Berboncengan Lawan Jenis Yang Bukan Mahram (Perspektif Bahtsul Masa’il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (Fmp3) Se-Jawa Timur)

(1)

(FMP3) Se-Jawa Timur)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Sy)

ASMAHADY

NIM: 108043100016

PRODI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semuasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudianhari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan darikarya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 08 Mei 2014 M 08 Rajab 1435 H


(5)

ii

Asmahady. NIM:108043100016. Berbocengan Lawan Jenis Yang Bukan Mahram (Perspektif Bahtsul Masa`il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur). Perbandingan Mazhab Fiqih, Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014, 54 hal.

Skripsi ini merupakan upaya menjelaskan pemasalahan terkait berboncengan selain mahram, penulis menganalisis terkait hukum yang dikeluarkan oleh hasil bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3), menjelaskan apa mahram itu sendiri, batasan batasan mahram, pendapat para ulama-ulama terdahulu, dasar-dasar hukum yang digunakan oleh para ulama tersebut. Yang menjadi focus penulis ialah, Bagaimana pendapat Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, Bagaimana metode istinbat hukum tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.

Terkait jenis penelitian yang di gunakan dalam skripsi ini ialah deskriptif analisis dan penelitian pustaka (library research). Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini ialah analisis fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur dan pendapat para ulama-ulama terdahulu.

Kata kunci : mahram, batasan-batasan mahram ,larangan berboncengan selain


(6)

iii

Assalammu‟alaikum. Wr. Wb.

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya kepada kita semua. Salawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhamad SAW berserta semua keluarganya dan para sahabatnya dan juga para pengikut sunnahnya sampai akhir zaman.

Banyak hal yang ingin penulis sampaikan dalam kata berupa ungkapan terima kasih setulus dan sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah membantu penulis secara materil maupun moril untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah yaitu penyusunan karya tulis ilmiah (skripsi).

Demikian juga kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Olehnya pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis mengungkapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Dr. Phil. JM Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta jajaranya.

2. Dr. H. Muhammmad Taufiki, M.Ag selaku Kepala Jurusan Pebandingan dan Mazhab Hukum.


(7)

iv

4. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi Penulis yang telah banyak memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan,

dan kesabaran serta dukungan do’a, waktu, dan motivasi sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan dengan baik.

5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis. Semoga ilmu yang telah Bapak atau Ibu berikan, bermanfaat dan berguna untuk penulis.

6. Kepala dan Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta

Perpustakaan Utama yang telah memberikan fasilitas-fasilitas dalam penyelesaian skripsi penulis.

7. Kepada orang tua penulis, ayahanda H. Ma’asan Dinuk (Alm) dan ibunda

Umiyati yang telah melahirkan dan membesarkan ananda. Tiada kata yang dapat ku ucapkan selain ucapan terima kasih yang tak terbatas untuk semua pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini. Karena ku yakin kasih sayang, cinta suci, dan pengorbanan kalian takkan tertandingi adanya, oleh karena itu aku akan selalu berusaha membuat kalian tersenyum bangga. Ucapan ribuan terima kasih atas


(8)

v

serta selalu memberikan masukan kepada penulis dalam membuat skripsi ini. 9. Teman-teman seperjuangan penulis angkatan 2008 jurusan perbandingan hukum

dengan semangat perjuangan dan solidaritas yang telah diberikan kepada penulis dengan segala hormat dan terima kasih penulis sampaikan semoga kisah persahabatan ini akan tetap terjalin selamanya.

10. Juga kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Dengan ini penulis sampaikan dengan perasaan rendah hati dan penuh hormat rasa terima kasih setulus dan sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam menyelesaikan laporan karya tulis ilmiah ini. Semoga jasa dan amal baiknya mendapat balasan yang lebih baik dan berkah di dunia dan akhirat. Amin.

Wassalamu‟alaikum, Wr.Wb.

Jakarta: 08 Mei 2014 M 08 Rajab 1435 H


(9)

vi

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Review Studi Terdahulu ... 7

E. Metodelogi Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP BATASAN MAHRAM ... 14

A. Pengertian Mahram ... 14

B. Dasar Hukum Batasan Mahram ... 16

C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan ... 24

BAB III : PROFIL FORUM MUSYAWARAH PONDOK PESANTREN PUTRI (FMP3), DAN BATSUL MASA’IL ... 31

A. Profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) ... 31


(10)

vii

LAWAN JENIS YANG BUKAN MAHRAMNYA ... 41

A. Pandangan Ulama Terhadap Larangan Boncengan Yang Bukan Mahram ... 41

B. Pandangan Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram ... 45

C. Analisa Penulis Terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram ... 48

BAB V : PENUTUP ... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Saran-saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Seiring perkembangan zaman, manusia memiliki ketergantungan terhadap kendaraan dalam untuk memenuhi kebutuhan mobilitas, baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, di darat, di laut maupun di udara. Dewasa ini masyarakat cenderung memilih kendaraan yang murah, fleksibel, dan cepat untuk mencapai tujuan.

Kendaraan alternatif yang dipilih dan diminati oleh mayoritas masyarakat di Indonesia adalah sepeda motor. Sepeda motor mempunyai kompatibilitas tinggi dalam memenuhi kebutuhan masyarat. Hal ini terbukti karena kendaraan sepeda motor dapat mencangkup berbagai sudut pemukiman di kota-kota maupun di daerah terutama daerah padat penduduk. Menurut UU di Indonesia kendaraan ini hanya berkapasitas dua orang.1

Di Indonesia, baik pengendara maupun penumpang itu tidak mengenal adanya perbedaan kelamin, usia, maupun SARA. Dalam pelaksanaannya di lapangan, karena tidak adanya perbedaan jenis kelamin, maka banyak pengendara sepeda motor yang saling berboncengan dengan lawan jenis. Akibat hal tersebut

1

Menurut pasal 106 ayat 9 UU 22 Tahun 2009, yaitu: Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tanpa kereta samping dilarang membawa Penumpang lebih dari 1 (satu) orang.


(12)

maka timbullah berbagai dampak termasuk diantaranya dapat menimbulkan fitnah.

Oleh karena itu, tepatnya pada 14 Januari 2010 Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur, mengeluarkan sejumlah Fatwa Haram, salah satunya Fatwa Perempuan Tukang Ojek Atau Perempuan Naik Ojek. Fatwa tersebut di keluarkan oleh FMP3 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur, yang diikuti oleh 258 peserta yang berasal dari 46 Pondok Pesantren di Jawa Timur dan dua pondok pesantren di Jawa Tengah. Fatwa (opini hukum dalam Islam) tersebut tentu saja menimbulkan banyak pendapat, terlebih pada isu haramnya perempuan menjadi tukang ojek dan haram naik ojek. Pro dan kontra fatwa ini belum lagi usai, pada Agustus 2010 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lebak, Banten, Jawa Barat pun mengeluarkan fatwa sejenis yakni berboncengan sepeda motor berbeda jenis kelamin dengan bukan mahramnya haram hukumnya, karena dianggap mengundang pornografi maupun pergaulan bebas.2

Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah SAW. membawa Asma‟ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak merundukkan untanya agar bisa

2

http://lestarin.wordpress.com/2012/02/21/tanggapan-perempuan-terhadap-fatwa-haram- forum-musyawarah-pondok-pesantren-putri-fmp3-se-jawa-timur-di-ponpes-lirboyo-studi-pada-perempuan-akar-rumput-di-jawa-barat-dan-jawa-timur-terhadap-fatwa/ (diakses pada tanggal 22 Mei 2013 Jam 12.15)


(13)

dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi).

Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:

”.

Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw. berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu.”3 (H.R.Bukhari)

Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan.

Dari penjelasan di atas, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya itu diperbolehkan. Hal ini dapat terwujudkan apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:

3

Al Imam Bukhari, Shohih Al Bukhari, (Al Azhar Mesir, Maktabah Salafiyah Qohiroh, 1400 H), cet.1, juz.3,h.393, no. 5224


(14)

1. Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)

2. Tidak terjadi khalwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan) 3. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan

syara‟

4. Tidak terjadi persentuhan kulit

5. Sedang bepergian bagi wanita untuk kepentingan ziarah atau yang lain menurut satu pendapat diperbolehkan, meski tidak disertai mahram apabila aman dari fitnah (hal-hal yang diharamkan).4

Dalam masalah ini perbandingan antara alat yang dikendarakan pada jaman nabi dan kendaraan pada zaman sekarang ini. Pada masa nabi kendaraan yang digunakan adalah onta sedangkan pada jaman sekarang ini adalah motor yang dimana sangat jauh berbeda diantara keduanya. Perbedaan antara keduanya adalah onta memiliki punuk yang bisa dijadikan sebagai pembatas antara pengendara dan penumpangnya, sehingga antara keduanya tidak dapat saling bersentuhan. Sedangkan semua jenis motor tidak memiliki halangan antara pengendara dan penumpangnya sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya sesuatu yang tidak dibolehkan seperti bersentuhannya badan yang bisa saja menimbulkan syahwat.

4

http://m.life.viva.co.id/news/read/121832-_wanita_juga_dilarang_naik_ojek_ (diakses pada tanggal 22 Mei 2013 jam 12:58)


(15)

Oleh karena itu, tinjauan bahtsul masa`il yang dikeluarkan oleh Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur tentang pengharaman berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya menurut penulis sangat penting sekali sehingga umat Islam dapat mengetahui dan memahami lebih mendalam mengenai hukum mengendarai dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Berdasarkan hal-hal di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang Berbocengan Lawan Jenis Yang Bukan Mahram (Perspektif Bahtsul Masa`il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur)”.

B. Identifikasi Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi penelitiannya pada analisa larangan wanita berboncengan dengan bukan mahramnya terkait fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Penulis akan mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan FMP3 se-Jawa Timur mengeluarkan fatwa tersebut dan dampaknya.

2. Perumusan Masalah

Untuk mengetahui pembahasan ini lebih lanjut dan mendalam penulis perlu membatasi dan merumuskan pokok-pokok masalah tersebut agar tidak terjadi pandangan yang terlalu luas dan tumpang tindih dalam pernulisan skripsi ini:


(16)

a. Bagaimana pendapat Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya?

b. Bagaimana metode istinbat hukum tentang berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Manfaat Penulisan

Pada dasarnya tujuan adalah merupakan suatu alasan penting bagi kita dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap batasan yang bukan mahram.

b. Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab larangan terhadap pengendara yang berboncengan dengan selain mahramnya. c. Untuk mengetahui apa saja dampak yang dihasilkan pada masyarakat

terhadap fatwa pelarangan berboncengan dengan selain mahramnya.

2. Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya ilmu pengetahuan


(17)

hukum Islam serta sebagai bahan pertimbangan bagi instansi-instansi terkait terutama:

a. Bagi penulis sendiri, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih luas khususnya di bidang hukum Islam sehingga dapat diterapkan di lingkungan masyarakat.

b. Bagi program studi Perbandingan Mazhab Fiqih semoga hasil penelitian ini dapat menambah khazanah pengetahuan, melengkapi dan memberikan informasi yang berharga mengenai fatwa majelis ulama tentang pelarangan berboncengan dengan selain mahramnya.

c. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam semoga hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan mengenai hukum islam secara mendalam.

