Metode Istinbat Hukum Bahtsul Masa’il
37
Ketika menghadapi masalah serius kekinian yang dimasa lalu peristiwa itu belum pernah terjadi, LBM selalu meminta penjelasan terlebih
dahulu kepada ahlinya. Setelah kasusnya jelas, barulah dikaji lewat kitab kuning.
41
Walaupun LBM merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagi NU, Namun masih ada kelemahan yang perlu diperhatikan:
a. Kelemahan yang bersifat teknis kaifiyatul bathsi, yakni belum ada
ketegasan yang bersifat jama‟i mengenai pola bermahzhab antara manhaj dan qauli.
b. Kelemahan organisatoris, yakni belum terkondisikanya dan belum
bakunya hirarhi martabat keputusan bahtsul masa‟il yang diselenggarakan diberbagai tingkatan, mulai dari tingkat muktamar
sampai tingkat ranting serta dipesantren-pesantren. c.
Kelemahan komitmen dan kesadaran untuk mensosialisasikan dan melakukannya secara baik hasil putusan bahtsul masail.
42
Masail Diniyah yaitu permasalahan yang sedang berkembang untuk dicarikan solusi dari sisi agama. NU mempunyai tiga Komisi Masail Diniyah:
a. Masail Diniyah Waqi‟iyah, yakni permasalahan kekinian yang
menyangkut hukum suatu peristiwa. Misal bagaimana hukum orang Islam meresmikan gereja?
41
Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU, Khalista: Surabaya,2008, h. 35-36
42
Busyairi Harits, Islam NU: Pengawal Trasisi Sunni Indonesia, Khalista: Surabaya, 2010, h. 57-58.
38
b. Masail Dinniyah Maudhu‟iyah, yakni permasalahan yang menyangkut
pemikiran. Misalnya fikrah Nahdliyah, Globalisasi. c.
Masail Diniyah Qanuniyah, penyikapan terhadap rencana UU yang diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi
ini bertugas mengkaji RUU atau UU baru dari sisi agama, untuk diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.
43
2. Metode Istinbath Hukum Islam di Lajnah Bahtsul Masail.
Mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke lembaga ini diinventarisir, kemudian disebarkan ke seluruh ulama, anggota Syuriah dan
para pengasuh pondok pesantren yang ada dibawah naungan NU. Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan dijadikan rujukan
dari pendapat-pendapat ulama madzhab melalui kitab kuning klasik. Selanjutnya mereka bertemu dalam satu forum untuk saling beradu argument
dan dalil rujukan. Dalam forum ini seringkali mereka harus berdebat keras dalam mempertahankan dalil yang dibawanya, sampai akhirnya ditemukan
dasar yang paling kuat. Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama. Pada umumnya, rujukan itu mengikuti pendapat Imam
Syafi‟i, karena madzab ini paling banyak diikuti kaum muslimin dan lebih sesuai dengan
kondisi sosial, budaya dan geografis Indonesia. Jika pendapat Imam Syafi‟i
tidak tersedia maka pendapat ulama yang lain diambil, sejauh masih dalam lingkungan madzhab yang empat
Syafi‟i, Maliki, Hambali dan Hanafi.
43
Soeleiman Fadeli dan Moh. Subhan, Antologi NU, Khalista: Surabaya,2008, h. 77
39
Meskipun semua dasar selalu merujuk pada pendapat ulama pendahulu, namun
kondisi masyarakat
selalu dijadikan
pertimbangan dalam
penerapannya.
44
3. Adapun Metode Istinbath Bahtsul Masail. a.
Mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Quran dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab -
mentathibkan memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.
b. Ijtihad yang dilakukan para ulama NU dalam Bahtsul Masail adalah
bentuk qiyas. Tetapi ijtihad yang seperti itu dilakukan sejauh tidak ada qaul pendapat para ulama yang dapat menjelaskan masalah itu. Qiyas
dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan Al Qur‟an dan Al Hadis. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟i bahwa ijtihad itu qiyas.
c. Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, mengambil
sikap dasar untuk bermazhab. Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi Maraji berupa kitab-
kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: Ibadah, Muaamalah, Munakahah hukum keluarga
dan Jinayah atau Qadla pidana atau peradilan. Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masail mengarahkan orientasinya dalam
pengambilan hukum kepada Aqwal Al-Mujtahidin pendapat para
44
Ibid., h. 35-36
40
mujtahid yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan Qaul Manshush pendapat yang telah ada nashnya, maka qaul itulah yang
dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke Qaul Mukharraj pendapat hasil takhrij. Bila terjadi khilaf perbedaan pendapat maka
diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi
juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan Hajjiyah Tahsiniyah kebutuhan sekunder maupun dlaruriyah
kebutuhan primer.
41