Analisis ketimpangan pendapatan antar daerah di Jawa Barat tahun 1997-2005

(1)

ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR DAERAH

DI JAWA BARAT TAHUN 1997-2005

OLEH

DINDIN JAENUDIN H14103009

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2005 (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).

Krisis moneter pada tahun 1997 telah berdampak pada krisis multidimensi di Indonesia. Krisis telah meningkatkan kembali jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada tahun 1998 angka kemiskinan menjadi 49,5 juta jiwa (BPS, 2007). Walaupun pada tahun selanjutnya kembali menurun, lalu berfluktuasi, dan pada tahun 2006 hampir 20 persen penduduk Indonesia teridentifikasi sebagai penduduk miskin.

Kemiskinan tersebut dapat diredam dengan kebijakan yang fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan, karena kemiskinan merupakan bentuk lain ketimpangan pendapatan. Jika kebijakan pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, maka akan mengakibatkan semakin lebarnya gap antara penduduk miskin dan kaya. Oleh sebab itu, untuk mendorong pemerataan pendapatan masyarakat daerah, maka pemerintah menerapkan Otonomi Daerah sejak Januari 2001.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mengalami kemajuan pada masa Otonomi Daerah, mengidentifikasi besarnya ketimpangan pendapatan yang terjadi antar daerah di Provinsi Jawa Barat pada pra Otonomi Daerah dan masa Otonomi Daerah, serta bagaimana trend ketimpangan pendapatan tersebut. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2007 dengan Provinsi Jawa Barat sebagai objek studi dan lokasi penelitian. Data yang digunakan merupakan data sekunder time series 1997-2005 yang diperoleh dari BPS, BPS Jawa Barat, Pusat Data Pikiran Rakyat, Jurnal dan publikasi penelitian terdahulu serta internet.

Analisis pertama untuk melihat perbandingan kategori kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pra dan masa Otonomi Daerah menggunakan Klasen Typologi. Dengan menggunakan perhitungan sederhana terhadap laju pertumbuhan PDRB di masing-masing kabupaten/kota dan PDRB per kapita kabupaten/kota. Selanjutnya hasil perbandingan dengan nilai laju pertumbuhan PDRB provinsi dan PDRB per kapita provinsi, maka diperoleh kategori-kategori berdasarkan Klasen Typologi. Sedangkan besarnya ketimpangan penadapatan dihitung dengan menggunakan formula Williamson (CVw). Sehingga diperoleh nilai ketimpangan pendapatan antar daerah selama tahun analisis. Lalu nilai tersebut diplotkan ke dalam sebuah grafik untuk melihat trend ketimpangan pendapatan lebih jelas.

Hasil penelitian menunjukkan pada periode 1997-2000, Kota Cirebon merupakan daerah yang masuk kategori maju dan berkembang cepat. Sedangkan daerah yang lainnya terdapat pada kelas daerah yang berkembang cepat, daerah maju tapi tertekan, dan daerah kurang berkembang. Sedangkan masa Otonomi


(3)

Daerah, kategori I ada Kota Bandung dan Kota Sukabumi. Namun, hasil pada otonomi daerah juga menunjukkan banyaknya daerah yang masuk kategori kurang berkembang.

Indeks CVw di Provinsi Jawa Barat, tahun 1997 menunjukkan ketimpangan pendapatan berada pada taraf sedang, terlihat dari nilai yang kurang dari 0,35, begitu juga pada tahun 1998. Sejak tahun 1999, indeks ketimpangan kembali meningkat, dengan lonjakan yang tertinggi pada tahun 1999. Selanjutnya indeks konstan meningkat dan mencapai puncak pada tahun 2005. Penurunan indeks ketimpangan hanya terjadi pada tahun 1998 dan tahun 2003. Secara umum indeks ketimpangan antar daerah di Provinsi Jawa Barat cenderung meningkat.

Kebijakan yang perlu diambil untuk mengatasi permasalahan diatas, masing-masing pemerintah daerah harus memacu pertumbuhan PDRB kabupaten/kota melalui sektor-sektor perekonomian daerah masing-masing. Daerah-daerah juga dapat memanfaatkan sumber pemasukan lainnya seperti pajak, retribusi, dan lain-lain. Juga harus menjalin koordinasi, komunikasi, serta studi banding antar daerah. Agar terjadi pertumbuhan yang harmonis pada setiap daerah.

Selain itu, kebijakan otonomi daerah tidak boleh melepaskan tanggung jawab pemerintah pusat terhadap daerah. Maka pemerintah pusat melakukan kontrol terhadap perkembangan setiap daerah dan mengevaluasi kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah, agar menjadi masukan dalam perbaikan dan tidak terulang pada pelaksanaan berikutnya.


(4)

Oleh

DINDIN JAENUDIN H14103009

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Dindin Jaenudin

Nomor Registrasi Pokok : H14103009 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Daerah di Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2005

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 131 846 871

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:


(6)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Dindin Jaenudin


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Garut, 3 Januari 1984 sebagai anak kedelapan dari delapan bersaudara buah kasih dari Ading (Alm) dan Emin Jumainah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Leles VIII. Penulis melanjutkan pendidikannya di SLTPN I Leles, dan akhirnya dapat menyelesaikan sekolah menengah atas di SMUN I Cisarua, Bandung atau SMU Plus Provinsi Jawa Barat di bawah Yayasan Darmaloka pada tahun 2003. Pada tahun tersebut penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Departemen Ilmu Ekonomi melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai pengurus rumah tangga DKM Al Hurriyyah IPB (Marboth) dan pada saat yang sama ikut dalam pengurus harian LDK Al Hurriyyah diantaranya Anggota Departemen PSDM (2004), Bendahara Umum (2005), dan Ketua Divisi PSDM (2006). Selain itu penulis sering terlibat dalam kepanitiaan seperti 2nd Economic Contest (2003), Festival Nasyid Nusantara (2004 dan 2005), Paket Qiyamu Ramadhan (PQR) Al Hurriyyah (2005 dan 2006). Selama tiga semester pernah menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam IPB (2004-2005).


(8)

dan kesungguhan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Daerah di Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2005”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ema Emin yang telah memberikan kasih sayang dan do’anya sehingga

penulis memperoleh kelancaran dalam membuat tugas skripsi ini.

2. Bapak Dedi Budiman Hakim yang telah dengan sabar memberikan arahan dan berbagi ilmu kepada penulis.

3. Ibu Widyastutik yang telah berkenan menjadi dosen penguji dan memberikan masukan terhadap skripsi ini.

4. Bapak Jaenal Effendi atas masukannya, terutama berkaitan dengan perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

5. Kakak-Kakakku yang telah memberikan dorongan secara moril dan materil, sehingga penulis bisa mewujudkan cita-cita penulis.

6. Teman-Teman di Asrama Al Hurriyyah (Marboth) dan Al Ihsan atas bantuannya, penulis akan selalu mengingatnya.

7. Teman-Teman di Mushola Al Muhajirin, Akh Jumadi dan Akh Oki atas kesempatannya untuk berbagi.

8 Teman-Teman IE 40, Man 40, dan teman-teman di FEM semua, senang bisa bertemu dan berkenalan dengan anda semua.

9. Kakak-kakakku angkatan 38 yang telah menyambut penulis, saat pertama kali tiba di IPB.

10. Semua pihak yang telah berinteraksi dengan penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(9)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Namun, semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007

Dindin Jaenudin H14103009


(10)

DAFTAR TABEL……….. ix

DAFTAR GAMBAR………. xi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xii

I. PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Perumusan Masalah……….. 3

1.3 Tujuan Penelitian……….. 6

1.4 Kegunaan Penelitian………. 6

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan………. 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN………… 8

2.1. Pertumbuhan Ekonomi………..……… 8

2.2. Konsep Kemiskinan.………. 9

2.3. Ketimpangan Pendapatan...……….. 11

2.4. Kebijakan Otonomi Daerah……….. 15

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu……… 21

2.6. Kerangka Pemikiran... 25

III. METODE PENELITIAN……….. 28

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian……… 28

3.2. Jenis dan Sumber Data………... 28

3.3. Metode Analisis……… 29

3.3.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Daerah…………... 29

3.3.2. Analisis Tingkat Ketimpangan Daerah………. 30

3.3.3. Analisis Trend Ketimpangan Daerah……… 31

IV. GAMBARAN UMUM………. 32

4.1. Kondisi Geografis... 32

4.2. Kependudukan dan Tenaga Kerja ………... 32

4.2.1. Penduduk……….. 33


(11)

ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR DAERAH

DI JAWA BARAT TAHUN 1997-2005

OLEH

DINDIN JAENUDIN H14103009

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2005 (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).

Krisis moneter pada tahun 1997 telah berdampak pada krisis multidimensi di Indonesia. Krisis telah meningkatkan kembali jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada tahun 1998 angka kemiskinan menjadi 49,5 juta jiwa (BPS, 2007). Walaupun pada tahun selanjutnya kembali menurun, lalu berfluktuasi, dan pada tahun 2006 hampir 20 persen penduduk Indonesia teridentifikasi sebagai penduduk miskin.

Kemiskinan tersebut dapat diredam dengan kebijakan yang fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan, karena kemiskinan merupakan bentuk lain ketimpangan pendapatan. Jika kebijakan pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, maka akan mengakibatkan semakin lebarnya gap antara penduduk miskin dan kaya. Oleh sebab itu, untuk mendorong pemerataan pendapatan masyarakat daerah, maka pemerintah menerapkan Otonomi Daerah sejak Januari 2001.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mengalami kemajuan pada masa Otonomi Daerah, mengidentifikasi besarnya ketimpangan pendapatan yang terjadi antar daerah di Provinsi Jawa Barat pada pra Otonomi Daerah dan masa Otonomi Daerah, serta bagaimana trend ketimpangan pendapatan tersebut. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2007 dengan Provinsi Jawa Barat sebagai objek studi dan lokasi penelitian. Data yang digunakan merupakan data sekunder time series 1997-2005 yang diperoleh dari BPS, BPS Jawa Barat, Pusat Data Pikiran Rakyat, Jurnal dan publikasi penelitian terdahulu serta internet.