D. Review Studi Terdahulu

Sebelum membuat proposal skripsi ini, penulis melakukan beberapa studi pada penelitian sebelumnya, sehingga mendapat beberapa ide dan wawasan baru dalam mendukung penyusunan proposal skripsi ini. Dalam beberapa penelitian ada banyak yang selanjutnya agar lebih jelas penulis sudah mencatat beberapa penelitian dibawah berikut ini :

- Muhammad Gusmakin, (102044225097) dengan judul “Kemitrasejajaran

Perempuan Dan Laki-laki Dalam Perspektif Hukum Islam” penelitian ini membahas masalah ke sejajaran antara laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian ini, Saudara Gusmakin menjelaskan tentang bagaimana


(18)

menghadapi kesejajaran laki-laki dan perempuan dalam pandangan masyarakat Islam, serta kebebasan perempuan dala berekspresi menurut pandangan islam, dan juga kedudukan perempuan dalam islam. Perbedaan yang mendasar bagi penulis adalah aspek kajian penelitian. Skripsi di atas mendeskripsikan aspek kesejajaran antara laki-laki menurut hukum isam serta kedudukan perempuan dalam pandangan Islam dan juga kebabasan perempuan dalam berekspresi, sedangkan penulis ingin membahas lebih spesifik lagi yaitu mengenai. larangan wanita berboncengan dengan bukan mahramnya terkait hasil Bahtsul Masa‟il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Serta mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan FMP3 se-Jawa Timur mengeluarkan fatwa tersebut dan dampaknya.

E. Metode Penelitian

Paradigma menurut Robert A. Friedrichs adalah suatu gambaran yang mendasar mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam suatu disiplin.5 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma fenomenologis. Paradigma fenomenologis yaitu berusaha memahami fenomena atau kenyataan sosial maupun perilaku manusia dari segi berfikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri.6

5

Imam S dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 91.

6 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 31.


(19)

Dalam hal ini, peneliti berusaha memahami suatu kenyataan tentang hasil Bahtsul Masa‟il, yaitu: pelarangan berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.

Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif, karena berupaya untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).7

- Jenis Penelitian

Dilihat dari segi penelitian yang berdasarkan bahan-bahan tertulis atau bahan pustka, maka. Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah metode penelitian normatif8, yaitu penelitian yang memuat deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis. Penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur dan bahan pustaka yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Metode ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara nyata mengenai situasi tertentu atau keterkaitan hubungan antara berbagai fenomena secara aktual dan teratur. Dalam hal ini peneliti berusaha memberikan gambaran secara nyata mengenai batasan non muhrim dalam Islam.

7

Ibid, hlm. 3.

8 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, ( Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet 1, h.10.


(20)

- Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Sumber data adalah sesuatu yang sangat penting dalam suatu penelitian. Yang dimaksud sumber data dalam suatu penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh.9 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tiga sumber yaitu :

a. Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan dalam hal ini, yaitu Al-quran dan hadis, kaidah-kaidah fiqih, pendapat Ulama-ulama Terdahulu dan Kontemporer, FPM3 se-Jawa Timur.10 b. Sumber Data Sekunder adalah data yang didapat dari sumber kedua.

Data ini merupakan data pelengkap yang nantinya akan dikorelasikan dengan sumber data primer, antara lain berwujud buku-buku, jurnal dan majalah, maupun catatan pribadi.11

c. Sumber Data Tersier adalah data penunjang, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap sumber data primer dan sekunder, diantaranya kamus-kamus dan ensiklopedi.12

9

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,

(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), hlm.114.

10

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005), hlm.12.

11

Ibid, hlm.12.

12

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 114.


(21)

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka (library research)13, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji buku-buku atau sumber-sumber yang diperlukan dalam hal ini adalah Alquran, Al-hadis, pendapat ulama terdahulu dan kontmporer, Fatwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur. Sebagai rujukan utama dan buku yang berkaitan tentang masalah-masalah kejahatan narkotika dan yang ada relevansinya dengan skripsi ini.

3. Metode Pengolahan Data

Sebelum data di analisis, perlu dilakukan proses pengolahan data terlebih dahulu untuk memisahkan data yang relevan dengan tujuan penelitian dan mana yang tidak, dengan proses sebagai berikut:

a. Editing (pemeriksaan ulang), dengan tujuan data yang dihasilkan berkualitas baik.14 Dalam hal ini peneliti membaca kembali data atau keterangan yang telah dikumpulkan dengan, buku catatan, daftar pertanyaan (interview guide) jika masih ada hal-hal yang salah dan meragukan.

b. Analyzing (analisis), proses ini merupakan yang terpenting dalam penelitian kualitatif yang selalu harus disandingkan dengan upaya

13

ibid., h.12.

14


(22)

interpretatif. Karena prinsip pokok penelitian jenis ini adalah menemukan teori dari data.

c. Concluding (penarikan kesimpulan) yaitu dengan cara menganalisis data secara komprehensif serta menghubungkan makna data yang ada dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

- Teknik Analisis Data

a. Teknik yang digunakan adalah deskriptif komparatif.15 Tahap analisis deskriptif adalah tahap penyajian data terhadap berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.

Sedangkan tahap analisis komparatif dilakukan dalam upaya membandingkan antara prinsip-prinsip hukum Islam, para ulama terdahulu dan hasil keputusan bahtsul masa‟il Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)se-Jawa timur.

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Pres, 2007 yang merupakan Pedoman dari Penulisan karya ilmiah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umunya, khususnya Mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum.16

15

Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian deskriptif ini ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu.

16 Fakultas Syari‟ah dan Hukum,

Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2007), Cet 1, h.36.


(23)

F. Sistematika Penulisan

Untuk sistematika penulisan, seluruh skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

BAB I Berisikan latar belakang masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penulisan, Studi Pendahuluan, dan Sistematika Pembahasan.

BAB II Membahas tentang pengertian mahram serta pandangan hukum Islam tentang batasan yang bukan mahram.

BAB III Untuk mendeskripsikan profil Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3), dan Metode Istinbat Bahtsul Masa‟il.

BAB IV Analisa terhadap hasil Bahtsul Masa‟il tentang pelarangan berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya dan implikasinya di masyarakat.


(24)

14

A. Pengertian Mahram

Penyebutan istilah muhrim, dalam makna saudara di kalangan masyarakat sering kita jumpai. Akan tetapi penggunaan istilah muhrim disini adalah salah, karena istilah yang mereka maksud adalah mahram. Secara definisi arti ke-dua istilah tersebut sangatlah berbeda. Walaupun kata muhrim dan mahram berasal dari bahasa Arab tetapi kata muhrim berasal dari kata muhrimun, (mimnya di dhammah) yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram berasal dari kata mahramun, (mimnya di-fathah).

Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). Di sisi lain lelaki ini boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dll., sesuai dengan hukum-hukum mahram.

Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya.17 Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti

17Imam Rozi‟

, Mukhtar as-Shihah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), Cet 1, h. 77-78


(25)

hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan.

Seperti yang dijelaskan dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ ayat 23.

























(

ةروسلا

:ءاسنلأ



)

Artinya: “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, saudara-saudara-sudara perempuan ibu kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan-mu dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan iteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya. Dan diharamkan bagi kalian issteri-isteri ank kandung kalian (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha


(26)

Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani memberikan definisi: “Mahrom adalah seseorang yang tidak boleh dinikahi selamanya”.18

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah memberikan definisi: “Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan.”19

Sedangkan mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus yaitu: haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan dalam mazhab Syafi‟i dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh.

B. Dasar Hukum Batasan Mahram.

Karena ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) ini sudah menjadi suatu hal yang biasa terjadi di lingkungan kita terutama di Negara kita yang tidak menggunakan hokum islam secara kaffah. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena ikhtilat tersebut, sebagai seorang muslim kita harus mengetahui dasar hokum batasan-batasan mahram yang telah Allah tentukan, baik itu yang berasal dari Al-Quran maupun As-Sunnah. Berikut ini beberapa dasar hokum tentang batasan mahram :

1. Firman Allah „Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra‟ ayat 32:



:ءارساا ةروسلا(



)

18

Ibnu Hajar Al Asqolani, Fathul bari, ( t.t., :Al Makhtabah Salafiyah, t.th.), juz 9, h. 332.

19

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah, Al Mughni, (Riyadh : Darul Alamul Khutub, t.th.), juz 9, h. 493.


(27)

Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra‟: 32)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah

subhanahu wata‟ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya.”20

Asy-Syaikh As-Sa‟di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina.”21

2. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa‟ ayat 23.

















20

Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55

21


(28)









:ء سنلأ ةروسلا)



(

Artinya : “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara perempuan kalian, saudara-saudara perempuan bapak kalian, saudara-saudara-sudara perempuan ibu kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan-mu dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian menikahinya. Dan diharamkan bagi kalian issteri-isteri anak kandung kalian (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau.

Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha

penyayang.”(An-Nisa‟ ayat 23).

Surat An-Nisa ayat 23 menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi baik karena nasab, karena sepersusuan, karena mushaharah (pernikahan), maupun karena jam' (menggabung dua pereempuan bersaudara). Demikian juga menjelaskan tentang wanita-wanita yang halal dinikahi.

Yang diharamkan karena nasab adalah ibu, puteri, saudari, saudari bapak (bibi), saudari ibu (bibi dari pihak ibu), puteri dari saudara kita yang laki-laki dan puteri dari saudara kita yang perempuan. Lihat juga penjelasan masing-masingnya nanti. Selain yang disebutkan itu halal dinikahi (uhilla


(29)

lakum maa waraa'a dzaalikum) seperti puteri paman dari bapak ('amm) dan puteri bibi dari bapak ('ammah), demikian pula puteri paman dari ibu (khaal) maupun puteri bibi dari ibu (khaalah). Dengan demikian, sepupu halal dinikahi.

Yang diharamkan karena sepersusuan–yang disebutkan dalam ayat- adalah ibu susu dan saudari susu. Namun tidak hanya sebatas ini, karena dalam hadits disebutkan,

Artinya : Diriwayatkan dari Aisyah berkata Rasulullah SAW. "Karna Sesungguhnya persusuan itu mengharamkan seperti juga haramnya keturunan22." (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka keharaman dinikahi menyebar sebagaimana nasab. Dengan demikian, anak yang disusukan tidak boleh menikahi:

1. Wanita yang menyusuinya (karena dianggap sebagai ibunya), 2. Ibu wanita yang menyusuinya (karena ia neneknya),

3. Ibu bagi suami wanita yang menyusuinya (ia neneknya juga), 4. Saudari ibu yang menyusuinya (khaalahnya),

5. Saudari suami wanita yang menyusui („ammahnya),

6. Saudari sepersusuan, baik sekandung, sebapak maupun seibu.

22

Imam Bukhari dan Imam Muslim, Shahih Bukhari dan Muslim, (Bandung, Jabal, 2011), cet, h 261, no 835


(30)

7. Puteri anak laki-laki si wanita yang menyusuinya dan puteri dari puteri si wanita yang menyusui dst. ke bawah.

Yang diharamkan karena mushaharah (pernikahan), jumlahnya ada 4, yaitu: istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, baik mereka sebagai ahli waris maupun terhalang (mahjub), ibu istri kita dst. ke atas (seperti neneknya, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya) dan anak tiri yaitu puteri dari istri kita yang lahir dari selain kita.

3. Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata:

Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah SAW. membawa Asma‟ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi).

”.

Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala


(31)

berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu.”23 (H.R.Bukhari)

Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan.

4. Dari Ibnu „Abbas r.a.

Artinya: Dari Ibnu „Abbas r.a., katanya dia mendengar Nabi SAW. Berkhutbah, sabdanya: “seorang laki-laki tidak boleh berada di tempat sunyi dengan seorang perempuan, melainkan harus diserrtai mahram. Begitu pula seorang perempuan tidak boleh berjalan sendirian, melainkan harus bersama mahram”.Tiba tiba berdiri seorang laki-laki, lalu dia bertanya: “istriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan untuk

23

Al Imam Bukhari, Shohih Al Bukhari, (Al Azhar Mesir, Maktabah Salafiyah Qohiroh, 1400 H), cet.1, juz.3,h.393, no. 5224


(32)

berperang kesana dan kesitu; bagaimana itu ya Rasulullah?” jawab Rasulullah SAW. “Pergilah kamu haji bersama

isterimu!”24

(H.R. Muslim)

Imam nawawi mensyarahkan hadis ini, bahwa hadis ini menjadi dasar dari madzhab syafi‟i dan jumhur ulama bahwasanya keharusan seorang wanita untuk keluar bersama mahram, baik itu muahram dari persusuan, maupun muhrim dari nasab seperti anak, saudara, keponakan dan paman.25 Pada akhirnya, beliaupun menyimpulkan bahwa setiap perjalanan yang dilakukan oleh seoarang wanita, baik itu tiga hari, 2 hari maupun satu hari itu dilarang bagi wanita kecuali bersama mahramnya.26

5. Dari „Uqubah bin „Amir r,a.

Artinya: Dari „Uqubah bin „Amir r.a., katanya Rasulullah SAW, bersabda:

“Hindarilah olehmu masuk kerumah-rumah wanita!” lalu bertanya Anshar, “Ya, Rasulullah! Bagaimana pendapat anda tentang al-Hamwu (keluarga dekat bagi suaminya27). jawab Rasulullah SAW.,

“Bahkan itulebih berbahaya.”28

(H.R. Muslim).

