Purpura,  anemia  hemolitik  yang  akut,  syok  dan  gagal  ginjal.  Bila  salah  satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilang. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut karena proses metabolisme dan tidak berbahaya.
3.  Pirazinamid Efek samping ialah hepatitis imbas obat penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada  keadaan  khusus.  Nyeri  sendi  juga  dapat  terjadi  beri  aspirin  dan  kadang dapat  menyebabkan  Arthritis  Gout,  hal  ini  kemungkinan  disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. 4.  Etambutol
Etambutol  dapat  menyebabkan  gangguan  penglihatan  berupa  berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Gangguan penglihatan akan
kembali  normal  dalam  beberapa  minggu  setelah  obat  dihentikan.  Sebaiknya etambutol  tidak  diberikan  pada  anak  karena  risiko  kerusakan  okuler  sulit  untuk
dideteksi. 5.  Streptomisin
Efek  samping  utama  adalah  kerusakan  syaraf  kedelapan  yang  berkaitan dengan  keseimbangan  dan  pendengaran.  Risiko  efek  samping  tersebut  akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita.
Panduan Obat Antituberkulosis Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi :
TB paru kasus baru, BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE  4 RH atau 2 RHZE 6HE atau 2
RHZE  4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk a.  TB paru BTA +, kasus baru
b.  TB paru BTA -, dengan gambaran radiologi lesi luas termasuk luluh paru Bila  ada  fasilitas  biakan  dan  uji  resistensi,  pengobatan  disesuaikan  dengan  hasil  uji
resistensi TB  Paru  kasus  baru,  BTA  negatif,  pada  foto  toraks:  lesi  minimal.  Paduan
obat yang dianjurkan : 2 RHZE  4 RH atau 6 RHE atau 2 RHZE 4R3H3 TB paru kasus kambuh
Sebelum  ada  hasil  uji  resistensi  dapat  diberikan  2  RHZES    1  RHZE.  Fase lanjutan  sesuai  dengan  hasil  uji  resistensi.  Bila  tidak  terdapat  hasil  uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 contoh paduan: 3-6 bulan  kanamisin,  ofloksasin,  etionamid,  sikloserin  dilanjutkan  15-18  bulan
ofloksasin,  etionamid,  sikloserin.  Dalam  keadaan  tidak  memungkinkan  pada  fase awal dapat diberikan 2 RHZES  1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji
resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan
Dapat  pula  dipertimbangkan  tindakan  bedah  untuk  mendapatkan  hasil  yang optimal
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
TB Paru kasus putus berobat Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut : a.  Berobat  4 bulan
1  BTA saat ini negatif Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan  OAT  dihentikan.  Bila  gambaran  radiologi  aktif,  lakukan  analisis
lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan  penyakit  paru  lain.  Bila  terbukti  TB  maka  pengobatan  dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
2  BTA saat ini positif Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu  pengobatan yang lebih lama
b.  Berobat  4 bulan 1  Bila  BTA  positif,  pengobatan  dimulai  dari  awal  dengan  paduan  obat  yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2  Bila  BTA  negatif,  gambaran  foto  toraks  positif  TB  aktif  pengobatan diteruskan  Jika  memungkinkan  seharusnya  diperiksa  uji  resistensi  terhadap
OAT. ยท TB Paru kasus kronik - Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada  hasil  uji  resistensi,  berikan  RHZES.  Jika  telah  ada  hasil  uji  resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi
Minimal  terdapat  4  macam  OAT  yang  masih  sensitif  ditambah  dengan  obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup Pertimbangkan
pembedahan untuk
meningkatkan kemungkinan
penyembuhan Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
2.2. PMO 2.2.1. Definisi PMO
Pengawas  Menelan  Obat  PMO  adalah  orang  yang  mengawasi  secara langsung  terhadap  penderita  tuberkulosis  paru  pada  saat  minum  obat  setiap  harinya
dengan  menggunakan  panduan  obat  jangka  pendek  atau  seseorang  yang  bertugas untuk  mengawasi,  memberikan  dorongan  dan  memastikan  penderita  tuberkulosis
TB  menelan  obat  anti  tuberkulosis  OAT  secara  teratur  sampai  selesai.  Penderita TB  perlu  mendapatkan  pengawasan  langsung  agar  meminum  obat  secara  teratur
sampai  sembuh.  karena  masa  pengobatan  penderita  TB  cukup  lama  sehingga membosankan  penderita,  dan  kebanyakan  penderita  TB  merasa  sudah  sehat  setelah
minum  obat  2-3  minggu  sehingga  menghentikannya  sebelum  periode  pengobatan yang biasannya 6 bulan Informasi Dasar PMO TB, 2014.