Analisis pertama untuk melihat perbandingan kategori kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pra dan masa Otonomi Daerah menggunakan Klasen Typologi. Dengan menggunakan perhitungan sederhana terhadap laju pertumbuhan PDRB di masing-masing kabupaten/kota dan PDRB per kapita kabupaten/kota. Selanjutnya hasil perbandingan dengan nilai laju pertumbuhan PDRB provinsi dan PDRB per kapita provinsi, maka diperoleh kategori-kategori berdasarkan Klasen Typologi. Sedangkan besarnya ketimpangan penadapatan dihitung dengan menggunakan formula Williamson (CVw). Sehingga diperoleh nilai ketimpangan pendapatan antar daerah selama tahun analisis. Lalu nilai tersebut diplotkan ke dalam sebuah grafik untuk melihat trend ketimpangan pendapatan lebih jelas.

Hasil penelitian menunjukkan pada periode 1997-2000, Kota Cirebon merupakan daerah yang masuk kategori maju dan berkembang cepat. Sedangkan daerah yang lainnya terdapat pada kelas daerah yang berkembang cepat, daerah maju tapi tertekan, dan daerah kurang berkembang. Sedangkan masa Otonomi


(13)

Daerah, kategori I ada Kota Bandung dan Kota Sukabumi. Namun, hasil pada otonomi daerah juga menunjukkan banyaknya daerah yang masuk kategori kurang berkembang.

Indeks CVw di Provinsi Jawa Barat, tahun 1997 menunjukkan ketimpangan pendapatan berada pada taraf sedang, terlihat dari nilai yang kurang dari 0,35, begitu juga pada tahun 1998. Sejak tahun 1999, indeks ketimpangan kembali meningkat, dengan lonjakan yang tertinggi pada tahun 1999. Selanjutnya indeks konstan meningkat dan mencapai puncak pada tahun 2005. Penurunan indeks ketimpangan hanya terjadi pada tahun 1998 dan tahun 2003. Secara umum indeks ketimpangan antar daerah di Provinsi Jawa Barat cenderung meningkat.

Kebijakan yang perlu diambil untuk mengatasi permasalahan diatas, masing-masing pemerintah daerah harus memacu pertumbuhan PDRB kabupaten/kota melalui sektor-sektor perekonomian daerah masing-masing. Daerah-daerah juga dapat memanfaatkan sumber pemasukan lainnya seperti pajak, retribusi, dan lain-lain. Juga harus menjalin koordinasi, komunikasi, serta studi banding antar daerah. Agar terjadi pertumbuhan yang harmonis pada setiap daerah.

Selain itu, kebijakan otonomi daerah tidak boleh melepaskan tanggung jawab pemerintah pusat terhadap daerah. Maka pemerintah pusat melakukan kontrol terhadap perkembangan setiap daerah dan mengevaluasi kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah, agar menjadi masukan dalam perbaikan dan tidak terulang pada pelaksanaan berikutnya.


(14)

Oleh

DINDIN JAENUDIN H14103009

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Dindin Jaenudin

Nomor Registrasi Pokok : H14103009 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Daerah di Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2005

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 131 846 871

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:


(16)

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Agustus 2007

Dindin Jaenudin


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Garut, 3 Januari 1984 sebagai anak kedelapan dari delapan bersaudara buah kasih dari Ading (Alm) dan Emin Jumainah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Leles VIII. Penulis melanjutkan pendidikannya di SLTPN I Leles, dan akhirnya dapat menyelesaikan sekolah menengah atas di SMUN I Cisarua, Bandung atau SMU Plus Provinsi Jawa Barat di bawah Yayasan Darmaloka pada tahun 2003. Pada tahun tersebut penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Departemen Ilmu Ekonomi melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai pengurus rumah tangga DKM Al Hurriyyah IPB (Marboth) dan pada saat yang sama ikut dalam pengurus harian LDK Al Hurriyyah diantaranya Anggota Departemen PSDM (2004), Bendahara Umum (2005), dan Ketua Divisi PSDM (2006). Selain itu penulis sering terlibat dalam kepanitiaan seperti 2nd Economic Contest (2003), Festival Nasyid Nusantara (2004 dan 2005), Paket Qiyamu Ramadhan (PQR) Al Hurriyyah (2005 dan 2006). Selama tiga semester pernah menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam IPB (2004-2005).


(18)

dan kesungguhan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Daerah di Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2005”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ema Emin yang telah memberikan kasih sayang dan do’anya sehingga

penulis memperoleh kelancaran dalam membuat tugas skripsi ini.

2. Bapak Dedi Budiman Hakim yang telah dengan sabar memberikan arahan dan berbagi ilmu kepada penulis.

3. Ibu Widyastutik yang telah berkenan menjadi dosen penguji dan memberikan masukan terhadap skripsi ini.

4. Bapak Jaenal Effendi atas masukannya, terutama berkaitan dengan perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.

5. Kakak-Kakakku yang telah memberikan dorongan secara moril dan materil, sehingga penulis bisa mewujudkan cita-cita penulis.

6. Teman-Teman di Asrama Al Hurriyyah (Marboth) dan Al Ihsan atas bantuannya, penulis akan selalu mengingatnya.

7. Teman-Teman di Mushola Al Muhajirin, Akh Jumadi dan Akh Oki atas kesempatannya untuk berbagi.

8 Teman-Teman IE 40, Man 40, dan teman-teman di FEM semua, senang bisa bertemu dan berkenalan dengan anda semua.

9. Kakak-kakakku angkatan 38 yang telah menyambut penulis, saat pertama kali tiba di IPB.

10. Semua pihak yang telah berinteraksi dengan penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(19)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Namun, semoga karya ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007

Dindin Jaenudin H14103009


(20)

DAFTAR TABEL……….. ix

DAFTAR GAMBAR………. xi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xii

I. PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Perumusan Masalah……….. 3

1.3 Tujuan Penelitian……….. 6

1.4 Kegunaan Penelitian………. 6

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan………. 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN………… 8

2.1. Pertumbuhan Ekonomi………..……… 8

2.2. Konsep Kemiskinan.………. 9

2.3. Ketimpangan Pendapatan...……….. 11

2.4. Kebijakan Otonomi Daerah……….. 15

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu……… 21

2.6. Kerangka Pemikiran... 25

III. METODE PENELITIAN……….. 28

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian……… 28

3.2. Jenis dan Sumber Data………... 28

3.3. Metode Analisis……… 29

3.3.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Daerah…………... 29

3.3.2. Analisis Tingkat Ketimpangan Daerah………. 30

3.3.3. Analisis Trend Ketimpangan Daerah……… 31

IV. GAMBARAN UMUM………. 32

4.1. Kondisi Geografis... 32

4.2. Kependudukan dan Tenaga Kerja ………... 32

4.2.1. Penduduk……….. 33


(21)

4.3. Sosial……… 35

4.3.1. Pendidikan……….. 36

4.3.2. Kesehatan dan Keluarga Berencana……….... 36

4.3.3. Agama………. 37

4.3.4. Kehidupan Sosial Lainnya……….. 38

4.4. Perekonomian……….. 38

4.5. Realisasi Sektor-Sektor Ekonomi... 43

4.5.1. Sektor Pertanian... 43

4.5.2. Sektor Peternakan... 45

4.5.3. Sektor Perikanan... 46

4.5.4. Sektor Kehutanan... 47

4.5.5. Sektor Perkebunan... 48

4.5.6. Sektor Industri... 49

4.5.7. Sektor Pertambangan... 51

4.5.8. Sektor Pariwisata... 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 53

5.1 Pola Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota ………. 53

5.2 Ketimpangan Pendapatan Daerah dan Trend... 58

5.3 Implikasi Kebijakan... 62

VI. KESIMPULAN DAN SARAN………... 64

6.1 Kesimpulan……….... 64

6.2 Saran……….. 65

DAFTAR PUSTAKA………. 66


(22)

1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia,

1996-2006... 1 1.2. Rekapitulasi Desa Tertinggal di Jawa Barat Tahun 2006... 4

2.1. Peraturan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah

Sejak Tahun 1945-2004... 16 2.2. Indeks Ketimpangan Pendapatan... 22 2.3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau... 23 2.4. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Jawa Barat

Tahun 1977-1981... 24 2.5. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Provinsi Lampung

Tahun 1995-2001... 25 2.6. Persoalan-Persoalan Masyarakat Yang Paling Mendesak Untuk

Segera Diatasi Presiden Terpilih... 26 4.1. Peranan Perekonomian Beberapa Provinsi di Pulau Jawa

Terhadap Nasional Tahun 2004-2005... 40 4.2. Neraca Perdagangan Ekspor dan Impor Jawa Barat

Tahun 2003-2005 (Milyar Rupiah)... 42 4.3. Struktur Perekonomian Jawa Barat Menurut Skala Usaha

Tahun 2003-2005 (Persen)... 42 4.4. Hasil Pertanian Provinsi Jawa Barat

Tahun 1998 dan Tahun 2005... 44 4.5. Hasil Sayur-Sayuran Tahun !998 dan Tahun 2005... 44 4.6. Hasil Bauh-Buahan Tahun 1998 dan Tahun 2005... 45 4.7. Jumlah Peternakan di Jawa Barat Tahun 1998 dan Tahun 2005... 46 4.8. Produksi Hutan di Jawa Barat Tahun 1998 dan Tahun 2005... 47 4.9. Produksi Perkebunan Negara dan Swasta

Tahun 1998 dan Tahun 2005 (Ton)... 48 4.10. Hasil Perkebunan Rakyat Tahun 1998 dan Tahun 2005... 49 5.1. Laju Pertumbuhan PDRB dan PDRB per Kapita


(23)

5.2. Pola Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat Menurut

Klasen Typologi... 58 5.3. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Jawa Barat

Tahun 1997-2005... 60


(24)

2.1. Kurva Kuznet ”U-Terbalik”... 12 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran... 27 4.1. Struktur Ekonomi Jawa Barat Menurut

Kelompok Lapangan Usaha Tahun 2000 dan Tahun 2005………. 39 5.1. Trend Ketimpangan Pendapatan di Jawa Barat………... 62


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 1997... 69 2 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 1998... 70 3 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 1999... 71 4 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 2000... 72 5 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 2001... 73 6 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 2002... 74 7 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 2003... 75 8 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 2004... 76 9 Nilai Ketimpangan Pendapatan antar kabupaten/kota

di Jawa Barat Tahun 2005... 77 10 Tabel Persentase Anggaran Pengeluaran


(26)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Krisis moneter yang menimpa Republik Indonesia pertengahan tahun 1997 menimbulkan dampak yang luar biasa. Bahkan berakibat pada timbulnya krisis multidimensi. Perekonomian Indonesia hancur, bahkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi negatif. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika merosot drastis, hingga harga-harga yang melangit karena inflasi yang tinggi.

