BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tren Ketimpangan Pendapatan di Indonesia di Indonesia Pasca Krisis Tahun 1999-2005
Bab ini menyajikan perkembangan ketimpangan di Indonesia dari tahun 1999 sampai tahun 2005, yang diukur dengan koefisien gini. Seperti telah
disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan data Susenas yang dalam pengolahannya terdapat proses penggabungan pertanyaan kor dan modul,
sehingga ada kemungkinan jumlah sampel rumahtangga menjadi berkurang. Tabel 5.1. Tren Ketimpangan di Indonesia Koefisien Gini, Tahun1999-2005
Tahun Perkotaan Perdesaan
Perkotaan dan Perdesaan
1999 0,336 0,262 0,329
2002 0,366 0,268 0,368
2005 0,411
0,311 0,408 Sumber
: Data Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005. catatan: tidak termasuk Aceh, Maluku, Maluku Utara dan Papua
tidak termasuk Aceh Ketimpangan di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun 1999
sampai 2005, berturut-turut adalah 0,329; 0,368; dan 0,408. Demikian pula dengan ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perkotaan dan perdesaan
selama periode 1999-2005 yang juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1999, ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perkotaan sebesar 0,336 dan meningkat
hingga mencapai 0,411 pada tahun 2005. Sedangkan ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perdesaan pada tahun 1999 mencapai 0,262, dan meningkat
hingga mencapai 0,311 pada tahun 2005 Tabel 5.1.
Tabel 5.2. Andil Pengeluaran per KapitaRumahtangga dari total
Tahun Quintil Desil
1 2 3 4 5 T20B20
1 10 1999 8,57
12,19 15,86
21,36 41,96
4,90 3,70
27,08 2002 7,71
11,24 14,84
20,85 45,10
5,85 3,33
30,07 2005 6,85
10,40 14,10
20,40 48,45
7,07 2,86
33,30
Sumber : Data Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
Catatan: T20B20 adalah rasio dari andil pengeluaran untuk 20 persen golongan teratas terhadap 20 persen golongan terbawah.
Kontribusi pengeluaran dari 20 persen penduduk Indonesia dengan golongan pendapatan terbawah terus mengalami penurunan dari 8,57 persen pada
tahun 1999 menjadi 6,85 persen pada tahun 2005. Sementara itu, kontribusi yang diberikan oleh 20 persen golongan pengeluaran teratas justru mengalami
peningkatan pada periode yang sama atau dari 41,96 persen pada tahun 1999 menjadi 48,45 pada tahun 2005. Kondisi ini tercermin dari rasio antara 20 persen
penduduk Indonesia dengan golongan pengeluaran teratas terhadap 20 persen penduduk Indonesia dengan golongan pengeluaran terbawah yang meningkat
selama periode 1999-2005. Kenyataan ini sesuai dengan anggapan bahwa krisis sangat menyentuh kalangan bawah sehingga ketimpangan yang ditunjukkan oleh
koefisien gini meningkat. 5.2. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan di Indonesia Pasca
Krisis Tahun 1999-2005
Penelitian ini menggambarkan ketimpangan yang dapat didekomposiskan ke dalam kelompok-kelompok yaitu intra kelompok dan antar kelompok.
Dekomposisi ketimpangan pendapatan yang dimaksud adalah menurut lokasi
kota-desa, pulau dan provinsi, kelompok umur, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin.
5.2.1. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan Menurut Lokasi
Pada tahun 1999, kira-kira setahun setelah krisis, rata-rata pengeluaran pr kapita rumahtangga di perkotaan mencapai Rp 200.560 per bulan. Namun rata-
rata pengeluaran perkapita rumahtangga di perdesaan hanya Rp 119.060 per bulan. Tahun 2002, rasio rata-rata pengeluaran rumahtangga perkotaan terhadap
rata-rata pengeluaran rumahtangga perdesaan mencapai 1,97 sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita
pada tahun 1999. Demikian pula yang terjadi pada tahun 2005, dimana rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita di perkotaan adalah dua kali pengeluaran
rumahtangga di perdesaan atau besarnya pengeluaran di perkotaan sebesar Rp 460.190, sedangkan di perdesaan hanya Rp 222.830.
