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor beserta staf dan jajarannya atas semua keramahtamahannya menerima penulis sebagai peserta didiknya. 4. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc, selaku dosen pembimbing, semoga Tuhan

senantiasa memberikan Berkat Melimpah atas kesabaran, ketelatenan dan kesungguhan dalam mendampingi penulis menyusun skripsi ini.

5. Widyastutik, M.Si, selaku dosen penguji dalam sidang skripsi. Terima kasih atas lontaran pertanyaan yang diberikan. Pertanyaan dan kritik yang diberikan menjadi justifikasi ilmiah atas skripsi ini.

6. Papa dan Mama tercinta yang dengan cucuran keringat dan sentuhan kasih, serta doa tiada pernah terputus yang bisa membuat penulis berada di sini.


(20)

7. Kedua bidadari kecilku: Diva dan Bianca yang selalu bikin kangen saat memikirkannya.

8. Adik-adik dan kaka di rumah yang selalu menyemangati diriku untuk dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik.

9. Eyang Toha dan Eyang Ratih yang tak henti-hentinya memberikan doa untuk kebaikan diriku.

10.Dosen dan staf pengajar selama matrikulasi; Pak Parulian, Pak Alla, Bu Wid, Firdaus, Pak Toni, Bu Rina, Bu Tantri, Bu Sri, Pak Fahmi, Bu Wiwiek, Bu Fifi, Mbak Dian, mas Ade Kholis, Mbak Dian dan Teh Win, juga Kang Iwan dan pasukannya, membuat IPB nyaman dan berasa di rumah sendiri.

11.Teman-teman seperjuangan bps09_s2ipb. Canda dan ceria antar kita, menjadikan badai UTS dan UAS yang datang silih berganti semakin menyejukkan dan mempersatukan hati kita. When we hold on together,


(21)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 4

1.3. Tujuan ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Teori Pembangunan ... 7

2.2. Konsep Ketimpangan ... 8

2.3. Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 11

2.4. Kerangka Pemikiran ... 16

III. METODE PENELITIAN ... 19

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 19

3.2. Metode Analisis ... 20

3.2.1. Indeks Theil ... 20

3.2.2. KoefisienGini ... 25

IV. GAMBARAN UMUM ... 26

4.1. Perekonomian Indonesia ... 26

4.2. Struktur Ekonomi Indonesia ... 28

4.3. Pendidikan ... 29

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1. Tren Ketimpangan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005) ... 31

5.2. Dekomposisi Ketimpangan di Indonesia Pasca Krisis ... 32

5.2.1. Dekomposisi Ketimpangan Menurut Lokasi (Kota-Desa)... 33

5.2.2. Dekomposisi Ketimpangan Menurut Pulau dan Provinsi ... 35

5.2.3. Dekomposisi Ketimpangan Menurut Umur ... 37


(22)

5.2.5. Dekomposisi Ketimpangan Menurut Jenis Kelamin ... 41 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43 6.1. Kesimpulan ... 43 6.2. Saran ... 44 DAFTAR PUSTAKA ... 46


(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1.1 Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita di Indonesia

1999-2007 ... 4 4.1 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000

Menurut Lapangan Usaha (milliar rupiah), 2002 dan 2005 ... 29 4.2 Persentase Penduduk 10 Tahun Keatas Menurut Ijazah/STTB

Tertinggi yang Dimiliki, Tahun 2005 ... 30 5.1 Tren Ketimpangan Pendapatan di Indonesia (Koefisien Gini),

Tahun 1999-2005 ... 31 5.2 Andil Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita (% dari total) ... 32 5.3 Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan di

Perkotaan dan Pedesaan ... 33 5.4 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Lokasi ... 34 5.5 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Pulau dan

Provinsi ... 36 5.6 Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan

Menurut Umur ... 38 5.7 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Umur ... 39 5.8 Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Rumahtangga

Per Bulan Menurut Tingkat Pendidikan ... 40 5.9 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Tingkat

Pendidikan ... 41 5.10 Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan

Menurut Jenis Kelamin ... 42 5.11 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Jenis Kelamin ... 42


(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 2.1 Kerangka Pemikiran ... 18 4.1 PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2005 ... 26


(25)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penelitian mengenai distribusi pendapatan memang bukanlah hal yang baru. Masalah ini menjadi pusat perhatian setelah adanya krisis ekonomi pada tahun 1997. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 1968 sampai dengan 1997 cukup tinggi yaitu lebih dari 7 persen. Pertumbuhan ekonomi ini membawa perubahan yang signifikan dalam struktur ekonomi Indonesia. Sektor pertanian dan pertambangan, yang menjadi motor utama pertumbuhan pada dekade 1970an, menurun kontribusinya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Kontribusi sektor industri, pada sisi lain, meningkat secara signifikan. Akita dan Hermawan (2000) menyatakan bahwa kontribusi sektor industri dalam PDB meningkat dari 12 persen menjadi 21 persen antara tahun 1985 dan 1995. Pada saat yang sama gabungan kontribusi sektor pertanian dan pertambangan menurun dari 46 persen menjadi 29 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut mendadak berakhir dengan adanya krisis keuangan asing yang dimulai pada tahun 1997. Mengikuti devaluasi baht Thailand, rupiah terdepresiasi dari 3.000 rupiah per dolar Amerika pada bulan Agustus 1997 menjadi sekitar 15.000 pada bulan Juni 1998. Hal tersebut membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13,18 persen yang dibarengi tidak terkendalinya tingkat inflasi. Tingkat inflasi mencapai lebih dari 50 persen yang merupakan inflasi tertinggi sejak 1960an. Sektor konstruksi dan


(26)

2

industri selain minyak merupakan sektor-sektor yang paling terkena dampak dimana sektor-sektor tersebut dalam nilai PDB konstan masing-masing turun sebesar 33 persen dan 18 persen (Akita and Alisjahbana, 2002).

Fluktuasi yang tajam dalam perekonomian Indonesia cukup memengaruhi standar hidup dan distribusi pendapatan. Pada saat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, orang-orang yang memiliki skill dan pendidikan yang tinggi banyak

menikmati keuntungan. Akan tetapi perubahan struktur ekonomi yang disebabkan tingginya pertumbuhan juga dapat mengakibatkan seseorang tidak diuntungkan dibandingkan dengan yang lain (Cameron, 2002). Sehingga, sebagaimana yang ditegaskan Kuznets (1955), ketimpangan pendapatan meningkat seiring tumbuhnya ekonomi. Krisis, pada sisi lain, berdampak terhadap seluruh strata sosial, walaupun tidak sama. Frankenberg et al (1999) menyatakan bahwa krisis

telah berdampak negatif terhadap kelompok yang berpendapatan paling tinggi yang diindikasikan oleh penurunan drastis tingkat pengeluaran kelompok ini. Akan tetapi, Levinsohn et al (1999) berargumen bahwa golongan yang

berpendapatan paling rendah merupakan kelompok yang paling rentan selama krisis berlangsung. Jika salah satu atau kedua klaim di atas benar distribusi pendapatan dan tren ketimpangan pendapatan mungkin juga terpengaruh oleh krisis.

Setelah krisis ekonomi berakhir, perekonomian Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Walaupun demikian, pada tahun 1999, setahun setelah krisis, pengaruh krisis masih dirasakan dimana pertumbuhan riil PDB hanya sebesar 0,17 persen. Beberapa sektor masih mengalami pertumbuhan negatif


(27)

3

sebagai akibat dari menurunnya ekspor dan impor. Inflasi tetap tinggi yaitu sebesar 34,4 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih menunjukkan kelabilannya. Pada tahun 2002, pengaruh krisis ekonomi mulai menghilang. Perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 3,8 persen dan laju inflasi turun sebesar 10,5 persen. Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,11 persen dengan laju inflasi sebesar 17,11 persen.

Pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi tingkat ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ketimpangan ekonomi, khususnya ketimpangan pendapatan merupakan suatu keadaan dimana distribusi pendapatan di masyarakat menunjukan keadaan yang tidak merata dan lebih menguntungkan golongan-golongan tertentu. Di lain pihak ada golongan-golongan berpendapatan tertentu yang merasa kurang diperhatikan dan cenderung kurang menikmati hasil-hasil pembangunan. Masyarakat Indonesia bukan hanya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun bagaimana pertumbuhan ekonomi itu mampu menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with

equity). Salah satu kunci pemerataan itu ada di daerah. Adanya potensi lokal yang

layak untuk dikembangkan dan terciptanya iklim usaha yang kondusif pada akhirnya akan dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah. Jika hal ini terjadi maka pembangunan perekonomian secara merata di masing-masing daerah akan dapat tercipta yang pada akhirnya akan memperkuat stabilitas pembangunan perekonomian nasional, karena pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional secara


(28)

4

menyeluruh. Karena itu, diperlukan kebijakan yang bersifat integral antara pusat dan daerah, sehingga “kue pembangunan” yang sedari awal terlalu banyak dinikmati mereka yang berpunya dan daerah tertentu, kini bisa didistribusikan se-cara adil baik kepada daerah ataupun seluruh rakyat.

1. 2. Permasalahan

Disamping peningkatan pendapatan, aspek pemerataan pendapatan merupakan hal yang penting untuk dipantau, karena pemeratan hasil pembangunan merupakan salah satu strategi dan tujuan pembangunan nasional Indonesia. Ketimpangan dalam menikmati hasil pembangunan di antara kelompok-kelompok penduduk dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial.

Tabel 1.1. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita di Indonesia, 1999-2007

Tahun 40 % berpengeluaran rendah

40 % berpengeluaran sedang

20 % berpengeluaran tinggi

1999 21,66 37,77 40,57

2002 20,92 36,89 42,19

2003 20,57 37,10 42,33

2004 20,80 37,13 42,07

2005 20,22 37,69 42,09

2006 19,75 38,10 42,15

2007 19,10 36,11 44,79

Sumber : Badan Pusat Statistik

Secara umum tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia termasuk ke dalam kategori rendah, tetapi kecenderungannya sejak tahun 2002


(29)

5

menunjukkan bahwa distribusi pengeluaran penduduk cenderung memburuk. Bagian yang dikeluarkan oleh 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi adalah dua kali dari 40 persen penduduk berpendapatan rendah. Pada tahun 2003, Bagian yang dikeluarkan oleh 40 persen penduduk berpendapatan terendah menurun dari 20,92 persen pada tahun 2002 menjadi 20,57 persen pada tahun 2003, dan menurun lagi menjadi 19,10 pada tahun 2007. Sedangkan bagian yang dikeluarkan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi pada tahun 2002 mencapai 42,19 persen, meningkat menjadi 42,33 persen pada tahun 2003, dan mencapai 44,79 persen pada tahun 2007. Hal ini mengindikasikan ketimpangan pendapatan di Indonesia cenderung meningkat.

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan melihat tren ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia dan dekomposisi ketimpangan pendapatan di Indonesia menurut lokasi (kota-desa), pulau dan provinsi, umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin.

1. 3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis tren ketimpangan pendapatan di Indonesia pasca krisis

2. Menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan di Indonesia menurut lokasi (kota-desa), pulau dan provinsi, umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin.


(30)

6

1.4. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan akademis, sebagai referensi bagi penelitian yang lebih lanjut dan mendalam.

2. Sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah ketimpangan pendapatan di Indonesia.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Pembangunan

Sejak tahun 1970 tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todarodan Smith, 2003). Sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak berhasil apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya. Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu :

1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs).

2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan

3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from

servitude).

Di Indonesia, istilah pembangunan sudah sejak lama menjadi terminologi sehari-hari. Terminologi yang erat kaitannya dengan pembangunan dikenal konsep Delapan Jalur Pemerataan yang merupakan penjabaran dari Trilogi Pembangunan. Delapan jalur pemerataan yang dimaksud adalah pemerataan dalam hal: (1) pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, berupa pangan,


(32)

8

sandang dan perumahan; (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pembagian pendapatan; (4) kesempatan kerja; (5) kesempatan berusaha; (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) penyebaran pembangunan; dan (8) kesempatan memperoleh keadilan.

Mengacu pada definisi pembangunan di atas, maka para ekonom merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan. Dudleey Seer dalam Todaro dan Smith (2003) merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan sebagai berikut: a) Tingkat ketimpangan pendapatan; b) Penurunan jumlah kemiskinan; c) Penurunan tingkat pengangguran.

Selain itu, PBB juga telah merumuskan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs), yang

terdiri dari delapan indikator keberhasilan pembangunan, yakni: (1) penghapusan kemiskinan; (2) pendidikan untuk semua; (3) persamaan gender; (4) perlawanan terhadap penyakit menular; (5) penurunan angka kematian anak; (6) peningkatan kesehatan ibu; (7) pelestarian lingkungan hidup; (8) kerjasama global.

2.2. Konsep Ketimpangan

Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai penyebaran pendapatan diantara setiap orang atau rumahtangga dalam masyarakat. Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukkan oleh dua konsep pokok, yaitu konsep ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan relatif. Ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang


(33)

9

menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak. Ketimpangan relatif merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima oleh masyarakat secara keseluruhan (Ahluwalia dalam Sukirno, 2001).

Pembahasan ketimpangan menghendaki pendefinisian kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pendefinisian kelompok-kelompok yang sejak awal sering digunakan adalah kelompok pendapatan. Masyarakat dibedakan menurut kelompok-kelompok 10 persen populasi (decile), mulai dari kelompok 10 persen

populasi berpendapatan terendah, kelompok 10 persen populasi berikutnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Cara pengelompokkan lain adalah berdasarkan tingkat pendapatan yaitu 40 persen populasi dengan pendapatan terendah, 40 persen berikutnya dengan tingkat pendapatan menengah, dan 20 persen populasi yang berpendapatan tinggi.

Selain pengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pengukuran ketimpangan juga menggunakan daerah sebagai basis pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai implikasi pengamatan ketimpangan masyarakat antar daerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota.

Kondisi ketimpangan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator ketimpangan. Berbagai penelitian pada umumnya menggunakan indeks kemerataan distribusi Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat


(34)

10

yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan semurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). OSHIMA membagi koefisien Gini dalam 3 kategori yaitu:

1. Jika, 0 < G < 0,35 termasuk dalam ketimpangan yang rendah 2. Jika, 0,35 < G < 0,5 termasuk dalam ketimpangan sedang 3. Jika 0,5 < G < 0,7 termasuk dalam ketimpangan tinggi

Terdapat 8 (delapan) faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang (Adelman dan Morris dalam Arsyad, 2004) yaitu:

1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita.

2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.

3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah

4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek padat modal (capital

intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih

besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah

5. Rendahnya mobilitas sosial

6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.


(35)

11

7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang

berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terh barang ekspor negara-negara sedang berkembang.

8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.

2.3. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian ini menggunakan raw data Susenas modul konsumsi untuk

mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran perkapita rumahtangga untuk tahun 1999, 2002, dan 2005. Ada kemungkinan koefisien gini yang dihasilkan dalam penelitiani ini berbeda dengan koefisien gini yang sebelumnya sudah pernah dihitung oleh instansi-instansi resmi.

Banyak penelitian mengenai ketimpangan yang menggunakan berbagai sumber data yang ada di Indonesia. Sumber data yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi ketimpangan dan juga untuk mengestimasi angka-angka resmi ketimpangan adalah data SUSENAS. Selain SUSENAS, data yang sering digunakan untuk mengevaluasi ketimpangan adalah PDRB.

Diantara penelitian-penelitian yang menggunakan data SUSENAS dalam mnganalisa distribusi pendapatan dan ketimpangan di Indonesia, Hughes dan Islam (1981) dapat dikatakan sebagai salah satu perintisnya. Mereka menguji perubahan ketimpangan agregat untuk periode 1964-1976. Hasil penelitiannya adalah bahwa ketimpangan secara keseluruhan menurun pada periode 1964-1976. Ketimpangan di daerah perkotaan Jawa menunjukkan tidak ada perubahan dalam


(36)

12

periode 1964-1970, tetapi kemudian meningkat tajam dari 1970 sampai dengan 1976 seperti yang terukur oleh koefisien Gini. Sebaliknya, ketimpangan daerah perkotaan di luar Jawa menurun dengan tajam dalam periode 1964-1970 dan tetap konstan setelahnya. Ketimpangan di daerah perdesaan jawa dan luar jawa menurun secara signifikan pada 1964-1976 meskipun terjadi pada saat yang berbeda (tetapi di dalam masa 1964-1976). Penelitian ini meyakinkan bahwa efek yang paling dirasakan dari menggunakan penyesuaian perubahan harga relatif (relative price diffferential) adalah menurunkan andil variasi antar grup,

khususnya untuk pemisahan (dekomposisi) regional dan sektoral.