24

HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Haji, Bab Safarul Mar‟ah Ma‟a Mahram (Bandung: Sirkah Ma‟arif,1978) , Juz.1, h. 563.

25

Imam An-Nawawi, Al Minhaj Syarah Shahih Suslim, (t.t., :darrul afkar dauliah, t.th.,), h. 839

26

Ibid, h. 839

27

Al Hamwu, keluarga dekat bagi suami, seperti paman suami, saudaranya, anak saudaranya, dan sebagainya.

28

HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Salam, Bab Tahrim Khalwat Bil Ajnabi (Bandung: Sirkah Ma‟arif, 1978), Juz. 2, h. 270.


(33)

Di jelaskan oleh hadits di atas bahwa keluarga dari suami berpotensi untuk menimbulkan fitnah dan dilarang untuk berkhalwat. Dikarnakan kerabat atau keluarga dekat sering berada dalam satu rumah atau satu temapat jika sedang bertamu yang bisa menimbulkan pitnah.

6. Dari Abu Hurairah r.a.

Artinya : “Dari Abu Harairah r.a., katanya Rasulullah SAW bersabda:”Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tidak boleh melakukan perjalanan sehari semalam,

melainkan harus bersama muhrim.”29

(H.R. Muslim).

Pada keterangan hadits diatas keharusan seorang wanita untuk bersama mahramnya pada saat selama perjalanan terlebih dalam perjalanan yang menempuh waktu selama sehari semalam, oleh sebab itu hadis diatas mengharuskan jika seorang wanita ditemani mahramnya selama perjalanan agar terhidar dari hal-hal yang tidak di inginkan.

29


(34)

7. Dari Jabir r.a.

Artinya: Dari Jabir r.a : Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda:”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah tidak berhalwat dengan wanita yang tidak di dampingi dengan mahramnya. Karena sesungguhnya yang

ketiga adalah setan.”30

(H.R. Ahmad)

Hadis ini menunjukan bahwa kholwat antara laki-laki dan perempuan baik itu dalam sebuah perjalanan maupun hal-hal lain yang berbentuk halwat

itu dialarang oleh syari‟at.

C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan

Islam menetapkan beberapa kriteria syar‟i pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan, melindungi harga diri dan kesuciannya.

Kriteria syar‟i itu juga berfungsi untuk mencegah perzinahan dan sebagai

tindakan prefentif terjadinya kerusakan masal. Diantaranya, Islam mengharamkan ikhtilath (bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) dan khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan), memerintahkan adanya sutrah

(pembatas) yang syar‟i dan menundukkan pandangan, meminimalisir

30

Al Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah, (Riad: Darul Ibni Afan, 2005) cet.1, Juz.7, h. 542.


(35)

pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukan dan menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan mereka, dan kriteria lainnya.

Perkara-perkara ini, menjadi kaidah yang penting untuk kebaikan semuanya. Sesunguhnya perkara ini berbeda antara satu dengan lainnya, atau satu kebudayaan dengan lainnya, dan pengakuan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dan realita.

Interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya boleh-boleh saja, dengan syarat wanitanya tetap mengenakan hijabnya, tidak memerdukan suaranya, dan tidak berbicara di luar kebutuhan. Adapun jika wanitanya tidak menutup diri serta melembutkan suaranya, mendayu-dayukannya, bercanda, bergurau, atau perbuatan lain yang tidak layak, maka diharamkan. Bahkan bisa menjadi pintu bencana, kuburan penyesalan, dan menjadi penyebab terjadinya banyak kerusakan dan keburukan.

Wajib berhati-hati, karena setan terkadang menipu seseorang dengan merasa agamanya kuat tidak terpengaruh dengan percakapan itu. Padahal dia sedang terjerumus pada jerat kebinasaan dan berada di atas jalan kesesatan. Realita adalah saksi terbaik. Betapa banyak orang menentang petunjuk Nabi SAW dengan melanggar larangannya akhirnya ia tercampak di atas keburukan.

Barangsiapa yang tidak memiliki hajat untuk berinteraksi dengan lawan jenis, maka menjauhinya lebih baik dan selamat. Jika ada suatu kebutuhan yang mendesak, wajib bagi kaum muslimin untuk menjalankan sesuai ketentuan syar‟i, di antaranya:


(36)

1. Ghadlul Bashar (menundukkan pandangan)

Allah Ta‟ala berfirman,









:رونلا ةروسلا)



(

Artinya: “Katakanlah kepada laki – laki yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30).

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan,

”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta‟ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka

memalingkan pandangannya dengan segera.”31

Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,



ةروسلا)

رونلا

:

13

(

31 Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al


(37)

Artinya: “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An -Nuur: 31).

Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,

”Firman Allah “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah

mereka menundukkan pandangan mereka‟ yaitu hendaklah mereka

menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.32 Berdasarkan hal ini ditetapkan nya keharaman tentang melihat aurat lawan jenis yang bukan muhrim.

2. Tidak berduaan atau berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram dan bukan istrinya).

Dalam Shahihul Muslim, dari Ibnu Abbas radliyallah „anhu, Nabi

shallallahu „alaihi wasallam bersabda:

32


(38)

Artinya: Dari Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang

wanita, kecuali bersama mahramnya.”33

(H.R. Muslim) Dijelaskan pula, dari Amir Bin Rabi‟ah,

Artinya : Dari Amir Bin Rabi‟ah, ia berkata, Rasulullah SAW “Jangan lah seorang lelaki berduan dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yangketiga adalah setan.kecuali ditemani mahramnya.”34(HR. Ahmad)

3. Berusaha agar tidak ikhtilath dengan gadis yang bisa menyebabkan fitnah.

Firman Allah „Azza Wa Jalla dalam surah Al Isra‟ ayat 32:



:ءارساا ةروسلا(



)

Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina.” (QS. Al-Isra‟: 32)

Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati” menunjukkan bahwa Al-Qur‟an telah mengharamkan zina begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta

33

HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim,Kitab Haji, (Bandung: Sirkah

Ma‟arif,2007)cet.8 Juz.3, Hal. 27, No. 1281

34

Al Imam Asy- Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah (Riad: Darul Ibni Afan,2005), Juz7, hlm 543


(39)

sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, ber-khalwat, tabarruj dan lain-lain.”

Allah Ta‟ala berfirman guna melarang hamba-hambanya dari perbuatan zina, mendekatinya, dan berinteraksi dengan hal-hal yang dapat menimbulkan atau menyeret kepada perzinaan. “Dan janganlah kamu mendekati perzinaan. Sesungguhnya perzinaan itu adalah perbuatan keji, “yakni dosa yang besar“, dan

satu jalan yang buruk” yakni perzinaan itu merupakan jalan dan perilaku yang

terburuk.35

4. Tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahram, karena diharamkan.

Dalam Al-Mu‟jam Al-Kabir milik Imam Ath-Thabrani, dari Ma‟qil bin

Yasar berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:

Artinya : Telah memberikan hadits kepada saya Abdan bin Ahmad Sana Nasar bin Ali beliau berkata: saya Abi sana Sadad bin Said dari Abi Ala

telah mebberikan hadis kepada saya Ma‟qul bin Yasar, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Andaikata kepala salah seorang

35

Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim,(Zedah: Al Haramain, TT), Juz3, h. 38


(1)

Hasil Keputusan Bahtsul Masa`il Ke-XII

(FORUM MUSYAWAROH PONDOK PESANTREN PUTRI SE-JAWA TIMUR) Di Pon-Pes Putri Tahfizhil Qur’an

LIRBOYO KOTA KEDIRI JAWA TIMUR TELP (0354)771856-780805 27 – 28 Muharram 1431 H. / 13 – 14 Januari 2010 M.

Hasil Keputusan

BAHTSUL MASA’IL KE – XII FMP3 SE – JAWA TIMUR

DI PON-PES PUTRI TAHFIZHIL QUR’AN

LIRBOYO KOTA KEDIRI JAWA TIMUR TELP (0354)771856-780805 MUSHOHHIH PERUMUS MODERATOR

1. KH.Atho’illah S. Anwar 2.KH. ‘Ainur Rafiq

3. K. Bahrul Huda

4. Agus H. Shobich al-Muayyad 5. K. Munir Akromin

6. Ust. Zahro Wardi 1. Ust. Thohari Muslim 2. Ust. HA. Adibuddin

3.Ust. Bahrul ‘Ulum 4. Ust. Fathul Bari 5. Ust. Fathul Bari

6. Ust.Mas Mazruhan Ustdzh.Nusroh Diniyah NOTULEN

Ustdzh. Istiqomah

2. NAIK OJEK KE MAKAM DAN MAJLIS TA’LIM Kerangka Analisis Masalah

Profesi tukang ojek menjadi jasa yang cukup bermanfaat bagi masyarakat. Karena dinilai menolong masyarakat pedesaan yang belum mendapatkan sarana transportasi untuk

mempermudah mereka menjangkau perkotaan, pusat perdagangan, majlis ta’lim dan lain-lain. Pasca pengembangan obyek wisata religi, puluhan bahkan ratusan tukang ojek di Muria, Giri, dan beberapa lokasi ziarah lain mendapatkan angin segar. Bahkan gelombang kesetaraan gender telah menyulap profesi ini menjadi tidak hanya digeluti kaum pria, tetapi juga kaum hawa. Abang tukang ojek tidak lagi dianggap aneh mengantar ibu-ibu, atau wanita-wanita muda ke pasar, majlis ta’lim, atau ke tempat-tempat ziarah.

(PP.Aris Sari Baru Krajan Kulon Kaliwungu Kendal ) Pertanyaan

a. Bagaimana hukum naik ojek bagi kaum wanita saat ziarah, berangkat ke pasar atau majlis ta’lim?