Pasien TB paru yang diawasi dengan baik oleh PMO memiliki kemungkinan untuk  sembuh  empat  kali  lebih  besar  daripada  yang  tidak  diawasi  dengan  baik  oleh
PMO Nomi, 2010.
2.2.3. Program DOTS di Indonesia
Fase Sebelum Strategi DOTS pra-1995 Fase  ini  dimulai  sejak  awal  abad  ke-20  dan  ditandai  dengan  berdirinya
fasilitas  diagnostik  dan  sanatorium  di  kota-kota  besar.  Dengan  dukungan  dari pemerintah  Belanda,  diagnosis  TB  dilakukan  dengan  pemeriksaan  rontgen,  diikuti
dengan  penanganan  TB  melalui  hospitalisasi.  Studi  prevalensi  TB  pertama  kali dilakukan pada tahun 1964 di karesidenan Malang dan Kota Yogyakarta. lima tahun
kemudian  1969,  program  pengendalian  TB  nasional  dengan  pedoman penatalaksanaan  TB  secara  baku  dimulai  di  Indonesia.  Pada  periode  1972-1995
penanganan  TB  tidak  lagi  berbasis  hospitalisasi,  akan  tetapi  melalui  diagnosis  dan pelayanan  TB  di  fasilitas  kesehatan  primer,  yaitu  di  Puskesmas.  Pengobatan  TB
menggunakan  dua  rejimen  pengobatan  menggantikan  pengobatan  konvensional 2HSZ10H2S2  dan  strategi  penemuan  kasus  secara  aktif  secara  bertahap.  Pada
tahun 1993, the Royal Netherlands TB Association melakukan uji coba strategi DOTS di  empat  kabupaten  di  Sulawesi  Tahun  1994,  NTP  bekerja  sama  dengan  WHO  dan
KNCV melakukan uji coba implementasi DOTS di provinsi Jambi dan Jawa Timur. Pemerintah  melalui  Program  Nasional  Pengendalian  TB  telah  melakukan  berbagai
upaya  untuk  menanggulangi  TB,  yakni  dengan  strategi  DOTS  Directly  Observed Treatment Shortcourse
. World Health Organization WHO
Persiapan dan Implementasi Strategi DOTS 1995-2000 Setelah  keberhasilan  uji  coba  di  dua  provinsi  ini,  akhirnya  Kementerian
Kesehatan  mengadopsi  strategi  DOTS  untuk  diterapkan  secara  nasional  pada  tahun 1995.  Pada  fase  1995-2000,  pedoman  nasional  disusun  dan  strategi  DOTS  mulai
diterapkan  di  Puskesmas.  Seperti  halnya  dalam  implementasi  sebuah  strategi  baru, terdapat berbagai tantangan di lapangan dalam melaksanakan kelima strategi DOTS.
Untuk  mendorong  peningkatan  cakupan  strategi  DOTS  dan  pencapaian  targetnya, dalam  fase  ini  dilakukan  dua  Joint  External  Monitoring  Mission  oleh  tim  pakar
internasional.
Ekspansi dan Intensifikasi DOTS 2000-2005 Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada periode
ini  sebagai  pedoman  bagi  provinsi  dan  kabupatenkota  untuk  merencanakan  dan melaksanakan  program  pengendalian  TB.  Pencapaian  utama  selama  periode  ini
adalah:  1  Pengembangan  rencana  strategis  2002-2006;  2  Penguatan  kapasitas manajerial  dengan  penambahan  staf  di  tingkat  pusat  dan  provinsi;  3  Pelatihan
berjenjang  dan  berkelanjutan  sebagai  bagian  dari  pengembangan  sumberdaya manusia;  4  Kerja  sama  internasional  dalam  memberikan  dukungan  teknis  dan
pendanaan; 5 Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah; 6 Perbaikan supervisi dan monitoring dari tingkat pusat dan provinsi.
