47
Artinya: “Di dalam penjelasan hadis ini hadis asma terdapat kebolehan
membonceng seorang wanita yang mana wanita tersebut bukanlah muhrimnya, hal tersebut dibolehkan jika wanita tersebut ditemukan
di jalan dan dalam keadaan kelelahan, terlebih lagi membonceng wanita yang bukan mahram bersama kumpulan lelaki sholeh, tidak
ada keraguan di dalam kebolehan masalah yang seperti ini
.”
56
“
Artinya : “Pengertian irdaf, Irdaf secara bahasa adalah bentuk isim masdar dari bentuk fiil madhi lafaz ardafa yang berarti membonceng.Adapun
hukum ijmali dari berboncengannya seorang laki-laki lain atau seorang perempuan dengan perempuan lain selama tidak
mendatangkan kerusakan atau sahwat maka hukumnya boleh. Begitu pula hukum seorang laki-laki yang membonceng isterinya,seorang
isteri yang membonceng suaminya atau memboncengi wanita yang mempunyai ikatan saudara yaitu dibolehkan selama terjaga dari
syahwatnya.Sedangkan seorang laki yang membonceng wanita
56
Al Imam Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shoheh Muslim: Salam. Riyadh: Baitul afka ridauliyah, 2001 Kitab ke-15,h. 1364
48
ajnabiy begitu pula sebaliknya hukumnya adalah haram berdasarkan hukum saddu dziro‟i dan untuk menjaga dari sahwat yang
diharamkan ”.
Dalam kajian forum bahtsul masail yang dilaksanakan oleh para ulama se-Jawa Timur atas adanya jasa angkutan umum berupa motor yaitu ojek yang
dimana mayoritas pengendaranya adalah laki-laki sedangkan penumpangnya adalah seorang wanita karena keterbatasan kemampuan seorang wanita yang
tidak bisa mengendarai kendaraan pribadi. Hal tersebut juga dijadikan dasar kebolehan oleh para ulama se-Jawa Timur dari hasil putusan basul masail.
C. Analisis Penulis Terhadap Larangan Boncengan yang Bukan Mahram.
Dalam pemasalahan di atas terkait berboncengan selain mahram penulis menganalisis terkait hukum yang dikeluarkan oleh hasil bahtsul masail Forum
Musyawarah Pondok Pesantren Putri FMP3 dan oleh ulama terdahulu. Atas dasar- dasar hukum yang digunakan oleh para ulama di atas terkait masalah
tersebut penulis mendapatkan ada dua hukum, ada yang membolehkan dan ada juga yang melarang secara terang-terangan.
Menurut pandangan Dr. Abdul Karim Zaidan, jumhur ulama, Menurut imam Abi Bakar Usman Bin Muhammad Syatho Adhimyati ulama dari mazhab
Syafi‟i memperbolehkan apabila hal tersebut tidak menimbulkan: 1.
Tidak terjadi ikhtilath yang dilarang, 2.
Tidak terjadi kholwat yang dilarang,
49
3. Tidak terlihat aurot antara lelaki dan wanita,
4. Tidak terjadi persentuhan kulit yang bukan karena dhorurot.
Sedangkan Imam Nawawy, Syaikh Ibnu Ibrahim dan Syaikh Aziz bin Baz melarang secara jelas jika wanita berpergian sendirian tanpa ditemani oleh
mahromnya. Adapun hasil bahtsul masail yang diselenggarakan oleh FMP3 pada
tanggal 27 –28 Muharram 143113–14 Januari 2010, di Pondok Pesantren Putri
Tahfizhil Qur‟an, Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, memutuskan Hukum naik ojek bagi kaum wanita tidak diperbolehkan kecuali bila terhindar dari fitnah hal-
hal yang diharamkan seperti : a.
Tidak terjadi ikhtilath persinggungan badan b.
Tidak terjadi kholwah berkumpulnya laki-laki dan wanita di tempat sepi yang menurut kebiasaan umum sulit terhindar dari perbuatan yang diharamkan
c. Tidak melihat aurat selain dalam kondisi dan batas-batas yang diperbolehkan
syara d.
Tidak terjadi persentuhan kulit Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan dari hasil bahtsul
masa‟il di atas bukanlah bagaimana Islam memandang suatu permasalahan dari satu sisi saja. Seperti kasus di atas, hasil bahtsul masail tersebut tidak benar-benar
melarang atau mengharamkan berboncengan dengan bukan mahramnya, akantetapi tujuannya yaitu mencegah terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan
yang ada di masyarakat. Sedangkanyang diberitakan oleh media baik itu media
50
masa elektronik maupun media social tidak sepenuhnya sesuai dengan hasil putusan bahtsul masail. Media social dalam pemberitaannya dapat membuat
perpecahan antar umat Islam, karena mereka hanya melihat dari satu sisi saja yaitu pengharaman tanpa melihat sebab dan akibatnya berboncengan dengan
lawan jenis yang bukan mahromnya.