(2)

Hukum naik ojek bagi kaum wanita tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) seperti :

 Tidak terjadi ikhtilath (persinggungan badan)

 Tidak terjadi kholwah (berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan)

 Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan syara’  Tidak terjadi persentuhan kulit

Sedang bepergian bagi wanita untuk kepentingan ziarah atau yang lain menurut satu pendapat diperbolehkan meski tidak disertai mahram apabila aman dari fitnah (hal-hal yang diharamkan) Pertanyaan

b. Bolehkah tukang ojek laki-laki melayani jasa ojek penumpang wanita? Jawaban

Tidak diperbolehkan apabila memenuhi persayaratan dalam sub a. R E F E R E N S I

2.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. III hal.91 3.Syarh Muslim vol. XIV hal.164-166 4.I’ânah at-Thâlibîn vol.I hal.272

5.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. II hal.290-291 6.Al-Mufashal fi Ahkâm al-Mar’ah vol. III hal.421 7.Al-Bujairamy ala al-Manhaj vol. III hal.328 8.Al-Qamus al-Fiqhy vol.I hal.122

9.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. IXX hal.267 10.Bughyah al-Mustarsyidin hal.199-200 11.Is’ad ar-Rafiq vol. II hal.102

12.I’ânah at-Thâlibîn vol. III hal.261 13.Al-Majmu’ vol. VIII hal.311 14.Tarsyih al-Mustafidin hal. 352 1. 19 ـÖí ثđÀÎđ¿ ءâÒđ¿ ÆĦÊĥĠĎđ¿ ÆĦĞĊĆđ¿ ÆýĠåĠĖđ¿

“ ĔĎÖđ¿ق ĢĚþĖđ¿ ¿Þĝ Ęý ءÀĞĊĆđ¿ ďÀĖþÊå¿ ÏàÚĥ اğ ĜĆĒÙ ĜÄčßأ ĜفÛßأğ فÛßأ ßÜîĕ ف¿Ûßإ¿ـ9 كفĥàþÊđ¿ ف¿Ûß¹ ĤđÀĖÑإ¿

ك 2 ـ

ĐòĆĒđ ĐÑàĒđ ĐÑàđ¿ ف¿Ûß¹ áĠÒĥ ďĠåàđ¿ ف¿Ûßإ ÅĠĞé ÅßÀث¹ ğأ ÛÀæف Ģđ¹ Û¸ĥ Ĕđ ¿Ý¹ ÅأàĖĒđ ÅأàĖđ¿ğ ĘÃ Ç¿Ý ÅأàĖĒđ ĐÑàđ¿ ف¿Ûß¹ğ ÀĞĚý ه¿ Ĥñß ÆĦĆí ĜÊÑğâĒđĠåàđ¿ ف¿Ûßإ ÀĞÑğâđ ÅأàĖđ¿ğ ĜÉأàĕا ĐÑàđ¿ ف¿Ûß¹ áĠÒĥğ ãÀÄþđ¿ ءÀĊÉ¿ğ üئ¿ßÞĒđ ¿Üå ûĠĚĖĕ ĠĞف ÆĦÄĚÑأ¿ ÅأàĖĒđ ĐÑàđ¿ğ ĤÄĚÑأ¿ ĐÑàĒđ ÅأàĖđ¿ ف¿Ûß¹ Àĕأğ ÅĠĞêđ¿ Ęĕأ üĕ âئÀÑ ēàÖĖđ¿ ĔÕàđ¿

ÆĕàÖĖđ¿ ÅĠĞêĒđ

2. 911-911 ـÖí àêý üÿàđ¿ ءâÒđ¿ ĔĒæĕ ĢĒý ģğĠĚđ¿ Óàé

( Ģđ¹ـ ) ĘÒþÉğ ءÀĖđ¿ ĢĊÊæÉğ ĜĆĒþÉğ ĜÖñÀĚđ ĠĚđ¿ ćÜÉğ ĜåĠæÉğ ĜÊę¸ĕ ĜĦĆĎÉğ àĦÃâđ¿ ÀĞÑğá ãàف فĒþÉ ÈęÀč ÀĞęأ ءÀĖåأ Ęý ĜĆĒÙ ĢĚĒĖÖĦđ ×¹ ×¹ ďÀĉğ ĤęÀýÜف ĜÃÀÖíأ Ęĕ àĆę Ĝþĕ ĢĒý ġĠĚđ¿ğ ÀĕĠĥ ȾÒف ( -ďÀĉ ėأ ÈĦĦÖÊåÀĆĞĒđ¿ ďĠåß ÈĦĊĒف Ģåأß ثĥÜÖđ¿ ¿Þĝ Ģفğ ċàÄĦđ àĦþÄĒđ ďÀĊÉ ÆĖĒč Ģĝğ ÆĖÒþĖđ¿ ءÀÚđ¿ ėÀĎå¿ğ ÅâĖĞđ¿ àæĎà ĤĞف ×¹ ×¹ ÆúĆđ Àĕأ ) ČÉàĦغ Èفàýğ ĘĦĚĕ¸Ėđ¿ ĢĒý ÆĊĆêđ¿ Ęĕ ÀĞþñ¿Ġĕ Ģف ÀĞęÀĦà ĈÄå ÔĦÖîđ¿ Ģف ÅàĦÎč àئÀúę Ĝđğ ÆĊĦöĕ ÈęÀč ¿Ý¿ ÆÿÜđ¿ ĢĒý ف¿Ûßا¿ á¿ĠÑ

ĔĞÉÀå¿Ġĕğ ĔĞÊĖÕßğ ÇÀĚĕ¸Ėđ¿ğ Ĉĥàõ Ģف ÇÜÑğ ¿Ý¿ ÀĕàÖĕ ÈæĦđ ĢÊđ¿ ÅأàĖđ¿ ف¿Ûß¿ á¿ĠÑ ĜĦفğ ĜĚĎĕأ ÀĖĦĆĞĦĒý ėÀč Àĕ ĜĦفğ Ęĕ ÅÜýÀÄĖđÀà Àęàĕأ ÜĊف ěàĦغ فاÚà ĤñÀĊđ¿ ďÀĉğ ¿Þĝ ĐÎĕ á¿ĠÑ Ģف Čé اğ ĘĦÖđÀí ďÀÑß ÆýÀĖÑ üĕ ÀĖĦå ا ÈĦýأ Üĉ

ďÀÑàđ¿ ãÀĆęأÆĦíĠîÙ ěÞĝ ÈęÀč ÀĖę¿ğ ďÀĉ ĜÊĕأ Ĝà ġÜÊĊĦđ ĘĞÉÜýÀÄĖġÄĚĒđ ëÀÙ ¿Þĝ ïÀĦý ÀĞęĠĎđ ĜĒĞÉÛÀý ÈęÀčğ ءÀæĚđ¿ğ ĐĎà فاÙاà âئÀÒف ēßÀÖĖđ¿ ف¿Ûß¿ Àĕأğ ĜÃßا ČĒĕأ Ĝęأ ĜئÀæęğ ĜĒĝأ ġÜÕÀč ÈęÀĎف àĦÃâđ¿ Åأàĕ¿ğ ÆêئÀý ÈÙأğ àĎà ĢÃأ ÈĚÃ

ďÀÕĜà ìÙ Àĕ üĕ


(3)

ûÀĖÊÑا¿ğ ē¿àÖđ¿ àþêĖđ¿ ğأ Æفàý ÆĒĦđ فĠĉĠđ¿ ĜĚĕğ ėÀÄþé Ęĕ فîĚđ¿ ÆĒĦđğ ÂÑß Ęĕ ÆþĖÑ ďğأ ÂئÀغàđ¿ ÆĒĦđ Åاîđ¿ ĜĚĕğ Ĝęºف ĔĞĕÀæÑأ ēÀòÊÉ ėنà ءÀæĚđÀà ďÀÑàđ¿ óاÊÙ¿ ĜĦف ĘĎĥ Ĕđ Àĕ ěàĎĦف ÀĞĦĒý ÂöÚđ¿ğ àÃÀĚĖđ¿ Âîęğ ėÀòĕß àÙآ ēĠÊÚđ¿ ĤđÀĦđ

Ĉæفğ ē¿àÕ

4. 219 -212 ـÖí ĤęÀÎđ¿ ءâÒđ¿ ÆĦĞĊĆđ¿ ÆýĠåĠĖđ¿

Ĥف ÀĖč ĘĎĖĥ ا Üĉğ , ÇÀę¿ĠĦÖđ¿ Ĥف ÀĖč ÀĖĞĚĦà âĦĦĖÊđ¿ ĘĎĖĥ Üĉğ , ءĤêđ¿ Ģđ¹ ءĤêđ¿ Ĕñ óاÊÙا¿ ـ 9 : فĥàþÊđ¿ óاÊÙ¿ ءÀĞĊĆđ¿ ďÀĖþÊå¿ ÏàÚĥ اğ . ÀÑâĕ ėĠĎĦف ÇÀþئÀĖđ¿ : ÆĒîđ¿ Ç¿Ý ÷ÀĆđأ¿ . ĢĚþĖđ¿ ¿Þĝ Ęý Ĝđ

2 ـ ءĤé ēÀĖòę¿ Ġĝ Ï¿âÊĕا¿

ĘĎĖĥ ا Àĕğ ĜĦف âĦĦĖÊđ¿ ĘĎĖĥ Àĕ ĜđĠĖêđ ; Ĕýأ ĜęنÃ óاÊÙا¿ ĜĚý فĒÊÚĥğ , ÀĖĞĚĦÃ âĦĦĖÊđ¿ ĘĎĖĥ ا ثĦÖÃ ءĤé Ģđ¹ ـ

ėأ Ģđ¹

ďÀĉ - : ءÀæĚđÀà ďÀÑàđ¿ óاÊÙ¿ 1

ـ ¿Ġĕ ÂæÖà ءÀæĚđÀà ďÀÑàđ¿ óاÊÙ¿ ĔĎÕ فĒÊÚĥ ēàÖĦف , ĜÊĊف¿Ġĕ ēÜý ğأ Æþĥàêđ¿ Üý¿ĠĊđ ĜÊĊف

أ : ĜĦف ėÀč ¿Ý¹ óاÊÙا¿ . ـ

Á . ÀĞĦđ¹ ÅĠĞêà àúĚđ¿ğ , ÆĦÄĚÑأÀà ÅĠĒÚđ¿ ـ

Ï . ÀĞĕÀêÊÕ¿ ēÜýğ ÅأàĖđ¿ ďÞÄÉ ـ

ĠĞđğ ثÄý

¿àÕ ßĠĕأ¿ ěÞĝ ĐÎĕ ĜĦف ėĠĎĥ ģÞđ¿ óاÊÙاÀف , ÛÀĦýأ¿ğ Üđ¿ĠĖđ¿ğ Ó¿àفأ¿ Ĥف óاÊÙاÀč ė¿ÜÃأđ Ææĕاĕğ Üý¿ĠĊđ ĜÊĆđÀÚĖđ , ē

Æþĥàêđ¿ ـ ďÀĉ ėأ Ģđ¹ -

ďĠĊĥğ . ÆÖفÀîĖđÀà ãنà اف ĢĞÊêÉ ا ¿áĠÒý ÈęÀč ¿Ý¹ ا¹ , ÆĦÄĚÑأ¿ äĖđ ÆĕàÕ ĢĒý ءÀĞĊĆđ¿ ĈĆÉ¿ ČđÞč

ûßÀêđ¿ ĜĕàÕ Àĕ ĜĦف ėÀč ¿Ý¹ ðþÄđ ĔĞòþà ÅÛÀĞé ĐÄĊÉ ا , ءÀæĚđ¿ğ ďÀÑàđ¿ ÀĞĦف ÏâÊĖĥ ĤÊđ¿ ã¿àýأ¿ Ĥف : ėĠÕàف Ęÿ ; ėأ ßĠòÖà üñĠĕ ČđÝ ėأ äĖđğ àúę Ęĕ ÂĦÄöđ¿ Ĝà ēĠĊĥ Àĕ ēàÖĖđ¿ óاÊÙا¿ Ęĕ ĢĚÎÊæĥğ . ĘĞÊđ¿Üý ôĊæÉ üñ¿ĠĖđ¿ ěÞĝ Ęĝ

Ç¿ßĠúÖĖđ¿ ÔĦÄÉ Ç¿ßğàòđ¿ğ , Åßğàñ. 5 ـ Æþĥàêđ¿ Üý¿Ġĉ ÅÀý¿àĕ üĕ Æýğàêĕ ÆÑÀÕ ċÀĚĝ ÈęÀč ¿Ý¹ óاÊÙا¿ áĠÒĥğ Ñأğ , ÜĦþđ¿ Åاíğ ûÀĖÒđ¿ Åاîđ ÅأàĖđ¿ ÏğàÙ áÀÑ ČđÞđğ . ďÀÑàđ¿ Ęĕ ÆęĠĕنĕ ÆĊفß üĕ ÐÖđ¿ ÆòĥàĆđ ÀĞÑğàÙ ðþÄđ¿ áÀ