Asra (1989) menggunakan data SUSENAS tahun 1969-1981 dan menguji kembali tren ketimpangan dari 1969-1981 dengan melakukan penyesuaian ukuran-ukuran standard ketimpangan untuk pengaruh perubahan inflasi pada kelompok pengeluaran yang berbeda-beda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jika penyesuaian tersebut dilakukan, ketimpangan di Indonesia sesungguhnya naik pada 1969-1970 dan 1976 tetapi setelahnya turun kembali sampai tahun 1981. Selain itu menemukan bahwa penyesuaian harga bukan hanya berpengaruh pada besaran nilai ketimpangan dalam salah satu periode, tetapi juga yang lebih penting, penyesuaian harga tersebut membalik tren ketimpangan yang ditunjukkan oleh indeks-indeks ketimpangan harga berlaku.

Dengan menggunakan teknik dekomposisi ketimpangan Theil terhadap data pengeluaran rumah tangga SUSENAS untuk tahun 1987, 1990 dan 1993, Akita dan Lukman (1999) menemukan bahwa disparitas kota-desa adalah sebesar 22 persen sampai 24 persen dari total ketimpangan nasional, sedangkan disparitas


(37)

13

antar provinsi adalah sebesar 12 persen sampai 14 persen dari total ketimpangan antara rumah tangga perkotaan dan 7 persen sampai 8 persen antara rumah tangga perdesaan. Kurva Kuznets yang dibuat berdasarkan data SUSENAS tahun 1993 menunjukkan nilai ketimpangan tertinggi sebesar 0,27 (menggunakan indeks Theil T) jika andil rumah angga perkotaan mencapai 53,2 persen; andil ini lebih besar dari pada angka aktual urbanisasi sebesar 32 persen.

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Akita et al (1999) menggunakan

teknik dekomposisi Theil terhadap data pengeluaran rumah tangga dari data SUSENAS tahun 1987, 1990 dan 1993 untuk menguji faktor-faktor yang ditengarai mempengaruhi ketimpangan di Indonesia, seperti lokasi (desa/kota), provinsi, usia, pendidikan, jenis kelamin dan ukuran rumah tangga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang tidak signifikan dalam menjelaskan ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Temuan-temuan lainnya dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan intra provinsi adalah lebih besar dibanding ketimpangan antar provinsi, dan ketimpangan pengeluaran kota-desa adalah sebesar 22 persen sampai 24 persen dari total ketimpangan. Lebih jauh, tingkat ketimpangan perkotaan secara kontinyu semakin besar selama periode penelitian. Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa pendidikan merupakan determinan yang signifikan dari ketimpangan pengeluaran, karena komponen antar tingkat pendidikan memberikan kontribusi sebesar 30 persen sampai 33 persen terhadap total ketimpangan.

Akita dan Szeto (2000) menguji pengaruh program Inpres Desa Tertinggal (IDT) 1994-1996 di Indonesia terhadap perubahan ketimpangan intra-provinsi


(38)

14

antara tahun 1993 dan 1996. Melalui analisa regresi, mereka menemukan bahwa dana IDT per kapita per provinsi memilki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan ketimpangan pengeluaran intra provinsi antara 1993 dan 1996. Hasil yang sama diperoleh jika perubahan andil terendah sebesar 30 persen dari jumlah populasi dari tahun1993-1996 digunakan sebagai dependent variable.

Beberapa penelitian juga menggunakan data SUSENAS untuk menguji tren ketimpangan selama krisis finansial yang terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1996 dan 1999 dan data mini SUSENAS tahun 1998, Said dan Widyanti (2001) menemukan penurunan ketimpangan selama masa krisis baik untuk daerah perkotaaan maupun perdesaan seperti yang diukur oleh koefisien Gini dan indeks-indeks Theil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan ketimpangan diantara populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat berbeda dari perubahan ketimpangan dalam populasi keseluruhan. Pada kenyataannya, Koefisien Gini dan indeks Theil menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan populasi yang berada di bawah garis kemiskinan sesungguhnya meningkat selama masa krisis. Penurunan ketimpangan selama masa krisis juga ditemukan oleh Kadarmanto dan Kamiya (2005). Dengan menggunakan data konsumsi nominal SUSENAS, hasil dari penelitiannya adalah bahwa ketimpangan menurun pada tahun 1999 setelah meningkat tajam dari tahun 1990-1996. Selain itu juga ditemukan bahwa ketimpangan kembali naik pada tahun 2002. Lebih dari pada itu, penurunan ketimpangan selama masa krisis juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryadarma et al. (2005). Hasil


(39)

15

krisis, tetapi sesungguhnya pada populasi yang berada di bawah garis kemiskinan ketimpangannya adalah meningkat. Namun demikian, penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya karena penelitian ini mempertimbangkan perbedaan harga antara daerah yang dilakukan dengan cara merubah pengeluaran konsumsi nominal menjadi pengeluaran konsumsi riil menggunakan garis kemiskinan regional sebagai deflatornya.

Dengan menggunakan data PDRB provinsi, Akita dan Lukman (1995) menemukan bahwa ketimpangan antar provinsi yang diukur dengan menggunakan koefisien variasi tertimbang dengan menggunakan PDRB provinsi non-pertambangan per kapita adalah sangat stabil antara tahun 1975 dan 1992 meskipun pada saat itu terjadi perubahan struktur ekonomi yang cukup signifikan.

Banyak penelitian telah menguji dampak krisis ekonomi terhadap ketimpangan dengan menggunakan data SUSENAS. Dengan menggunakan data PDRB kabupaten dan data kependudukan dan kemudian dengan menggunakan metode dekomposisi two-stage nested, Akita dan Alisjahbana (2002)

menyimpulkan bahwa selama masa krisis, secara keseluruhan ketimpangan pendapatan seperti yang ditunjukkan indeks Theil menurun dari 0,287 di tahun 1997 menjadi 0,266 di tahun 1998, yang mana setara dengan tingkat ketimpangan pada tahun 1993-1994. Tetapi selama masa pertumbuhan yang tinggi, ketimpangan yang diukur menggunakan indeks Theil naik secara signifikan dari 0,262 di tahun 1993 menjadi 0,286 di tahun 1997. Penemuan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tjiptoherjanto dan Remi (2001). Dengan menggunakan indeks-indeks Theil T dan Theil L, hasil penelitiannya


(40)

16

menunjukkan bahwa ketimpangan menurun sejak tahun 1996-1998, suatu tren yang sangat jelas terlihat di daerah perkotaan dibanding di daerah perdesaan.

Tetapi suatu penelitian yang dilakukan oleh Skoufias et al (2000)

menemukan trend ketimpangan pendapatan yang berbeda selam masa krisis: dengan menggunakan data hasil survey 100 desa dan menggunakan deflator rumah tangga spesifik, mereka menghitung koefisien Gini dan menemukan ketimpangan meningkat dari 0,283 di tahun 1997 menjadi 0,304 di tahun 1998. Peningkatan ini dipicu oleh peningkatan ketimpangan di daerah perdesaan dibanding daerah perkotaan.

2.4. Kerangka Pemikiran

Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau ketimpangan ekonomi dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang tidak merata yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai dampak dari kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua masalah tersebut berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.

Di Indonesia, pada awal pemerintahan orde baru, para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan ekonomi hanya memusatkan pembangunan di Jawa, khususnya di Jakarta. Hal ini menyebabkan ketimpangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketimpangan dalam pertumbuhan dan pembangunan daerah yang merupakan dasar mobilitas penduduk dapat terjadi antar wilayah (pulau, propinsi) maupun antara desa dengan kota. Adanya


(41)

17

mobilitas penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan mencerminkan perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pambangunan antar daerah perdesaan dan daerah perkotaan.

Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi pendapatan per kapita rumahtangga di Indonesia adalah data pengeluaran yang diperoleh dari Susenas, yang disebabkan karena sulitnya memperoleh data pendapatan rumahtangga. Selain itu penduduk Indonesia terkenal dengan “low profile” dalam hal

memberikan informasi pendapatan ketika enumerator menanyakan pendapatan

yang diperoleh.