Pada tahun 1998, kembali terjadi peningkatan angka kemiskinan yang tinggi, yaitu meningkat 24,23 persen menjadi 49,50 juta jiwa sebagai dampak dari krisis ekonomi tersebut. Selanjutnya, kemiskinan di Indonesia mengalami fluktuasi setiap tahunnya, terjadi pada periode tahun 1999 sampai dengan 2005. Namun, tahun 2006 angka kemiskinan di Indonesia 39,30 juta jiwa meningkat dari 35,10 juta jiwa pada tahun sebelumnya.

Tabel 1.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, 1996-2006 Tahun Jumlah (Juta Jiwa) Persentase

1996 34,01 17,47

1997 34,50 17,70

1998 49,50 24,23

1999 47,97 23,43

2000 38,70 19,14

2001 37,90 18,41

2002 38,40 18,20

2003 37,30 17,42

2004 36,10 16,66

2005 35,10 15,97

2006 39,30 17,75

Sumber: BPS, 2007 BPS, 2001


(27)

2

Kemiskinan di Indonesia dapat diredam dengan kebijakan yang fokus pada pertumbuhan ekonomi juga pemerataan pendapatan. Kuznet (1955) berdasarkan penelitiannya di beberapa negara menjelaskan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan semakin meningkatnya ketimpangan pendapatan. Adelman dan Morris (1973) dalam Mattola (1985) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pembagian pendapatan terdapat suatu trade-off. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan meningkatkan pembangunan dan hasil-hasilnya. Sedangkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang cukup baik hanya akan dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat. Sehingga kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan merupakan fenomena alami yang pasti terjadi. Oleh sebab itu, ketimpangan tidak dapat dihapuskan, melainkan hanya bisa diredam ke tingkat yang bisa ditoleransikan oleh sistem sosial tertentu agar harmoni dalam sistem tetap terpelihara dalam proses pertumbuhannya (Basri,1995).

Upaya-upaya pemerintah untuk mengurangi ketimpangan sering dilakukan. Masa pemerintahan Orde Baru meluncurkan Konsep Trilogi Pembangunan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan dan pendapatan antar provinsi di Indonesia. Konsep tersebut diwujudkan dalam program-program yang mengarah pada pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas di wilayah NKRI. Namun, upaya tersebut belum menunjukkan hasil signifikan dalam mengurangi ketimpangan. Salah satu penyebabnya adalah sistem sentralisasi yang dilakukan pada masa Orde Baru. Ternyata keputusan yang diambil pemerintah pusat


(28)

semakin memperbesar inefisiensi, karena banyak proyek yang digulirkan tidak sesuai kebutuhan daerah. Anwar (1998) dan Hadi (2001) dalam Riyanto (2003) mengemukakan bahwa kebijakan pembangunan yang sentralistik dan menekankan kepada pencapaian pertumbuhan ekonomi serta penciptaan kondisi politik dan keamanan yang sangat terkendali, secara spasial ternyata telah menambah tingkat ketimpangan antar wilayah.

Oleh sebab itu, tahun 2001 pemerintah menerapkan Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Setelah UU tersebut diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka Otonomi Daerah berjalan berlandaskan kedua UU tersebut. Kebijakan ini mendapat sambutan optimis dari masing-masing kepala daerah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dan pendapatan. Desentralisasi kekuasaan memungkinkan pemerintah daerah setempat untuk mengatur daerahnya dengan leluasa. Sehingga melahirkan program-program yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.

1.2. Perumusan Masalah

Pada masa kepemimpinan Presiden Habiebie, tepatnya Januari 2001 mulai menerapkan Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kemudian pada tahun 2004 diganti dengan UU No. 32 tahun


(29)

4

2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004. Dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah daerah mempunyai kesempatan mengarahkan program-programnya kepada terwujudnya pertumbuhan dan pemerataan masyarakat.

Masa otonomi daerah tidak banyak daerah di tanah air dapat melahirkan program-program yang efektif dan efisien untuk memacu pertumbuhan dan menciptakan pemerataan. Jawa Barat misalnya, terdapat daerah yang memiliki desa tertinggal lebih dari 50 persen pada tahun 2006, yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tasikmalaya. Sedangkan kabupaten/kota lainnya memiliki banyak jumlah desa maju yang berada di kabupaten/kota itu, diantaranya : Kabupaten Bandung, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, dan lain-lain.

Tabel 1.2. Rekapitulasi Desa Tertinggal di Jawa Barat 2006

No Kabupaten/Kota Desa

Tertinggal

Persen Desa Maju Persen Total

Desa

1 Sukabumi 224 59,57 152 40,43 376

2 Garut 238 56,80 181 43,20 419

3 Bogor 145 29,65 344 70,35 489

4 Cianjur 201 57,76 147 42,24 348

5 Bandung 127 27,91 328 72,10 455

6 Tasikmalaya 206 49,00 214 51,00 420

7 Ciamis 160 43,59 207 56,41 367

8 Kuningan 131 34,93 244 65,07 375

9 Cirebon 160 37,74 264 62,26 424

10 Majalengka 136 41,09 195 58,91 331

11 Sumedang 117 43,49 152 56,51 269

12 Indramayu 66 21,29 244 65,07 375

13 Subang 31 12,30 221 87,70 252

14 Purwakarta 75 39,06 117 60,94 192

15 Karawang 49 15,86 260 84,14 309

16 Bekasi 27 14,44 160 85,56 187

17 Kota Bogor 8 11,76 60 88,24 68

18 Kota Cirebon - 0,00 22 100 22

19 Kota Bandung 6 4,32 133 95,68 139

20 Kota Bekasi - 0,00 56 100 56


(30)

Konsep Otonomi Daerah merupakan konsep yang relevan untuk meredam laju ketimpangan. Konsep ini memberikan kepada daerah wewenang untuk mengarahkan kebijakan di daerahnya pada pertumbuhan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebijakan otonomi daerah yang sudah berjalan selama tujuh tahun belum mampu menciptakan pemerataan pendapatan antar daerah di Jawa Barat. Fakta tersebut patut menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah daerah di Jawa Barat, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.

Kemiskinan erat kaitannya dengan ketimpangan, maka program pengentasan kemiskinan dapat menjadi sarana untuk meredam ketimpangan. Pemerintah daerah di Jawa Barat pasti menginginkan terjadi pemerataan pendapatan yang adil antara penduduk kaya dan miskin. Dalam lingkup lebih luas, terdapat pemerataan pendapatan antara daerah-daerah yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Oleh sebab itu, pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat telah berusaha mengurangi kemiskinan sekaligus ketimpangan pendapatan dengan cara melaksanakan program-program pengentasan kemiskinan.

Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa masalah otonomi daerah yang dapat diidentifikasi, yaitu:

1. Bagaimana pola pertumbuhan kabupaten/kota berdasarkan PDRB perkapita?

2. Berapa tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat pra dan masa otonomi daerah? Bagaimana trend ketimpangan pendapatan tersebut ?


(31)

6

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kabupaten/kota yang mengalami kemajuan masa Otonomi Daerah.

2. Menganalisa besar ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat sebelum dan masa Otonomi Daerah dan menganalisa trend ketimpangannya.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi:

1. Pemerintah kabupaten/kota, provinsi atau pusat dalam merencanakan program pembangunan dan memutuskan kebijakan di era Otonomi Daerah.

2. Peneliti dan akademis sebagai referensi untuk penelitian mengenai permasalahan ketimpangan, kemiskinan, dan mengidentifikasi kesejahteraan masyarakat di Jawa Barat.

3. Penulis sebagai sarana menambah wawasan dan menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah.


(32)

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian tentang “Ketimpangan Pendapatan antar Daerah di Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-2005” menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan 1993, jumlah penduduk, dan data potensi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Jumlah kabupaten dan kota yang diteliti sebanyak 16 kabupaten dan 5 kota. Kota-kota hasil pemekaran dimasukkan ke kabupaten-kabupaten sebelum adanya pemekaran, yaitu Kota Depok dimasukkan ke Kabupaten Bogor, Kota Tasikmalaya dimasukkan ke Kabupaten Tasikmalaya, Kota Cimahi dimasukkan ke Kabupaten Bandung, dan Kota Banjar dimasukkan ke Kabupaten Ciamis. Hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan data jumlah penduduk dan PDRB untuk kota-kota baru.