Konsolidasi dan Implementasi Inovasi dalam Strategi DOTS 2006-2010 Fase  ini  ditandai  dengan  keberhasilan  dalam  mencapai  target  global  tingkat
deteksi  dini  dan  kesembuhan  pada  tahun  2006.  Selain  itu,  berbagai  tantangan  baru dalam  implementasi  strategi  DOTS  muncul  pada  fase ini. Tantangan  tersebut  antara
lain  penyebaran  ko-infeksi  TB-HIV,  peningkatan  resistensi  obat  TB,  jenis  penyedia pelayanan  TB  yang  sangat  beragam,  kurangnya  pengendalian  infeksi TB  di  fasilitas
kesehatan, serta penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang aktif berperan dalam  pengendalian  TB  pada  fase  ini  antara  lain  Direktorat  Jenderal  Bina  Upaya
Kesehatan  di  Kementerian  Kesehatan,  Ikatan  Dokter  Indonesia,  dan  Kementerian Hukum  dan  Hak  Asasi  Manusia.  Meskipun  Indonesia  mengalami  pemberhentian
sementara dana GFATM The Global Fund to Fight AIDS, TB, and Malaria Round 1 dan  round  5,  akan  tetapi  kegiatan  pelayanan  TB  terutama  di  dalam  gedung  tetap
terlaksana  karena  kesiapan  tenaga  pelayanan  dengan  menggunakan  dana  dari pemerintah  pusat  dan  pemerintah  daerah  serta  sumber  pendanaan  dari  berbagai
lembaga donor
internasional  lain seperti
USAID, WHO,
tetap dapat
dipertahankan.Stranas TB, 2010 5 komponen strategi DOTS yakni :
Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat PMO
Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin Pencatatan  dan  pelaporan  secara  baku  untuk  memudahkan  pemantauan  dan
evaluasi program penanggulangan TB Depkes, 2005 Fokus  utama  DOTS  adalah  penemuan  dan  penyembuhan  pasien,  prioritas
diberikan  kepada  pasien  TB  tipe  menular.  Strategi  ini  akan  memutuskan  penularan TB  dan  dengan  demkian  menurunkan  insidens  TB  di  masyarakat.  Menemukan  dan
menyembuhkan  pasien  merupakan  cara  terbaik  dalam  upaya  pencegahan  penularan TB Depkes, 2007.
Untuk  menanggulangi  masalah  TB  di  Indonesia,  strategi  DOTS  yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat untuk saat ini,
dan  harus  dilakukan  secara  sungguh-sungguh  dimana  salah  satu  komponen  dari strategi  DOTS  tersebut  adalah  pengobatan  dengan  panduan  OAT  jangka  pendek
dengan pengawasan langsung oleh  Pengawas Menelan Obat PMO Depkes, 2005 Sejak DOTS diterapkan secara intensif terjadi penurunan angka kesakitan TB
menular  yaitu  pada  tahun  2001  sebesar  122  per  100.000  penduduk  dan  pada  tahun 2005  menjadi  107  per  100.000  penduduk.  Hasil  yang  dicapai  Indonesia  dalam
menanggulangi  TB  hingga  saat  ini  telah  meningkat.  Angka  penemuan  kasus  TB menular  ditemukan  pada  tahun  2004  sebesar  128.981  orang  54  meningkat
menjadi  156.508  orang  67  pada  tahun  2005.  Keberhasilan  pengobatan  TB  dari 86,7 pada kelompok penderita yang ditemukan pada tahun 2003 meningkat menjadi
88,8 pada tahun 2004 Depkes, 2004. Penguatan  strategi  DOTS  dan  pengembangannya  ditujukan  terhadap
peningkatan  mutu  pelayanan,  kemudahan  akses  untuk  penemuan  dan  pengobatan sehingga  mampu  memutuskan  rantai  penularan  dan  mencegah  terjadinya  MDR-TB
Depkes, 2007.
2.2.4. Tujuan PMO
Tujuan penggunaan pengawas menelan obat PMO pada penderita tuberkulosis paru adalah:
Untuk  menjamin  ketekunan  dan  keteraturan  pengobatan  sesuai  jadwal  yang ditentukan pada awal pengobatan
Untuk menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya, dan Untuk mengurangi kemunngkinan kegagalan pengobatan dan kekebalan obat anti
tuberkulosis Informasi Dasar PMO TB, 2014