Data pengeluaran hasil Susenas tersebut didekomposisikan dengan menggunakan metode indeks Theil T dan indeks Theil L. Salah satu keunggulan indeks Theil dibandingkan indeks ketimpangan lainnya adalah bahwa indeks Theil dapat didekomposisi ke dalam indeks ketimpangan intra kelompok (within

group) dan antar kelompok (between group). Selain itu untuk mengetahui

ketimpangan pendapatan dalam penelitian ini juga dilakukan penghitungan koefisien gini. Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dapat memberikan masukan kepada pemerintah sehingga perencanaan pembangunan dapat mempertimbangkan besarnya ketimpangan yang terjadi.


(42)

18

Gambar 2.1. kerangka pemikiran Distribusi Pendapatan di

Indonesia

Proxy Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga

Pengeluaran RT Menurut Lokasi

Pengeluaran RT Menurut Pulau dan Provinsi

Pengeluaran RT Menurut Umur

Pengeluaran RT Menurut Tingkat Pendidikan

Pengeluaran RT Menurut Jenis Kelamin

Indeks Theil dan Koefisien Gini

Dekomposisi Ketimpangan Menurut Lokasi

Dekomposisi Ketmpangan Menurut Pulau dan Provinsi

Dekomposisi Ketimpangan Menurut Umur

Dekomposisi Ketimpangan Menurut Tingkat Pendidikan

Dekomposisi Ketimpangan Menurut Jenis Kelamin

Rekomendasi Kebijakan


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data pengeluaran konsumsi tahun 1999, 2002, dan 2005 yang diperoleh dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang telah dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 1963 (Surbakti menyajikan uraian rinci tentang Susenas, 1995). Susenas telah digunakan oleh banyak peneliti untuk memperkirakan tingkat kemiskinan dan derajat ketimpangan di Indonesia (Islam dan Khan, 1986; Said dan Widayanti, 2001; dan Suryadarma et al, 2005). Sejak 1981, Susenas dibagi menjadi pertanyaan kor dan tiga modul termasuk modul konsumsi. Walaupun Susenas dilakukan setiap tahun, pertanyaan modul konsumsi dilakukan dalam rentang waktu tiap tiga tahun. Sehingga sejak 1981, modul konsumsi telah dilaksanakan pada tahun 1984, 1987, 1990, 1993, 1996, 1999, dan 2002, 2005, dan 2008.

Item pengeluaran yang dicakup oleh modul konsumsi diklasifikasikan kedalam kelompok makanan dan non makanan. Kelompok makanan mencakup 214, 216 dan 229 jenis, sementara kelompok non makanan terdiri dari 105, 105, dan 114 jenis masing-masing untuk Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005. Konsumsi pengeluaran juga merekam bagaimana cara mendapatkan item-item tersebut apakah melalui pembelian, produksi sendiri, atau pemberian dari pihak lain. Jika barang/jasa diperoleh dari produksi sendiri atau diperoleh dari pihak lain maka dilakukan imputasi terhadap nilai barang/jasa dimaksud.


(44)

20

Jumlah sampel untuk modul konsumsi meningkat secara bertahap sebagai upaya untuk mengumpulkan data pengeluaran dari seluruh kelompok pengeluaran. Untuk tahun 1999, 2002, dan 2005 jumlah sampel untuk Susenas modul konsumsi adalah 62.214, 64.406 dan 64.628. Tetapi untuk melakukan analisis dekomposisi Theil menurut sub kelompok/grup (seperti, kelompok umur, tingkat pendidikan dan lain sebagainya), studi ini juga menggunakan beberapa informasi dari Susenas kor. Sehingga jumlah sampel menjadi 60.605, 64.406, dan 62.551 masing-masing untuk tahun 1999, 2002, dan 2005 karena terdapat rumahtangga yang tidak ada di Susenas kor.

3.2. Metode Analisis

3.2.1. Indeks Theil T dan L serta Dekomposisinya

Penelitian ini menggunakan indeks-indeks Theil untuk mengukur ketimpangan pengeluaran perkapita dalam distribusi rumahtangga karena indeks-indeks tersebut dapat diurai menjadi komponen-komponen yang bisa dijumlahkan (additively decomposable) dan memenuhi beberapa properti ukuran ketimpangan

kesejahteraan, seperti mean independence, population-size independence, dan

prinsip transfer Pigou-Dalton (the Pigou-Dalton principle of transfers)

(Bourguignon, 1979; Shorrocks, 1980). Dua indeks Theil ini,yang biasanya disebut indeks Theil T dan L (Anand, 1983), merupakan bagian dari ukuran ketimpangan generalized entropy class.

Suatu indeks ketimpangan dikatakan additively decomposable jika total

ketimpangan dapat diuraikan menjadi penjumlahan antara komponen

between-group dan within-group. Mean independence menyiratkan bahwa indeks tidak


(45)

21

sementara population-size independence berarti indeks tidak berubah jika jumlah

rumahtangga pada setiap tingkat pengeluaran berubah dengan proporsi yang sama. Sedangkan prinsip transfer Pigou-Dalton mengandung pengertian bahwa setiap transfer pengeluaran dari rumahtangga yang lebih kaya ke rumahtangga yang lebih miskin yang tidak membalikkan peringkat relatif dalam pengeluaran mengurangi nilai indeks.

Anggap bahwa populasi dari seluruh rumahtangga dikelompokkan dalam m kelompok sosial ekonomi yang mutually exclusive dan collectively exhaustive

(kelompok umur yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, dan lain sebagainya). Kemudian indeks Theil T, yang mengukur ketimpangan perngeluaran perkapita dalam distribusi rumahtangga, diberikan sebagai:

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

∑∑

∑∑

= =

= = μ μ

ij m 1 i n 1 j ij ij m 1 i n 1 j ij y log y n 1 n 1 Y y log Y y T i i

, (1)

dimana =

ij

y pengeluaran perkapita dari rumahtangga j dalam kelompok ke-i (i = 1, 2, …, m; j = 1, 2, …, ni);

=

i

n Jumlah rumahtangga dalam kelompok i (i=1,2, …, m);

⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ =

∑∑

= = m 1 i n 1 j ij i y

Y = total pengeluaran seluruh rumahtangga;

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

= m 1 i i n

n = jumlah seluruh rumahtangga; dan

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛= n Y


(46)

22

Dalam memperkirakan ketimpangan pengeluaran perkapita dalam distribusi rumahtangga, kita mengasumsikan bahwa setiap rumahtangga menerima pengeluaran perkapitanya.

Indeks Theil T, sebagaimana disajikan di (1), dapat dibagi kedalam komponen within-sector dan komponen between-sector sebagai berikut:

⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

∑∑

= = 1n

Y y log Y y T ij m 1 i n 1 j ij i

= = ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

= ni

1 j i i i i ij i ij m 1 i i n n Y Y log n 1 Y y log Y y Y Y

= = = ⎟⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = m 1 i i i i n 1 j i i ij i ij m 1 i i n n Y Y log Y Y n 1 Y y log Y y Y Y i ,

karena 1

Y Y Y y Y y i i i n 1 j ij n 1 j i ij i i = = = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛

= =

, bagian kedua dapat ditulis kembali sebagai

⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

= = = n n Y Y log Y Y n n Y Y log Y y Y Y i i m 1 i i n 1 j i i i ij m 1 i

i i ,

dimana =

i

Y total pengeluaran rumahtangga kelompok i, =

i

n jumlah rumahtangga kelompok i. Sehingga, kita memperoleh


(47)

23 B W m 1 i i i i i m 1 i

i T T

n n Y Y log Y Y T Y Y

T = +

⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

= =

. (2)

dimana

= = ⎟⎟⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛

= i ni

1 j i ij i ij i n 1 j i i ij i ij i y log y n 1 n 1 Y y log Y y T μ

μ , dan

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛= i i i n Y

μ = rata-rata (per capita) pengeluaran rumahtangga kelompok i. Harus dicatat bahwa komponen antara (between component) dapat ditulis kembali

sebagai:

= = ⎟⎟⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = m 1 i i i i m 1 i i i i B log n n n n Y Y log Y Y T μ μ μ μ .

