58
2. Adanya proses lamaran atau meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua
secara baik-baik yang dalam masyarakat Karo disebut dengan “nungkuni” dan bukan melalui “nangkih”.
3. Tidak melanggar aturan atau norma adat yang ada di dalam masyarakat
yaitu tidak satu merga atau mereka yang dalam tutur orang Karo erturang.
4.3 Adat “Nangkih” Sebagai Jalan Tengah Mengatasi Perkawinan di Desa Suka Dame
Nangkih merupakan jalan tengah mengatasi perkawinan yang mendapatkan hambatan dalam masyarakat karo, khususnya di desa Suka Dame, Kecamatan
Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Adapun mereka yang melakukan nangkih adalah mereka yang bukan impal namun karena saling mencintai dan ingin menikah
tetapi mendapat halangan dari pihak luar sehingga memilih jalan nangkih agar dapat bersatu, karena dalam adat karo ketika sudah ada campur tangan dari anak beru
kedua belah pihak perkawinan harus terlaksana, seperti yang di utarakan oleh Bapak Persadan Sinulingga 63 Tahun bahwa:
“Dalam masyarakat Karo, mereka yang melakukan nangkih adalah mereka yang gak harus dalam adat bukan impal dan mereka yang
mendapat hambatan dari luar karena tidak direstui oleh orang tua sehingga mereka pergi ke rumah anak beru, ngendesken dan anak beru
membuat jalan agar mereka dapat dengan segera menikah.”
Nangkih dalam perkawinan atau pernikahan masyarakat Karo diartikan sebagai seorang laki-laki yang membawakan seorang perempuan yang disukai atau idaman
hatinya ke rumah anak beru pihak laki-laki untuk segera dinikahkan. Nangkih merupakan jalan pintas untuk mereka agar dapat dinikahkan dan diterima oleh orang
tua mereka walaupun sebelumnya tidak mendapat restu dari orang tua. Dimana
Universitas Sumatera Utara
59
kondisi yang terjadi salah satu pihak orang tua atau keluarga terutama dari si perempuan tidak menyetujui perkawinan dua belah pihak, sedangkan laki-laki dan
perempuan sudah bulat hatinya untuk melangsungkan pernikahan. Dalam sejarahnya, nangkih merupakan bagian dari tradisi masyarakat Karo dan sudah sejak
zaman dahulu, sejarah nangkih tidak dapat dituliskan dalam bentuk tahun karena nangkih sudah ada jauh jauh lamanya, dahulu kala dan sejak zaman nenek moyang
orang karo, yang telah diwariskan secara turum temurun dari satu generasi ke generasi lainnya, dan tidak diketahui orang karo sekarang sudah mencapai generasi
ke berapa dari nenek moyangnya. Seorang laki-laki yang membawa perempuan ke keluarganya atau ke rumah
anak beru bibinya belum tentu dikatakan nangkih jika laki-laki mengajak perempuan ke tempat keluarganya hanya untuk mengenal keluarganya atau bermain
ke daerah tempat tinggalnya. Seseorang dikatakan nangkih jika pihak laki-laki dan perempuan sudah melakukan pembicaraan ke arah perkawinan dan sudah ada
kesepakatan dari mereka berdua untuk menikah. Setelah ada kesepakatan bersama itu, laki-laki kemudian mengajak perempuan ke tempat keluarganya dengan tujuan
agar mereka dapat segera menikah. Perempuan di sini menyetujuinya dan mengikuti laki-laki ke rumah keluarganya untuk mengatakan keinginan mereka untuk segera
menikah ke pihak anak beru dari laki-laki. Inilah yang di sebut dengan nangkih dalam masyarakat karo.
Adapun nangkih ini ada dua jenisnya yaitu: nangkih yang di arihkan terlebih dahulu nangkih yang diketahui orang tua dan nangkih yang kiam atau tanpa
diarihkan nangkih yang tidak diketahui orang tua. Di arihken di sini artinya dibicarakan terlebih dahulu kepada orangtua terutama dari orang tua perempuan.