Ģđ¹ نÒĒÉ ÅàĦÄĎđ¿ ÆÃâþđ¿ ÅأàĖđ¿ Ęý ČđÀĕ ēÀĕإ¿ Đ¾å ÜĊđğ . ČđÝ àĦغ ğأ ÅßÀѹ ğأ ء¿àé ğأ üĦÄà ďÀÑàđ¿ ÆĒĕÀþĕ ÅأàĖĒđ áĠÒĥ ČđÞč ãنà ا : ďÀĉ ؟ ÀĚæÕ Ĝđ ČđÝ ġàÉ Đĝ , ÆÑÀÖđ¿ ÀĞđğÀĚĥğ , ÀĞÒئ¿ĠÖà ÀĞđ ēĠĊĦف , ĐÑàđ¿ Ġđğ , Ĥđ¹ ÂÕأ ěàĦغ Ĝþĕ ĐÙÜĦđğ , ĜÃ

ĜĦđ¹ àúĚđ¿ Ĝđ ĐÖĥ ا ÀĖý ěàîà ðغ ¿Ý¹ ďÀĉ Àĕ ĢĒý ¿Þĝ : Üéß Ęÿ ďÀĉ , ÈýÀòđ ãÀĚđ¿ ÀĞčàÉ . 5. 129 ـÖí ثđÀÎđ¿ ءâÒđ¿ ÅأàĖđ¿ ēÀĎÕأ Ĥف ĐîĆĖđ¿

ء¿àѺĞĕâĒÊæĥ Àĕ ÆÑÀÖđ¿ ÇاÀÕ Ęĕğ Àòĥأ ÆÑÀÖĒđ áĠÒĥ ÅßğàòĒđ óاÊÙا¿ áĠÒĥ ÀĖčğ ÆĦýàêđ¿ ÇاĕÀþĖđ¿ ء¿àÑإ óاÊÙا¿ ÆĕğÀæĖĒđ ĐÑàđ¿ üĕ ÀĞýÀĖÊÑ¿ ÅÛÀý ēâĒÊæĥ ÇاĕÀþĖđ¿ ěÞĝ ء¿àѹ ėأ ÀĖĝàĦغğ ء¿àéğ üĦà Ęĕ ÀĞđ ÅâئÀÒđ¿ ÆĦđÀĖđ¿ ÇاĕÀþĖđ¿ ėأğ ÆđÞÊÄĕ ÏàÚÉ ا ėأ ÀĞĕâĒĥ ÀĖč ÀęàčÝ ÀĖč ÆĕàÖĕ ÀĞęأ ĐÑàđÀà ÅĠĒÚđ¿ ēÜý óàÊêĥ ĘĎđğ ÜĊþđ¿ ēàÃأ Ĕث ÜĊþđ¿ ĐÖĕ Æĥؤßğ

ĐÄĉ Ęĕ ěÀĚĦà ģÞđ¿ ĠÖĚđ¿ ĢĒý ĘĥàÙħ¿ üĕ ÀĞÉĠíğ ÀĞĕاč Ĥفğ ÀĞåÀÄđ Ĥف ĜĕÀĎÕأğ ûàêđ¿ ÛğÜÕ ēâÊĒÉ 6. 823 ـÖí ثđÀÎđ¿ ءâÒđ¿ ÐĞĚĖđ¿ ĢĒý ĤĕàĦÒÄđ¿ ÆĦéÀÕ

ÛÜþđ¿ ÁÀÊč Ęĕ ß ē ĢĒý ç û ÅĠĒÙ Üþĥ اف ÅÛÀý ÀĞئÀĆÊęÀà üöĉ Ġđ Àĕ فاÚà ÅÛÀý ÆÄĥàđ¿ Ĝþĕ Ęĕ¸É ا ûÀĖÊÑ¿ ÅĠĒÚđ¿ ôÃÀñğ 7. 922 ـÖí ďğأ¿ ءâÒđ¿ ĤĞĊĆđ¿ ãĠĕÀĊđ¿

ÜÕأ ßĠòÖč ĐĊþđ¿ ÆĞÑ Ęĕ ءóĠđ¿ Ęĕ üĚĖĥ ا ĜÑğ ĢĒý ĜÉأàĕÀà ĐÑàđ¿ ĠĒÚĥ ėأ Àýàé ÀĝàĦغà ğأ äĆĚđÀà ۿàĆęا¿ ėÀĎĕ ÅĠĒÚđ¿ ÜÒæĖč ûàêđ¿ ÆĞÑ Ęĕ ğأ ãÀĚđ¿ Ęĕ

8. 217 ـÖí àêý üåÀÊđ¿ ءâÒđ¿ ÆĦĞĊĆđ¿ ÆýĠåĠĖđ¿

ėĠþĖæĥ ا ثĦÖà Đà , ĔĞĚý ÀĖĞíÀÚéأ ÂÒÊÖÉ ا ثĦÖà ãÀĚđ¿ ÛĠÑğ Ĥف ÅأàĕÀà ĐÑß Û¿àĆę¿ ĢĚþĖà ÅĠĒÚđ¿ Àòĥأ ÓÀÄĖđ¿ Ęĕğ ģßÀÚÄđ¿ ÔĦÖí Ĥف ءÀÑ ÜĊف ÀĖĞĕاč : { àÒÕ Ęÿ ėĠĚýğ } ÀĞà اÚف ĔĒåğ ĜĦĒý ه¿ ĢĒí ĤÄĚđ¿ Ģđ¹ ßÀîęأ¿ Ęĕ Åأàĕ¿ ÇءÀÑ

đ¿ ĠĒÚĥ ėأ áĠÒĥ Àĕ ÁÀÄà ثĥÜÖđ¿ ¿ÞĞđ Đà , ĔĞĚý ÀĖĞíÀÚéأ ÂÒÊÖÉ ثĦÖà ÀĞà ĠĒÚĥ ا : ĜđĠĊà ÂĊýğ , ãÀĚđ¿ ÜĚý ÅأàĖđÀà ĐÑà

ÅĠĒÚđÀč Àĕ¿àÕ ÅĠĒÚđ¿ ėĠĎÉğ ãÀĚđ¿ ĘĦà ěàčÝ Ęĕ ÅأàĖđ¿ ĤÖÊæÉ ģÞđ¿ ءĤêđÀč Ĝà ÈفÀÚĥ ÀĖà ėÀč ¿Ý¹ ÀĖĞĕاč ėĠþĖæĥ ا ثĦÖà ÆÄÑ¿ğ ÆĦÄĚÑأÀà ÅĠĒÚđ¿ ėĠĎÉ Üĉğ . ĜĒĦîĆÉ ĤÉنĦå Àĕ ĢĒý ÆĦÄĚÑأÀà Æĥàà Ĥف ÆþöĊĚĕ ÆĦÄĚÑأ Åأàĕ¿ ÜÑğ ĘĖč , Åßğàòđ¿ ďÀÕ Ĥف

, ÈčàÉ Ġđ ċاĞđ¿ ÀĞĦĒý فÀÚĥğ 9. 911- 222 ـÖí ĘĥÜéàÊæĖđ¿ ÆĦغÃ

( ČđÞà ÆĆîÊĕ ÅأàĕÀà ÆêÕÀف ûĠĉğ ÜþÄĥ Ĝęأ ,ĜæĎý فاÚà ÀĖĞĖêÊÖĥ ĘĦÉأàĕÀà ĐÑß ÅĠĒÙ ÈَĒÕ ÀĖę¹ğ :ÆĆÖÊđ¿ Ĥف ďÀĉ :)Æđنæĕ Ñàđ¿ ČđÞč اğ ÀĞĒÎĕ ßĠòÕ üĕ ,ĜÒÊĕ Ġĝğ ĜĒÎĖà Ûàĕأ اğ Đà ًÀĊĒöĕ Ĕĝàúę ēàÖĥ ÛàĖà ĐÑß ÅĠĒÙ ĐÖÉ ا Ĝęأ ÞÙ¸ĥ ĜĚĕğ ,Đ

Ĝęأ ÅĠĒÙ ĘĎÉ Ĕđ ĐÑß ĢĒý ÜÒæĖđ¿ Åأàĕ¿ ÈĒÙÛ Ġđ :ďÀĆĊđ¿ Ęý ôåĠÊđ¿ Ĥفğ ,ėàÎč ė¹ğ ÇÀĊث ءÀæę àĦغà ĐÑß ÅĠĒÙ áĠÒÉ اğ ـĝ¿ ÜÕأ Đč ĜĒÙÜĥ. ČđÞč ćğàöĖđ¿ ěàĦغ ğأ Ĉĥàöđ¿ ČđÝ Ĥف ĜĒÎĕğ ,ÅÛÀý ěĠĉßÀõ üöĊĚĥ ا ćğàöĕ ÜÒæĕ Ĥف ČđÝ ĜÒÊĥ ÀĖę¹ğ 10. ÀĦÿßĠå ك Æĥ¿ÜĞđ¿ ك ÆÄÊĎĕ922 ـÖí ĢęÀÎđ¿ ءâÒđ¿ ĈĦفàđ¿ ÛÀþå¹

ÅĠĞé àĦغà ğأ ÅĠĞêà ÀĊĒöĕ ĐئÀÕ àĦغÃğ ¿ÜĖý ČđÝ ėÀč ¿Ý¹ ÆĦÄĚÑأ¿ ÅأàĖđ¿ ėÜà Ęĕ ءâÑ äĖđ ÀĞĚĕğ . 11. 219 ـÖí ثđÀÎđ¿ ءâÒđ¿ ĘĦÄđÀöđ¿ ÆęÀý¹

úę ēàÕ ثĦÕğ ÀĊĒöĕ ÆĦÄĚÑأ¿ ĜÑğ äĕ ēàÖĥ Ĕþę ÅÞĒđ¿ Ĥف غĒÃأ Ĝęأ ĐئÀÕ اÃ Ĝæĕ ēàÕ ěà


(4)

¿ ēàÖĥ Üĉğ ôĊف äĖđÀà ÆĒþđ¿ Æفàþĕ ÂĦÄöđ¿ ĘĎĕأ ėنč äĖđ¿ ėğÛ àúĚđ¿ ēàÖĥ Üĉğ Àĝàúę ēàÖĥ Ęöà äĖč àúĚđ¿ ėğÛ äĖđ

¿Þčğ ÆĆÖÊđ¿ Ĥف ďÀĉ ) ĐئÀÕ اà ĜđĠĉ ( ÆĦÄĒغأ ÀĕĠĞĆĕğ ÀĉĠöĚĕ ÅßĠčÞĖđ¿ ÅÜýÀĊđÀف ČđÝ ÈĖĒý ¿Ý¹ ÈĖĒý ÀĖč ÀĝàĞظ ğأ ēàÖĖđ¿ ğأ àúĚđ¿ ÆĕàÕ ĢĒý äĖđ¿ ÆĕàÕ ÂÉàÊđ ÆĒý ) Øđ¿ Ĝęأ ĜđĠĉ ( ě¿ Ģđğأ äĖđ¿ Đà àĕ Àĕ ĢĒý ÀĞĚĕأ ė¹ğ Đà ÆĚÊف فÀÙ ė¹ Ĝþĕ

ģأ ßÜĊĖđ àöفأ Ĝà ďâęأ Ġđ Ĝęأ àúĚđ¿ Ęĕ ģأ غĒÃأ ėÀč ÀĖę¹ğ ÅĠĞêđ¿ ÅßÀث¹ğ ģأ ÅÞĒđ¿ Ĥف غĒÃأ ĜđĠĉğ Øđ¿ Ĝęأ ĢđğأÀà äĕ ēàÕ

ÅÛÀĞé ğأ ĔĦĒþÉ ğأ ÆÄöÙ ĠÖĚđ ěàúę ĐÕ ė¹ğ ģأ ) ÀĊĒöĕ ÆĦÄĚÑأ¿ ĜÑğ äĕ ēàÖĥ Ĕþę ĜđĠĉ ( اف àúĚđÀà ďâęأ Ġđ Àĕ فاÚÃ Õ Ĝęأ ĘÊĖđ¿ ĜĖĞفأ Àĕğ ÆĆÖÊđ¿ ÅßÀÄýğ ĠÖĚđ ěàúę ĐÕ ė¹ğ ÆĦÄĚÑأ ĜÑğ äĕ ĐÑàđ ĐÖĥ اف Àòĥأ ĤÄĒغأ äĖđ¿ ĐÕ àúĚđ¿ ĐÕ ثĦ