(33)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan digunakan sebagai ungkapan umum yang menggambarkan tingkat perkembangan suatu negara yang diukur melalui persentase pertambahan pendapatan nasional riil. Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Para ahli ekonomi mempunyai ketertarikan terhadap masalah perkembangan pendapatan nasional riil, juga kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misal: usaha merombak sektor pertanian yang tradisional, masalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah pemerataan pembagian pendapatan. Pembangunan ekonomi selalu diikuti oleh peningkatan pendapatan per kapita secara terus menerus. Sedangkan pertumbuhan ekonomi belum tentu diikuti kenaikan pendapatan per kapita (Sukirno, 2004).

Pembangunan ekonomi merupakan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil per kapita. Tujuan pembangunan ekonomi untuk menaikkan pendapatan nasional riil juga untuk meningkatkan produktivitas (Todaro, 1999). Jadi dalam ekonomi pembangunan tidak hanya menggambarkan jalannya perkembangan ekonomi saja, tapi juga menganalisa hubungan sebab akibat dari faktor-faktor perkembangan tersebut.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi terjadi ketika terdapat lebih banyak output dan dapat meliputi penggunaan input lebih banyak dan lebih efisien. Pembangunan ekonomi terjadi saat terdapat lebih banyak output juga


(34)

perubahan-perubahan dalam kelembagaan dan pengetahuan teknik dalam menghasilkan output yang lebih banyak. Pembangunan ekonomi menunjukkan perubahan-perubahan dalam struktur output dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian di samping kenaikan output. Pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan (Sukirno, 2004).

Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Jadi persentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut.

2.2. Konsep Kemiskinan

Definisi tentang kemiskinan sangat beragam, terutama bila kemiskinan dilihat dari pendekatan subjektif. Konsep kemiskinan itu antara lain dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan bahan diberbagai keadaan hidup. Penggunaan istilah ini termasuk:

a. Penggambaran kebutuhan material termasuk kekurangan bahan pokok dan pelayanan.

b. Keadaan ekonomi, dimana kekurangan kekayaan (biasanya dianggap sebagai modal, uang, barang material, atau sumber daya).


(35)

10

c. Hubungan sosial, termasuk pengecualian sosial, ketergantungan, dan kemampuan untuk hidup dalam apa yang dianggap masyarakat sebagai hidup “normal”, contohnya, kemampuan untuk mendidik anak dan berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat.

Kemiskinan juga merupakan bentuk ketidakmampuan terhadap pihak penguasa sehingga mereka masuk dalam pihak kategori yang lemah, yang tidak bisa berbuat apa-apa, terancam dan tereksploitasi dan juga kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat (Mubyarto, 2002). Indikator kemiskinan menurut BPS dilihat dari tingkat pendapatan minimum yaitu dilihat dari konsumsi kalori per kapita per hari sebesar 2100 kalori. Lingkungan masyarakat pada umumnya memandang kemiskinan bila pihak tersebut tidak mampu mengikuti standar kehidupan masyarakat sekitar atau dengan kata lain seseorang akan dikatakan miskin apabila pihak tersebut tidak dapat memenuhi konsumsi.

Konsep tentang kemiskinan Bappenas dilihat dari kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar menurut Bappenas terpenuhinya kebutuhan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Dalam melihat hak-hak ini Bappenas menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, dan pendekatan kemampuan dasar.


(36)

Pendekatan kebutuhan dasar melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pedidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan seperti membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan (Mubyarto, 2002).

2.3. Ketimpangan Pendapatan

Kuznet (1955) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatannya akan menaik. Observasi inilah yang kemudian, dikenal sebagai kurva Kuznet “U-Terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan. Kurva Kuznet dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern


(37)

12

Sumber: Todaro, 2003

Gambar 2.1. Kurva Kuznet “U-Terbalik”

Menurut Todaro (2003), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin timpang distribusi pendapatan disuatu negara akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antar daerah, tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah tersebut, baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbedaan tersebut akan menentukan tingkat pemerataan pendapatan (ketimpangan pendapatan) daerah tersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini tergantung dari besar kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima pendapatan.

Koefisien Gini

Kurva kuznet


(38)

Timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat ataupun antar wilayah tertentu dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat pada nilai PDRB-nya, sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah jumlah yang diterimanya pula. Ketimpangan pendapatan lebih besar terjadi di negara-negara yang baru memulai pembangunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah. Keadaan ini dijelaskan Todaro (1981), bahwa negara-negara maju secara keseluruhan memperlihatkan pembagian pendapatan yang lebih merata dibandingkan dengan negara-negara dunia ketiga yakni negara-negara yang tergolong sedang berkembang.

Kaldor (1960), menyatakan bahwa semakin tidak merata pola distribusi pendapatan, semakin tinggi pula laju pertumbuhan ekonomi karena orang-orang kaya memiliki rasio tabungan yang lebih tinggi daripada orang-orang miskin sehingga akan meningkatkan aggregate saving rate yang diikuti oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika laju pertumbuhan PDRB merupakan satu-satunya tujuan masyarakat, maka strategi terbaik adalah membuat pola distribusi pendapatan setimpang mungkin. Dengan demikian, model Kuznet dan Kaldor menunjukkan adanya trade off atau pilihan antara pertumbuhan PDRB yang lambat tapi dengan distribusi pendapatan yang lebih merata.

Dua model pertumbuhan yaitu teori Harrod-Domar dan Neo Klasik, memberikan perhatian khusus kepada peranan kapital yang dapat direpresentasikan dengan kegiatan investasi yang ditanamkan pada suatu daerah.


(39)

14

Dengan melihat beragamnya kemampuan daerah untuk menarik kapital ke dalam daerahnya, hal ini akan mempengaruhi kemampuan daerah untuk bertumbuh sekaligus menciptakan perbedaan dalam kemampuan menghasilkan pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan bila dialokasikan pada daerah-daerah yang dinilai mampu menghasilkan (return) yang besar dalam jangka waktu yang relatif cepat, sehingga mekanisme pasar justru akan menyebabkan ketidakmerataan dimana daerah-daerah yang relatif maju akan bertumbuh semakin cepat sementara daerah yang relatif kurang maju tingkat pertumbuhannya juga relatif lambat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya ketimpangan pendapatan antar daerah, sehingga diperlukan suatu perencanaan dan kebijakan dalam rangka mengarahkan alokasi investasi menuju suatu kemajuan ekonomi yang lebih berimbang di seluruh wilayah dalam negara.

Terjadinya ketimpangan antar daerah juga dijelaskan oleh Mydral (1957). Mydral membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya disekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional. Untuk menjelaskan hal itu menggunakan spread effect dan backwash effect sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar.

Spread effect (dampak sebar) didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favourable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi di pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Backwash effect (dampak balik) didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavourable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti sehingga mengakibatkan berkurangnya modal


(40)

pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti.

Terjadinya ketimpangan regional menurut Mydral (1957) disebabkan oleh besarnya pengaruh dari backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara terbelakang. Perpindahan modal cenderung meningkatkan ketimpangan regional, permintaan yang meningkat ke wilayah maju akan merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang.

2.4. Kebijakan Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan alternatif pemecahan masalah kesenjangan pembangunan, terutama dalam konteks pemberdayaan pemerintah daerah yang selama ini dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Konsep ini sudah muncul sejak pemerintahan Orde Lama, yaitu melalui UU No. I tahun 1945 tentang Pemerintah Daerah. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah pusat kurang serius dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah yang telah dikeluarkan, yakni UU No. 5 tahun 1974. Undang-undang tersebut gagal mendukung pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pemerintah daerah tidak mandiri, karena semua wewenang dan urusan pemerintahan dipegang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya menjadi pelaksana kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.


(41)

16

Tabel 2.1. Peraturan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah Sejak Tahun 1945-2004

Tahun Undang-Undang Subjek

1945 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1948 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1950 UU Nomor 44 Pemerintah Daerah

1956 UU Nomor 32 Hub. Keuangan Pusat dan Daerah 1957 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah

1959 UU Nomor 6 Pemerintah Daerah 1960 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1965 UU Nomor 18 Pemerintah Daerah 1974 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah

1999 UU Nomor 25 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 2004 UU Nomor 32 Pemerintah Daerah

2004 UU Nomor 33 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sumber: Saragih, 2003

Warsono, et. al (2000) menyatakan bahwa tujuan pokok UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah adalah untuk mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah untuk mewujudkan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UUD 1945. Sedangkan tujuan pokok UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan yang adil, dan mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.

Menurut UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat


(42)

setempat. Oleh karena itu ada tiga prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu, (1) Desentralisasi, (2) Dekonsentrasi, dan (3) Tugas Pembantuan.

1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat di daerah. 3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala

daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Kaho (1997) menyatakan bahwa ada 4 unsur yang berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi:

1. SDM merupakan sektor esensial dari otonomi sebagai subjek dan objek dalam pelaksanaan otonomi.

2. Keuangan merupakan faktor yang sangat menentukan pelaksanaan otonomi daerah karena akan menentukan PAD yang bersumber dari retribusi daerah, pajak, hasil perusahaan daerah, dan sebagainya.

3. Peralatan yang cukup baik, berupa prasarana dan sarana fisik yang memperlancar pembangunan.

4. Organisasi dan manjemen merupakan lembaga dan organisasi, pemerintah daerah yang akan menjadi eksekutif dan legislatif di daerah.


(43)

18

Awal pelaksanaan otonomi daerah pemerintah menjalankan berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Namun, tahun 2004 pemerintah telah mengeluarkan UU baru, yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Maka setelah tahun 2004 kebijakan otonomi daerah berlandaskan pada UU baru tersebut.

Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, sasaran pelaksanaan otonomi adalah daerah kabupaten dan daerah kota yang berkedudukan sebagai daerah otonom memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Kewenangan daerah kabupaten atau kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan pusat dan provinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah menurut UU No. 5 1974 adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan asli daerah (PAD), 2. Bagi hasil pajak dan non pajak,


(44)

3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II, 4. Pinjaman daerah,

5. Sisa lebih anggaran tahun lalu, 6. Lain-lain penerimaan yang sah.

Sedangkan sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999, sumber pendapatan daerah antara lain:

1. Pendapatan asli daerah (PAD), yang terdiri dari: a. Pajak daerah

b. Retribusi daerah,

c. Bagian Pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMD),

d. Hasil Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, 2. Dana Perimbangan, yang terdiri dari:

a. Dana bagi hasil, b. Dana alokasi umum, c. Dana alokasi khusus, d. Pinjaman daerah,

e. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Dana perimbangan terdiri dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan UU No. 25 tahun 1999, alokasi DAU ditetapkan berdasarkan dua faktor, yaitu potensi ekonomi dan kebutuhan daerah. Karena tujuan utama


(45)

20

pemberian DAU adalah untuk mengurangi ketimpangan antar daerah, maka pada prisipnya daerah-daerah yang miskin sumber daya alam akan memperoleh porsi yang lebih besar. Masalahnya, keragaman daerah-daerah dalam hal potensi ekonomi dan kebutuhan sangat besar. Jadi daerah-daerah harus dapat mengoptimalkan peran sektor-sektor perekonomiannya sehingga dapat meningkatkan pembangunan daerah.

Pada masa sebelum otonomi semua wewenang pemerintahan dipegang oleh pemerintah pusat, daerah hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Adanya otonomi daerah membuat wewenang pemerintah daerah semakin besar. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional.

Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota. Kewenangan provinsi sebagai wilayah administratif mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Semua hal tersebut dijelaskan dalam UU No. 22 tahun 1999.


(46)

Pada masa sebelum otonomi kedudukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah membentuk suatu hierarki, yaitu pemerintah pusat berada pada posisi paling tinggi, kemudian daerah provinsi, dan yang berada pada posisi paling bawah adalah daerah kabupaten/kota. Adanya otonomi daerah menyebabkan hierarki tersebut dihilangkan. Posisi daerah kabupaten/kota tidak memiliki hierarki dengan daerah provinsi.

2.5. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai kesenjangan pendapatan untuk tingkat nasional pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko (1986) dengan menggunakan formulasi Williamson (CVw) untuk tahun 1976-1980. Uppal dan Handoko mengukur kesenjangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB di luar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi menurunnya tingkat kesenjangan pendapatan, pola pertumbuhan belum mengarah pada perbaikan kesenjangan dan faktor-faktor yang cenderung menurunkan kesenjangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan kepada provinsi.

Tadjoedin (1996) juga mengukur kesenjangan pendapatan nasional dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama yang dilakukan oleh Uppal dan Handoko untuk periode 1984-1993. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kesenjangan pendapatan selama periode analisis. Tadjoedin, et.al (2001) melakukan analisis untuk mengukur tingkat kesenjangan nasional untuk tahun 1993-1998. Kesenjangan tersebut diukur dengan menggunakan


(47)

22

PDRB per kapita menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga konstan tahun 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat kesenjangan semakin meningkat.

Tabel 2.2. Indeks Ketimpangan Pendapatan

Di Luar Migas Tahun

U&H Tadjoedin Tadjoedin, et.al 1976 0,4631

1977 0,4609 1978 0,4344 1979 0,5240 1980 0,4435

1984 0,4875 1985 0,4714 1986 0,4600 1987 0,4567 1988 0,4609 1989 0,5632 1990 0,5385 1991 0,5392 1992 0,5442

1993 0,5489 0,923

1994 0,938 1995 0,962 1996 0,966 1997 0,982 1998 0,965 Sumber: Uppal dan Handoko,1986 dan Tadjoedin,1996 dan Tadjoedin, et.al, 2001

Selain mengukur kesenjangan nasional, Tadjoedin (1996) juga mengukur besarnya ketimpangan pendapatan antar pulau. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian (Pulau Sumatera) mempunyai tingkat kesenjangan yang relatif kecil dibanding dengan pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri (Pulau Jawa). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian tidak berada pada posisi


(48)

yang dikotomis dengan pemerataan. Sedangkan sektor industri menjadi pemicu tingginya ketimpangan pendapatan.

Tabel 2.3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau

Tahun Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya

1984 0,2460 0,5680 0,4381 0,0522 0,3435

1985 0,2459 0,5377 0,4629 0,0408 0,3582

1986 0,2470 0,5177 0,4420 0,0423 0,3780

1987 0,2460 0,5120 0,4710 0,0390 0,3324

1988 0,2521 0,5054 0,4595 0,0490 0,4129

1989 0,2157 0,6209 0,4681 0,0508 0,4183

1990 0,1931 0,6034 0,4516 0,0515 0,4086

1991 0,1814 0,6041 0,4448 0,5800 0,4507

1992 0,1860 0,6108 0,4502 0,0591 0,4550

1993 0,1883 0,6158 0,4401 0,0632 0,4775

Sumber: Tadjoedin, 1996

Mattola (1985) menganalisa besarnya kesenjangan pendapatan antar daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan menggunakan formulasi Williamson. Mattola juga menganalisis peranan sektor pertanian dalam mengurangi kesenjangan pendapatan daerah. Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut menunjukkan bahwa besarnya kesenjangan dengan memasukkan sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil bila dibandingkan dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan untuk mengurangi tingkat kesenjangan pendapatan yang terjadi. Persentase penurunan kesenjangan pendapatan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian dengan PDRB tanpa sektor pertanian berkisar antara 37 persen sampai dengan 48 persen. Persentase penurunan kesenjangan yang terjadi sangat besar dengan adanya sumbangan sektor pertanian pada PDRB yang dilakukan penghitungan.


(49)

24

Tabel 2.4. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981

CVw Tahun Tanpa PDRB

Sektor Pertanian

Dengan PDRB Sektor Pertanian

Persentase Penurunan Kesenjangan Pendapaan Daerah

1977 0,467 0,323 44,6

1978 0,380 0,256 48,4

1979 0,382 0,269 42,3

1980 0,377 0,274 37,6

1981 0,316 0,222 42,3

Sumber: Mattola, 1985

Penelitian yang dilakukan oleh Esmara dalam Wijaya (2001) dengan menggunakan data PDRB dan menerapkan koefisien Williamson yang dibobot menyimpulkan bahwa angka indeks ketidaksamaan Williamson dari tahun tersebut meningkat tajam dari 0,571 menjadi 0,945 jika semua pendapatan dimasukkan. Tetapi jika pendapatan dari minyak bumi dikeluarkan dari PDRB provinsi yang kaya minyak (seperti Riau dan Kalimantan Timur) maka angka-angka itu antara 0,34 sampai 0,552. Ia menunjukkan bahwa provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi juga mempunyai biaya hidup yang lebih tinggi sehingga kalau PDRB per kapita dikoreksi berdasarkan perbedaan-perbedaan harga maka indeks ketidakmerataan tersebut akan banyak merosot.

Hendra (2004) melakukan penelitian untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan daerah di Provinsi Lampung tahun 1995-2001 dengan menggunakan formulasi Williamson. Hendra juga menganalisis peran sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Untuk melihat peranan tersebut, dibandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil yang


(50)

diperoleh dari analisis tersebut menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil dibandingkan dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi di Provinsi Lampung. Persentase perubahan ketimpangan pendapatan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian berada diatas 40 persen.

Tabel 2.5. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Provinsi Lampung Tahun 1995-2001

CVw Tahun

Tanpa PDRB Sektor Pertanian

Dengan PDRB Sektor Pertanian

Persentase Penurunan Ketimpangan

Pendapatan Daerah

1995 0,8373 0,4404 47,4

1996 0,8380 0,4499 46,3

1997 0,8391 0,4846 42,2

1998 0,8369 0,4426 47,1

1999 0,7951 0,4207 47,1

2000 0,7793 0,4160 46,6

Sumber: Hendra, 2004

2.6. Kerangka Pemikiran

Harian Kompas tahun 2004 melakukan survei di 32 provinsi berkenaan dengan permasalahan di tanah air. Hasil survei menunjukkan bahwa kemiskinan menempati urutan kedua setelah pengangguran sebagai persoalan yang mendesak diselesaikan. Sehingga menjadi masukan bagi pemerintahan hasil Pemilu 2004 untuk memprioritaskan permasalahan kemiskinan. Karena kemiskinan akan terus bertambah jika tidak ada upaya untuk menguranginya.


(51)

26

Tabel 2.6. Persoalan-Persoalan Masyarakat Yang Paling Mendesak Untuk Segera Diatasi oleh Presiden Terpilih

Jenis Persoalan Persentase Plilihan

Pengangguran 22,7 Kemiskinan 20,2

Keamanan 11,5

Stabilitas Harga 10,4

Kualitas Pendidikan 7,5

Korupsi 4,3

Kerusakan Lingkungan 3,3

Infrastruktur 3,1

Pembenahan Aparat 1,9

Lainnya 15,1 Sumber: Kompas, 2004

Kaitan antara kemiskinan dengan ketimpangan pendapatan sangat erat. Kemiskinan yang terdapat di suatu daerah merupakan gejala ketimpangan pendapatan. Makin tinggi angka kemiskinan, maka akan meningkatkan ketimpangan pendapatan. Jawa Barat merupakan provinsi terbanyak penduduknya dengan sejumlah potensi wilayah. Tapi, kemiskinan masih bertambah di daerah-daerah di Jawa Barat.

Penelitian ini akan melihat perkembangan masing-masing daerah di Jawa Barat. Kemiskinan di Jawa Barat belum berkurang secara signifikan. Sehingga, untuk melihat perubahan, periode penelitian dibagi menjadi Pra Otonomi Daerah dan Masa Otonomi Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengukur kemajuan masing-masing kabupaten dan kota di Jawa Barat berdasarkan laju PDRB dan PDRB per kapita, kemudian dibandingkan dengan laju PDRB dan PDRB per kapita provinsi. Sehingga terdapat daerah-daerah berdasarkan Klasen Typologi.