Universitas Sumatera Utara
60
Dimana nangkih ini dengan sengaja dilakukan atau istilah karo nya dalam masyarakat Suka Dame adalah nangkih yang dinangkih-nangkihkan, maksudnya
dipersiapkan atau diatur oleh orang tua kedua belah pihak, cara ini diambil secara rahasia. Nangkih seperti ini sering terjadi di zaman dahulu. Orang tua meyuruh dan
mengatur anaknya untuk melakukan nangkih dengan mengikuti laki-laki ke keluarga dari pihak laki-laki untuk dinikahkan. Orang tua dari pihak perempuan di sini pura-
pura tidak tahu jika anaknya dibawa nangkih dan seakan terkejut ketika nanti ada orang dari pihak laki-laki yang menyerahkan penading kepada mereka. Dimana ini
merupakan versi pertama seseorang melakukan nangkih dalam masyarakat Karo. Nangkih ini terjadi disebabkan mereka bukan harus, bukan impal.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah alasan dilakukan nangkih yang dinangkih- nangkihkan :
a. Calon mempelai laki-laki tidak meminang impalnya sebagai calon
mempelai wanita. Di zaman dahulu, bila seorang laki-laki meminang perempuan lain yang bukan impalnya, padahal dia masih memiliki impal
putri mama, bahasa Indonesianya putri paman yang masih gadis dan belum menikah dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan tidak sopan,
sehingga bila terjadi dapat memicu terjadi perpecahan di dalam keluarga. Pernikahan antar impal dalam masyarakat Karo sebenarnya bertujuan baik,
agar ikatan keluarga tidak menjauh atau hilang. Namun banyak pihak laki- laki atau perempuan tidak tertarik dengan impalnya tetapi lebih tertarik
dengan orang lain yang bukan impalnya tetapi masih dapat menikah, sehingga jalan pintasnya orang tua menyuruh anak laki-lakinya untuk
melakukan nangkih dengan membawa calon mempelai wanita ke rumah
Universitas Sumatera Utara
61
anak beru adik perempuan ayahnya, tetapi yang sudah berkeluarga selain supaya mereka dapat menikah, juga untuk meredam kemarahan pihak
kalimbubu agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga. b.
Banyaknya saudara yang ingin menikahi gadis tersebut calon mempelai perempuan adalah sama-sama impal, dimana dalam masyarakat Karo
seseorang dapat memiliki impal lebih dari satu bisa lima bahkan sepuluh tergantung jumlah anak laki-laki dari bibi kandungnya dan jumlah anak
perempuan dari mama kandungnya, sehingga hampir sama dengan yang pertama dimana demi menjaga agar tidak terjadi perpecahan keluarga,
maka dengan sembunyi-sembunyi diatur agar laki-laki dan perempuan yang saling suka melakukan nangkih. Artinya di sini nangkih dilakukan
untuk menghindarkan timbulnya sengketa batin antara orang tua dengan saudara-saudara sepemeren ibu antara dua atau lebih pemuda adalah
bersaudara yang kebetulan sama-sama memiliki keinginan atau berminat mempersunting perempuan yang menjadi impal dari anak mereka. Nangkih
di sini dapat berfungsi meredam konflik atau menghindari terjadinya perpecahan dalam keluarga.
Seperti yang di utarakan sebelumnya bahwa dalam masyarakat Karo, pada umumnya orang tua menghendaki agar anaknya, apabila sudah dewasa kawin atau
menikah dengan impalnya. Tujuannya adalah supaya hubungan kekerabatan akan tetap terjaga dan semakin kuat. Namun hal yang diharapkan itu tidak selalu terjadi,
sehingga dalam perkembangannya masyarakat sudah memperbolehkan seseorang menikah bukan dengan impalnya dan sudah dianggap biasa. Dimana terjadi
pergeseran karena sudah banyak ditemui orang yang tidak menikah dengan
Universitas Sumatera Utara
62
impalnya hidup dengan baik dan rukun dibandingkan mereka yang menikah dengan impal bahkan bertahan sampai maut memisahkan sehingga perkawinan dengan
bukan impal sudah biasa terjadi di dalam masyarakat. Artinya perkawinan sudah dapat dilakukan bagi pria dan gadis yang tidak ada hubungan keluarganya secara
langsung, tetapi tidak terlarang untuk menjadi suami istri, dimana untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka para pihak harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, yaitu Darwan Prinst, 2004: 75: a.