ـĝ¿ ĜæĎýğ ÀĝÜÄý ėÜà Ęĕ ءĤé äĕ ÅÜĦæđ اğ ĔĦĒþÉ ğأ ÅÛÀĞé ğأ ÆÄöÙ 12. 899 ـÖí ĘĕÀÎđ¿ ءâÒđ¿ ûĠĖÒĖđ¿

ا¸ĝ àĦغ Ęĕ áĠÒĥ اğ , ÆĊث Åأàĕ¿ ğأ ēàÖĕ ğأ Ïğá üĕ ÂÑ¿Ġđ¿ ÐÖĒđ ÏğàÚđ¿ áĠÒĥ Ĝęأ ĜĒíÀÕğ , ÀĚĕآ Ĉĥàöđ¿ ėÀč ė¹ğ , ء

ĢĒý áĠÒĥ اف ÂÑ¿Ġà äĦđ àĆå Đčğ ÅßÀÒÊđ¿ğ ÅßÀĥâđ¿ àĆåğ ûĠöÊđ¿ ÐÕ Àĕأğ . ÀĚĕآ ėÀč ė¹ áĠÒĥ Ĝęأ فĦþñ ĜÑğ ĜĦفğ ěÞĝ ÈĊÄå Üĉğ , ÂÑ¿Ġđ¿ ÐÖđÀč ÆĊث Åأàĕ¿ ğأ ÅĠæę üĕ áĠÒĥ : ĐĦĉğ , ēàÖĕ ğأ Ïğá üĕ ا¹ ëĠîĚĖđ¿ ÔĦÖîđ¿ ÂĝÞĖđ¿ ďğأ Ĥف ÅàîÊÚĕ ÆđنæĖđ¿ , ÅأàĖđ¿ ÐÕ Ĥف ÀĚÄĝÞĕ ĐĦîĆÉ ÀęàčÝ Üĉ ) ûàف ( . ĔĒýأ ه¿ğ ÅأàĖđ¿ ÆýÀöÊå¿ àčÝ Ĥف ÐÖđ¿ ÁÀÊč

áĠÒĥ اğ ēàÖĖđ¿ óàÊêĥ اğ , ÆĊث Åأàĕ¿ ğأ . ÇÀĊث ÅĠæę üĕ ÏàÚÉ ėأ ïàĆđ¿ ÐÕ àĆå Ĥف ÀĞđ áĠÒĥ Ĝęأ ÔĦÖîđ¿ ėأ ÀęàčÝğ Àĉğ . ēàÖĖà ا¹ ÀĖĝĠÖęğ ÅßÀĥâđ¿ğ ÅßÀÒÊđ¿ àĆåğ ûĠöÊđ¿ Ĥف ÀĚĕآ Ĉĥàöđ¿ ėÀč ¿Ý¹ Åأàĕ¿ اğ ءÀæę àĦغà áĠÒĥ : ÀĚÃÀÖíأ ðþà ď

Ûğ¿Ûğ ģàîÄđ¿ ĘæÖđ¿ ďÀĉ ¿ÞĞÃğ . 13. ـÖí ĘĥÜĦĆÊæĖđ¿ ÔĦéàÉ352

( ďÀĉ ÈĚĕأ ¿Ý¿ ÀĝÜÕğ Ġđğ ÂÑ¿ğ ĐĎč ēاåإ¿ ïàĆđ ÏğàÚđ¿ ÀĞđ áĠÒĦف ěàĦغğ ĤĚغĖđ¿ Ĥف ÀĖč ÜĦĊà äĦđ ) ÆĊث Åأàĕ¿ üĕ ĜđĠĉ ¿ Ęĕğ : ĔĥàĎđ¿ ġàêà Ĥف

ـĝ¹ ÆÃÀé Ġđğ ÂÑ¿ğ ďاÖđ¿ ÂĒõ ėأ ÀĞÊث¿àÕ ĐÖĕ Ģđ¿ ÅأàĖđ¿ ÏğàÙ ÂÑ¿Ġđ

c. Bagaimana pula hukum wanita berprofesi sebagai tukang ojek? Jawaban

Tidak diperbolehkan karena sulitnya menghindar dari hal-hal yang diharamkan seperti tasyabbuh dan hal-hal yang menimbulkan fitnah.

R E F E R E N S I

1.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. III hal.91 2.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. VII hal.82

3.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. IXX hal.108 4.Raudlah at-Thalibin vol. X hal.224 5.Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah vol. VII hal.83-84

6.Al-Mufashal vol. IV hal. 265

1. 19 ـÖí ثđÀÎđ¿ ءâÒđ¿ ÆĦÊĥĠĎđ¿ ÆĦĞĊĆđ¿ ÆýĠåĠĖđ¿

ق ĔĎÖđ¿ق ĢĚþĖđ¿ ¿Þĝ Ęý ءÀĞĊĆđ¿ ďÀĖþÊå¿ ÏàÚĥ اğ ĜĆĒÙ ĜÄčßأ ĜفÛßأğ فÛßأ ßÜîĕ ف¿Ûßإ¿ـ9 كفĥàþÊđ¿ ف¿Ûß¹ ĤđÀĖÑإ¿

ك 2 ـ

ĐòĆĒđ ĐÑàĒđ ĐÑàđ¿ ف¿Ûß¹ áĠÒĥ ďĠåàđ¿ ف¿Ûßإ ÅĠĞé ÅßÀث¹ ğأ ÛÀæف Ģđ¹ Û¸ĥ Ĕđ ¿Ý¹ ÅأàĖĒđ ÅأàĖđ¿ğ ĘÃ Ç¿Ý ÅأàĖĒđ ĐÑàđ¿ ف¿Ûß¹ğ ÀĞĚý ه¿ Ĥñß ÆĦĆí ĜÊÑğâĒđĠåàđ¿ ف¿Ûßإ ÀĞÑğâđ ÅأàĖđ¿ğ ĜÉأàĕا ĐÑàđ¿ ف¿Ûß¹ áĠÒĥğ ãÀÄþđ¿ ءÀĊÉ¿ğ üئ¿ßÞĒđ ¿Üå ûĠĚĖĕ ĠĞف ÆĦÄĚÑأ¿ ÅأàĖĒđ ĐÑàđ¿ğ ĤÄĚÑأ¿ ĐÑàĒđ ÅأàĖđ¿ ف¿Ûß¹ Àĕأğ ÅĠĞêđ¿ Ęĕأ üĕ âئÀÑ ēàÖĖđ¿ ĔÕàđ¿

ĠĞêĒđ ÆĕàÖĖđ¿ Å

2. 38 ـÖí üÃÀæđ¿ ءâÒđ¿ ÆĦĞĊĆđ¿ ÆýĠåĠĖđ¿

ـĝ ـ : ĐĖþđ¿ ĈÕ 91

ـ

ÆĥÀýßğ ÀĞÊĦà Åß¿Û¹ Ĥĝ Ģđğأ¿ ÅأàĖđ¿ ÆĆĦظğ ėأ Đíأ¿ { ÈĦà Ĥف ÆĦý¿ß ÅأàĖđ¿ ÀĞئÀĚÃأ ÆĦÃàÉğ ÀĞÉàåأ ف , ÀĞæĆę ĢĒý ćÀĆęإÀà ÆÄđÀöĕ àĦغ Ĥĝğ . } ÀĞÊĦýß Ęý ÆđĠ¾æĕğ ÀĞÑğâĦÄĚđ¿ ďĠĊĥ , ÀĞĒþÄÉ ĘæÕğ ğأ ÀĞĦÃأ ĢĒý ÆÄÑ¿ğ ÀĞÊĊĆĚ

Ęĕ ÅأàĖđ¿ üĚĖĥ ا ēاåإÀف ČđÝ üĕğ . ĘĥÜĝÀÒĖđ¿ ĐĖý ģğÀæĥ ÈĦÄđ¿ Ĥف ÀĞĒĖýğ , ÈĦÄđ¿ Ġĝ ÀĞĒĖý ďÀÒĕ ėÀč ČđÞđ ; ÀĞÑğá ÀĞđÀĖà àÑÀÊÉ ėأğ , ÀĝàĦغ ÀĞĒčĠĥğ , ÀĝàĦغ ĐčĠÉ ėأğ , ģàÊêÉğ üĦÄÉ ėأ ÀĞĒف ĐĖþđ¿ , Èĕ¿Û Àĕ ČđÝ Ęĕ ÀĞþĚĕ ÜÕأ äĦđğ

ÆĦý¿àĕ üĦÄĒđ ĜÑĠđ¿ á¿àù Ģđ¹ ĠýÜÉ ÆÑÀÖđ¿ ėأ : ءÀĞĊĆđ¿ ďÀĉ , ÀĞĦĆčğ ÀĞĞÑğ فêč ÀĞđ ÔĦÃأ ČđÞđğ , ĜÿÛآğ ûàêđ¿ ēÀĎÕأ

; . . ĘĦĆĎđ¿ğ ĜÑĠđ¿ Ģđ¹ ا¹ ÆĦÄĚÑأ¿ ÅàÖđ¿ Ģđ¹ ĐÑàđ¿ àúĚĥ ا : ßÀĦÊÙا¿ Ĥفğ . ءÀöýإ¿ğ ÞÙأđ فĎđ¿ á¿àù Ģđ¹ğ , ء¿àêđ¿ğ Àöýإ¿ğ ÞÙأđ Åßğàñ ČđÝ Ĥف ėأ ÁÀÄåنà ēĠĊĥ Ęĕ ēÜþđ ÀĝÛÀþĕğ ÀĞéÀþĕ ÆĕÀĉإ ; ÂęÀÑأ¿ üĕ ÆĒĕÀþĖđ¿ ÜĚý ÀĞĞÑğ Æفàþĕğ ء


(5)

Õ ôĊæĥğ , Ïğá Ç¿Ý ÈęÀčğ ÏğàÚđ¿ ÀĞĒĖý ĢýÜÊå¿ ė¹ , ÏğàÚĒđ Ïğâđ¿

ÀĞĦĒý ćÀĆęإ¿ Ęý üĚÊĕ¿ ¿Ý¹ ėÝإ¿ Ĥف ĜĊ . Ĥف ءÀÑ

ÆÑğâĒđğ , üÿàđ¿ ÆÖĦÄí ØæĆđ¿ ÀĞđğ , ēÀĥأ Æثاث ĜđÀĞĕ¹ àĞظأÀف ßÀæýإ¿ ĈĊÖÉğ ÆĊĆĚđÀà Ïğâđ¿ àæýأ ¿Ý¹ : ÏÀÊÖĖđ¿ ÆĥÀĞę ـ

ÆĦĚغ ÈęÀč ė¹ğ ـ

Ĥف üĚĖđ¿ ėأ ÀĞþĚĕ Ĝđ äĦđğ , Âæč ĠÖĚà ÆĊĆĚđ¿ ĐĦîÖÊđ ¿ßÀĞę ÆĒĞĖđ¿ Ęĕá ÏğàÚđ¿ Ĥفğ . ÆĊĆĚđ¿ ĐÃÀĊĕ

Ç¿Û¿ßإ¿ ĢĞÊĚĕ: ĜĚĕ ÀĞæĆę üĚĖÉ Ĕđ ėºف , ÀĞæĆę üĚĕ üĕ Ĝþĕ ēÀĊĖđ¿ ĘĦÃğ ØæĆđ¿ ĘĦà ÆÑğâđ¿ ÇàĦÙ ÆĊĆĚđÀà Ïğâđ¿ àæýأ ¿Ý¹ ÀÄæĎÉ ÀĞþĚĖĥ اف ÀĞà ûÀÊĖÊåا¿ Ęĕ ĜÊĚĎĕğ , ÅàĦĊف ğأ ÆĦĚغ ÈęÀč ء¿Ġåğ ÀĞà ߿àñ¹ Ĝęأ ØæĆÉ Ĕđ ¿Ý¹ ĜÉàæý üĕ ÀĞæÄÖĥ اğ;

Ĝęأ

ĜĚĕ ÀĞđ Üà ا ÀĖý ÀĝÀĚغأğ ÆęĠ¾Ėđ¿ ÀĝÀĆč ¿Ý¹ ÀĞæÄÕ ČĒĖĥ ÀĖę¹ . ÔÊف Ĥف ءÀÑ . ÇÀĥÀĆĎđ¿ ïğàف Ęĕ ĐĖþđ¿ ėÀč ¿Ý¹ ČđÞčğ ÆĦéÀÕ Ĥف ČđÝ ĐÎĕğ , ėÝإ¿ àĦغÃğ ėÝإÀà ÏàÚÉ ĈÕ ÀĞĦĒý àÙħ ğأ , àÙآ ĢĒý ĈÕ ÀĞđ ėÀč ğأ , ÆĒÃÀĉ ÅأàĖđ¿ ÈęÀč ė¹ : àĥÜĊđ¿

ďá¿ĠĚđ¿ ûĠĖÒĕ Ęý ĤÄĒÑ ģÜþå ėÝإÀà ÀĞÑğàÙ ÜĦĦĊÉ ÆĦęÀÚđ¿ Ęý àÖÄđ¿ Ĥفğ : ďÀĉ ÔÊĆđ¿ Ĥف Àĕ ĐĊę ėأ Üþà ĘĥÜÃÀý Ęÿ ėأ ا¹ .

