13
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pernikahan dini di Indonesia bukanlah hal yang baru karena telah ada sejak zaman dahulu, dimana pada saat itu pernikahan dini merupakan suatu hal yang
dianggap lumrah atau biasa oleh masyarakat yang hidup di awal abad 20 atau sebelumnya. Bahkan pada saat itu, banyak dijumpai orangtua yang berlomba-lomba
menjodohkan anaknya terutama perempuan di usia sangat muda untuk dinikahkan dengan orang yang menjadi pilihannya. Hal ini terjadi tidak terlepas dari budaya
patrilineal yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang cenderung mengkelas duakan perempuan, dimana perempuan hanya dianggap sebagai
pelengkap hidup laki-laki. Sehingga pada saat itu jika perempuan tidak segera menikah atau perempuan itu menikah di usia matang akan mendapat pandangan
buruk dan miring dari masyarakat sekitarnya Wismono Pandhu, 2012. Seiring perkembangan zaman, waktu dan pengetahuan yang dipengaruhi oleh
arus globalisasi yang melesat cepat dalam sepuluh tahun belakangan ini telah mengubah cara pandang sebagian besar masyarakat terutama masyarakat di
perkotaan. Dimana pernikahan dini sudah dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan mulai banyak mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak terutama dari badan
perlindungan anak karena dianggap menghancurkan hak dan masa depan anak. Seperti kasus Lutfiana Ulfah yang baru berusia 12 tahun yang menikah dengan
Pujiono Cahyo Widianto yang berusia 44 tahun pada tahun 2008 yang mendapatkan banyak sorotan dan pertentangan dari berbagai pihak Rifiani Dwi, 2011:125-127.
Universitas Sumatera Utara
14
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang sangat muda atau masih di bawah umur. Menurut Kebijakan pemerintah tentang perilaku
reproduksi manusia ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 1992 menyebutkan bahwa dalam menetapkan kebijakan upaya penyelenggara keluarga berencana, maka
perkawinan yang diizinkan bila perempuan sudah berusia 19 tahun dan laki-laki berumur 21 tahun. Walaupun begitu, di Indonesia angka statistik pernikahan usia
dini dengan pengantin berumur di bawah umur 16 tahun secara nasional mencapai seperempat, bahkan di beberapa daerah seperti Jawa Timur ada 39,43, Kalimantan
Selatan 35,48, Jambi 30,63, Jawa Barat 36, dll Landung, 2009:89. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena pernikahan dini di Indonesia cukup tinggi. Di
Sumatera Utara pernikahan dini dapat dijumpai di daerah pedesaan dan perkotaan. Menurut data BPS kota Medan tahun 2009, jumlah penduduk kota Medan pada
pertengahan tahun 2009 adalah 2.121.053 jiwa dan sebesar 30,75 atau 652.241 jiwa adalah remaja berusia 10-24 tahun dan dari sensus tahun 2010, jumlah
penduduk kota Medan naik hingga 2,5 juta jiwa. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS Sumut tahun 2010 juga menyebutkan 10 sampai 11 wanita usia
subur WUS menikah di usia 16 tahun pada 2010. Dari Kantor Kementerian Agama menyebutkan bila di tahun 2006 kasus pernikahan usia dini yang dilaporkan
sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di tahun 2007, serta melonjak lagi menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010 diperkirakan maksimal
terjadi 50 kasus perkawinan di usia dini pada remaja. Padahal usia ideal untuk perempuan menikah adalah 21-25 tahun, sedangkan
laki-laki 25-28 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut perempuan sudah berkembang dengan baik dan kuat, secara psikologis sudah matang untuk menjadi
calon orang tua untuk anak-anaknya. Sedangkan mereka yang melahirkan di usia di
Universitas Sumatera Utara
15
bawah 20 tahun akan berdampak pada kesehatan reproduksinya. Dimana perempuan hamil berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar
dibandingkan perempuan yang berusia diatas 20 tahun dan perempuan hamil yang berusia 15-19 tahun kemungkinannya dua kali lebih besar dibandingkan perempuan
yang berusia diatas 20 tahun Rifiani Dwi, 2011:126 Pernikahan dini lebih banyak terjadi di daerah pedesaan, dimana sebagian
besar dilakukan oleh kaum perempuan, sebagai dampak dari budaya patrilineal dalam masyarakat desa yang masih kuat. Berdasarkan data SUPAS 2005 Survei
Penduduk Antar Sensus, yaitu survei yang dilaksanakan BPS pada tahun-tahun yang berakhiran dengan angka 5, tercatat perkawinan pertama wanita umur 19 tahun ke
bawah di pedesaan di Indonesia adalah sebagai berikut: Tabel 1.1 Umur Perkawinan Pertama Wanita Umur 10-19 Tahun di
Pedesaan Menurut SUPAS 2005
18 Tahun 3.292.704
12,04 19 Tahun
2.889.733 10,57
Total 18.452.221
67,48 Sumber: Thirwaty Arsal 2012
Berdasarkan tabel 1.1 di atas terlihat bahwa usia seseorang menikah dini di
daerah pedesaan masih sangat tinggi yaitu mencapai 67,48, dimana usia 16-18 tahun merupakan frekuensi terbesar perempuan melakukan pernikahan, dimana usia
ini termasuk ke dalam kategori usia dini karena perempuan secara biologis belum siap reproduksi dan secara psikologi sosial juga belum memiliki kematangan emosi
masih labil dan bila dikaji secara sosiologi yaitu dari aspek peran dan statusnya, dimana seseorang yang menikah dini biasanya belum siap menghadapi peran dan
Umur Perkawinan Pertama
Frekuensi
13 Tahun 1.393.411
5,10 14 Tahun
1.481.929 5,42
15 Tahun 2.522.914
9,23 16 Tahun
3.310.195 12,10
17 Tahun 3.561.335
13,02
Universitas Sumatera Utara
16
status yang mereka terima ketika mereka sudah menikah. Perempuan yang berperan sebagai istri dan ibu yang mengasuh anak dan peran laki-laki untuk bertanggung
jawab menafkahi keluarga dan membesarkan anak. Dimana keberhasilan mereka dalam menjalankan perannya sangat berpengaruh terhadap berjalannya fungsi dari
sebuah keluarga, yaitu fungsi afeksi, sosilsasi, reproduksi, perlindungan, dan lain- lain. Hal ini juga yang menyebabkan BKKBN menetapkan bahwa usia ideal
seorang perempuan untuk memasuki usia perkawinan untuk pertama kali adalah 21 tahun sedangkan untuk laki-laki 25 tahun.