Tabel 5.3. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga Di Perkotaan dan Perdesaan
Lokasi Rata-Rata Pengeluaran
Rp 000 Jumlah Rumahtangga
1999 2002 2005 1999 2002 2005 Kota K
200,56 324,20 460,19
41,53 45,46
41,14 Desa D
119,06 164,34 222,83
58,47 54,54
58,86 Total
152,92 237,01 320,49 100,00 100,00
100,00 Rasio
KD 1,68 1,97 2,07
Sumber : Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005.
Ketimpangan pendapatan rumahtangga di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga di perdesaan Tabel 5.2. Ketimpangan di
perkotaan pada periode 1999-2005 selalu mengalami peningkatan. Kontibusi ketimpangan yang diberikan oleh rumahtangga di perkotaan terhadap total
ketimpangan pada tahun 2002 meningkat, yaitu dari 52,06 persen di tahun 1999 menjadi 53,63 persen pada tahun 2002 berdasarkan indeks Theil T dan jika
menggunakan indeks Theil L didapat ketimpangan di perkotaan sebesar 49,98 persen di tahun 1999, 48,67 persen pada tahun 2002, dan 48,59 persen di tahun
2005. Tabel 5.4. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Lokasi
Lokasi Indeks Theil T
Indeks Theil L Koefisien Gini
1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Perkotaan 0,207
0,271 0,344
0,183 0,220
0,280 0,336
0,366 0,411
Andil 52,06 53,63
52,85 49,98
48,67 48,59
Perdesaan 0,124 0,131
0,182 0,112
0,117 0,160
0,262 0,268
0,311 Andil
31,19 25,93 27,96
30,59 25,88
27,67 Total 0,203
0,275 0,343
0,175 0,221
0,275 0,329
0,368 0,408
Intra lokasi 0,169 0,218
0,278 0,141
0,164 0,210
Andil 83,25 79,56
80,81 80,57
74,55 76,36
Antar lokasi 0,034 0,056
0,065 0,034
0,056 0,065
Andil 16,75 20,44
19,19 19,43
35,45 23,64
Sumber : Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
Namun kontribusi ketimpangan yang diberikan rumahtangga di perdesaan justru mengalami penurunan pada tahun 2002, yaitu dari 31,19 persen pada tahun
1999 menjadi 25,93 persen pada tahun 2002 berdasarkan indeks Theil T.
Penurunan ketimpangan pendapatan di perdesaan dipicu oleh menurunnya pengeluaran golongan pendapatan tertinggi, sehingga mengindikasikan golongan
kaya di perdesaan yang lebih merasakan dampak krisis daripada golongan miskin perdesaan.
5.2.2. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan Menurut Pulau dan Provinsi
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Selain pulau-pulau besar, ternyata Indonesia juga banyak mempunyai pulau-pulau kecil. Dalam
penelitian ini pulau-pulau besar tersebut dibagi ke dalam lima 5 kelompok, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau
lainnya. Indonesia juga merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam budaya dan mempunyai penduduk dengan latar belakang sosial ekonomi yang
beragam. Sebagai contoh, Pulau Jawa adalah penyumbang terbesar dalam GDP, dengan jumlah penduduk lebih dari 50 persen penduduk Indonesia, dimana luas
wilayahnya hanya 6,8 persen dari luas Indonesia. Ketimpangan pendapatan antar provinsi memberikan kontribusi yang
cukup signifikan pada total ketimpangan. Dengan indeks Theil T pada periode 1999-2005 didapatkan hasil bahwa kontribusi dari ketimpangan tersebut masing-
masing mencapai 16,26 persen; 23,64 persen; dan 16,96 persen.Pada tahun 2002, dari 25 provinsi yang diteliti hanya ada 7 provinsi atau sekitar 28 persen yang
mengalami penurunan ketimpangan berdasarkan indeks Theil T. Provinsi Lampung mengalami penurunan ketimpangan paling tinggi yaitu sebesar 21,5
persen.