ėğÛ ÆÃßÀòĕ ĜþفÜÉ ğأ ĜčßÀêÉ ėنč , ÀĝàĦغ üĕ Ĝà àÑÀÊÉ ėأ ÀĞĒف ďÀĕ ÀĞđ ėÀč ¿Ý¹ğ , ¿Þĝ . ÆĥÀĆĎđ¿ ïàف ĢĒý ēÜĊĕ ĜĊÕ ėأ ; ģأ ÆÑğâđ¿ ï¿àĉ : ĐĦĒčإ¿ àĝ¿ĠÑ Ĥف ءÀÑ . ÜÕأ Ęĕ ėݹ ; ÀĉÀĆÉ¿ ĜĦف ÀĞĦĒý àÒÖĥ اف , ĜÖÃß ðþÄà ĜĦف àÒÊĥ ĘĖđ اÀĕ ÀĞþفÛ

ÅßÀÒÊđ¿ Ęĕ Ĝęأ ـ

ďÀĉ ėأ Ģđ¹ -

فÀĆþđ¿ğ ïàþđ¿ ÆęÀĦí Ęĕ ÂÒĥ Àĕ üĕ ĢفÀĚÊÉ ا ÛğÜÕ Ĥف ėĠĎĥ ėأ ÂÒĦف ÅأàĖđ¿ ÈĒĖý ¿Ý¹ğ

فàêđ¿ğ . ĠĞĒđ¿ğ ءÀĚغđÀč ÆĦîþĕ ĐĖþđ¿ ėĠĎĥ اأ )9 ( : ĤÉنĥ ÀĖà ČđÝ ÜĥÜÖÉ ĘĎĖĥğ , . ÀĞÉàåأ Ĝà àĦþÉ Àĥßâĕ ÀÄĦþĕ ėĠĎĥ اأğ ÆĥÜĚĞđ¿ ġğÀÊĆđ¿ğ üئ¿ÜÄđ¿ Ĥف ءÀÑ : ÅßÀÑإ¿ ČĒÉ Ęĕ ÀĝĠÑàÚĥ ėأ ÀĞĒĝأ ėÀč Ĝà ÁÀþĥ ÀĖà ÀĞæĆę ÅأàĖđ¿ ÇàÑآ ¿Ý¹ , ĐÎĖđ¿ Ĥفğ

¿ ßÀĕâĕ ğأ ĐÄõ ÂÕÀí ğأ ÆÖئÀę Åأàĕ¿ Ĥف ĢđÀþÉ ه¿ ĜĖÕß ÜĖÖĕ Ęýğ , ÀĞĦĥÜÎà ĐčنÉ اğ ÅàÖđ¿ ûĠÒÉ : àئÀæđ¿ ĠĞف اÀĕ ÂæÊč

( . ÆĦîþĕ

2 ) ÀĖđ ; ÀĞÃ ءاÊÙا¿ğ ÅأàĖđ¿ ē¿ÜÚÊå¿ ÆĆĦĚÕ ĠÃأ ěàč : üئ¿ÜÄđ¿ Ĥف ءÀÑ . ĤÄĚÑنÃ ÅĠĒÙ ĜĦف ėĠĎĥ ÀĖĕ ÀĞĒĖý ėĠĎĥ اأ Ęĕ¸ĥ ا Ĝęأف ; ē¿ÜÚÊåا¿ Àĕأğ , ÆĦîþĕ ÆĦÄĚÑأÀÃ ÅĠĒÚđ¿ ėأف ; ÅĠĒÚđ¿ Àĕأ , ÜĖÖĕğ فåĠĥ ĤÃأ ďĠĉ Ġĝğ , ÆĚÊĆđ¿ Ģđ¹ ģÛ¸ĥ Üĉ

ďÀĉ Üĉğ . ÆĦîþĖđ¿ Ĥف ûĠĉĠđ¿ğ ÀĞĦĒý ûاõا¿ Ĝþĕ { Ęĕ¸ĥ ا Ĝęأğ } ÀĖĞÎđÀث ėÀöĦêđ¿ ėÀč ا¹ ÅأàĕÀà ĐÑß ėĠĒÚĥ ا üĖĦÄĚđ¿ ( . ßĠúÖĖđ¿ Æþĉ¿Ġĕ ÅĠĒÚđ¿ 8

ÏğàÚđ¿ ÀĞđ ÀĚÖÃأ ثĦÕğ : ĘĥÜÃÀý Ęÿ ďÀĉ , ÆĚÊĆđ¿ àĦÎĥ ÀĖà ÆĚĥâÊĕ ÆÑàÄÊĕ ÀĞĒĖþđ ÏàÚÉ اأ )

¿ ēÜý óàêà ÓÀÄĥ ÀĖęºف ÏàÄÉ ĘÑàÄÉ اğ { : ĢđÀþÉ ه¿ ďÀĉ , ÆđÀĖÊåا¿ğ ďÀÑàđ¿ àúĚđ ÆĦý¿Û ėĠĎĥ Àĕ Ģđ¹ ƾĦĞđ¿ àĦĦغÉğ ÆĚĥâđ

ĐÎĖč ÀĞĒĝأ àĦغ Ĥف ÆĚĥâđ¿ Ĥف ÆĒف¿àđ¿ { : ثĥÜÖđ¿ Ĥفğ , } ÀĞĚĕ àĞظ Àĕ ا¹ ĘĞÊĚĥá ĘĥÜÄĥ اğ { : ĢđÀþÉ ďÀĉğ } Ģđğأ¿ ÆĦĒĝÀÒđ¿ ÀĞđ ßĠę ا ÆĕÀĦĊđ¿ ēĠĥ ÆĖĒظ } .

3. 923 ـÖí àêý üåÀÊđ¿ ءâÒđ¿ ÆĦÊĥĠĎđ¿ ÆĦĞĊĆđ¿ ÆýĠåĠĖđ¿

ءÀĚغ ا ÆÑÀÕ ءÀòĉğ Ĝåàý ßĠòÕğ , àčÝ Ęĕ ÇĠĕ ÛĠĞéğ , ēßÀÖĖđ¿ ģğÝğ , ÇÀĞĕأ¿ğ , ءÀÃħ¿ ÅßÀĥâč ÆÑÀÖđ¿ ÜĚýğ ( ÏğàÚđ¿ ÀĞđ áĠÒĥ ÀĞà ēĠĊĥ Ęĕ ÜÒÉ اğ ÀĞĚý ÅأàĖĒđ 8

. ) ÀĞĖĝأ ÛĠĦĊà ÇاÀÖđ¿ ěÞĝ Ĥف ÅأàĖđ¿ ÏğàÙ á¿ĠÑ ėğÜĦĊĥ ءÀĞĊĆđ¿ ėأ ا¹

: 9 ـ

اíأ ÏàÚÉ اف ÀĞà ėÀÊÊفا¿ ĢêÚĥ ĤÊđ¿ Àĕأ , ÆĚÊĆđ¿ ÆĦêÚĕ àĦغ ÅأàĖđ¿ ėĠĎÉ ėأ 2 ـ üĉĠÉ Ęĕ ÆęĠĕنĕ Ĉĥàöđ¿ ėĠĎÉ ėأ ÀĞÑğàÙ ēàÕ ا¹ğ ÅÜæĆĖđ¿ 8

ـ ( ďÀÑàđ¿ Ęĕأ Ęĕá Ĥف ÀĞÑğàÙ ėĠĎĥ ėأ 8

¹ ĤòĆĥ اğ ) ءÀæĚđ¿ ĘĦĎĖÉ ėأ ; ĔĞà ÀĞõاÊÙ¿ Ģđ

ÆĕÀþđ¿ ßĠĕأ ÛÀæف ÁÀÄåأ Ęĕ Ĝęأ ÀĖč , ÆĕÀþđ¿ ÇÀÃĠĊþđ¿ ďğâę ÁÀÄåأ Ĕúýأ Ęĕ Ġĝğ , àéğ ÆĦĒà Đč Đíأ ďÀÑàđÀà ĘĞõاÊÙ¿ Ęĕ ėأ àĕأ¿ Ĥđğ ĢĒý ÂÒĦف , ēÀþđ¿ ÇĠĖđ¿ ÁÀÄåأ Ęĕ Ġĝğ , Ģęâđ¿ğ èÕ¿ĠĆđ¿ ÅàÎĎđ ÂÄå ءÀæĚđÀà ďÀÑàđ¿ óاÊÙ¿ğ , ÆíÀÚđ¿ğ Ĕثإ¿ ĢĒý ĘĞđ ÆęÀý¹ ČđÝ ĢĒý ءÀæĚđ¿ ß¿àĉ¹ğ , ďÀÑàđ¿ üĕÀÒĕğ , ÏàĆđ¿ğ , ć¿Ġåأ¿ Ĥف ءÀæĚđÀà ďÀÑàđ¿ óاÊÙ¿ Ęĕ üĚĖĥ Ĥف ĔĞà óاÊÙا¿ğ ďÀÑàđ¿ Ĉĥàõ Ĥف ĤêĖđ¿ Ęĕ ءÀæĚđ¿ ĜĚý ه¿ Ĥñß ÁÀöÚđ¿ Ęà àĖý ĘĦĚĕ¸Ėđ¿ àĦĕأ üĚĕ Üĉğ , ÆĦîþĖđ¿ğ

Ĉĥàöđ¿ 1 ـ Éğ ďÞÄÉ ĢĒý ÀĞÑğàÙ ėĠĎĥ ėأ ÅâئÀÒđ¿ ÀĝßĠĕأ Ęĕ ÅأàĖđ¿ ĜĦđ¹ ÏÀÊÖÉ ÀĖđ ÏğàÚđ¿ áĠÒĥ : ĤĚĦþđ¿ ďÀĉ ēÀÉ àÊæ

ĔĦĉ Ęÿ ďÀĉ ÀĞÉĠí Æþف¿ß اğ ÆĚĥâà ÆÑàÄÊĕ àĦغ ءÀòýأ¿ ÅßĠÊæĕ , Ôĥàđ¿ ÆĒĆÉ , äÄĒĖđ¿ ÆĚêÙ , ƾĦĞđ¿ ÅÞà ėĠĎÉ ėأ óàêà Ěĕğ , ÇاĖÒÊĕ ÇÀĚĥâÊĕ ÏğàÚđ¿ Ęĕ ءÀæĚđ¿ üĚĕ àĕأ¿ Ĥđğ ĢĒý ÂÒĥ : ÆĥáĠÒđ¿ ÇÀĥßÀý ÇÀĦåÀč ÀĞà ĘĎĥ ĤÊđ¿ ÁÀĦÎđ¿ Ęĕ ĘĞþ

