adalah O. glaberrima yang ditanam pada skala kecil di Afrika Barat Khush, 1997. Jenis yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspesies. Pertama, Japonica padi
bulu yang ditanam di Indonesia. Adaptasi Japonica yang berkembang di beberapa daerah di Indonesia disebut subspesies Javanica. Berdasarkan sistem budidaya, padi
dibedakan dalam dua tipe, yaitu padi kering gogo dan padi sawah. Padi gogo ditanamn di lahan kering tidak digenangi, sedangkan padi sawah ditanam di
sawah yang selalu tergenang. Varietas unggul padi yang saat ini banyak ditanaman berasal dari hasil silanagn IRRI atau silangan dalam negri. Varietas hasil silangan
IRRI diawali dengan IR, yaitu IR 48, IR 64, IR 65, IR70, IR 72 dan IR 74. Varietas hasil silangan dalam negeri antara lain: Cisadane, Cisanggarung, Cisantana,
Cisakon, Citanduy, Citarum, Fatmawati, Sintanur, Winongo dan Yuwono Purwono Purnamawati, 2007. Tanaman padi yang didomestikasi di Asia
umumnya tergolong spesies sativa. Dalam spesies Oryza sativa, telah terbentuk populasi genotipe padi yang sangat beragam dan berbeda dari satu sentra produksi
ke sentra produksi lainnya. Dalam terminologi pemuliaan dan teknik budi daya, populasi genotipe yang homogen uniform, unik, dan stabil disebut sebagai
varietas atau kultivar Sitaresmi et al., 2013.
2.3 Plasma Nutfah Padi Lokal
Biodiversitas plasma nutfah padi merupakan sumber genetik yang sangat diperlukan untuk membentuk varietas padi unggul, dengan cara merakit sifat-sifat
yang diinginkan melalui program pemuliaan, baik konvensional maupun inkonvensional. Kelompok plasma nutfah padi antara lain varietas introduksi,
varietas unggul, kultivar primitif, galur-galur harapan, dan varietas lokal Wijayanto, 2013.
Sebelum adanya teknologi Revolusi Hijau, petani di setiap wilayah menanam padi lokal yang beradaptasi pada agroekosistem spesifik. Varietas lokal
tersebut telah dibudidayakan sejak berabad-abad lalu secara turun-temurun. Dalam perjalanannya, varietas lokal tersebut telah beradaptasi pada kondisi agroekosistem
dan cekaman biotik maupun abiotik di wilayah setempat. Kondisi agroekosistem yang bersifat suboptimal seperti kekeringan, lahan masam, lahan tergenang,
keracunan besi, dan lain-lain akan membentuk varietas lokal toleran terhadap
Universitas Sumatera Utara
kondisi suboptimal tersebut. Setiap musim petani memilih varietas padi dengan rasa nasi enak, sehingga varietas lokal pada umumnya memiliki mutu yang tinggi
Sitaresmi et al., 2013.
2.4 Marka Molekular
Kemajuan dalam bidang biologi molekuler, memungkinkan keragaman genetik suatu populasi dapat diamati pada tingkat DNA. Marka molekuler ini tidak
dipengaruhi oleh faktor lingkungan Handayani et al., 2012. Pendekatan genetika molekuler dengan menggunakan penanda DNA telah berhasil membentuk penanda
molekuler yang mampu mendeteksi gen dan sifat-sifat tertentu. Marka molekuler pada tanaman dapat dibedakan menjadi dua yaitu penanda molekuler berdasarkan
teknik PCR dan marka molekuler tanpa menggunakan teknik PCR. Penanda molekuler yang berdasarkan teknik PCR antara lain Random Amplified
Polymorphic DNA RAPD, AFLP dan SSR sedangkan RFLP merupakan penanda molekuler yang tidak menggunakan teknik PCR Afifah, 2012.
2.5 SSR
Istilah mikrosatelit ini pertama kali diciptakan oleh Litt dan Luty Litt Luty, 1998. Mikrosatelit sederhana dengan motif berulang yang terdiri dari 1 sampai 6
pasangan basa, dan dapat ditemukan pada wilayah coding dan non – coding.
Dengan laju mutasi dari jenis penanda genetik dapat diperkirakan antara 10-2 dan 10-4 per generasi.
Urutan berulang-ulang tersebut membentuk motif yang unik untuk suatu jenis organisme. Mikrosatelit banyak dijumpai pada genom eukariot
dan umumnya terdistribusi secara merata pada genom organisme tertentu. Marka mikrosatelit ini bersifat kodominan dan memiliki tingkat keragaman alel yang
tinggi serta mudah, cepat, dan ekonomis dalam aplikasinya karena berdasarkan teknik PCR Bahagiawati et al., 2005.
Keuntungan utama dari mikrosatelit sebagai penanda genetik adalah bahwa marka ini mewarisi model Mendel sebagai penanda kodominan. Selanjutnya,
tingkat polimorfisme yang tinggi, kelimpahan tinggi dan distribusi yang luas di seluruh genom, membuat mikrosatelit sebagai salah satu penanda genetik yang
paling populer digunakan dalam program pemuliaan tanaman Morgante et al.,
Universitas Sumatera Utara
2002 Wright Bentzen, 1994 . Dan juga,
marka mikrosatelit atau SSR memiliki variasi alelik yang tinggi, mudah dianalisis dengan menggunakan teknik PCR dan
memiliki kemampuan untuk diulang reprodusibilitas yang tinggi McCouch et al. 2002.
Namun, kelemahan dari analisis mikrosatelit ini adalah biaya yang relatif tinggi dan teknis yang sulit karena menggunakan primer yang spesifik Miah et al.,
2013.
2.6 Kromosom Padi