Sedangkan indeks Theil L diberikan sebagai:

∑∑

∑∑

= = = = ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = m 1 i n 1 j ij ij m 1 i n 1 j i i y log n 1 Y y n 1 log n 1

L μ (3)

Indeks ini dapat dibagi menjadi komponen within-sector dan komponen

between-sector sebagai berikut:

⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

∑∑

= = Y y n 1 log n 1 L ij m 1 i n 1 j i

= = ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

= ni

1 j i i i ij i i m 1 i i Y Y n n log Y y n 1 log n 1 n n


(48)

24

= = = ⎟⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = m 1 i i i i n 1 j i ij i i m 1 i i Y Y n n log n n Y y n 1 log n 1 n n i

karena 1

n n n 1 i i n 1 j i i = = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛

=

, bagian kedua ditulis kembali sebagai

⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

= = = Y Y n n log n n Y Y n n log n 1 n n i i m 1 i i n 1 j i i i m 1 i i i

Sehingga, kita memperoleh

B W m 1 i i i i i m 1 i

i L L

Y Y n n log n n L n n

L = +

⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

= =

, (4)

dimana

= = ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛

= i ni

1 j ij i i n 1 j i ij i i i y log n 1 Y y n 1 log n 1 L μ .

Harus dicatat bahwa komponen antara (between component) dapat ditulis kembali

sebagai: ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

= = i m 1 i i i i m 1 i i B log n n Y Y n n log n n L μ μ .

Karena dalam persamaan (1) dan (3), n1 merupakan share populasi dari suatu

rumahtangga danyij Yadalah share pengeluaran dari rumahtangga ke j dalam

kelompok i, indeks T dan L membandingkan share populasi dan share

pengeluaran untuk seluruh rumahtangga, dan oleh karenanya mengukur ketimpangan pengeluaran perkapita dalam distribusi rumahtangga. Perlu dicatat


(49)

25

bahwa indeks Theil T menggunakan share pengeluaran sebagai penimbang,

sedangkan indeks Theil L menggunakan share populasi sebagai penimbang;

sehingga indeks T sensitif terhadap perubahan kelompok pengeluaran bagian atas (upper-expenditure categories), sedangkan indeks L sensitif terhadap perubahan

kelompok pengeluaran bagian bawah (lower-expenditure categories).

3.2.2. Koefisien Gini

Sebagai tambahan dari dua indeks Theil, studi ini juga menggunakan Koefisien Gini sebagai ukuran ketimpangan lainnya. Tidak seperti indeks-indeks Theil, Koefisien Gini tidak bisa diuraikan ke dalam dua bagian yang bisa dijumlahkan, tetapi memenuhi properti mean independence, population-size

independence, dan prinsip Pigou-Dalton.

Anggap bahwa terdapat n rumahtangga dalam suatu sampel dan mereka disusun dari terkecil ke terbesar berdasarkan pengeluaran perkapita yaitu

n 2

1 y y

y ≤ ≤K≤ . Maka Koefisien Gini didefinisikan sebagai (lihat, sebagai contoh, Anand (1983)):

) H F H F ( ) H H )( F F ( 1

G i 1 i

1 n 1 i 1 i i 1 n 1 i i 1 i i 1 i + − = + − = + + − = + − − =

, (5)

dimana F = kumulatif i share populasi rumahtangga sampai dengan rumahtangga

ke i.

i

H = kumulatif share pengeluaran rumahtangga sampai dengan


(50)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Perekonomian Indonesia

Bab ini menggambarkan perekonomian Indonesia pada tahun 2005.

Berdasarkan perhitungan PDB atas dasar harga konstan 2000, laju pertumbuhan

ekonomi Indonesia tahun 2006 adalah sekitar 3,59 persen dan pertumbuhan

ekonomi tanpa migas adalah sekitar 4,31 persen. Nilai PDB atas dasar harga

konstan 2000 pada tahun 2005 adalah 1.750,8 triliun rupiah dan tanpa migas

adalah 1.605,2 triliun rupiah.

0.00 50,000,000.00 100,000,000.00 150,000,000.00 200,000,000.00 250,000,000.00 300,000,000.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Gambar 4.1. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2005

Keterangan gambar 1. NAD 2. Sumut 3. Sumbar 4. Riau

5. Kepulauan Riau 6. Jambi

7. Sumsel 8. Bangka Belitung 9. Bengkulu 10. Lampung 11. DKI Jakarta

12. Jawa Barat 13. Banten 14. Jawa Tengah 15. DI Yogyakarta 16. Jawa Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara 22. Gorontalo

23. Sulawesi Tengah 24. Sulawesi Selatan 25. Sulawesi Barat 26. Sulawesi Tenggara 27. Bali

28. Nusa Tenggara Barat 29. Nusa Tenggara Timur 30. Maluku

31. Maluku Utara 32. Papua 33. Papua Barat


(51)

27

DKI Jakarta merupakan provinsi yang mempunyai PDRB terbesar dari 33

provinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena DKI Jakarta merupakan pusat

pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi. Nilai PDRB DKI Jakarta atas dasar

harga konstan pada tahun 2005 sebesar 295,3 triliun rupiah atau 17,47 persen dari

total 33 provinsi. Provinsi berikutnya adalah JawaTimur dan Jawa Barat, dengan

nilai PDRB masing-masing 256,4 triliun rupiah dan 242,9 triliun rupiah atau

masing-masing 15,17 persen dan 14,37 persen terhadap total 33 provinsi di

Indonesia. Provinsi dengan PDRB terkecil adalah Gorontalo dan Maluku Utara,

dengan nilai PDRB 2,03 triliun rupiah dan 2,24 triliun rupiah, atau sekitar 0,1

persen terhadap total provinsi Indonesia. Gorontalo dan Maluku Utara merupakan

provinsi yang belum lama berdiri. Secara geografis, letak Provinsi Gorontalo

dekat dengan Provinsi Sulawesi Utara yang sudah jauh lebih maju sehingga

investor lebih memilih untuk menanamkan modalnya yang sudah banyak fasilitas.

Sedangkan rendahnya PDRB Maluku Utara disebabkan karena wilayahnya yang

berbentuk kepulauan.

Dari sisi pertumbuhan, pada tahun 2005 hampir seluruh provinsi

mengalami pertumbuhan positif, hanya di Nanggroe Aceh Darussalam yang

mengalami pertumbuhan negatif, karena terjadinya bencana tsunami yang

melanda NAD pada akhir tahun 2004. Provinsi yang pertumbuhan ekonominya

(dengan migas) di atas 6 persen adalah Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua,


(52)

28

7,19 persen, 6,80 persen, 36,40 persen. Tingginya pertumbuhan ekonomi di Papua

disebabkan karena adanya pemekaran dengan Provinsi Papua Barat.

4.2. Struktur Ekonomi Indonesia

Hampir keseluruhan sektor ekonomi yang ada PDB, pada tahun 2005 mencatat pertumbuhan yang positif, kecuali sektor pertambangan dan penggalian. Bila diurutkan pertumbuhan PDB menurut sektor ekonomi dari yang tertinggi ke yang terendah, maka petumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi sekitar 43,44 persen, diikuti oleh sektor bangunan sekitar 22,65 persen; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sekitar 23,16 persen; sektor perdagangan, hotel dan restoran sekitar 20,64 persen; dan sektor listrik, gas dan air bersih sekitar 17,39 persen. Sektor berikutnya adalah industri pengolahan; jasa-jasa; dan sektor pertanian masing-masing tumbuh sekitar 17,21 persen, 15,70 persen dan 8,97 persen. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian yang menurun sekitar minus 2,77 persen.

Beralihnya struktur sebagian masyarakat Indonesia dari sektor pertanian ke sektor ekonomi lainnya dapat terlihat dari besarnya peranan masingmasing sektor ini terhadap pembentukan PDB Indonesia. Sejak tahun 1991 hingga saat ini sumbangan terbesar dihasilkan oleh sektor industri pengolahan. Pada tahun 2005 sumbangan sektor industri pengolahan sekitar 28,08 persen, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel dengan andil sekitar 16,77 persen, sedangkan sumbangan sektor pertanian sekitar 14,50 persen. Adapun sumbangan lima sektor lainnya masih kurang dari 10 persen, dengan penyumbang terkecil adalah sektor listrik, gas dan air bersih yaitu hanya sekitar 0,66 persen.