Tidak berasal dari satu merga, kecuali untuk merga perangin-angin dan sembiring.
Sistem perkawinan pada merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan.
Pada merga-merga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu mereka yang berasal dari sub-merga Ginting, Karo-Karo, dan
Tarigan dilarang menikah di dalam merga-nya sendiri, tetapi mereka diharuskan menikah dengan orang dari luar merga-nya. Misalnya
antara Ginting dengan Karo-Karo, atau Ginting dengan Sembiring.
Sistem perkawinan pada merga Perangin-angin dan Sembiring Sistem yang berlaku pada kedua merga ini adalah eleutherogami
terbatas. Letak keterbatasannya adalah seorang dari merga tertentu Perangin-angin atau Sembiring diperbolehkan menikah dengan orang
tertentu dari merga yang sama asal submarganya lineagea berbeda. Misalnya dalam merga Perangin-angin, antara Bangun dan Sebayang
atau Kuta Buluh dan Sebayang. Demikian juga dengan Sembiring, antara Brahmana dan Meliala, antara Pelawi dan Depari, dan
sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
63
b. Bukan mereka yang menurut adat dilarang untuk berkawin karena erturang
bersaudara, sepemeren, dan erturang impal, diman di sini mereka memiliki merga yang berbeda namun ikatan keluarga yang dekat dan bila
dalam ikatan tersebut mereka dianngap sebagai saudara, abang adik yang menurut adat tidak boleh terjadi ikatan perkawinan.
Walaupun perkawinan dengan impal sudah dianggap biasa namun nangkih yang dinangkih-nangkihkan ini tetap ada yang melakukannya dalam masyarakat
karo, khususnya di Desa Suka Dame, walaupun untuk sekarang sangat jarang ditemukan. Dalam hal ini nangkih dilakukan sebagai tahapan proses perkawinan
sebelum dilakukan pesta adatnya, dimana calon mempelai laki-laki dan perempuan berasal dari kampung yang berbeda, sehingga calon laki-laki membawa perempuan
ke kampungnya untuk dibawa kepada orang tua dan anak beru untuk memberi tahu maksud dan tujuannya namun dalam hal ini sudah diketahui dan mendapatkan restu
dari orang tua perempuan sebelumnya saat anak perempuannya akan dibawa nangkih. Nangkih ini disebut sebagai nangkih yang diarihkan terlebih dahulu.
Adapun alasan nangkih ini dilakukan, karena nangkih ini serasi dalam keluarga mereka dan memang sudah dilakukan dalam keluarga turun temurun. Serasi
maksudnya adalah bahwa memang di dalam keluarganya mereka yang ingin menikah harus melalui tahapan nangkih agar kehidupan keluarganya nantinya baik
dan harmonis, karena dalam keluarga mereka ada kejadian justru keluarga mereka yang tidak melakukan nangkih kehidupan keluarganya tidak harmonis bahkan ada
yang bercerai atau bisa jadi salah satu pasangannya meninggal dunia. Nangkih versi kedua dalam masyarakat karo adalah nangkih yang kiam tanpa
diarihkan terlebih dahulu nangkih yang tidak diketahui orang tua. Dalam hal ini
Universitas Sumatera Utara
64
nangkih ini dapat diartikan dengan membawa lari anak orang, dikarenakan laki-laki membawa lari perempuan ke keluarganya untuk dinikahkan tanpa sepengetahuan
orang tua atau keluarga dari pihak perempuan. Perempuan dibawa lari di sini dalah dengan maksud itikad baik-baik bukan melarikan atau menculik secara liar karena
bisa saja pernikahan mereka tidak akan direstui sehingga mereka melakukan jalan pintas dengan nangkih. Adapun nangkih tanpa sepengetahuan orang tua ini terjadi
karena salah satu atau kedua orangtua calon tidak menyetujui cinta-kasih, mereka dilanjutkan ke pelaminan dan kedua calon mempelai juga tidak mampu lagi
meyakinkan orang tuanya masing-masing agar dapat menerima calon kela menantu laki-laki dan calon permen menantu perempuan atau juga karena mereka tahu
akan ditentang dan takut bila diminta secara baik-baik tidak jadi maka mereka melakukan nangkih Sarjani Tarigan, 2009:110.
Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab cinta kasih mereka tidak mendapat restu dari salah satu atau kedua belah pihak orang tua adalah sebagai
bertikut: 1.
Sosio-ekonomi kedua belah pihak keluarga, maksudnya adalah adanya perbedaan status dan kedudukan dalam masyarakat yang dikaji dari segi
ekonominya dimana adanya perbedaan kelas yang satu termasuk kategori orang kaya dan beruang dan yang satu lagi termasuk orang miskin dan
hidup pas-pasan. Oleh karena itu orang tua tidak menyetujui anaknya menikah karena bisa jadi si laki-laki juga tidak bisa membuat pesta
perkawinan yang mewah untuk anaknya sesuai permintaan orang tua perempuan.
Universitas Sumatera Utara
65
2. Melanggar aturan adat, dimana dalam masyarakat karo perkawinan dengan
sesama marga dan turang dianggap tabu sehingga mereka melakukan nangkih sebagai jalan keluarnya agar mereka dapat menikah. Dalam hal ini
mereka harus siap menerima sanksi atau hukuman dari keluarga dan masyarakat sekitarnya.
3. Budaya di sini maksudnya adalah adanya perbedaan kebudayaan dimana
pihak perempuan bukan berasal dari suku karo tetapi berasal dari luar suku karo seperti batak toba, simalungun dan lain-lain yang memilki beberapa
perbedaan budaya dengan orang karo. Dimana kemungkinan orang tua laki-laki tidak mau menerima calon permennya menantunya yang bukan
berasal dari satu suku yaitu suku Karo sehingga jalam pintasnya si laki-laki membawa perempuan nangkih.
4. Agama di sini maksudnya adalah adanya perbedaan agama yang dianut
oleh kedua pihak yaitu laki-laki dan perempuan sehingga orang tua atau kelarganya tidak menyetujui perkawinan mereka, dimana salah satu dari
mereka harus mengalah dan ikut agama pasangannya agar mereka dapat segera menikah.
5. Umur dimana mereka yang melakukan nangkih berada di umur yang
sangat muda untuk menikah yaitu berada di usia sekolah. Jika mereka meminta izin untuk menikah kepada orang tua tidak akan disetujui karena
dianggap belum matang. Oleh sebab itu mereka melakukan nangkih untuk mendapat persetujuan dari orang tuanya.
Nangkih yang tidak diketahui orang tua dalam masyarakat karo, khusunya di desa Suka Dame, terdapat Satu versi lagi seperti yang dikatakan Bapak Persadan
Universitas Sumatera Utara
66
Sinulingga 63 Tahun yaitu nangkih yang dilakukan karena mereka ingin segera menikah tetapi terhambat di faktor biaya penyelenggaraan perkawinan, dimana
orang tua dalam hal ini merestui hubungan kasih mereka berlajut ke pelaminan namun karena terhambat di faktor biaya perkawinan mereka tidak dapat segera
melakukan pernikahan Dalam sistem penyelenggaraan perkawinan adat karo, pembiayaan menjadi tanggung jawab pihak orang tua calon mempelai laki-laki.
Biasanya bagi calon mempelai laki-laki, ketika mengetahui orang tuanya tidak memiliki biaya untuk melangsungkan pesta perkawinan lebih memilih mencari jalan
pintas dengan cara nangkih. Dalam kaitan ini, kadang kala juga terjadi konspirasi antara orang tua dengan putranya, karena ketiadaan biaya secara langsung, orang tua
menyuruh putranya membawa nangkih calon mepelai wanita dengan tujuan untuk menekan biaya perkawinan.