ÅأàĖđ¿ ĢĒý ÜæĆĥ ėأ àĕأ¿ Ĥđğ ġأß ė¹ğ , ćÀĉàđ¿ğ Æþå¿Ġđ¿ ÁÀĦÎđÀč , ـ

ÈÑàÙğ ÈĒĖÒÉ ¿Ý¹ ـ

ìÙß ÜĊف , ěĠÖęğ àÄÖà ÀĞÃÀĦث

ݹ ÅأàĖđ¿ ėأ ĔĒåğ ĜĦĒý ه¿ ĢĒí ĤÄĚđ¿ àÄÙأ ÜĊف ÆĦđÀĖđ¿ ĘĞÊÃĠĊý ĢęÛأ Ęĕ ¿Þĝğ . ÁÀíأğ ءÀĞĊĆđ¿ ðþà ČđÝ Ĥف ÈÄĦöÉ ¿

ÆĦę¿á ĤĞف ÀĞÊĦÃ Ęĕ ÈÑàÙğ 5

ـ

ĤĖÊĦĞđ¿ àÒÕ Ęÿ ďÀĉ Ĝęݺà ا¹ ÏğàÚđ¿ ÀĞđ áĠÒĥ اف , Ïğâđ¿ ėݺà ÏğàÚđ¿ ėĠĎĥ ėأ : ¿Ý¹ğ ÆÑàÄÊĕ àĦغ ÀĞÑğá ėݺà ÈÑàÙ Üđ¿ğ ÅßÀĥâđ ÏğàÚĒđ Åأàĕ¿ Çàöñ¿ ـ

ďÀĉ ėأ Ģđ¹ -

ēÀĕ¹ ēاč Ęĕ ěàĦغğ Ĥþف¿àđ¿ ÞÙأğ

فàþđ¿ ÛÀĖÊý¿ ÆÑğâĒđ ėأ ĘĦĕàÖđ¿ ČđÝ Ĥف ĜđÀÎĕأ ĜÊĆđÀÚĕ ĔĒý Ġđ Ĕþę , ěÜĥàÉ ģÞđ¿ ÏğàÚđ¿ ĐÎĖà Ïğâđ¿ ďÀÎĕأ Àñß ĢĒý ď¿Üđ¿

ÏàÚÉ اف

4. 31-38 ـÖí üÃÀæđ¿ ءâÒđ¿ ÆĦÊĥĠĎđ¿ ÆĦĞĊĆđ¿ ÆýĠåĠĖđ¿

Ġĕأ اîÕğ ÀĦþå ĘĦÑğá Ĥف ēÀĕإ¿ ĤñÀĊđ¿ ĢÊفأ : Æĥá¿âÄđ¿ ġğÀÊĆđ¿ Ĥف ءÀÑ . ÀĞđ ÀĞÄæč ėÀč Ïğâđ¿ üĕ ÈĒĖý Ġđ ÀĞę¹ Ĕث ÀĞęأ ا¿

, ÀĞđ ĐíÀÖđÀف ÀęÀĦÕأ Ïğâđ¿ ÀĞĚĦþĥ , ÆĖĒþĕ Åأàĕ¿ : ġğÀÊĆđ¿ Ĥفğ . ČđÝ ÀĞĒف ÅÜÕ ĢĒý Âæč ÀĞđ ėÀč ¿Ý¹ ا¹ , Ĝđ ÆĚĦþĕ ÀĞęأ ; Ĝđ üفÜĥ ėأ Áأđ : ĘĥÜÃÀý Ęÿ ÆĦéÀÕ Ĥف ءÀÑ : ĐĖþĒđ ĜÊĚÿ ĜÑĠĥ ėأ Áأđ ėأ ÀĖč ÀفÀîęأ ÀĖĞĚĦà ĠĞف ÀöĊÊđ¿ ¿Ý¹ ÆĒÄĚæđ¿ óÀĊÊđ¿ Ĥفğ

Ěÿ ÆõÀĦÙğ âĥàöÊč ÆفàÕ ÀĞĖĒþÉ Åأàĕا ĜÊ


(6)

ĤÉنĥ :

( 1 ) ¿Ý¹ : ÆĥÜĚĞđ¿ ġğÀÊĆđ¿ğ üئ¿ÜÄđ¿ Ĥف ءÀÑ . ÀĞÉàåأ Ĝà àĦþÉ Àĥßâĕ ÀÄĦþĕ ėĠĎĥ اأğ , ĠĞĒđ¿ğ ءÀĚغđÀč ÆĦîþĕ ĐĖþđ¿ ėĠĎĥ اأ , ÀĞĦĥÜÎà ĐčنÉ اğ ÅàÖđ¿ ûĠÒÉ : àئÀæđ¿ ĐÎĖđ¿ Ĥفğ , ÅßÀÑإ¿ ČĒÉ Ęĕ ÀĝĠÑàÚĥ ėأ ÀĞĒĝأ ėÀč Ĝà ÁÀþĥ ÀĖà ÀĞæĆę ÅأàĖđ¿ ÇàÑآ

ÆĦîþĕ ĠĞف اÀĕ ÂæÊč¿ ßÀĕâĕ ğأ ĐÄõ ÂÕÀí ğأ ÆÖئÀę Åأàĕ¿ Ĥف ĢđÀþÉ ه¿ ĜĖÕß ÜĖÖĕ Ęýğ

( 2 ) ģÛ¸ĥ Üĉ ÀĖđ ; ÀĞÃ ءاÊÙا¿ğ ÅأàĖđ¿ ē¿ÜÚÊå¿ ÆĆĦĚÕ ĠÃأ ěàč : üئ¿ÜÄđ¿ Ĥف ءÀÑ . ĤÄĚÑنÃÅĠĒÙ ĜĦف ėĠĎĥ ÀĖĕ ÀĞĒĖý ėĠĎĥ اأ Ĝþĕ Ęĕ¸ĥ ا Ĝęأف ; ē¿ÜÚÊåا¿ Àĕأğ , ÆĦîþĕ ÆĦÄĚÑأÀÃ ÅĠĒÚđ¿ ėأف ; ÅĠĒÚđ¿ Àĕأ , ÜĖÖĕğ فåĠĥ ĤÃأ ďĠĉ Ġĝğ , ÆĚÊĆđ¿ Ģđ¹

ه¿ ĢĒí ĤÄĚđ¿ ďÀĉ Üĉğ ÆĦîþĖđ¿ Ĥف ûĠĉĠđ¿ğ ÀĞĦĒý ûاõا¿

ÀĖĞÎđÀث ėÀöĦêđ¿ ėÀč ا¹ ÅأàĕÀà ĐÑß ėĠĒÚĥ ا : ĔĒåğ ĜĦĒý (2)

ßĠúÖĖđ¿ Æþĉ¿Ġĕ ÅĠĒÚđ¿ üĕ Ęĕ¸ĥ ا Ĝęأğ .

( 3 ) ĘĥÜÃÀý Ęÿ ďÀĉ , ÆĚÊĆđ¿ àĦÎĥ ÀĖà ÆĚĥâÊĕ ÆÑàÄÊĕ ÀĞĒĖþđ ÏàÚÉ اأ : ÆĚĥâđ¿ ēÜý óàêà ÓÀÄĥ ÀĖęºف ÏğàÚđ¿ ÀĞđ ÀĚÖÃأ ثĦÕğ úĚđ ÆĦý¿Û ėĠĎĥ Àĕ Ģđ¹ ƾĦĞđ¿ àĦĦغÉğ ( } Ģđğأ¿ ÆĦĒĝÀÒđ¿ ÏàÄÉ ĘÑàÄÉ اğ { : ĢđÀþÉ ه¿ ďÀĉ , ÆđÀĖÊåا¿ğ ďÀÑàđ¿ à

1 ďÀĉğ )

ÀĞĚĕ àĞظ Àĕ ا¹ ĘĞÊĚĥá ĘĥÜÄĥ اğ { : ĢđÀþÉ } (5) ا ÆĕÀĦĊđ¿ ēĠĥ ÆĖĒظ ĐÎĖč ÀĞĒĝأ àĦغ Ĥف ÆĚĥâđ¿ Ĥف ÆĒف¿àđ¿ : ثĥÜÖđ¿ Ĥفğ , ( ÀĞđ ßĠę

1 ) .

5. 221 ë /92 Ï(ـ ĘĦÄđÀöđ¿ Æñğß)

ÀĖę¹ğ ėأğ Åأàĕ¿ اğ ¿ÜÄý ا ءÀòĊđ¿ ÜĒĊÊĥ ĘĖĕğ ÀĆĒĎĕ ėĠĎĥ ėأ Ĥĝğ óğàé ÆþÃßأ üĖÑ Ęĕ ĢĒý ĔĒþđ¿ Ĥف ÆĥÀĆĎđ¿ ïàف ĜÑĠÊĥ ĘĦÊĆÊæĖĒđ ě¿ĠÊف ĐÄĊÉ ا Ĝęأ Ĝà ôĊæĥ اğ ïàĆđ¿ Ĥف ĈåÀĆđ¿ ĐÙÜĥğ ÆĥÀĆč Ĝđ ėĠĎÉ ėنà ĜĦđ¹ ûÀöĊęا¿ ĢĒý ßÜĊĥ ėأğ ¿ÜĦĒà ėĠĎĥ

ėÀĞÑğ ÜÄþđ¿ğ ÅأàĖđ¿ ďĠÙÛ Ĥفğ ءÀòĊđ¿ ėğÛ ġĠÊĆĒđ Đĝأ ÀĖĞęأ

6. 215 ـÖí üÿàđ¿ ءâÒđ¿ ĐîĆĖđ¿

ق ēÀþõ Ęĕ èĦþđ¿ ÁÀÄåأ Ĝđ àفĠĥ Àĕ ėÀæęإ¿ ĐĦîÖÉ ûğàêĖđ¿ ĐĖþđ¿ ÆĦýğàêĕ Ĥف ÆĖĎÖđ¿ ė¹ ÀĚĒĉ كĐĖþđ¿ ÆĥàÕğ ÅأàĖđ¿ âĦđ ĐĖþĥ ėأ Ĝđ ÀÕÀÄĕ ĜĊÕ Ĥف ĐĖþđ¿ ėÀč ĜĒč ČđÝ ėÀæęإđ àف¿ĠÉ ¿Ýºف ČđÝ ĠÖęğ ĘĎåğ ãÀÄđğ Á¿àéğ ĐĖþĥ ا ėأ Ĝđğ ÀÄæč Û¿Û

ĜÊêĦþĕ ÇÀĦòÊĊĕğ ÇÀÄĒöÊĕ Üæđ ĤĆĎĥ Àĕ ěÜĚý ėأ ـ

ďÀĉ ėأ Ģđ¹ - ÅأàĖđ¿ ÓÀÄĕ ĔÕ¿âĥ اق ÓÀÄĕ ÅأàĖđ¿ ĈÕ Ĥف ėݹ ĐĖþđÀف ÀĞÄÑ¿ğ ك Àĕ ĔÕ¿âĥ ا ėأ ÂÒĥ ÓÀÄĖđ¿ ¿Þĝ ėºف ÅأàĖđ¿ ĈÕ Ĥف ÀÕÀÄĕ èĦþđ¿ ÁÀÄåأ ĐĦîÖÉğ ćáàđ¿ğ ÁÀæÊčاđ ĐĖþđ¿ ėÀč ¿Ý¹ğ

ĞĦĒý ÂÑ¿ğ Ġĝ ÅأàĖĒđ ÁğÜĚĕ Ġĝ Àĕ ÓÀÄĖđ¿ ¿Þĝ ĔÕ¿âĥ اğ Đà ÓÀÄĖđ¿ Đþف Ęĕ Üčآ ÂÑ¿Ġđ¿ Đþف ėأ À