(53)

29

Tabel 4.1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (milliar rupiah), 2002 dan 2005

Lapangan Usaha 2002 2005

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

232 973,4 253 881,7 2. Pertambangan dan Penggalian 169 932,0 165 222,6

3. Industri Pengolahan 419 388,1 491 561,4

4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 9 868,2 11 584,1

5. Bangunan 84 469,8 103 598,4

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 243 409,3 293 654,0 7. Pengangkutan dan Komunikasi 76 173,2 109 261,5 8. Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 130 928,1 161 252,2

9. Jasa-jasa 138 982,3 160 799,3

PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 506 124,4 1 750 815,2

PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS 1 345 814,3 1 605 261,8

Sumber : Badan Pusat Statistik

4.3. Pendidikan

Maju tidaknya suatu bangsa terletak pada kondisi tingkat pendidikan

masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin majulah

bangsa tersebut. Oleh karena itu pembangunan di sektor pendidikan perlu

diutamakan. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa

pendidikan adalah hak setiap warga negara, maka seluruh lapisan masyarakat

berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki seseorang merupakan indikator pokok

kualitas pendidikan formalnya. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh

rata-rata penduduk suatu negara semakin tinggi taraf intelektualitas negara


(54)

30

memiliki ijazah di perkotaan 19,88 persen, sedangkan di perdesaan mencapai

36,82 persen. Penduduk yang hanya tamat SD di daerah perkotaan mencapai

26,32 persen, dan di perdesaan mencapai 37,16 persen. Di daerah perdesaan tidak

sampai 1 persen penduduknya yang tamat dari tingkat pendidikan tinggi. Hal ini

terlihat dari ijazah yang dimiliki penduduk perdesaan untuk tingkat pendidikan

setelah SMA, masing-masing tidak ada yang mencapai 1 persen.

Tabel 4.2. Persentase Penduduk 10 Tahun keatas menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki, Tahun 2005

Ijazah/STTB Tertinggi Yang Dimiliki

Tahun 2005

Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Tidak Punya Ijazah 19,88 36,82 29,28

SD/MI 26,32 37,16 32,34

SLTP/MTs 19,33 15,24 17,06 SMU/MA 20,13 6,96 12,82 SMU Kejuruan 6,76 2,24 4,25

Diploma I/II 1,15 0,57 0,82 Diploma III/Sarjana Muda 1,85 0,29 0,98 Diploma IV/S1/S2/S3 4,59 0,74 2,45

Sumber: Badan Pusat Statistik

Secara umum tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk di

daerah perkotaan lebih tinggi daripada daerah perdesaan. Sebaliknya, persentase

penduduk yang tidak sekolah dan tamat SD, di daerah perkotaan lebih rendah

daripada di perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di


(55)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tren Ketimpangan Pendapatan di Indonesia di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)

Bab ini menyajikan perkembangan ketimpangan di Indonesia dari tahun 1999 sampai tahun 2005, yang diukur dengan koefisien gini. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan data Susenas yang dalam pengolahannya terdapat proses penggabungan pertanyaan kor dan modul, sehingga ada kemungkinan jumlah sampel rumahtangga menjadi berkurang.

Tabel 5.1. Tren Ketimpangan di Indonesia (Koefisien Gini), Tahun1999-2005 Tahun Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan

Perdesaan

1999 0,336 0,262 0,329

2002* 0,366 0,268 0,368

2005** 0,411 0,311 0,408

Sumber: Data Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005.

catatan: * tidak termasuk Aceh, Maluku, Maluku Utara dan Papua ** tidak termasuk Aceh

Ketimpangan di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun 1999 sampai 2005, berturut-turut adalah 0,329; 0,368; dan 0,408. Demikian pula dengan ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perkotaan dan perdesaan selama periode 1999-2005 yang juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1999, ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perkotaan sebesar 0,336 dan meningkat hingga mencapai 0,411 pada tahun 2005. Sedangkan ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perdesaan pada tahun 1999 mencapai 0,262, dan meningkat hingga mencapai 0,311 pada tahun 2005 (Tabel 5.1).


(56)

32

Tabel 5.2. Andil Pengeluaran per KapitaRumahtangga (% dari total)

Tahun

Quintil Desil

1 2 3 4 5 T20/B20 1 10

1999 8,57 12,19 15,86 21,36 41,96 4,90 3,70 27,08

2002 7,71 11,24 14,84 20,85 45,10 5,85 3,33 30,07

2005 6,85 10,40 14,10 20,40 48,45 7,07 2,86 33,30

Sumber: Data Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005

Catatan: T20/B20 adalah rasio dari andil pengeluaran untuk 20 persen golongan teratas terhadap 20 persen golongan terbawah.

Kontribusi pengeluaran dari 20 persen penduduk Indonesia dengan golongan pendapatan terbawah terus mengalami penurunan dari 8,57 persen pada tahun 1999 menjadi 6,85 persen pada tahun 2005. Sementara itu, kontribusi yang diberikan oleh 20 persen golongan pengeluaran teratas justru mengalami peningkatan pada periode yang sama atau dari 41,96 persen pada tahun 1999 menjadi 48,45 pada tahun 2005. Kondisi ini tercermin dari rasio antara 20 persen penduduk Indonesia dengan golongan pengeluaran teratas terhadap 20 persen penduduk Indonesia dengan golongan pengeluaran terbawah yang meningkat selama periode 1999-2005. Kenyataan ini sesuai dengan anggapan bahwa krisis sangat menyentuh kalangan bawah sehingga ketimpangan yang ditunjukkan oleh koefisien gini meningkat.

5.2. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)

Penelitian ini menggambarkan ketimpangan yang dapat didekomposiskan ke dalam kelompok-kelompok yaitu intra kelompok dan antar kelompok. Dekomposisi ketimpangan pendapatan yang dimaksud adalah menurut lokasi


(57)

33

(kota-desa), pulau dan provinsi, kelompok umur, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin.

5.2.1. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan Menurut Lokasi Pada tahun 1999, kira-kira setahun setelah krisis, rata-rata pengeluaran pr kapita rumahtangga di perkotaan mencapai Rp 200.560 per bulan. Namun rata-rata pengeluaran perkapita rumahtangga di perdesaan hanya Rp 119.060 per bulan. Tahun 2002, rasio rata-rata pengeluaran rumahtangga perkotaan terhadap rata-rata pengeluaran rumahtangga perdesaan mencapai 1,97 sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita pada tahun 1999. Demikian pula yang terjadi pada tahun 2005, dimana rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita di perkotaan adalah dua kali pengeluaran rumahtangga di perdesaan atau besarnya pengeluaran di perkotaan sebesar Rp 460.190, sedangkan di perdesaan hanya Rp 222.830.

Tabel 5.3. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga Di Perkotaan dan Perdesaan

Lokasi

Rata-Rata Pengeluaran (Rp 000)

Jumlah Rumahtangga (% )

1999 2002 2005 1999 2002 2005

Kota (K) 200,56 324,20 460,19 41,53 45,46 41,14 Desa (D) 119,06 164,34 222,83 58,47 54,54 58,86 Total 152,92 237,01 320,49 100,00 100,00 100,00 Rasio (K/D) 1,68 1,97 2,07


(58)

34

Ketimpangan pendapatan rumahtangga di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga di perdesaan (Tabel 5.2). Ketimpangan di perkotaan pada periode 1999-2005 selalu mengalami peningkatan. Kontibusi ketimpangan yang diberikan oleh rumahtangga di perkotaan terhadap total ketimpangan pada tahun 2002 meningkat, yaitu dari 52,06 persen di tahun 1999 menjadi 53,63 persen pada tahun 2002 (berdasarkan indeks Theil T) dan jika menggunakan indeks Theil L didapat ketimpangan di perkotaan sebesar 49,98 persen di tahun 1999, 48,67 persen pada tahun 2002, dan 48,59 persen di tahun 2005.

Tabel 5.4. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Lokasi

Lokasi Indeks Theil T Indeks Theil L Koefisien Gini

1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005

Perkotaan 0,207 0,271 0,344 0,183 0,220 0,280 0,336 0,366 0,411

Andil (%) 52,06 53,63 52,85 49,98 48,67 48,59

Perdesaan 0,124 0,131 0,182 0,112 0,117 0,160 0,262 0,268 0,311

Andil (%) 31,19 25,93 27,96 30,59 25,88 27,67

Total 0,203 0,275 0,343 0,175 0,221 0,275 0,329 0,368 0,408

Intra lokasi 0,169 0,218 0,278 0,141 0,164 0,210

Andil (%) 83,25 79,56 80,81 80,57 74,55 76,36

Antar lokasi 0,034 0,056 0,065 0,034 0,056 0,065

Andil (%) 16,75 20,44 19,19 19,43 35,45 23,64

Sumber: Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005

Namun kontribusi ketimpangan yang diberikan rumahtangga di perdesaan justru mengalami penurunan pada tahun 2002, yaitu dari 31,19 persen pada tahun 1999 menjadi 25,93 persen pada tahun 2002 (berdasarkan indeks Theil T).