Nangkih memang jalan tengah mengatasi perkawinan karena dengan jalan nangkih mereka dan bersatu dan perkawinan mereka dapat terlaksana. Masyarakat
karo di desa Suka Dame melihat nangkih sebagai suatu tahapan awal yang dipilih sesorang menuju jenjang perkawinan, dimana keberhasilan nangkih sampai ke
jenjang perkawinan tergantung dari niat si perempuan untuk menikah dengan laki- laki idamannya tersebut. Keluarga dari pihak perempuan yang tidak menyetujui
pernikahan anaknya tidak bisa menghentikan pernikahan jika si perempuan tidak ingin berhenti atau ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan. Dimana ketika
perempuan sudah nangkih dan orang tuanya dengan anak berunya datang dan membujuknya pulang dan si anak perempuan menyetujuinya maka pernikahan dapat
batal dilaksanakan seperti yang diungkapkan ibu Malem Pagi usia 48 tahun : “Ketika si perempuan mengikuti si laki-laki nangkih ke keluarga laki-
laki, si perempuan dapat membatalkan pernikahan mereka ketika
Universitas Sumatera Utara
67
mereka masih berada di tahap nangkih, namun untuk laki-laki tidak bisa karena dia sudah dianggap membawa lari anak orang ketika dia ingin
membatalkan berarti dia lepas tanggung jawab sehingga dapat diadukan atau dilaporkan kepada pihak berwajib. Jadi jika si perempuan ternyata
tidak ingin melanjutkan pernikahan maka pernikahan dapat dibatalkan.namun itu jika belum masuk ke tahapan pudun atau mbah
belo selambar, tetapi jika sudah masuk ke pudun dan perempuan ingin membatalkan maka pihak perempuan harus membayar seluruh
pengeluaran dari pihak laki-laki dua kali lipat. ”
Adapun dalam proses nangkih terdapat 2 tahapan besar yang dilakukan sampai dengan sekarang di desa Suka Dame, yaitu:
b. Ngendesken, dimana proses dalam nangkih ini adalah calon mempelai laki-
laki membawa calon mempelai perempuan ke rumah anak beru guna ngendesken menyerahkan. Dalam konteks adat Karo, ngendesken
berarti calon mempelai laki-laki menyerahkan segala masalah yang sedang dihadapinya, yakni membawa anak gadis orang lain tanpa sepengetahuan
orang tuanya. Dalam proses nangkih ini, biasanya terjadi kekalutan khususnya bagi orang tua calon mempelai wanita, karena kepergian
putrinya dengan calon kela menantu laki-laki tidak diketahuinya. Dimana dalam tahapan ini, anak beru menjadi jalan atau orang yang
memberitahukan sura-sura atau keinginan kedua orang tersebut untuk dapat menikah kepada orang tua dari pihak laki-laki dan orang tua dari pihak
perempuan. Sebelum menemui kedua orang tua mereka, terlebih dahulu anak beru menanyai seputar keinginan mereka untuk menikah apakah
tekad mereka sudah bulat, di sini yang paling ditanya adalah si perempuan apakah dia sudah siap untuk menikah. Baru ketika mereka sudah kuat
keinginannya anak beru bertemu dengan orang tua laki-laki terlebih dahulu
Universitas Sumatera Utara
68
untuk memberitahukan bahwa anaknya sudah nangkih dengan membawa perempuan ke rumah.
c. Nehken Kata, dapat diartikan menyampaikan informasi tentang keberadaan
calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki kepada orang tua si perempuan. Dimana anak beru dari pihak laki-laki akan mendatangi
rumah orang tua perempuan dengan membawa uis mekapal warna mbiring kain tebal warna hitam yang merupakan kain daerah sebagai penading
atau tanda bahwa anak perempuannya sudah aman bersama mereka dan sebentar lagi dilamar atau dinikahan oleh keluarga calon mempelai laki-
laki. Dalam hal ini anak beru laki-laki harus mempersiapkan argumentasi dan sebagainya dalam menghadapi “segala cuaca”, dimana orang tua si
perempuan ungkin tidak senang mengetahui anaknya melakukan nangkih.
