50
formulir-formulir, diajukan tertulis kepada subjek untuk mendapatkan jawaban dan tanggapan tertulis seperlunya.
Adapun daftar kuesioner yang akan dibuat berisi tentang usia perkawinan, faktor-faktor pendukung terjadi perkawinan dini, alasan memilih menikah
dengan cara nangkih, pendapatan, kesulitan yang dihadapi dan lain-lain. Hasil pertanyaan kuesioner tersebut nantinya akan ditabulasi ke dalam
bentuk tabel sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari beberapa literatur diantaranya adalah buku-buku referensi,
dokumen, majalah, jurnal, serta internet yang dianggap relevan dengan masalah yang ingin diteliti sehingga memudahkan bagi peneliti dalam menulis laporan
penelitian.
3.5 Interpretasi Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan observasi yang
sudah dituliskan dalam cacatan lapangan, dokumen resmi, foto dan sebagainya. Setelah data tersebut dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah selanjutnya
adalah mengadakan reduksi data dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan rangkuman yang terperinci dan merujuk ke inti temuan data dengan cara menelaah
pernyataaan-pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada dalam fokus penelitian. Setelah itu, data tersebut disusun dan dikategorikan serta
Universitas Sumatera Utara
51
diinterpretasikan secara kualitatif sesuai dengan metode penelitian yang telah ditetapkan.
3.6 Jadwal Kegiatan
No Kegiatan
Bulan Ke- 1
2 3
4 5
6 7
8 9
1 Pra Observasi
√ 2
Acc Judul Penelitian √
3 Penyusunan Proposal Penelitian
√ √ √ √ 4
Seminar Desain Penelitian √
5 Revisi Proposal Penelitian
√ 6
Penelitian Lapangan √ √ √
7 Pengumpulan Data dan Interpretasi
Lapangan √ √ √ √
8 Bimbingan
√ √ √ √ 9
Penulisan Laporan Akhir √ √ √
10 Sidang Meja Hijau √
Universitas Sumatera Utara
52
BAB IV MENGENAL KONSEP “NANGKIH” PADA MASYARAKAT KARO
4.1 Sistem Perkawinan dalam Masyarakat Karo
Masyarakat karo mengenal lima marga besar merga silima yaitu Sembiring, Tarigan, Ginting, Karo-Karo dan Perangin-angin, dimana dalam perkawinan tidak
diperbolehkan orang Karo menikah dengan sesama marganya dalam karo: turangnya karena dianggap saudara sedarah sehingga dianggap tabu. Namun
terkhusus marga Sembiring, sebagian dari mereka diperbolehkan menikah sesama marga sembiring, walaupun mendapat cibiran atau sindiran dari sebagian
masyarakat karo. Dalam buku Darwan Prinst 2004 : 75 lebih dijelaskan dua sistem perkawinan
pada masyarakat Karo berdasarkan marga merga, yaitu : 1
Sistem perkawinan pada merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan. Pada merga-merga ini berlaku sistem perkawinan eksogami murni, yaitu
mereka yang berasal dari sub-merga Ginting, Karo-Karo, dan Tarigan dilarang menikah di dalam merga-nya sendiri, tetapi mereka diharuskan
menikah dengan orang dari luar merga-nya. Misalnya antara Ginting dengan Karo-Karo, atau Ginting dengan Sembiring.
2 Sistem perkawinan pada merga Perangin-angin dan Sembiring
Sistem yang berlaku pada kedua merga ini adalah eleutherogami terbatas. Letak keterbatasannya adalah seorang dari merga tertentu Perangin-angin
atau Sembiring diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari merga yang sama asal submarganya lineagea berbeda. Misalnya dalam merga
Peranginangin, antara Bangun dan Sebayang atau Kuta Buluh dan
Universitas Sumatera Utara
53
Sebayang. Demikian juga dengan Sembiring, antara Brahmana dan Meliala, antara Pelawi dan Depari, dan sebagainya.
Adapun masyarakat karo merupakan masyarakat yang menganut sistem patrilineal, dimana garis keturunan diambil dari pihak ayah laki-laki. Oleh sebab
itu, dalam perkawinan masyarakat karo, perempuan yang menikah masuk ke dalam keluarga suaminya, namun tetap bukan sesubklen semarga dengan suaminya.