Tabel 5.5. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Pulau dan Provinsi
PulauProvinsi Indeks Theil T
Indeks Theil L Gini
1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Sumatra
0,147 0,182 0,270 0,132 0,159 0,232 0,287 0,314 0,376
1 Aceh
a
0,135 - -
0,120 - -
0,272 - -
2 Sumatra Utara
0,135 0,167 0,251 0,121 0,148 0,217 0,274 0,301 0,359 3 Sumatra
Barat 0,150 0,148 0,233 0,132 0,136 0,203 0,287 0,292 0,353
4 Riau 0,123 0,210 0,239 0,111 0,177 0,190 0,260 0,329 0,337
5 Jambi 0,121 0,147 0,230 0,112 0,130 0,190 0,263 0,284 0,342
6 Sumatra Selatan
0,142 0,180 0,203 0,129 0,156 0,176 0,285 0,312 0,330 7 Bengkulu
0,144 0,132 0,295 0,129 0,121 0,219 0,282 0,278 0,363 8 Lampung
0,177 0,139 0,328 0,159 0,118 0,262 0,315 0,268 0,401 9 Bangka
Belitung
b
- 0,152 0,193
- 0,124 0,179
- 0,273 0,331
10 Kepulauan Riau
- -
0,201 - -
0,184 - -
0,338
Jawa-Bali 0,240 0,312 0,385 0,201 0,248 0,297 0,353 0,390 0,424
1 Jakarta 0,223 0,317 0,413 0,187
0,226 0,293 0,339 0,368 0,424
2 Jawa Barat
0,163 0,170 0,256 0,143 0,150 0,213
0,299 0,306 0,363 3 Jawa
Tengah 0,161 0,172 0,221 0,132
0,148 0,179 0,284 0,303 0,331
4 Yogyakarta 0,244 0,289 0,434 0,215
0,248 0,361 0,368 0,393 0,462
5 Jawa Timur
0,185 0,208 0,297 0,159 0,177 0,237
0,315 0,332 0,378 6 Banten
c
- 0,209 0,312
- 0,194
0,242 - 0,347 0,399 7 Bali
0,155 0,194
0,273 0,138
0,170 0,224 0,292 0,324
0,369 Kalimantan
0,151 0,187 0,242 0,138 0,166 0,209 0,293 0,321 0,359
1 Kalimantan Barat
0,164 0,190 0,222 0,144 0,165 0,193 0,300 0,321 0,346 2 Kalimantan
Tengah 0,133 0,120 0,182 0,122 0,111 0,168 0,275 0,262 0,325
3 Kalimantan Selatan
0,139 0,165 0,165 0,126 0,152 0,151 0,281 0,307 0,305 4 Kalimantan
Timur 0,157 0,198 0,280 0,145 0,174 0,241 0,299 0,329 0,382
Sulawesi 0,167 0,186 0,275 0,152 0,160 0,230 0,306 0,314 0,376
1 Sulawesi Utara
0,137 0,144 0,295 0,130 0,135 0,240 0,284 0,291 0,380 2 Sulawesi
Tengah 0,183 0,156 0,208 0,165 0,141 0,183 0,318 0,297 0,335
3 Sulawesi Selatan
0,178 0,227 0,276 0,156 0,179 0,233 0,311 0,329 0,379
4 Sulawesi Tenggara
0,159 0,157 0,270 0,148 0,140 0,226 0,302 0,292 0,372 5 Gorontalo
d
- 0,122 0,272
- 0,110 0,224
- - 0,369
Lainnya 0,196 0,163 0,318 0,176 0,141 0,268 0,330 0,294 0,399
1 Nusa Tenggara Barat
0,159 0,148
0,228 0,138 0,170 0,189
0,293 0,277 0,341 2
Nusa Tenggara Timur 0,174
0,180 0,290
0,154 0,125
0,260 0,310
0,311 0,397
3 Maluku 0,106
- 0,219 0,106
- 0,178 0,259
- 0,328
4 Maluku Utara
e
- - 0,220
0,249 - 0,170
0,382 -
0,319 5
Papua 0,247 - 0,490 - - 0,466 - - 0,506
Total 0,203 0,275 0,343 0,175 0,221 0,275
0,329 0,368 0,408
Intra Provinsi 0,170 0,210 0,284 0,146 0,164 0,224
Andil 83,74 76,36 83,04 83,43 74,21 81,45
Antar Provinsi 0,033 0,065 0,058 0,029 0,057 0,051
Andil 16,26 23,64 16,96 16,57 25,79 19,55
Intra Pulau
0,201 0,262 0,355 0,173 0,208 0,267
Andil 99,01 95,27 98,07 98,86 94,12 97,09
Antar Pulau
0,002 0,012 0,007 0,002 0,013 0,008 Andil
0,99 4,73 1,93 1,14 5,88 2,91
Sumber : Susenas tahun 1999,2002 dan 2005
Selanjutnya diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 14,8 persen dan Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 9,8 persen. DKI Jakarta merupakan provinsi
dengan ketimpangan paling tinggi pada tahun 2002 yaitu sebesar 0,317, meningkat sebesar 42,2 persen dari tahun 1999. Provinsi lain yang memiliki
