Pengobatan Tuberkulosis Tuberkulosis Paru .1 Definisi

Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut karena proses metabolisme dan tidak berbahaya. 3. Pirazinamid Efek samping ialah hepatitis imbas obat penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus. Nyeri sendi juga dapat terjadi beri aspirin dan kadang dapat menyebabkan Arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. 4. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi. 5. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Panduan Obat Antituberkulosis Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi : TB paru kasus baru, BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE 4 RH atau 2 RHZE 6HE atau 2 RHZE 4R3H3 Paduan ini dianjurkan untuk a. TB paru BTA +, kasus baru b. TB paru BTA -, dengan gambaran radiologi lesi luas termasuk luluh paru Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi TB Paru kasus baru, BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal. Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE 4 RH atau 6 RHE atau 2 RHZE 4R3H3 TB paru kasus kambuh Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. TB Paru kasus gagal pengobatan Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin. Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru TB Paru kasus putus berobat Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut : a. Berobat 4 bulan 1 BTA saat ini negatif Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. 2 BTA saat ini positif Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama b. Berobat 4 bulan 1 Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama 2 Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT. ยท TB Paru kasus kronik - Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi Minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru 2.2. PMO 2.2.1. Definisi PMO Pengawas Menelan Obat PMO adalah orang yang mengawasi secara langsung terhadap penderita tuberkulosis paru pada saat minum obat setiap harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek atau seseorang yang bertugas untuk mengawasi, memberikan dorongan dan memastikan penderita tuberkulosis TB menelan obat anti tuberkulosis OAT secara teratur sampai selesai. Penderita TB perlu mendapatkan pengawasan langsung agar meminum obat secara teratur sampai sembuh. karena masa pengobatan penderita TB cukup lama sehingga membosankan penderita, dan kebanyakan penderita TB merasa sudah sehat setelah minum obat 2-3 minggu sehingga menghentikannya sebelum periode pengobatan yang biasannya 6 bulan Informasi Dasar PMO TB, 2014. Pasien TB paru yang diawasi dengan baik oleh PMO memiliki kemungkinan untuk sembuh empat kali lebih besar daripada yang tidak diawasi dengan baik oleh PMO Nomi, 2010.

2.2.3. Program DOTS di Indonesia

Fase Sebelum Strategi DOTS pra-1995 Fase ini dimulai sejak awal abad ke-20 dan ditandai dengan berdirinya fasilitas diagnostik dan sanatorium di kota-kota besar. Dengan dukungan dari pemerintah Belanda, diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan rontgen, diikuti dengan penanganan TB melalui hospitalisasi. Studi prevalensi TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di karesidenan Malang dan Kota Yogyakarta. lima tahun kemudian 1969, program pengendalian TB nasional dengan pedoman penatalaksanaan TB secara baku dimulai di Indonesia. Pada periode 1972-1995 penanganan TB tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi melalui diagnosis dan pelayanan TB di fasilitas kesehatan primer, yaitu di Puskesmas. Pengobatan TB menggunakan dua rejimen pengobatan menggantikan pengobatan konvensional 2HSZ10H2S2 dan strategi penemuan kasus secara aktif secara bertahap. Pada tahun 1993, the Royal Netherlands TB Association melakukan uji coba strategi DOTS di empat kabupaten di Sulawesi Tahun 1994, NTP bekerja sama dengan WHO dan KNCV melakukan uji coba implementasi DOTS di provinsi Jambi dan Jawa Timur. Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse . World Health Organization WHO Persiapan dan Implementasi Strategi DOTS 1995-2000 Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya Kementerian Kesehatan mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Pada fase 1995-2000, pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas. Seperti halnya dalam implementasi sebuah strategi baru, terdapat berbagai tantangan di lapangan dalam melaksanakan kelima strategi DOTS. Untuk mendorong peningkatan cakupan strategi DOTS dan pencapaian targetnya, dalam fase ini dilakukan dua Joint External Monitoring Mission oleh tim pakar internasional. Ekspansi dan Intensifikasi DOTS 2000-2005 Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada periode ini sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupatenkota untuk merencanakan dan melaksanakan program pengendalian TB. Pencapaian utama selama periode ini adalah: 1 Pengembangan rencana strategis 2002-2006; 2 Penguatan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat dan provinsi; 3 Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari pengembangan sumberdaya manusia; 4 Kerja sama internasional dalam memberikan dukungan teknis dan pendanaan; 5 Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah; 6 Perbaikan supervisi dan monitoring dari tingkat pusat dan provinsi. Konsolidasi dan Implementasi Inovasi dalam Strategi DOTS 2006-2010 Fase ini ditandai dengan keberhasilan dalam mencapai target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan pada tahun 2006. Selain itu, berbagai tantangan baru dalam implementasi strategi DOTS muncul pada fase ini. Tantangan tersebut antara lain penyebaran ko-infeksi TB-HIV, peningkatan resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang sangat beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan, serta penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang aktif berperan dalam pengendalian TB pada fase ini antara lain Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Meskipun Indonesia mengalami pemberhentian sementara dana GFATM The Global Fund to Fight AIDS, TB, and Malaria Round 1 dan round 5, akan tetapi kegiatan pelayanan TB terutama di dalam gedung tetap terlaksana karena kesiapan tenaga pelayanan dengan menggunakan dana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta sumber pendanaan dari berbagai lembaga donor internasional lain seperti USAID, WHO, tetap dapat dipertahankan.Stranas TB, 2010 5 komponen strategi DOTS yakni : Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat PMO Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Depkes, 2005 Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB Depkes, 2007. Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat untuk saat ini, dan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dimana salah satu komponen dari strategi DOTS tersebut adalah pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat PMO Depkes, 2005 Sejak DOTS diterapkan secara intensif terjadi penurunan angka kesakitan TB menular yaitu pada tahun 2001 sebesar 122 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2005 menjadi 107 per 100.000 penduduk. Hasil yang dicapai Indonesia dalam menanggulangi TB hingga saat ini telah meningkat. Angka penemuan kasus TB menular ditemukan pada tahun 2004 sebesar 128.981 orang 54 meningkat menjadi 156.508 orang 67 pada tahun 2005. Keberhasilan pengobatan TB dari 86,7 pada kelompok penderita yang ditemukan pada tahun 2003 meningkat menjadi 88,8 pada tahun 2004 Depkes, 2004. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB Depkes, 2007.

2.2.4. Tujuan PMO

Tujuan penggunaan pengawas menelan obat PMO pada penderita tuberkulosis paru adalah: Untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang ditentukan pada awal pengobatan Untuk menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya, dan Untuk mengurangi kemunngkinan kegagalan pengobatan dan kekebalan obat anti tuberkulosis Informasi Dasar PMO TB, 2014