(52)

Ketimpangan pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa Barat, dihitung dengan menggunakan Indeks Williamson. Maka besarnya nilai ketimpangan daerah setiap tahun selama periode penelitian dapat diketahui. Untuk melihat turun-naiknya indeks ketimpangan, angka-angka ketimpangan daerah diplot ke dalam sebuah grafik, sehingga diperoleh trend ketimpangan yang terjadi di Jawa Barat.

Pra Otonomi Daerah 1997-2000

Masa Otonomi Daerah 2001-2005 Kemiskinan di Jawa Barat

Ketimpangan Pendapatan

Klasen Typologi

Indeks CVw

Trend Ketimpangan

Kesimpulan

Keterangan : Yang Dianalisis

Alat Analisis


(53)

28

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Februari sampai Mei 2007. Penelitian mengambil Provinsi Jawa Barat sebagai objek studi dan sekaligus sebagai lokasi penelitian. Lokasi ini diambil dengan pertimbangan provinsi ini mempunyai potensi perekonomian yang baik dan kondisi sumber daya yang banyak, namun kesejahteraan masyarakat tidak merata dan letaknya strategis sebagai buffer (penyangga) ibukota.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berupa data time series selama sembilan tahun dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2005. Data sekunder yang diperlukan meliputi: (1) PDRB Provinsi Jawa Barat menurut kabupaten/kota, (2) jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat menurut kabupaten/kota, (3) Provinsi Jawa Barat dalam angka, (4) potensi ekonomi Provinsi Jawa Barat, serta berbagai macam data sekunder lainnya. Jenis data tersebut diperoleh dari: (1) Badan Pusat Statistik Pusat, (2) Badan Pusat Statistik Jawa Barat, (3) Pusat Data Pikiran Rakyat, dan (4) publikasi beberapa penelitian terdahulu, jurnal, artikel, dan internet.


(54)

3.3. Metode Analisis

Metode untuk mengukur indikator kesenjangan pembangunan seperti PDRB, PDRB per kapita, kontribusi sektor-sektor dalam penelitian ini, akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan data menggunakan bantuan Microsoft Excel 2003. Alat analisis yang relevan digunakan sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.3.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Struktur pertumbuhan ekonomi daerah diamati melalui penggabungan secara sistematis terhadap laju pertumbuhan PDRB dan pendapatan per kapita, lalu diklasifikasikan ke dalam kelompok/kategori menurut Klasen Typologi. Klasen Typologi bertitik tolak pada pengamatan terhadap laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, sehingga membagi pola pembangunan menjadi:

I. Daerah Maju dan Pertumbuhan Cepat

Klasifikasi kabupaten/kota yang mengalami laju pertumbuhan PDRB rata-rata dan PDRB per kapita lebih tinggi dari provinsi. Umumnya daerah tersebut merupakan daerah paling maju baik dari aspek pembangunan maupun kecepatan pertumbuhan. Biasanya daerah ini merupakan daerah yang potensi pembangunannya sangat besar dan sektor perekonomian dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

II. Daerah Berkembang Cepat

Klasifikasi daerah yang memiliki potensi daerah yang besar, tetapi belum memanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, daerah ini laju pertumbuhannya


(55)

30

tinggi, namun memiliki PDRB per kapita di bawah rata-rata Jawa Barat. Hal ini menggambarkan bahwa tahap pembangunan yang telah dicapai masih relatif rendah dibandingkan daerah lain. Pada masa yang akan datang, daerah ini akan terus berkembang dan berupaya mengejar ketertinggalannya.

III. Daerah Maju Tapi Tertekan

Klasifikasi daerah yang memiliki PDRB per kapita diatas provinsi. Namun, mengalami laju pertumbuhan yang kecil dibandingkan dengan provinsi. Laju pertumbuhan yang kecil disebabkan tertekannya kegiatan utama daerah yang bersangkutan.

IV. Daerah Kurang Berkembang

Klasifikasi daerah yang memiliki laju pertumbuhan dan PDRB per kapita yang rendah. Daerah ini biasanya memusatkan pembangunan pada sektor yang mempunyai multiplier rendah dan sektor swasta kurang berkembang.

3.3.2. Analisis Tingkat Kesenjangan

Pengukuran kesenjangan pembangunan ekonomi antar daerah di Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan menggunakan Indeks Williamson dengan rumus:

CVw=

(

)

Y

f

f

Y

Y

i

i i

2

.

(3.1)

Dimana :


(56)

fi = Populasi dari suatu wilayah tertentu (daerah kabupaten/kota) f = Populasi dari wilayah Provinsi Jawa Barat

Yi = PDRB per kapita di daerah kabupaten/kota Y = PDRB per kapita rata-rata Provinsi

Semakin besar nilai indeks Williamson yaitu mendekati 1 berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah, sebaliknya semakin rendah tingkat kesenjangan pembangunan ekonomi maka indeks Williamson akan semakin mendekati nol. Oshima dalam Mattola (1985) menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah kesenjangan ada pada taraf rendah, sedang atau tinggi. Untuk itu ditemukan kriteria sebagai barikut:

CVw=<0,35 : Kesenjangan taraf rendah CVw= 0,35-0,5 : Kesenjangan taraf sedang CVw=> 0,5 : Kesenjangan taraf tinggi

3.3.3. Analisis Trend Ketimpangan

Trend ketimpangan pendapatan daerah dapat dilihat hasil perhitungan indeks ketimpangan pendapatan dari tahun ke tahun. Dari hasil perhitungan ini digambarkan dalam sebuah grafik.


(57)

32

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Kondisi Geografis

Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5050’-7050’ Lintang Selatan dan 104048’-108048’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya:

a. sebelah utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta b. sebelah timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah c. sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia d. sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi Banten

Kawasan Utara merupakan daerah berdataran rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah.

Selain itu, Jawa Barat yang memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Ini lebih dimungkinkan karena Jawa Barat yang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata 190,2 mm, dan rata-rata hari hujan untuk tahun 2005 ini adalah 20 hari.

4.2. Kependudukan dan Tenaga Kerja

Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari pembangunan di berbagai daerah. Untuk itu pemerintah telah melaksanakan berbagai usaha dalam rangka memecahkan masalah kependudukan.


(58)

4.2.1. Penduduk

Jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2005 mencapai 39,96 juta jiwa. Pada tahun 2002 baru mencapai 37,20 juta jiwa, meningkat lagi menjadi 38,10 juta jiwa di tahun 2003, sedangkan tahun 2004 menjadi 39,10 juta jiwa. Pada tahun 2005 penduduk terbanyak di Jawa Barat ada di Kabupaten Bandung, yaitu sebesar 4,26 juta jiwa kemudian diikuti oleh Kabupaten Bogor 4,10 juta jiwa.

Jumlah rumah tangga pada tahun 2005 di Jawa Barat mencapai 10.781.410 rumah tangga. Tertinggi berada di wilayah Kabupaten Bandung, yaitu 1.100.960 rumah tangga, Kabupaten Bogor sebesar 967.136 rumah tangga dan ketiga terbesar adalah Kota Bandung sebesar 672.896 rumah tangga.

Di tahun 2005, kepadatan penduduk Jawa Barat mencapai 1.378,65 orang per kilo meter persegi. Kota Bandung masih merupakan daerah terpadat, yaitu sebesar 13.792,48 orang per kilo meter persegi, sedangkan yang terendah Kabupaten Ciamis hanya sebesar 681,70 orang per kilo meter persegi.

4.2.2. Tenaga Kerja

a. Komposisi Penduduk Usia Kerja

Penduduk Usia Kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 10 tahun dan lebih. Mereka terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Proporsi penduduk yang tergolong angkatan kerja adalah mereka yang aktif dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar kerja yakni yang bekerja atau mencari pekerjaan. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan ukuran yang


(59)

34

menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 tenaga kerja. TPAK Jawa Barat tahun 2005 sebesar 62,88 lebih tinggi dibanding tahun 2004 sebesar 62,45 atau naik sebesar 0,69 persen.

Kesempatan kerja memberikan gambaran besarnya tingkat penyerapan pasar kerja, sehingga angkatan kerja yang tidak terserap dikategorikan sebagai penganggur. Pada tahun 2005, jumlah angkatan kerja di seluruh Provinsi Jawa Barat sebanyak 17.040.084 orang. Yang aktif bekerja sebanyak 88,09 persen, dan yang menganggur sebanyak 11,91 persen.

b. Komposisi Penduduk Yang Bekerja

Proporsi pekerja menurut lapangan pekerjaan merupakan salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Hal lain dapat pula mencerminkan struktur perekonomian suatu wilayah.

Sebagian besar penduduk Jawa Barat yang bekerja pada tahun 2005, memiliki jenis pekerjaan utama sebagai tenaga produksi, tenaga usaha pertanian dan tenaga usaha penjualan. Persentase penduduk yang bekerja pada sektor tersebut masing-masing 34,38 persen, 29,26 persen, dan 21,37 persen. Sedangkan yang bekerja sebagai tenaga ahli dan profesional masih sedikit. Tenaga profesional hanya berjumlah 3,77 persen, tenaga kepemimpinan sebanyak 0,54 persen, dan anggota TNI 0,53 persen.

Pertumbuhan tenaga kerja yang kurang diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja akan menyebabkan tingkat kesempatan kerja cenderung menurun. Jumlah penduduk Jawa Barat yang mencari kerja pada tahun 2005 berjumlah 4.614.356 orang. Dari total tersebut, pencari kerja lulusan SLTA sebanyak 71,42


(60)

persen, lulusan Sarjana sebanyak 6,5 persen, SLTP 9,45 persen, lulusan Sarjana Muda 10,59 persen, dan lulusan SD 3,50 persen. Dapat disimpulkan bahwa dari semua pengangguran terbuka yang ada di Provinsi Jawa Barat, sebagian besar berpendidikan rendah.