ketimpangan tinggi adalah Yogyakarta dan Banten. Dengan indeksTheil L, didapatkan hasil ketimpangan di semua pulau pada tahun 2005 mengalami
peningkatan dibandingkan tahun 2002. Ketimpangan tertinggi pada tahun 2005 terjadi di Provinsi Papua yang
mencapai 0,466, diikuti oleh Yogyakarta, sebesar 0,361. Sedangkan Kalimantan Selatan adalah Provinsi dengan ketimpangan terendah yaitu sebesar 0,151. Jika
diamati, ternyata hasil penghitungan ketimpangan dengan menggunakan indeks Theil T, Theil L, dan koefisien gini adalah searah, yang berarti apabila dengan
menggunakan indeks Theil T, hasil ketimpangan mengalami peningkatan maka dengan indeks Theil L dan koefisien gini juga mengalami peningkatan. Dari tabel
5.3 dapat diamati bahwa Pulau Jawa-Bali merupakan pulau yang memiliki ketimpangan paling tinggi pada periode 1999-2005.
5.2.3. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Umur
Rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita yang paling besar pada periode 1999-2005 dimiliki oleh rumahtangga yang kepala rumahtangganya
berumur kurang dari 25 tahun Tabel 5.6. Kondisi ini berhubungan dengan banyaknya rumahtangga tersebut yang tinggal di perkotaan dan biasanya
merupakan keluarga kecil. Lebih dari 55 persen dari rumahtangga tersebut berdomisili di perkotaan. Untuk rumahtangga yang kepala rumahtangganya
berumur 25 tahun atau lebih, rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita pada tahun 2005 berada dalam range Rp 287.720 sampai Rp 531.290.
Tabel 5.6. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga Menurut Umur
Kelompok Umur
Rata-Rata Pengeluaran 000
Rasio Rata-Rata Pengeluaran kota
terhadap desa Andil Rumahtangga
Perkotaan 1999 2002
2005 1999
2002 2005
1999 2002
2005 =19
246,57 331,77 531,29
1,67 2,22
2,24 74,94 68,75 70,69
20-24 219,28 321,12 501,26 2,10 2,35 2,86 55,02 53,75 55,04
25-29 164,68 254,49 333,35 1,75 2,11 2,05 43,33 45,44 41,58
30-34 150,81 234,45 304,96 1,67 1,96 1,97 41,40 45,94 41,36
35-39 142,26 227,93 303,54 1,59 1,95 1,90 42,00 46,26 42,64
40-44 144,21 224,61 314,80 1,58 1,84 2,04 41,79 47,30 42,27
45-49 151,07 234,27 325,87 1,64 1,95 2,06 42,81 45,99 41,34
50-54 153,90 241,87 329,50 1,69 2,02 2,08 40,55 45,70 41,12
55-59 155,15 238,48 341,43 1,67 2,00 2,25 40,39 42,85 39,55
60-64 149,72 236,48 298,60 1,64 1,92 1,97 38,09 41,76 36,69
65+ 147,81 222,18 287,20 1,69 1,88 1,95 36,20 41,30 36,18
Total 152,92 237,01
320,49 1,68 1,97 2,07 41,55 45,46 41,14
Ketimpangan antar kelompok umur pada tahun 1999 memberikan kontribusi yang paling besar pada total ketimpangan yaitu 1,97 berdasarkan
indeks Theil T dan 2,29 berdasarkan indeks Theil L. Namun demikian, kontribusi yang diberikan pada total ketimpangan tidak signifikan. Ketimpangan
menurut kelompok umur untuk periode 1999-2005 ternyata cukup tinggi pada rumahtangga dengan kepala rumahtangga berumur
≥ 55 tahun, dimana para pensiunan pada umumnya berada pada kelompok umur tersebut. Pada tahun 1999,
ketimpangan pendapatan tertinggi ada pada kelompok umur 65+, tahun 2002 pada kelompok umur 60-64, dan kelompok umur 55-59 pada tahun 2005. Peningkatan
ketimpangan pada kepala rumahtangga dengan kelompok usia lanjut memberi kesan bahwa krisis menyebabkan pendapatan rendah sehingga para pensiunan
yang biasanya sangat tergantung pada “uang pensiunan” yang paling merasakan
