Dasar Hukum Batasan Mahram.

18                            :ء سنلأ ةروسلا  Artinya : “Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, saudara- saudara perempuan bapak kalian, saudara-sudara perempuan ibu kalian, anak perempuan dari saudara laki-laki kalian, anak perempuan dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu kalian yang menyusui kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri kalian mertua, anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan-mu dari isteri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu dan sudah kalian ceraikan, maka tidak berdosa kalian menikahinya. Dan diharamkan bagi kalian issteri-isteri anak kandung kalian menantu, dan menghimpun dalam perkawinan dua perempuan bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang.”An-Nisa‟ ayat 23. Surat An-Nisa ayat 23 menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi baik karena nasab, karena sepersusuan, karena mushaharah pernikahan, maupun karena jam menggabung dua pereempuan bersaudara. Demikian juga menjelaskan tentang wanita-wanita yang halal dinikahi. Yang diharamkan karena nasab adalah ibu, puteri, saudari, saudari bapak bibi, saudari ibu bibi dari pihak ibu, puteri dari saudara kita yang laki-laki dan puteri dari saudara kita yang perempuan. Lihat juga penjelasan masing-masingnya nanti. Selain yang disebutkan itu halal dinikahi uhilla 19 lakum maa waraaa dzaalikum seperti puteri paman dari bapak amm dan puteri bibi dari bapak ammah, demikian pula puteri paman dari ibu khaal maupun puteri bibi dari ibu khaalah. Dengan demikian, sepupu halal dinikahi. Yang diharamkan karena sepersusuan –yang disebutkan dalam ayat- adalah ibu susu dan saudari susu. Namun tidak hanya sebatas ini, karena dalam hadits disebutkan, Artinya : Diriwayatkan dari Aisyah berkata Rasulullah SAW. Karna Sesungguhnya persusuan itu mengharamkan seperti juga haramnya keturunan 22 . HR. Bukhari dan Muslim Maka keharaman dinikahi menyebar sebagaimana nasab. Dengan demikian, anak yang disusukan tidak boleh menikahi: 1. Wanita yang menyusuinya karena dianggap sebagai ibunya, 2. Ibu wanita yang menyusuinya karena ia neneknya, 3. Ibu bagi suami wanita yang menyusuinya ia neneknya juga, 4. Saudari ibu yang menyusuinya khaalahnya, 5. Saudari suami wanita yang menyusui „ammahnya, 6. Saudari sepersusuan, baik sekandung, sebapak maupun seibu. 22 Imam Bukhari dan Imam Muslim, Shahih Bukhari dan Muslim, Bandung, Jabal, 2011, cet, h 261, no 835 20 7. Puteri anak laki-laki si wanita yang menyusuinya dan puteri dari puteri si wanita yang menyusui dst. ke bawah. Yang diharamkan karena mushaharah pernikahan, jumlahnya ada 4, yaitu: istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, baik mereka sebagai ahli waris maupun terhalang mahjub, ibu istri kita dst. ke atas seperti neneknya, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya dan anak tiri yaitu puteri dari istri kita yang lahir dari selain kita. 3. Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma‟ binti Abi Bakar berkata: Di dalam Islam, berboncengan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu juga terjadi ketika zaman Rasulullah, yaitu ketika Rasulullah SAW. membawa Asma‟ ra. adik ipar Nabi di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah SAW. hendak merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma‟, namun Asma‟ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki unta Nabi. … “ ”. Artinya : “Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair suami saya, yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw. 21 berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu.” 23 H.R.Bukhari Dari hadits tersebut, kita dapat ketahui bahwa di atas unta itu ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan. 4. Dari Ibnu „Abbas r.a. Artinya: Dari Ibnu „Abbas r.a., katanya dia mendengar Nabi SAW. Berkhutbah, sabdanya: “seorang laki-laki tidak boleh berada di tempat sunyi dengan seorang perempuan, melainkan harus diserrtai mahram. Begitu pula seorang perempuan tidak boleh berjalan sendirian, melainkan harus bersama mahram ”.Tiba tiba berdiri seorang laki-laki, lalu dia bertanya: “istriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku ditugaskan untuk 23 Al Imam Bukhari, Shohih Al Bukhari, Al Azhar Mesir, Maktabah Salafiyah Qohiroh, 1400 H, cet.1, juz.3,h.393, no. 5224 22 berperang kesana dan kesitu; bagai mana itu ya Rasulullah?” jawab Rasulullah SAW. “Pergilah kamu haji bersama isterimu” 24 H.R. Muslim Imam nawawi mensyarahkan hadis ini, bahwa hadis ini menjadi dasar dari madzhab sy afi‟i dan jumhur ulama bahwasanya keharusan seorang wanita untuk keluar bersama mahram, baik itu muahram dari persusuan, maupun muhrim dari nasab seperti anak, saudara, keponakan dan paman. 25 Pada akhirnya, beliaupun menyimpulkan bahwa setiap perjalanan yang dilakukan oleh seoarang wanita, baik itu tiga hari, 2 hari maupun satu hari itu dilarang bagi wanita kecuali bersama mahramnya. 26 5. Dari „Uqubah bin „Amir r,a. Artinya: Da ri „Uqubah bin „Amir r.a., katanya Rasulullah SAW, bersabda: “Hindarilah olehmu masuk kerumah-rumah wanita” lalu bertanya Anshar, “Ya, Rasulullah Bagaimana pendapat anda tentang al- Hamwu keluarga dekat bagi suaminya 27 . jawab Rasulullah SAW., “Bahkan itu lebih berbahaya.” 28 H.R. Muslim. 24 HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim , Kitab Haji, Bab Safarul Mar‟ah Ma‟a Mahram Bandung: Sirkah Ma‟arif,1978 , Juz.1, h. 563. 25 Imam An-Nawawi, Al Minhaj Syarah Shahih Suslim, t.t., :darrul afkar dauliah, t.th.,, h. 839 26 Ibid, h. 839 27 Al Hamwu, keluarga dekat bagi suami, seperti paman suami, saudaranya, anak saudaranya, dan sebagainya. 28 HR. Muslim, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Salam, Bab Tahrim Khalwat Bil Ajnabi Bandung: Sirkah Ma‟arif, 1978, Juz. 2, h. 270. 23 Di jelaskan oleh hadits di atas bahwa keluarga dari suami berpotensi untuk menimbulkan fitnah dan dilarang untuk berkhalwat. Dikarnakan kerabat atau keluarga dekat sering berada dalam satu rumah atau satu temapat jika sedang bertamu yang bisa menimbulkan pitnah. 6. Dari Abu Hurairah r.a. Artinya : “Dari Abu Harairah r.a., katanya Rasulullah SAW bersabda: ”Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat tidak boleh melakukan perjalanan sehari semalam, melainkan harus bersama muhrim.” 29 H.R. Muslim. Pada keterangan hadits diatas keharusan seorang wanita untuk bersama mahramnya pada saat selama perjalanan terlebih dalam perjalanan yang menempuh waktu selama sehari semalam, oleh sebab itu hadis diatas mengharuskan jika seorang wanita ditemani mahramnya selama perjalanan agar terhidar dari hal-hal yang tidak di inginkan. 29 Ibid.,Juz.1, h.563. 24 7. Dari Jabir r.a. Artinya: Dari Jabir r.a : Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda: ”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah tidak berhalwat dengan wanita yang tidak di dampingi dengan mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiga adalah setan.” 30 H.R. Ahmad Hadis ini menunjukan bahwa kholwat antara laki-laki dan perempuan baik itu dalam sebuah perjalanan maupun hal-hal lain yang berbentuk halwat itu dialarang oleh syari‟at.