4.3. Sosial

Kebijakan pembangunan di bidang sosial menyangkut berbagai aspek memang sangat kompleks. Selain berdampak terhadap ekonomi juga dalam sosial politik masyarakat. Bahkan keberhasilan pembangunan bidang sosial dapat dievaluasi dan dijadikan sebagai indikator tahun-tahun selanjutnya.

Keberhasilan pembangunan bidang sosial tidak hanya dapat dilihat dari bentuk fisik saja, namun harus dilihat secara keseluruhan, yaitu dari segi fisik dan mental. Segi fisik meliputi pembangunan sarana dan prasarana misalnya gedung atau penunjang lainnya sedangkan segi mental meliputi kondisi mental penduduknya.

Salah satu upaya mencapai delapan jalur pemerataan yang mencakup usaha/pemerataan pembangunan dalam rangka pembangunan sosial budaya, Pemerintah Jawa Barat telah mengupayakan berbagai usaha meliputi bidang pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana, agama dan kehidupan sosial lainnya.

Bidang pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana, agama dan kehidupan sosial lainnya merupakan beberapa aspek yang ditampilkan dalam publikasi ini.


(61)

36

4.3.1. Pendidikan

Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal untuk penggerak pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan disamping Sumber Daya Alam. Kebijakan pemerintah di dunia pendidikan sangat menentukan arah dan mutu pendidikan itu sendiri. Untuk mengambil kebijakan yang tepat sasaran pemerintah sangat membutuhkan data-data dunia pendidikan yang akurat.

Pada tahun ajaran 2005/2006, rasio perbandingan antara jumlah murid terhadap jumlah guru untuk Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Umum serta Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Kejuruan Lanjutan adalah 29,24: 18,68: 14,93: 13,15.

4.3.2. Kesehatan dan Keluarga Berencana

Pembangunan kesehatan harus selalu dilakukan mengingat jumlah penduduk yang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat dan status kesehatan penduduk dilakukan antara lain dengan meningkatkan fasilitas dan sarana kesehatan. Pembangunan bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, merata dan murah.

Pada tahun 2005 jumlah Rumah Sakit di Jawa Barat adalah 177 buah dengan 18.467 tempat tidur. Puskesmas dan Balai Pengobatan mencapai 6.134. Jumlah ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan


(62)

jumlah tenaga medis berkurang dibandingkan dengan tahun berikutnya. Pada tahun 2005, jumlah dokter umum mencapai 1.622 dan dokter gigi mencapai 656.

Pada tahun 2005, jumlah sarana pelayanan KB yang dimanfaatkan oleh akseptor KB baru di Provinsi Jawa Barat terbanyak adalah Pos KB desa yang berjumlah 8.883 buah. Sedangkan petugas jasa konsultasi maupun jasa pelayanan KB adalah Bidan sebesar 5.433 orang. Alat kontrasepsi yang paling banyak diminati oleh akseptor baru adalah suntik sebanyak 464.941 akseptor, Pil 238.095 orang dan IUD sebanyak 79.704 akseptor. Program KB sedikit banyak dipengaruhi pula oleh kondisi perekonomian masyarakat Indonesia, dimana pada tahun 2005 di Provinsi Jawa Barat terdapat 1.353.588 keluarga pra-sejahtera, dan 8.762.760 keluarga sejahtera mulai dari tingkatan KS I sampai dengan KS III Plus.

4.3.3. Agama

Kehidupan beragama yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 dan Sila Pertama Falsafah Negara, yaitu kehidupan beragama dikembangkan dan diarahkan untuk peningkatan akhlak demi kepentingan bersama untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Hasil yang telah dicapai dalam bidang agama, disajikan sebagai data keagamaan.

Pada tahun 2005 jumlah tempat peribadatan umat Islam tercatat sebanyak 66.441 yang terdiri dari 37.906 Mesjid dan 28.535 Mushola. Tempat peribadatan agama lainnya berjumlah 1.945 yang terdiri dari Gereja Protestan 1.629, Gereja Katolik 110, Pura 25 dan Vihara 181.


(63)

38

4.3.4. Kehidupan Sosial Lainnya

Pada tahun 2005 terdapat 124.371 keluarga yang menempati tempat tinggal tidak layak, 280.389 anak terlantar dan 8.448 anak jalanan. Sementara itu, perkara pidana biasa yang dapat diputuskan di pengadilan negeri yang berada di Jawa Barat pada tahun 2005 berjumlah 9.037 kasus. Dari jumlah tersebut, pengadilan negeri Bekasi memutuskan perkara terbanyak, sebanyak 1.464 kasus, dan pengadilan negeri Kuningan memutuskan paling sedikit, 98 kasus.

Untuk pengadilan tinggi di Jawa Barat, jumlah perkara pidana masuk sebanyak 329 kasus dan yang berhasil diputuskan sebanyak 348 kasus. Sedangkan jumlah perkara perdata yang masuk sebanyak 396 dan yang berhasil diputuskan sebanyak 462 kasus.

4.4. Perekonomian

Perekonomian di Jawa Barat menunjukkan perkembangan yang signifikan baik dari jumlah maupun keragamannya, hal ini menggambarkan bahwa Jawa Barat masih dianggap sebagai wilayah yang potensi untuk mengembangkan dan membangun berbagai kegiatan ekonomi.

Munculnya berbagai kegiatan ekonomi baru di Jawa Barat tidak terlepas dari potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang ada, serta peningkatan fasilitas dan kemudahan berbagai akses untuk tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi dunia usaha. Disamping itu peningkatan kelompok lapangan usaha sekunder yang signifikan di Jawa Barat memacu tumbuhnya kegiatan


(64)

ekonomi baru di sektor tersier yang memanfaatkan peluang dan menjembatani kegiatan ekonomi dari hulu ke hilir.

Tahun 2000

Primer; 20,24%

Sekunder; 32,32% Tersier;

47,24%

Tahun 2005 Primer; 14,99%

Sekunder; 50,55% Tersier;

34,47%

Sumber: BPS, 2005

Gambar 4.1. Struktur Ekonomi Jawa Barat Menurut Kelompok Lapangan Usaha Tahun 2000 dan Tahun 2005

Bahwa peran kelompok lapangan usaha primer dalam perekonomian Jawa Barat perannya terus menurun yaitu dari 20,44 persen pada tahun 2000 menjadi 14,99 persen pada tahun 2005, penurunan peran kelompok primer lebih dipengaruhi oleh penurunan sektor pertanian di Jawa Barat. Penurunan peran kelompok lapangan usaha primer ini tidak terlepas dari perkembangan ekonomi kelompok lapangan usaha sekunder yang ditopang dengan peningkatan sektor industri yang sangat pesat, yaitu 47,24 persen pada tahun 2000 menjadi 50,55 persen pada tahun 2005, peningkatan kelompok ini juga membangkitkan peningkatan kelompok lapangan usaha tersier dari 32,32 persen pada tahun 2000 menjadi 34,47 persen pada tahun 2005.


(65)

40

Peranan Jawa Barat terhadap total PDRB Indonesia meningkat dari 13,64 persen pada tahun 2004 menjadi 14,61 persen pada tahun 2005. Dengan nilai absolute PDRB atas dasar harga berlaku yang mencapai 387 triliyun rupiah pada tahun 2005, Jawa Barat merupakan provinsi ke 3 terbesar penyumbang kontribusi total nilai PDRB.

Tabel 4.1. Peranan Perekonomian Beberapa Provinsi di Pulau Jawa Terhadap Nasional Tahun 2004-2005

PDRB (milyar Rp) Peranan Terhadap Nasional (%)

Provinsi

2004* 2005** 2004 2005

Jawa Barat 301,102 387,353 13,64 14,61

Banten 73,714 84,622 3,35 3,19

DKI Jakarta 375,562 436,251 17,05 16,46

Jawa Tengah 193,435 234,435 8,78 8,84

DI Yogyakarta 22,024 25,248 1,00 0,95

Jawa Timur 341,065 43,392 15,49 15,22

Pulau Jawa 1.306.812 1.571.302 59,33 59,28

Luar Jawa 985.708 1.079.426 40,67 40,72

Indonesia 2.202.520 2.650.728 100,00 100,00

Sumber: BPS, 2005

Keterangan: *) Angka Diperbaiki **) Angka Sementara

Jawa Barat selain memiliki kontribusi yang besar dalam perekonomian Indonesia, juga merupakan daerah penyangga ibukota dan sebagai wilayah pemasok berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Di samping itu Jawa Barat juga masih memiliki potensi untuk berkembang, sehingga perlu mendapat perhatian yang sangat intensif karena stabilitas ekonomi nasional akan sangat dipengaruhi stabilitas ekonomi Jawa Barat.

Peran sektor industri pengolahan dalam struktur perekonomian Jawa Barat pada tahun 2005 telah mencapai 44,68 persen meningkat dibandingkan perannya pada tahun 2000 yang mencapai 40,84 persen. Sektor pertanian mengalami


(66)

penurunan dari 14,70 persen pada tahun 2000 menjadi 11,90 persen pada tahun 2005. Penurunan nilai tambah sektor pertanian selain dipengaruhi oleh nilai perubahan harga yang kecil juga karena pengurangan SDA, seperti banyaknya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, yang di Jawa Barat diperkirakan mencapai 5 persen per tahun.

Jika PDRB Jawa Barat dilihat dari segi penggunaannya, maka pada tahun 2005 pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan unsur pengeluaran yang dominan yaitu di atas 60 persen, diikuti oleh pembentukan modal tetap Bruto yang mencapai 15 persen. Pembentukan barang modal yang juga diterjemahkan sebagai investasi di Jawa Barat pada tahun 2005 mencapai 63,622 milyar rupiah atau 16,42 persen dari total penggunaan. Hal ini menjanjikan dalam pembangunan kegiatan perekonomian, dengan laju pertumbuhan yang relatif stabil antara 5-6 persen per tahun, menunjukkan bahwa iklim investasi Jawa Barat masih diminati oleh pelaku ekonomi, khususnya investor baik dari investor asing maupun investor domestik.

