c. Penguasa yang berwenang, berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada
subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakat. unsur yang ketiga ini memang mengundang
pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian,
secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbukti sebagai denda penalty yang diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atau
peraturan.
4. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana a. Menurut Waktu
1. Asas Legalitas
28
Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, prinsip hukum Romawi memperlihatakan wajah tatanan hukum yang individualistis, sedangkan dalam
bidang politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu.
29
Pada zaman itu hukum pidana sebagian besar tidak tertulios sehingga kekeuasaan raja yang
sangat absolut dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenang-wenang. Proses pengadilan berjalan tidak fair karena hukum ditetapkan menurut
perasaan hukum hakim yang mengadili.
30
28
Asas legalitas merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam Hukum Acara Pidana. Berdasarkan asas legalitas, maka semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan
ketentuan hukum dan undang-undang, sehingga jajaran penegak hukum tidak dibenarkan bertindak diluar ketentuan hukum dan melaklukan tindakan sewenang-wenang. lihat M. Yahya Harahap
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cet.11, Sinar Grafika,Jakarta, 2009, hlm,36..
29
John Gillisen dan Frist Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 177.
30
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat yang bersamaan muncul para ahli pikir seperti Montesquieu dan Rousseau yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undang-
undang tertulis. Pasca Revolusi Prancis struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah, antara
kekuasaan negara dengan individu.
31
Asas legalitas pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droit de L’homme et du citoyen 1789, sebuah undang-undang yang keluar
pada tahun pecahnya Revolusi Prancis. Selanjutnya Napoleon Bonaparte memasukkan asas legalitas dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal
1 WvS Nederland 1881 dan pasal 1 WvSNI 1918. Pasal 1 ayat 1 KUHP mengatur asas legalitas sebagai berikut:
32
a. Suatu tindak pidana harus dirumuskandisebutkan dala peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa perbuatan seseorang yang tidak
tercantum dalam un dang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat “Tiada satu berperbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Anselm vonb Feurbach dalam bukunya Lehrbuch des
peinlichen Recht 1801 merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena praevia lege poenali” tidak ada tindak
pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang pidana yang mendahuluiyang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang
dicetuskannya.
Konsekuensi asas legalitas formil
31
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2016, hlm. 63.
32
Ahmad Bahiej, “Kekuatan Berlakunya Hukum Pidana Indonesia Menurut waktu dan Perkembangannya dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”,
http:kubuskecil.blogspot.com20212kekuatan-berlakunya-hukum-pidana. hal. 1. Diakses
tanggal 24 Mei 2016 pukul 16.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dipidana dan dilarang untuk melakuykan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.
b. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana, yaitu bahwa aturan pidana tidak boleh berlaku surut retro aktif.
Yang menjadi dasar dari hal ini adalah: 1. Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan
penguasa. 2. Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari Anselm von
Feurbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruh jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan
ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya itu akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya.
Menurut asas legalitas formil, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam telah ditentukan dengan aturan pidana.Hal ini menjadi masalah,
jika menurut hukum adat masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang menurut mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan
dengan tidak dicantumkan didalam KUHP.Dalam sistem peradilan di Indonesia hakim sangat diharapkan untuk memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
Universitas Sumatera Utara
masyarakatsebagimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
33
b. Menurut Tempat
Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis, artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun
juga berdasar asas legalitas materil, yaitu menurut hukum yang hiduptidak tertulishukum adat.Artinya suatu perbuatan menurut hukum yang
hidupadat dianggap sebagai tindak pidana, walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetapi dapat dianggap sewbagai tindak
pidana.
Batas berlakunya hukum pidana menurut tempat diatur didalam Pasal 2-9 KUHP. Ajaran berlakunya hukum pidana menurut tempat merupakan hal
yang penting, karena dengan ajaran ini dapat diketahui: 1. Sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu
negara, apabila terjadi perbuatan pidana; 2. Bilamana negara berhak menuntut seseorang atas suatu perbuatan pidana
yang dilakukan.
34
Berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat dapat dibagi atas empat asas, yaitu:
35
33
Pasal 5 ayat 1 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
34
Satochid Kartanegara, Dictaat Hukum Pidana I jilid IV, Disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hlm. 132.
35
Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
a. Asas teritorial territorialiteitsbeginsel; b. Asas personal personaliteitsbeginsel;
c. Asas perlindungan atau nasional yang pasif bescermingsbeginsel atau passief nationliteitsbeginsel; dan
d. Asas universal universaliteitsbeginsel Pompe dalam Bambang Poernomo, menyatakan bahwa yang
mendasari sifat hukum pidana adalah melindungi, maka asas perlindungan menjadi sumber dari semua asas-asas, oleh karena itu ke empat asas itu dapat
dipersatukan menjadi satu asas perlindungan untuk kepentingan dan kewibawaan dari setiap subjek hukum yang harus dilindungi.
36
1. Asas teritorial territorialiteitsbeginsel
37
Asas teritorial merupakan asas yang penting sebagai dasar utama dari kedaulatan hukum, sedangkan asas-asas yang lainnya dipandang sebagi
pengecualian yang bersifat perluasan dari asas ini. Asas teritorial dianut oleh Indonesia dan disebutkan dalam pasal 2 dan
3 KUHP. Dalam pasal 2, yang menjadi patokan adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di wilayah itu. Artinya,
siapapun baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka diberlakukan hukum pidana
Indonesia.
38
36
Bambang Poernomo, Op.Cit, hlm.58.
37
Menurut Moeljanto, asas ini diartikan perundang-undangan hukum pidana suatu negara berlaku bagi semua orang yang melakukan perbuatan pidana di negara tersebut, baik oleh warga
negaranya sendiri maupun warga negara asing. Lihat Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, hlm. 38.
38
Bambang Poernomo, Op. Cit, hlm. 59.
Satochid
Universitas Sumatera Utara
Kertanegara,
39
Berdasarkan asas teritorialitas, maka perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah
negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun orang asing. Berlakunya undang-undang hukum pidana dititikberatkan pada
“tempat” perbuatan diwilayah negara Indonesia dan tidak mensyaratkan bahwa si pembuat harus berada di dalam wilayah, tetapi cukup dengan bersalah telah
melakukan perbuatan pidana yang “terjadi” di dalam wilayah negara Indonesia.
menyebutkan bahwa dasar hukum rechtground dari asas teritorialitas adalah de souvereniteit van de staat kedaulatan negara.
40
Pasal 3 KUHP kemudian memperluas berlakunya asas teritorial dengan memandang kendaraan airperahu vaartuig sebagai ruang berlakunya
hukum pidana. Pasal ini tidak memperluas wilayah Indonesia, arti harafiah vaartuig adalah segala sesuatau yang dapat berlayar, yang dapat bergerak
diatas air. Namun berdasrkan hukum Internasional, kendaraan air yang dapat diberlakukan asas teritorial ini adalah kapal perang dan kapal dagang laut
terbuka yang diberlakukan ius passagii innoxii ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai diwilayah laut negara lain. Pasal 3 kemudian
diubah dengan keluarnya UU Nomor 4 Tahun 1976, ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah
39
Satochid Kertanegara, Op. Cit, hlm. 144.
40
Bambang Poernomo, Op. Cit, hlm. 58.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
41
2. Asas personal personaliteitsbeginsel