(59)

35

Penurunan ketimpangan pendapatan di perdesaan dipicu oleh menurunnya pengeluaran golongan pendapatan tertinggi, sehingga mengindikasikan golongan kaya di perdesaan yang lebih merasakan dampak krisis daripada golongan miskin perdesaan.

5.2.2. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan Menurut Pulau dan Provinsi

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Selain pulau-pulau besar, ternyata Indonesia juga banyak mempunyai pulau-pulau kecil. Dalam penelitian ini pulau-pulau besar tersebut dibagi ke dalam lima (5) kelompok, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau lainnya. Indonesia juga merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam budaya dan mempunyai penduduk dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Sebagai contoh, Pulau Jawa adalah penyumbang terbesar dalam GDP, dengan jumlah penduduk lebih dari 50 persen penduduk Indonesia, dimana luas wilayahnya hanya 6,8 persen dari luas Indonesia.

Ketimpangan pendapatan antar provinsi memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada total ketimpangan. Dengan indeks Theil T pada periode 1999-2005 didapatkan hasil bahwa kontribusi dari ketimpangan tersebut masing-masing mencapai 16,26 persen; 23,64 persen; dan 16,96 persen.Pada tahun 2002, dari 25 provinsi yang diteliti hanya ada 7 provinsi atau sekitar 28 persen yang mengalami penurunan ketimpangan (berdasarkan indeks Theil T). Provinsi Lampung mengalami penurunan ketimpangan paling tinggi yaitu sebesar 21,5 persen.


(60)

36

Tabel 5.5. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Pulau dan Provinsi

Pulau/Provinsi Indeks Theil T Indeks Theil L Gini

1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005

Sumatra 0,147 0,182 0,270 0,132 0,159 0,232 0,287 0,314 0,376

1 Aceha)

0,135 - - 0,120 - - 0,272 - -

2 Sumatra Utara 0,135 0,167 0,251 0,121 0,148 0,217 0,274 0,301 0,359

3 Sumatra Barat 0,150 0,148 0,233 0,132 0,136 0,203 0,287 0,292 0,353

4 Riau 0,123 0,210 0,239 0,111 0,177 0,190 0,260 0,329 0,337

5 Jambi 0,121 0,147 0,230 0,112 0,130 0,190 0,263 0,284 0,342

6 Sumatra Selatan 0,142 0,180 0,203 0,129 0,156 0,176 0,285 0,312 0,330

7 Bengkulu 0,144 0,132 0,295 0,129 0,121 0,219 0,282 0,278 0,363

8 Lampung 0,177 0,139 0,328 0,159 0,118 0,262 0,315 0,268 0,401

9 Bangka Belitungb)

- 0,152 0,193 - 0,124 0,179 - 0,273 0,331

10 Kepulauan Riau - - 0,201 - - 0,184 - - 0,338

Jawa-Bali 0,240 0,312 0,385 0,201 0,248 0,297 0,353 0,390 0,424

1 Jakarta 0,223 0,317 0,413 0,187 0,226 0,293 0,339 0,368 0,424

2 Jawa Barat 0,163 0,170 0,256 0,143 0,150 0,213 0,299 0,306 0,363

3 Jawa Tengah 0,161 0,172 0,221 0,132 0,148 0,179 0,284 0,303 0,331

4 Yogyakarta 0,244 0,289 0,434 0,215 0,248 0,361 0,368 0,393 0,462

5 Jawa Timur 0,185 0,208 0,297 0,159 0,177 0,237 0,315 0,332 0,378

6 Bantenc)

- 0,209 0,312 - 0,194 0,242 - 0,347 0,399

7 Bali 0,155 0,194 0,273 0,138 0,170 0,224 0,292 0,324 0,369

Kalimantan 0,151 0,187 0,242 0,138 0,166 0,209 0,293 0,321 0,359

1 Kalimantan Barat 0,164 0,190 0,222 0,144 0,165 0,193 0,300 0,321 0,346

2 Kalimantan Tengah 0,133 0,120 0,182 0,122 0,111 0,168 0,275 0,262 0,325

3 Kalimantan Selatan 0,139 0,165 0,165 0,126 0,152 0,151 0,281 0,307 0,305

4 Kalimantan Timur 0,157 0,198 0,280 0,145 0,174 0,241 0,299 0,329 0,382

Sulawesi 0,167 0,186 0,275 0,152 0,160 0,230 0,306 0,314 0,376

1 Sulawesi Utara 0,137 0,144 0,295 0,130 0,135 0,240 0,284 0,291 0,380

2 Sulawesi Tengah 0,183 0,156 0,208 0,165 0,141 0,183 0,318 0,297 0,335

3 Sulawesi Selatan 0,178 0,227 0,276 0,156 0,179 0,233 0,311 0,329 0,379

4 Sulawesi Tenggara 0,159 0,157 0,270 0,148 0,140 0,226 0,302 0,292 0,372

5 Gorontalod)

- 0,122 0,272 - 0,110 0,224 - - 0,369

Lainnya 0,196 0,163 0,318 0,176 0,141 0,268 0,330 0,294 0,399

1 Nusa Tenggara Barat 0,159 0,148 0,228 0,138 0,170 0,189 0,293 0,277 0,341

2 Nusa Tenggara Timur 0,174 0,180 0,290 0,154 0,125 0,260 0,310 0,311 0,397

3 Maluku 0,106 - 0,219 0,106 - 0,178 0,259 - 0,328

4 Maluku Utarae)

- - 0,220 0,249 - 0,170 0,382 - 0,319

5 Papua 0,247 - 0,490 - - 0,466 - - 0,506

Total 0,203 0,275 0,343 0,175 0,221 0,275 0,329 0,368 0,408

Intra Provinsi 0,170 0,210 0,284 0,146 0,164 0,224

Andil (%) 83,74 76,36 83,04 83,43 74,21 81,45

Antar Provinsi 0,033 0,065 0,058 0,029 0,057 0,051

Andil (%) 16,26 23,64 16,96 16,57 25,79 19,55

Intra Pulau 0,201 0,262 0,355 0,173 0,208 0,267

Andil (%) 99,01 95,27 98,07 98,86 94,12 97,09

Antar Pulau 0,002 0,012 0,007 0,002 0,013 0,008

Andil (%) 0,99 4,73 1,93 1,14 5,88 2,91


(1)

Tabel 5.10. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga Per Bulan Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Rata-Rata Pengeluaran (000)

Rasio Rata-Rata Pengeluaran kota terhadap desa

Andil Rumahtangga Perkotaan

(%)

1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Laki-Laki 150,47 234,56 316,68 1,67 1,96 2,04 41,02 45,09 40,89 Perempuan 169,04 254,64 347,20 1,77 2,03 2,22 44,98 48,10 42,90 Total 152,92 237,01 320,49 1,68 1,97 2,07 41,55 45,46 41,14

Sumber: Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005

Kontribusi yang diberikan oleh ketimpangan pendapatan antar jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total ketimpangan. Kontribusi ketimpangan antar kelompok pada periode 1999-2005 kurang dari 1 persen terhadap total ketimpangan., yang berarti faktor jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap total ketimpangan (Tabel 4.11).

Tabel 5.11. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Jenis Kelamin

Sumber: Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005

Jenis Kelamin Indeks Theil T Indeks Theil L Gini

1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Laki-Laki 0,200 0,277 0,338 0,171 0,219 0,271 0,325 0,367 0,405 Perempuan 0,218 0,258 0,368 0,193 0,229 0,298 0,345 0,376 0,425 Total 0,203 0,275 0,343 0,175 0,221 0,275 0,329 0,368 0,408 Intra Kelompok 0,202 0,274 0,342 0,174 0,221 0,274

Andil (%) 99,51 99,64 99,71 99,43 100,00 99,64 Antar

Kelompok 0,001 0,001 0,001 0,001 0,000 0,001 Andil (%) 0,49 0,36 0,29 0,57 0,00 0,36


(2)

6.1. Kesimpulan

1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tren ketimpangan di Indonesia

selama periode 1999-2005 yang diukur dengan menggunakan indeks Theil dan koefisien Gini mengalami peningkatan. Demikian pula jika mengamati ketimpangan pengeluaran per kapita rumahtangga di perkotaan dan di pedesaan, dimana masing-masing juga terus mengalami peningkatan ketimpangan. Ketimpangan di perkotaan selalu lebih besar

dibandingkan di pedesaan.