Perpindahan status perempuan yang masuk ke dalam keluarga suaminya terjadi ketika pesta perkawinan adat berlangsung, dimana keluarga pihak laki-laki sebagai
Si Empo memberikan tukor mahar kepada pihak perempuan sebagai Si Sereh. Tukor atau mahar ini dikenal pula dengan istilah gantang tumba, perunjuk Mas
Kawin. Pada awalnya mas kawin ini berupa benda-benda pusaka yang dimiliki keluarga pria yang diberikan kepada keluarga wanita. Namun pada perkembangan
zaman, benda-benda pusaka menjadi sulit ditemukan sehingga wujudnya dirubah menjadi berupa uang. Adapun mas kawin hanyalah simbol dari perubahan status si
wanita dan penyerahan tanggung jawab. Oleh sebab itu, tukor atau harga ini adalah sebuah simbol yang tidak dapat disamakan dengan jual beli barang, karena akan
dianggap merendahkan keluarga si wanita. Wanita yang sudah masuk ke dalam keluarga suaminya, akan menjadi tanggungjawab suaminya dan klen suaminya.
Adapun fungsi dari perkawinan dalam masyarakat Karo, yaitu: a.
Melanjutkan hubungan kekeluargaan. b.
Menjalin suatu hubungan kekeluargaan, apabila sebelumnya kedua belah pihak keluarga belum mempunyai hubungan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
54
c. Melanjutkan keturunan, dalam hal biasanya sangat penting bagi pihak
laki-laki, karena dalam masyrakat Karo, keturunan itu berasal dari pihak laki-laki.
d. Menghindarkan berpindahnya harta warisan kepada keluarga lain.
e. Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan.
Adapun jenis-jenis perkawinan masyarakat Karo yang ada dalam adat, yaitu: 1.
Lako man Ganti tikar, adalah perkawinan dalam masyarakat Karo yang dimana laki-laki mengawini perempuan yang merupakan istri dari adik atau
abangnya yang telah meninggal dunia adik atau kakak iparnya. Namun perkawinan ini sudah tidak dilakukan lagi setelah masyarakat karo mengenal
agama. 2.
Gancih abu, adalah perkawinan dalam masyarakat karo yang terjadi karena seorang istri meninggal dunia, dimana untuk tetap langgengnya hubungan
keluarga, terlebih karena sudah ada keturunan, maka pihak suami mengawini saudara kandung dari istrinya yang sudah meninggal
3. Mindo nakan, adalah perkawinan yang mana anak yang sudah dewasa
mengawini ibu tirinya dikarenakan ayahnya sudah meninggal dunia, dimana umumnya umur sang anak dengan ibu tirinya tidak terlalu berbeda. Namun
hal ini pun sangat jarang dilakukan dan sudfah ditinggalkan masyarakat Karo.
4. Mindo lacina, adalah perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang menurut kekerabatan tutur dalam adat Karo, laki-laki memanggil nenek kepada perempuan tersebut, walaupun bisa
jadi sebenarnya umur mereka sebaya.. Dimana hubungan kekerabatan antara
Universitas Sumatera Utara
55
kedua belah pihak masih dekat, dan perkawinan dapat berlangsung dengan syarat si perempuan telah janda.
5. Merkat sinuan, adalah perkawinan yang terjadi antara laki-laki dengan putri
puang kalimbubunya, yang menurut adat tidak dibenarkan karena erturangku, tetapi karena ada pertimbangan seperti untuk mempererat
hubungan keluarga, menyambung keturunan dan lain-lain, perkawinan yang sebenarnya dilarang itu dilangsungkan juga tetapi dengan syarat semua adat
perkawinan yang ada harus dilakukan. Namun perkawinan ini pun sangat jarang tertjadi karena memang melanggar adat yang ada.
6. Cawir bulung, adalah perrkawinan anak-anak di bawah umur antara seorang
anak laki-laki dengan impal-nya. Acara peresmiannya memang agak sama dengan acara peresmian perkawinan biasa. Hal itu terjadi atas persetujuan
kedua belah pihak orang tua. Perkawinan ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perjodohan dan sakit, dimana salah satu dari anak
sering sakit dimana untuk kesembuhan anak dilakukan cawir bulung. Adapun perkawinan ini bukan menjadi jaminan kalau sudah dewasa nanti
keduanya harus menjadi suami istri. Selain itu menurut sukunya tidak semua masyarakat karo menikah dengan
suku karo sehingga dalam lingkungan etnisnya, perkawinan masyarakat karo dibagi atas dua, yaitu:
a. Pekawinan dengan etnis berklen lingkungan batak, yaitu dengan etnis
batak lain di luar masyarkat batak karo, misalnya dengan Batak Simalungun.
Universitas Sumatera Utara
56
b. Perkawinan dengan etnis di luar lingkungan batak, yaitu dengan etnis
Jawa, Minang, Melayu, Manado dan sebagainya.
4.2 Konsep Perkawinan Ideal pada Masyarakat Karo Di Desa Suka Dame