dampak krisis Ching, 1991. Tabel 5.7. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Umur
Kelompok Umur Indeks Theil T
Indeks Theil L Gini
1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005
≤ 19 0,154 0,178
0,256 0,157
0,191 0,279
0,308 0,336 0,394 20-24 0,200
0,239 0,338
0,202 0,234
0,332 0,351
0,382 0,440
25-29 0,196 0,294
0,296 0,177
0,229 0,261
0,333 0,360
0,400 30-34 0,191
0,254 0,289
0,168 0,207
0,238 0,322
0,346 0,380
35-39 0,174 0,303
0,296 0,153
0,220 0,250
0,308 0,336
0,389 40-44 0,184
0,242 0,361
0,158 0,204
0,278 0,312
0,344 0,408
45-49 0,201 0,259
0,377 0,175
0,220 0,290
0,329 0,366
0,417 50-54 0,203
0,280 0,361
0,177 0,230
0,287 0,332
0,368 0,417
55-59 0,217 0,260
0,420 0,181
0,218 0,318
0,333 0,372
0,436 60-64 0,208
0,321 0,314
0,172 0,236
0,249 0,325
0,361 0,388
65+ 0,232 0,269
0,318 0,182
0,211 0,247
0,331 0,373
0,386 Total 0,203
0,275 0,343
0,175 0,221
0,275 0,329
0,368 0,408
Intra kelompok 0,199 0,272
0,337 0,171
0,218 0,269
Andil 98,03 98,91
98,25 97,71
98,64 97,82
Antar kelompok 0,005
0,003 0,006
0,004 0,003
0,005 Andil
1,97 1,09 1,75 2,29 1,36 2,18
Sumber : Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
5.2.4. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Tingkat Pendidikan Penelitian ini membagi pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala
rumahtangga ke dalam 9 sembilan kategori yaitu: tidak tamat SD; Sekolah dasar SDsederajat; Sekolah Menengah Pertama SMPsederajat; Sekolah Menengah
Atas SMAsederajat; Sekolah Menengah Kejuruan SMK; Diploma III; Diploma III; Diploma IV; dan S1S2S3.
Tabel 5.8. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga Per Bulan Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Rata-Rata Pengeluaran
000 Rasio Rata-Rata
Pengeluaran Rumahtangga
kota terhadap desa Andil Rumahtangga
Perkotaan 1999 2002 2005 1999
2002 2005
1999 2002
2005 Tidak
tamat SD 114,82 162,95
215,20 1,32 1,40 1,42 23,82 26,86 24,04 Sekolah
Dasar 130,29 186,89
246,06 1,38 1,51 1,49 33,78 35,20 31,88 SMP
165,30 246,48 309,15 1,42 1,65 1,60 55,37 55,50 47,79
SMU 225,90 343,54
486,32 1,57 1,88 1,97 71,84 74,60 68,81 SMK
191,37 304,94 412,00 1,30 1,46 1,60 62,95 68,55 64,47
Diploma III
222,61 358,14 515,30 1,58 1,71 1,68 52,70 56,59 52,59
Diploma III 285,96 456,58
729,41 1,51
1,91 1,94 80,66 84,92 78,34
Diploma IV
318,47 588,52 858,30 1,61 1,94 2,32 84,59 86,00 79,55
S1S2S3 495,99 888,03
1468,53 1,50 1,88 2,18 85,23 96,02 93,66
Total 152,92 237,01
320,49 1,68 1,97 2,07 41,55 45,46 41,14
Sumber : Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
Rata-rata pengeluaran per kapita meningkat searah dengan pendidikan yang ditamatkan kepala rumahtangga. Pada tahun 1999, rata-rata pengeluaran per
kapita untuk kepala rumahtangga yang tamat S1S2S3 adalah empat kali lebih besar dibandingkan dengan kepala rumahtangga yang tidak tamat SD. Kenaikan
perbandingan pengeluaran antar tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang tamat S1S2S3 searah dengan periode penelitian. Perbandingan rata-rata
pengeluaran per kapita kepala rumahtangga tersebut pada tahun 2002 dan 2005, masing-masing adalah 5,45 dan 6,82 lebih besar. Untuk semua tingkat pendidikan,
rasio rata-rata pengeluaran rumahtangga perkapita di perkotaan terhadap rumahtangga di perdesaan pada tahun 1999 dan 2002 relatif stabil Tabel 5.8.