2. Kontribusi ketimpangan yang diberikan oleh rumahtangga di perkotaan

terhadap total ketimpangan pada tahun 2002 meningkat, yaitu dari 52,06 persen di tahun 1999 menjadi 53,63 persen pada tahun 2002 (berdasarkan indeks Theil T). Namun kontribusi ketimpangan yang diberikan rumahtangga di pedesaan justru mengalami penurunan pada tahun 2002, yaitu dari 31,19 persen pada tahun 1999 menjadi 25,93 persen pada tahun 2002 (berdasarkan indeks Theil T).

3. Ketimpangan pendapatan antar provinsi memberikan kontribusi yang

cukup signifikan pada total ketimpangan. Dengan indeks Theil T pada periode 1999-2005 didapatkan hasil bahwa kontribusi dari ketimpangan tersebut masing-masing mencapai 16,26 persen, 23,64 persen, dan 16,96 persen. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan ketimpangan paling tinggi pada tahun 2002 yaitu sebesar 0,317, meningkat sebesar 42,2


(3)

persen dari tahun 1999.

4. Ketimpangan antar kelompok umur pada tahun 1999 memberikan

kontribusi yang paling besar pada total ketimpangan yaitu 1,97 (berdasarkan indeks Theil T) dan 2,29 (berdasarkan indeks Theil L). Namun demikian, kontribusi yang diberikan pada total ketimpangan tidak signifikan.

5. Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan metode Theil ternyata

ketimpangan antar tingkat pendidikan pada periode 1999-2005 memberikan kontribusi yang signifikan terhadap total ketimpangan masing-masing adalah 24,14 persen; 28,36 persen; dan 28,57 persen.

6. Kontribusi yang diberikan oleh ketimpangan pendapatan antar jenis

kelamin ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total ketimpangan. Kontribusi ketimpangan antar kelompok pada periode 1999-2005 kurang dari 1 persen terhadap total ketimpangan, yang berarti faktor jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap total ketimpangan.

6.2. Saran

1. Untuk mengurangi ketimpangan yang terjadi antara kota dan desa, ketimpangan kesempatan kerja antara kota-desa harus dikurangi., karena para migran diasumsikan tanggap terhadap adanya selisih-selisih pendapatan.

2. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan antar provinsi, diantaranya


(4)

daya manusia, dan kepadatan penduduk, maka tipe perencanaan dan kebijakan tidaklah harus sama diantara berbagai provinsi. Tipe

perencanaan spatial sangatlah penting untuk diterapkan mengingat

perencanaan dimensi regional sangat memperhatikan potensi sumber daya yang dimiliki dan aspek lokasi dari masing-masing propinsi.

3. Untuk mengurangi ketimpangan antar tingkat pendidikan dapat dilakukan

dengan memberikan lebih banyak subsidi pendidikan kepada orang-orang miskin atau diadakannya sekolah gratis untuk orang-orang miskin, sehingga setidak-tidaknya wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 1994 dapat tercapai. Dengan semakin lamanya usia wajib belajar ini diharapkan tingkat pendidikan semakin membaik, dan tentunya akan berdampak pada tingkat kesejahteraan penduduk.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Akita, T. dan A. Alisjahbana. 2002. “Regional Income Inequality in Indonesia and

the Initial Impact of the Economic Crisis”. Bulletin of Indonesian

Economic Studies, 38: 201-22.

Akita, T. dan A. Hermawan. 2000. “The Sources of Industrial Growth in

Indonesia, 1985 95: An Input-Output Analysis”. ASEAN Economic

Bulletin, 17: 270-84.

Akita, T., dan R.A. Lukman. 1995. “Interregional Inequalities in Indonesia: A

Sectoral Decomposition Analysis for 1975-92”. Bulletin of Indonesian

Economic Studies,31: 61-81.

Akita, T., dan R.A. Lukman. 1999. “Spatial Patterns of Expenditure Inequalities in

Indonesia: 1987, 1990, and 1993”. Bulletin of Indonesian Economic

Studies, 35: 65-88.

Akita, T., R.A. Lukman, dan Y. Yamada. 1999. “Inequality in the Distribution of Household Expenditures in Indonesia: A Theil Decomposition Analysis”.

The Developing Economies, 37: 197-221.

Akita, T., dan J.K. Szeto. 2000. “Inpres Desa Tertinggal (IDT) Program and

Indonesian Regional Inequality”. Asian Economic Journal, 14: 167-185.

Anand, S. 1983. “Inequality and Poverty in Malaysia: “Measurement and

Decomposition”. A World Bank Research Publication, Oxford University Press, New York.

Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. STIE YKPN, Yogyakarta

Asra, A. 1989. “Inequality Trends in Indonesia, 1969-1981: A re-examination”.

Bulletin of Indonesian Economic Studies, 25: 100-36.

Asra, A. 1999. “Urban-Rural Differences in Costs of Living and their Impact on Poverty

Bourguignon, F. 1979. “Decomposable Income Inequality Measures”.

Econometrica, 47: 901-20.

Cameron, L.A. 2002. “Growth with or without Equity? the Distributional Impacts

of Indonesian Development”. Asian-Pacific Economic Literature, 16:

1-17.

Ching, P. 1991. “Size Distribution of Income in the Philippines. in T. Mizoguchi

(ed.)”. Making Economies More Efficient and Equitable: Factors

Determining Income Distribution. Kinokuniya Company Ltd, Tokyo: 157-78.

Frankenberg et al. 1999. “The Real Cost of Indonesia’s Economic Crisis:

Preliminary Findings from the Indonesia Family Life Surveys”. RAND


(6)

Hughes, G..A., dan I. Islam 1981. “Inequality in Indonesia: A Decomposition

Analysis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 17: 42-71.

Islam, I., dan H. Khan (1986). “Spatial Patterns of Inequality and Poverty in

Indonesia”. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 22 (2): 80-102.

Kadarmanto dan D. Kamiya (2005). Pattern of Income Inequality Reflected in

Expenditure Distribution in Indonesia 1990-2002: An Empirical Analysis Based on the Micro-Data Set of Susenas. Paper presented at International Conference in Memory of Two Eminent Social Scientists: C. Gini and M.O. Lorenz, Siena, Italy.

Kuznets, S. 1955. “Economic Growth and Income Inequality”. American

Economic Review,45: 1-28.

Levinsohn, J., S. Berry, dan J. Friedman. 1999. Impacts of the Indonesia

Economic Crisis: Price Changes and the Poor. NBER Working Paper No.

7194. National Bureau of Economic Research, Cambridge, MA.

Said, A. dan W. D.Widyanti. 2001. The Impact of Economic Crisis on Poverty and

Inequality in Indonesia.Paper presented at the Symposium on Poverty Analysis and Data Initiative (PADI), Manila, Philippines.

Shorrocks, A.F. 1980. “The Class of Additively Decomposable Inequality

Measures”. Econometrica, 48: 613-25.

Skoufias, E., A. Suharyadi. dan S. Sumarto. 2000. “Changes in Household

Welfare, Poverty and Inequality during the Crisis”. Bulletin of

Indonesian Economics Studies, 36: 97-114.

Sukirno, S. 2001. Pengantar Teori Makroekonomi. Raja Grafindo, Jakarta.

Surbakti, P. 1995. Survey Sosial Ekonomi Nasional: Sumber Data Berkelanjutan

untuk Analisis Pembangunan Bidang Kesra. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Suryadarma, D., R.P. Artha, A. Suharyadi, dan S. Sumarto. 2005. A Reassesment

of Inequallity and Its Role in Poverty Reduction in Indonesia. SMERU

Working Paper. SMERU Research Institute, Jakarta.

Tjiptoherijanto, P. and S. S. Remi. 2001. Poverty and Inequality in Indonesia:

Trends and Programs. Paper Presented at International Conference on the Chinese Economy “Achieving Growth with Equity”, Beijing.

Todaro Michael P & Smith Stephen C, 2003, Pembangunan Ekonomi di Dunia