Penambahan nilai investasi dapat memberikan gambaran adanya ekspansi usaha, pembangunan usaha baru atau peningkatan kapasitas usaha. Selain akan meningkatkan nilai tambah, investasi juga dapat membuka peluang dalam penyerapan tenaga kerja, namun perlu dicermati lebih jauh, agar peningkatan investasi ini bukan merupakan langkah yang inefisien.

Neraca perdagangan ekspor dan impor Jawa Barat dari tahun 2003 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada tabel. Perimbangan ekspor dan impor Jawa Barat dari tahun 2003-2005 menunjukkan nilai yang menggembirakan, hal ini terlihat


(67)

42

dari net ekspor yang positif yang ditunjang oleh nilai ekspor ke luar negeri. Sedangkan perimbangan nilai ekspor dan impor Jawa Barat antar provinsi menunjukkan masih banyak mengeluarkan banyak biaya untuk impor dari provinsi lain dibandingkan dengan pendapatan yang diterima Jawa Barat dari hasil ekspor ke provinsi lain.

Tabel 4.2. Neraca Perdagangan Ekspor dan Impor Jawa Barat Tahun 2003-2005 (Milyar Rupiah)

Uraian 2003 2004* 2005** Ekspor 118.993.841,95 134.454.676,50 161.270.832,01

Antar Negara 65.801.517,46 81.222.222,40 105.200.861,75 Antar Provinsi 53.192.324,49 53.232.454,09 56.069.970,26 Impor 94.048.787,81 112.350.762,77 127.931.936,80 Antar Negara 39.701.798,73 49,548.333,47 57.854.570,46 Antar Provinsi 54.192.989,08 62.802.429,30 70.077.366,34 Net Ekspor 24.945.054,14 22.103.913,73 33.338.895,21. Antar Negara 26.099.718,73 31.673.888,93 47.346.291,29 Antar Provinsi (1.000.664,59) (9.569.975,21) (14.007.396,08) Sumber: BPS, 2005

Keterangan: *) Angka Diperbaiki **) Angka Sementara

Struktur perekonomian Jawa Barat lebih banyak ditopang oleh Usaha Kecil dan Menengah. Peran Usaha Kecil dan Menengah dari tahun 2003-2005 menunjukkan kontribusi yang menguat yaitu dari 62,08 persen pada tahun 2003 menjadi 62,99 persen pada tahun 2005.

Tabel 4.3. Struktur Perekonomian Jawa Barat Menurut Skala Usaha Tahun 2003-2005 (Persen)

Skala Usaha 2003 2004* 2005**

Kecil 43,81 44,21 44,30

Menengah 18,27 18,28 18,69

Total Kecil dan Menengah

62,08 62,59 62,99

Besar 37,92 37,51 37,01

PDRB 100 100 100


(68)

4.5. Realisasi Sektor-Sektor Ekonomi

Daerah Jawa Barat luas wilayahnya mencapai 43.177,22 km2 secara keseluruhan terdiri dari areal hutan 8.486 km2 atau 19,6 persen, padang rumput 432 km2 atau 1 persen, tegalan 3.584 km2 atau 8,3 persen, perkebunan 3.022 km2 atau 7 persen, kebun dan hutan lindung 8.160 km2 atau 18,9 persen, kolam dan tambak 820 km2 atau 1,9 persen, permukiman penduduk 3.368 km2 atau 7,8 persen, dan areal lain seluas 15.305,22 km2 atau 35,4 persen dari seluruh luas wilayah Jawa Barat. Jawa Barat memiliki potensi yang baik dalam sektor pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, industri dan pariwisata. Realisasi produksi masing-masing sektor terhadap perekonomian Jawa Barat pada Otonomi Daerah akan lebih besar dibandingkan produksi sebelum Otonomi Daerah dengan asumsi Otonomi Daerah dapat dilaksanakan dengan lancar dan sebaliknya. Hasil-hasil per sektor pada tahun 1998 dan tahun 2005 akan memperlihatkan sampai sejauh mana Otonomi Daerah telah direalisasikan di Jawa Barat.

4.5.1. Sektor Pertanian

Potensi pertanian di Jawa Barat tersebar secara merata di seluruh daerah, yang meliputi komoditas padi, palawija, dan hortikultur. Selain itu, jenis sayuran dan buah-buahan di daerah Jawa Barat memiliki potensi yang sangat menjanjikan. Walaupun lahan pertanian berkurang setiap tahun, tapi dengan teknik pertanian yang lebih maju sebenarnya Jawa Barat masih memungkinkan mendapatkan hasil melimpah. Hasil pertanian di daerah ini pada tahun 1998 dan tahun 2005 dapat dilihat pada tabel berikut.


(69)

44

Tabel 4.4. Hasil Pertanian Provinsi Jawa Barat Tahun 1998 dan Tahun 2005

Tahun 1998 Tahun 2005

Komoditi Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton) Luas Panen

(Ha)

Produksi (Ton) Padi

sawah-ladang

2.179.976 9.795.638 1.894.796 9.787.217

Jagung 158.993 426.430 117.413 587.186

Ubi Kayu 128.642 1.650.881 117.786 2.068.981

Kedelai 57.385 70.976 17.934 23.845

Kacang Hijau 19.011 17.435 15.437 15.611

Ubi Jalar 40.574 443.745 30.794 390.386

Kacang Tanah 92.715 104.141 71.523 100.775

Sumber : BPS, 2006

BPS, 2000

Sedangkan hasil produksi sayur-sayuran sebagai berikut: Tabel 4.5. Hasil Sayur-Sayuran Tahun 1998 dan Tahun 2005

Produksi (Ton) Jenis Sayuran

1998 2005

Bawang Daun 13.862 264.829

Bawang Merah 10.563 118.795

Kentang 21.994 359.892

Kubis 18.227 434.578

Lobak 319 22.627

Sawi 13.676 235.811

Kacang Panjang 26.096 165.956

Wortel 4.972 215.176

Buncis 8.719 120.881

Bayam 5.808 38.551

Cabe 19.165 198.347

Tomat 10.510 586.286

Terong 7.774 76.486

Kangkung 5.323 58.613

Ketimun 19.702 211.240

Sumber : BPS, 2006 BPS, 2000

Buah-buahan yang dihasilkan di Jawa Barat sangat beraneka ragam. Selain memenuhi kebutuhan penduduk Jawa Barat, buah-buahan ini juga dikirim untuk


(70)

memenuhi kebutuhan penduduk Jakarta. Hasil buah-buahan di Provinsi Jawa Barat disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4.6. Hasil Buah-Buahan Tahun 1998 dan Tahun 2005 Produksi (Ton) Jenis Buah

1998 2005

Alpukat 50.475,5 86.463

Jeruk 44.607,5 21.180

Durian 38.943,3 32.565

Duku 11.865,8 13.289

Jambu Biji 54.322,6 47.609

Mangga 80.231,4 270.955

Nanas 62.249,6 181.149

Pepaya 52.511,7 57.307

Pisang 1.015.330,9 1.419.096

Rambutan 38.699,4 125.197

Salak 64.885,4 123.019

Belimbing 10.150,9 12.350

Nangka 65.800,2 66.949

Sukun 1.349,4 14.249

Buah Lain 116,4 75.571

Sumber: BPS, 2006 BPS, 2000

Dalam struktur perekonomian di Jawa Barat, sektor pertanian merupakan sektor dominan kedua terbesar setelah industri. Jika hasil pertanian pangan, termasuk hasil sayur-sayuran dan buah-buahan ini dapat dibudidayakan melalui teknologi canggih, daerah Jawa Barat bisa seperti Thailand. Apalagi banyak SDM berkualitas perguruan tinggi seperti ITB, IPB, Padjajaran, dan Unpar.

4.5.2. Sektor Peternakan

Peternakan yang potensial untuk dikembangkan di Jawa Barat antara lain unggas, sapi, kambing, dan sapi perah. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya permintaan terhadap produk-produk hasil peternakan, karena


(71)

46

populasi jumlah penduduk di Jawa Barat terus bertambah setiap tahunnya. Sedangkan produksi peternakan ini sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan protein hewani.

Populasi peternakan utama di Jawa Barat tahun 1998 dan tahun 2005 menunjukkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.7. Jumlah Peternakan di Jawa Barat Tahun 1998 dan Tahun 2005 Hasil (Ekor)

Peternakan

1998 2005

Sapi Potong 151.573 234.948

Sapi Perah 74.237 92.755

Kerbau 356.005 147.157

Kuda 11.047 12.569

Kambing 1.698.631 999.567

Domba 3.263.791 3.737.803

Ayam Buras 28.637.481 31.043.932

Ayam Petelur 7.510.987 10.171.904

Ayam Broiler (Potong) 12.640.432 58.770.837

Itik 2.905.893 5.335.872

Sumber : BPS, 2006 BPS, 2000

Populasi ternak di Jawa Barat menurun disebabkan oleh krisis moneter yang mengakibatkan krisis ekonomi dahsyat dan berlarut-larut. Akibatnya banyak peternak yang gulung tikar. Karena bahan baku makanan ternak yang banyak diimpor dari luar negeri harus dibayar dengan dollar Amerika yang pada saat itu nilainya setara dengan Rp 16.000 per dollar. Pada tahun 2005, populasi peternakan bertambah untuk memenuhi permintaan penduduk yang semakin meningkat.

4.5.3. Sektor Perikanan

Budidaya perikanan di Jawa Barat berupa perikanan laut dan darat yang didukung oleh perikanan air tawar di waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur, dan


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)