Seperti yang dikatakan salah satu informan bahwa seorang perempuan dapat membatalkan perkawinan walaupun dia sudah nangkih. Namun biasanya hal ini
jarang terjadi karena umumnya seseorang yang melakukan nangkih terutama perempuan dianggap tidak suci lagi atau sudah melket dan dipakai oleh laki-laki
karena sudah kemana pun sama. Seperti yang dikatakan oleh nenek Teguh br. Ginting usia 86 tahun bahwa:
“Seseorang yang telah melakukan nangkih tidak mungkin lagi tidak jadi menikah karena mereka sudah bersama dan tidak ada jaminan mereka
tidak melakukan perbuatan tersebut karena si perempuan dan laki-laki sudah tinggal besama dalam satu atap dalam beberapa malam dan
mereka kemana pun sudah bersama atau berdua-duaan.”
Hal ini jugalah yang menjadi kemelutan orang tua dari kedua pihak terutama pihak perempuan terpaksa sudah menyetujui dan menerima lamaran dari calon
mempelai laki-laki karena ditakutkan bila tidak disetujui ternyata anaknya sudah
Universitas Sumatera Utara
69
berisi atau hamil sehingga jarang sekali orang yang nangkih tidak jadi menikah. Namun mereka yang melakukan nangkih harus siap dengan konsekuensi yang akan
mereka terima karena mereka mungkin akan menerima sanksi atau hukuman. Sanksi atau hukuman yang mereka terima tergantung dari kedua orang tua kedua belah
pihak. Adapun sanksi yang paling berat sampai ringan mereka terima adalah sebagai berikut:
1. Mereka bisa tidask dianggap anak lagi oleh orang tua mereka dan diusir
dari rumah. 2.
Mereka masih diterima dalam keluarga, akan tetapi tidak dihargai dan perlakuan yang diberikan berbeda dengan saudara mereka yang juga sudah
menikah. 3.
Jika ada permasalahan di dalam keluarganya, orang tua tidak mau ikut campur atau membantu menengahi permaslahan anaknya. Hal itu dianggap
orang tua sebagai karma karena tidak mendenggarkan nasehat orang tua sebelumnya.
4. Mendapat sidiran atau cemohan dari pihak keluarga karena melakukan
nangkih.
Di zaman dahulu seseorang yang melakukan nangkih, juga melakukan prosesi seperti adat yang dijalani oleh kedua mempelai yaitu :
1. Dihari pertama mempelai laki-laki dan perempuan datang ke rumah anak
beru dan memberitahukan maksud kedatangannya ke anak beru, maka mereka berdua akan disuruh melakukan “encekuh busan”. Encekuh busan
adalah memasukan tangan ke dalam tempat menyimpan beras yang ada di
Universitas Sumatera Utara
70
rumah, dimana memiliki arti atau makna agar kelak sesudah berumah tangga mereka bekerja keras untuk mencari beras, demi kehidupan mereka
dan keturunannya. 2.
Setelah itu mereka lalu duduk di tikar putih yang telah disediakan, dan disuguhkan makanan seperti cimpa atau bohan rires makanan khas orang
karo, dimana memiliki arti atau makna agar nanti di dalam berumah tangga mereka memperoleh kesenangan hidup.
3. Di malam pertama, kepada perempuan diikatkan pada ujung kainnya “serpi
mehuli” mata uang gulden. Keduanya harus mandi ke sungai dipagi hari kira-kira pukul 04.00 Wib pagi-pagi.
4. Keesokan harinya, dihujuklah anak beru pihak laki-laki memberi kabar
kepada orang tua pihak perempuan bahwa anaknya telah melakukan “Nangkih” dan sekarang berada di rumah pihak laki-laki.
5. Acaranya biasanya diadatkan secara tradisional selama 4 hari, dan selama
empat hari tersebut kedua mempelai tidak boleh menyebrangi sungai dan melihat gunung. Maknanya untuk menambah kemesraan hubungan
silaturahmi antara keduanya. 6.