Adapun perkawinan atau pernikahan dini yang terjadi di daerah perkotaan kebanyakan disebabkan oleh adanya pergaulan bebas dan hamil di luar nikah,
sehingga untuk menutupinya dilakukan pernikahan. Sedangkan pada daerah pedesaan pernikahan dini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan pendidikan yang
rendah serta perjodohan dari orang tua Muslihin, 2011. Secara tentatif, pernikahan dini yang ada pada masyarakat etnis Karo di desa Suka Dame, Kecamatan
Kutalimbaru lebih disebabkan oleh adanya kemauan sendiri dari mereka yang ingin menikah di usia yang sangat muda, dimana pernikahan usia dini merupakan pilihan
hidup mereka, yang artinya didasarkan oleh keinginan mereka tanpa ada paksaan dari orang tua.
Dalam budaya karo, pernikahan dianggap sebagai suatu pertanda baik atau kabar bagus, sehingga sebagian besar orang tua akan memberikan izin ketika
anaknya ingin menikah. Hal ini juga karena dianggap dapat menunjang perekonomian keluarga karena ikut membantu mengolah ladang atau lahan pertanian
keluarga. Namun tidak semua pernikahan dalam masyarakat karo akan mendapatkan restu dari orang tua, dimana beberapa dari mereka akan melakukan “nangkih” untuk
mendapatkan restu dari orang tuanya. “Nangkih” merupakan jalan potong kompas
Universitas Sumatera Utara
17
yang dibenarkan oleh adat Tridah: 1990, 42, dimana laki-laki membawa perempuan idamannya ke rumah anak beru untuk segera dinikahkan tanpa ada
pemberitahuan dan meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua, terutama orang tua dari pihak perempuan. Nangkih dapat dikatakan sebagai suatu norma dalam
masyarakat Karo, dimana mereka yang ingin menikah namun tidak mendapat restu dari orang tua dapat melakukan “nangkih” sebagai jalan pintasnya. Pernikahan yang
dilakukan secara nangkih biasanya pernikahan yang dianggap menyimpang oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat terutama orang tuanya.
Dimana adanya keinginan atau tindakan individual yang dianggap tidak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat. Salah satu pernikahan yang dianggap
menyimpang dalam masyarakat karo adalah pernikahan dini yang dilaksanakan di usia yang sangat muda atau masih di usia sekolah.
Adapun mayoritas masyarakat Karo di desa Suka Dame berkerja dalam sektor pertanian, dimana sebagian besar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari mengandalkan hasil dari tanaman di ladang. Adapun jenis tanaman yang banyak ditanam mereka adalah kelapa sawit, cokelat, karet, pinang, kopi, dan kelapa. Selain
itu masyarakat juga menanam tanaman buah seperti langsat, duku, rambutan, durian, manggis, pepaya dan lain-lain serta beberapa sayuran seperti kacang, jambe, bewan,
dan sebagainya. Sebagian besar masyarakat di desa Suka Dame hidup dengan sederhana. Hal ini dilihat dari bentuk rumah masyarakat yang masih sederhana dan
aktivitas mandi dan menyuci yang masih dilakukan di sungai. Sekilas kondisi ekonomi masyarakat desa Suka Dame berada dalam ekonomi
menegah ke bawah, walaupun demikian rata-rata masyarakatnya memiliki kemampuan untuk menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang SMA Sekolah
Menengah Atas. Namun masih banyak terdapat anak yang putus sekolah atau hanya
Universitas Sumatera Utara
18
tamatan SD dan SMP. Hal ini disebabkan minat kaum muda untuk sekolah yang masih sangat rendah, dimana beberapa dari mereka lebih memilih menikah daripada
bersekolah. Sehingga banyak ditemukan dari mereka terutama perempuan yang menikah di saat usia mereka masih belasan di bawah umur 20 tahun dan sudah
mempunyai anak. Di daerah ini, sebagian besar dari pernikahan yang pasangan perempuannya
masih berada dalam usia sekolah sampai jenjang SMA, yaitu 19 tahun ke bawah. Hal ini didasari pada keinginan sendiri tanpa paksaan orang tua, yang artinya banyak
dari mereka yang memilih menikah dari pada melanjutkan pendidikannya. Artinya rendahnya minat pendidikan juga berdampak pada pernikahan dini yang terjadi di
masyarakat karo di desa Suka Dame, kecamatan Kutalimbaru.
1.2 Perumusan Masalah