C. Batasan Mahram Laki-laki dan Perempuan

Islam menetapkan beberapa kriteria syar‟i pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk menjaga kehormatan, melindungi harga diri dan kesuciannya. Kriteria syar‟i itu juga berfungsi untuk mencegah perzinahan dan sebagai tindakan prefentif terjadinya kerusakan masal. Diantaranya, Islam mengharamkan ikhtilath bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat dan khalwat berduaan antara laki-laki dan perempuan, memerintahkan adanya sutrah pembatas yang syar‟i dan menundukkan pandangan, meminimalisir 30 Al Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Kitab Nikah, Riad: Darul Ibni Afan, 2005 cet.1, Juz.7, h. 542. 25 pembicaraan dengan lawan jenis sesuai dengan kebutuhan, tidak memerdukan dan menghaluskan perkataan ketika bercakap dengan mereka, dan kriteria lainnya. Perkara-perkara ini, menjadi kaidah yang penting untuk kebaikan semuanya. Sesunguhnya perkara ini berbeda antara satu dengan lainnya, atau satu kebudayaan dengan lainnya, dan pengakuan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dan realita. Interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan perempuan sebenarnya boleh-boleh saja, dengan syarat wanitanya tetap mengenakan hijabnya, tidak memerdukan suaranya, dan tidak berbicara di luar kebutuhan. Adapun jika wanitanya tidak menutup diri serta melembutkan suaranya, mendayu-dayukannya, bercanda, bergurau, atau perbuatan lain yang tidak layak, maka diharamkan. Bahkan bisa menjadi pintu bencana, kuburan penyesalan, dan menjadi penyebab terjadinya banyak kerusakan dan keburukan. Wajib berhati-hati, karena setan terkadang menipu seseorang dengan merasa agamanya kuat tidak terpengaruh dengan percakapan itu. Padahal dia sedang terjerumus pada jerat kebinasaan dan berada di atas jalan kesesatan. Realita adalah saksi terbaik. Betapa banyak orang menentang petunjuk Nabi SAW dengan melanggar larangannya akhirnya ia tercampak di atas keburukan. Barangsiapa yang tidak memiliki hajat untuk berinteraksi dengan lawan jenis, maka menjauhinya lebih baik dan selamat. Jika ada suatu kebutuhan yang mendesak, wajib bagi kaum muslimin untuk menjalankan sesuai ketentuan syar‟i, di antaranya: 26

1. Ghadlul Bashar menundukkan pandangan

Allah Ta‟ala berfirman,                  :رونلا ةروسلا  Artinya: “Katakanlah kepada laki – laki yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya .” QS. An-Nuur: 30. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta‟ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat yaitu pada istri dan mahramnya. Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.” 31 Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,        ةروسلا رونلا : 13 31 Al Imam Hafiz Abi Fida‟I Ismail bin Katsir, Tafsir Al Qur‟an Al „Azhim,Beirut: Al Makhtabah Al Asriyah.2000, jilid3, h. 265