Pada hari keempat setelah “Nangkih”, biasanya orang tua pihak perempuan datang melihat anaknya yang sedang “Nangkih” dengan membawa nasi
beserta lauk pauknya. Tujuannya adalah menjaga perasaan si anak serta melihat kondisi kehidupan si priakemapanan hidupnya.
Adapun tahapan nangkih zaman dulu tidak semua lagi dilaksanakan oleh masyarakat di desa Suka Dame, semua tergantung kesepakatan namun untuk dua
tahapan besar nangkih yang disebutkan sebelumnya masih dipertahankan sampai
Universitas Sumatera Utara
71
dengan sekarang. Sama dengan masyarakat Karo pada umumnya, mereka yang telah nangkih di desa Suka Dame akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu pudun atau
lebih dikenal dengan maba belo selambar. Maba belo selambar biasanya dilakukan di rumah orang tua si perempuan atau di jambur atau los, dimana keluarga pria dan
anak beru dengan membawa makanan dilengkapi dengan kapur sirih dan rokok dan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama. Biasanya pudun ini dilaksanakan
di hari ke- 4 sampai 7 malam setelah nangkih sesuai dengan kesepakatan kedua pihak. Adapun ketika pudun keluarga pihak laki-laki dan si perempuan akan
membawa luah ke pada pihak perempuan berupa cimpa atau rires dimana luah ini akan dimakan terlebih dahulu di rumah perempuan secara bersama-sama sebelum
mereka pergi ke jambur untuk melakukan acara pudun. Luah yang dibawa memiliki arti jika luahnya berupa cimpa maka pesta kawinnya dilakukan dengan biasa saja,
jika rires maka pesta pernikahannya dilakukan dengan sangat meriah atau mewah dan jika luah yang dibawa adalah cimpa dan rires maka pesta pernikahannya
dilakukan secara besar-besaran dan sangat mewah. Pudun berisi acara musyawarah untuk menentukan hari pernikahan dan menuju ke jenjang lebih serius pudun bisa
dikatakan sebagai pertunangan kedua pasangan. Sama dengan masyarakat karo pada umumnya. Dalam acara pundun, sebelum dilakukan pembicaraan untuk pernikahan
kedua pasangan terlebih dahulu diberikan enam sumpit yang berisi daun sirih, kapur, pinang dan rokok, dimana ke enam sumpit itu diberikan kepada mereka yang
berperan penting dalam pembicaraan ini, yaitu: bapa dari pihak perempuan, kalimbubu biak senina, kalimbubu singalo bere-bere, perninin perkempun, anak beru
perempuan dan kalimbubu singalo ulu emas dari pihak laki-laki. Adapun fungsi dari sumpit adalah membuka pembicaraan atau musyawarah,
ketika sudah di dapat kesepakatan hari dan tanggal kerja adatnya dilaksanakan maka
Universitas Sumatera Utara
72
acara pudun selesai dan ditutup dengan acara makan bersama. Adapun jenjang dari pudun sampai ke pesta adatnya di Desa Suka Dame berkisaran satu sampai dengan
dua bulan, dimana tempat dan segala acara yang akan dilaksanakan dikerja adat sudah dibahas semuanya di dalam pudun termasuk tukor atau mahar dari
perempuan. Dalam acara ini juga dibicarakan adalah kesiapan pengantin untuk menikah, kapan waktu dan tempat akan dilakukan pesta upacara perkawinan, serta
harga tukor atau mahar yang diberikan pihak laki-laki kepada perempuan. Adapun pseta atau kerja adatnya juga akan dilaksanakan di desa si perempuan atau bisa juga
di luar desa perempuan dan laki-laki, dimana seseuai kesepakatan bersama. Jika di luar biasanya dilakukan di tempat pinggiran kota yang mudah diakses oleh kerabat.
Adapun masyarakat desa Suka Dame paling sering melakukan kerja adat di Jambur Gotong Royong atau di jambur RK yang berada di Pancur Batu.
4.4 Perkawinan pada Pasangan yang melakukan Adat “Nangkih” di Desa Suka Dame