Tabel 5.9. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Indeks Theil T
Indeks Theil L Gini
1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Tidak Tamat SD
0,122 0,134 0,185
0,110 0,120 0,162
0,261 0,272 0,313
Sekolah Dasar
0,137 0,161 0,191
0,121 0,137 0,167
0,273 0,290 0,319
SMP
0,164 0,207 0,214
0,145 0,172 0,190
0,299 0,324 0,339
SMU
0,192 0,226 0,279
0,176 0,197 0,251
0,330 0,345 0,388
SMK
0,141 0,169 0,228
0,131 0,156 0,208
0,286 0,310 0,355
Diploma III
0,168 0,198 0,273
0,149 0,185 0,233
0,303 0,338 0,375
Diploma III
0,177 0,224 0,322
0,164 0,196 0,279
0,320 0,345 0,409
Diploma IV
0,242 0,359 0,434
0,203 0,282 0,353
0,352 0,410 0,459
S1S2S3
0,239 0,388 0,492
0,224 0,313 0,413
0,372 0,429 0,491
Total 0,203 0,275 0,343 0,175 0,221 0,275 0,514 0,362 0,408
Intra Tingkat
Pendidikan 0,154 0,197 0,245 0,131 0,152 0,191 Andil
75,86 71,64 71,43 74,86 68,78 69,45 Antar Tingkat Pendidikan
0,049 0,078
0,098 0,044
0,069 0,084
Andil 24,14
28,36 28,57
25,14 31,22
30,55
Sumber : Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan metode Theil ternyata ketimpangan antar tingkat pendidikan pada periode 1999-2005 memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap total ketimpangan masing-masing adalah 24,14 persen; 28,36 persen; dan 28,57 persen. Hasil ini konsisten dengan
penelitian yang dilakukan oleh Akita 1999 yang menyimpulkan bahwa total ketimpangan akan berkurang jika tidak ada ketimpangan antar tingkat pendidikan.
5.2.5. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Jenis Kelamin
Selama periode 1999-2005, rata-rata pengeluaran per kapita dari rumahtangga yang dikepalai oleh wanita sedikit lebih besar daripada rumahtangga
yang dikepalai oleh laki-laki. Hal ini dimungkinkan karena jumlah anggota rumahtangga yang dikepalai oleh wanita cenderung lebih sedikit dibandingkan
rumahtangga yang dikepalai oleh laki-laki.
Tabel 5.10. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga Per Bulan Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Rata-Rata Pengeluaran 000
Rasio Rata-Rata Pengeluaran kota
terhadap desa Andil Rumahtangga
Perkotaan 1999
2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002
2005 Laki-Laki 150,47 234,56 316,68 1,67 1,96 2,04 41,02 45,09 40,89
Perempuan 169,04 254,64 347,20 1,77 2,03 2,22 44,98 48,10 42,90 Total
152,92 237,01 320,49 1,68 1,97 2,07 41,55 45,46 41,14
Sumber : Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
Kontribusi yang diberikan oleh ketimpangan pendapatan antar jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total ketimpangan.
Kontribusi ketimpangan antar kelompok pada periode 1999-2005 kurang dari 1 persen terhadap total ketimpangan., yang berarti faktor jenis kelamin tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap total ketimpangan Tabel 4.11.
Tabel 5.11. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Jenis Kelamin
Sumber : Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
Jenis Kelamin Indeks Theil T
Indeks Theil L Gini
1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Laki-Laki 0,200
0,277 0,338
0,171 0,219
0,271 0,325
0,367 0,405
Perempuan 0,218 0,258
0,368 0,193
0,229 0,298
0,345 0,376
0,425 Total 0,203
0,275 0,343
0,175 0,221
0,275 0,329
0,368 0,408
Intra Kelompok 0,202
0,274 0,342
0,174 0,221
0,274 Andil
99,51 99,64 99,71 99,43 100,00 99,64 Antar
Kelompok 0,001 0,001
0,001 0,001
0,000 0,001
Andil 0,49 0,36 0,29 0,57 0,00 0,36
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN