Konsep Ketimpangan TINJAUAN PUSTAKA

sandang dan perumahan; 2 kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; 3 pembagian pendapatan; 4 kesempatan kerja; 5 kesempatan berusaha; 6 kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; 7 penyebaran pembangunan; dan 8 kesempatan memperoleh keadilan. Mengacu pada definisi pembangunan di atas, maka para ekonom merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan. Dudleey Seer dalam Todaro dan Smith 2003 merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan sebagai berikut: a Tingkat ketimpangan pendapatan; b Penurunan jumlah kemiskinan; c Penurunan tingkat pengangguran . Selain itu, PBB juga telah merumuskan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals MDGs, yang terdiri dari delapan indikator keberhasilan pembangunan, yakni: 1 penghapusan kemiskinan; 2 pendidikan untuk semua; 3 persamaan gender; 4 perlawanan terhadap penyakit menular; 5 penurunan angka kematian anak; 6 peningkatan kesehatan ibu; 7 pelestarian lingkungan hidup; 8 kerjasama global.

2.2. Konsep Ketimpangan

Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai penyebaran pendapatan diantara setiap orang atau rumahtangga dalam masyarakat. Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukkan oleh dua konsep pokok, yaitu konsep ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan relatif. Ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak. Ketimpangan relatif merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima oleh masyarakat secara keseluruhan Ahluwalia dalam Sukirno, 2001. Pembahasan ketimpangan menghendaki pendefinisian kelompok- kelompok dalam masyarakat. Pendefinisian kelompok yang sejak awal sering digunakan adalah kelompok pendapatan. Masyarakat dibedakan menurut kelompok-kelompok 10 persen populasi decile, mulai dari kelompok 10 persen populasi berpendapatan terendah, kelompok 10 persen populasi berikutnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Cara pengelompokkan lain adalah berdasarkan tingkat pendapatan yaitu 40 persen populasi dengan pendapatan terendah, 40 persen berikutnya dengan tingkat pendapatan menengah, dan 20 persen populasi yang berpendapatan tinggi. Selain pengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pengukuran ketimpangan juga menggunakan daerah sebagai basis pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai implikasi pengamatan ketimpangan masyarakat antar daerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Kondisi ketimpangan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator ketimpangan. Berbagai penelitian pada umumnya menggunakan indeks kemerataan distribusi Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol pemerataan semurna hingga satu ketimpangan sempurna. OSHIMA membagi koefisien Gini dalam 3 kategori yaitu: 1. Jika, 0 G 0,35 termasuk dalam ketimpangan yang rendah 2. Jika, 0,35 G 0,5 termasuk dalam ketimpangan sedang 3. Jika 0,5 G 0,7 termasuk dalam ketimpangan tinggi Terdapat 8 delapan faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang Adelman dan Morris dalam Arsyad, 2004 yaitu: 1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita. 2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang. 3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah 4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek padat modal capital intensive, sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah 5. Rendahnya mobilitas sosial 6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis. 7. Memburuknya nilai tukar term of trade bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terh barang ekspor negara-negara sedang berkembang. 8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain. 2.3. Penelitian-Penelitian Terdahulu Penelitian ini menggunakan raw data Susenas modul konsumsi untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran perkapita rumahtangga untuk tahun 1999, 2002, dan 2005. Ada kemungkinan koefisien gini yang dihasilkan dalam penelitiani ini berbeda dengan koefisien gini yang sebelumnya sudah pernah dihitung oleh instansi-instansi resmi. Banyak penelitian mengenai ketimpangan yang menggunakan berbagai sumber data yang ada di Indonesia. Sumber data yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi ketimpangan dan juga untuk mengestimasi angka-angka resmi ketimpangan adalah data SUSENAS. Selain SUSENAS, data yang sering digunakan untuk mengevaluasi ketimpangan adalah PDRB. Diantara penelitian-penelitian yang menggunakan data SUSENAS dalam mnganalisa distribusi pendapatan dan ketimpangan di Indonesia, Hughes dan Islam 1981 dapat dikatakan sebagai salah satu perintisnya. Mereka menguji perubahan ketimpangan agregat untuk periode 1964-1976. Hasil penelitiannya adalah bahwa ketimpangan secara keseluruhan menurun pada periode 1964-1976. Ketimpangan di daerah perkotaan Jawa menunjukkan tidak ada perubahan dalam periode 1964-1970, tetapi kemudian meningkat tajam dari 1970 sampai dengan 1976 seperti yang terukur oleh koefisien Gini. Sebaliknya, ketimpangan daerah perkotaan di luar Jawa menurun dengan tajam dalam periode 1964-1970 dan tetap konstan setelahnya. Ketimpangan di daerah perdesaan jawa dan luar jawa menurun secara signifikan pada 1964-1976 meskipun terjadi pada saat yang berbeda tetapi di dalam masa 1964-1976. Penelitian ini meyakinkan bahwa efek yang paling dirasakan dari menggunakan penyesuaian perubahan harga relatif relative price diffferential adalah menurunkan andil variasi antar grup, khususnya untuk pemisahan dekomposisi regional dan sektoral. Asra 1989 menggunakan data SUSENAS tahun 1969-1981 dan menguji kembali tren ketimpangan dari 1969-1981 dengan melakukan penyesuaian ukuran-ukuran standard ketimpangan untuk pengaruh perubahan inflasi pada kelompok pengeluaran yang berbeda-beda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jika penyesuaian tersebut dilakukan, ketimpangan di Indonesia sesungguhnya naik pada 1969-1970 dan 1976 tetapi setelahnya turun kembali sampai tahun 1981. Selain itu menemukan bahwa penyesuaian harga bukan hanya berpengaruh pada besaran nilai ketimpangan dalam salah satu periode, tetapi juga yang lebih penting, penyesuaian harga tersebut membalik tren ketimpangan yang ditunjukkan oleh indeks-indeks ketimpangan harga berlaku. Dengan menggunakan teknik dekomposisi ketimpangan Theil terhadap data pengeluaran rumah tangga SUSENAS untuk tahun 1987, 1990 dan 1993, Akita dan Lukman 1999 menemukan bahwa disparitas kota-desa adalah sebesar 22 persen sampai 24 persen dari total ketimpangan nasional, sedangkan disparitas antar provinsi adalah sebesar 12 persen sampai 14 persen dari total ketimpangan antara rumah tangga perkotaan dan 7 persen sampai 8 persen antara rumah tangga perdesaan. Kurva Kuznets yang dibuat berdasarkan data SUSENAS tahun 1993 menunjukkan nilai ketimpangan tertinggi sebesar 0,27 menggunakan indeks Theil T jika andil rumah angga perkotaan mencapai 53,2 persen; andil ini lebih besar dari pada angka aktual urbanisasi sebesar 32 persen. Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Akita et al 1999 menggunakan teknik dekomposisi Theil terhadap data pengeluaran rumah tangga dari data SUSENAS tahun 1987, 1990 dan 1993 untuk menguji faktor-faktor yang ditengarai mempengaruhi ketimpangan di Indonesia, seperti lokasi desakota, provinsi, usia, pendidikan, jenis kelamin dan ukuran rumah tangga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang tidak signifikan dalam menjelaskan ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Temuan- temuan lainnya dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan intra provinsi adalah lebih besar dibanding ketimpangan antar provinsi, dan ketimpangan pengeluaran kota-desa adalah sebesar 22 persen sampai 24 persen dari total ketimpangan. Lebih jauh, tingkat ketimpangan perkotaan secara kontinyu semakin besar selama periode penelitian. Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa pendidikan merupakan determinan yang signifikan dari ketimpangan pengeluaran, karena komponen antar tingkat pendidikan memberikan kontribusi sebesar 30 persen sampai 33 persen terhadap total ketimpangan. Akita dan Szeto 2000 menguji pengaruh program Inpres Desa Tertinggal IDT 1994-1996 di Indonesia terhadap perubahan ketimpangan intra-provinsi antara tahun 1993 dan 1996. Melalui analisa regresi, mereka menemukan bahwa dana IDT per kapita per provinsi memilki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan ketimpangan pengeluaran intra provinsi antara 1993 dan 1996. Hasil yang sama diperoleh jika perubahan andil terendah sebesar 30 persen dari jumlah populasi dari tahun1993-1996 digunakan sebagai dependent variable. Beberapa penelitian juga menggunakan data SUSENAS untuk menguji tren ketimpangan selama krisis finansial yang terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1996 dan 1999 dan data mini SUSENAS tahun 1998, Said dan Widyanti 2001 menemukan penurunan ketimpangan selama masa krisis baik untuk daerah perkotaaan maupun perdesaan seperti yang diukur oleh koefisien Gini dan indeks-indeks Theil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan ketimpangan diantara populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat berbeda dari perubahan ketimpangan dalam populasi keseluruhan. Pada kenyataannya, Koefisien Gini dan indeks Theil menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan populasi yang berada di bawah garis kemiskinan sesungguhnya meningkat selama masa krisis. Penurunan ketimpangan selama masa krisis juga ditemukan oleh Kadarmanto dan Kamiya 2005. Dengan menggunakan data konsumsi nominal SUSENAS, hasil dari penelitiannya adalah bahwa ketimpangan menurun pada tahun 1999 setelah meningkat tajam dari tahun 1990-1996. Selain itu juga ditemukan bahwa ketimpangan kembali naik pada tahun 2002. Lebih dari pada itu, penurunan ketimpangan selama masa krisis juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryadarma et al. 2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan keseluruhan menurun selama masa krisis, tetapi sesungguhnya pada populasi yang berada di bawah garis kemiskinan ketimpangannya adalah meningkat. Namun demikian, penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya karena penelitian ini mempertimbangkan perbedaan harga antara daerah yang dilakukan dengan cara merubah pengeluaran konsumsi nominal menjadi pengeluaran konsumsi riil menggunakan garis kemiskinan regional sebagai deflatornya. Dengan menggunakan data PDRB provinsi, Akita dan Lukman 1995 menemukan bahwa ketimpangan antar provinsi yang diukur dengan menggunakan koefisien variasi tertimbang dengan menggunakan PDRB provinsi non- pertambangan per kapita adalah sangat stabil antara tahun 1975 dan 1992 meskipun pada saat itu terjadi perubahan struktur ekonomi yang cukup signifikan. Banyak penelitian telah menguji dampak krisis ekonomi terhadap ketimpangan dengan menggunakan data SUSENAS. Dengan menggunakan data PDRB kabupaten dan data kependudukan dan kemudian dengan menggunakan metode dekomposisi two-stage nested, Akita dan Alisjahbana 2002 menyimpulkan bahwa selama masa krisis, secara keseluruhan ketimpangan pendapatan seperti yang ditunjukkan indeks Theil menurun dari 0,287 di tahun 1997 menjadi 0,266 di tahun 1998, yang mana setara dengan tingkat ketimpangan pada tahun 1993-1994. Tetapi selama masa pertumbuhan yang tinggi, ketimpangan yang diukur menggunakan indeks Theil naik secara signifikan dari 0,262 di tahun 1993 menjadi 0,286 di tahun 1997. Penemuan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tjiptoherjanto dan Remi 2001. Dengan menggunakan indeks-indeks Theil T dan Theil L, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketimpangan menurun sejak tahun 1996-1998, suatu tren yang sangat jelas terlihat di daerah perkotaan dibanding di daerah perdesaan. Tetapi suatu penelitian yang dilakukan oleh Skoufias et al 2000 menemukan trend ketimpangan pendapatan yang berbeda selam masa krisis: dengan menggunakan data hasil survey 100 desa dan menggunakan deflator rumah tangga spesifik, mereka menghitung koefisien Gini dan menemukan ketimpangan meningkat dari 0,283 di tahun 1997 menjadi 0,304 di tahun 1998. Peningkatan ini dipicu oleh peningkatan ketimpangan di daerah perdesaan dibanding daerah perkotaan.

2.4. Kerangka Pemikiran