BAB II URAIAN TEORI
II.1 Komunikasi
Komunikasi sebenarnya bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi juga seni bergaul. Agar kita dapat berkomunikasi efektif, kita dituntut tidak hanya
memahami prosesnya, tapi juga mampu menerapkan pengetahuan kita secara kreatif Kincaid Schramm, 1977:2. Komunikasi yang efektif adalah
komunikasi dalam mana makna yang distimulasikan serupa atau sama dengan yang dimaksudkan komunikator–pendeknya, komunikasi efektif adalah makna
bersama Verderber, 1978:7
17
.
II.2 Teori Interaksionisme Simbolik
Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert
Blummer. Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran mahzab yaitu aliran mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh
Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara
yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalamannya, dan usaha untuk memahami nilai
17
Deddy Mulyana, Dr, MA, Mengapa Kita Mempelajari Komunikasi?: Sebuah Pengantar, dalam Stewart L Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication, Konteks-konteks Komunikasi buku
kedua. PT Remaja Rosdakarya Bandung, cetakan keempat, Oktober 2005, halaman viii
. 14
Universitas Sumatera Utara
dari tiap orang. Blumer dan pengikutnya menghindarkan kuantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku
harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi
Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan
struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan intisari hubungan sosial.
Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar,
yakni
18
1 Pentingnya makna bagi perilaku manusia :
2 Pentingnya konsep mengenai diri, dan 3 Hubungan antara individu dan masyarakat.
Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme
simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik
memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antarpersonal,
sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian
sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya. Perspektif interaksi
18
West Turner, Op. Cit., hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi
budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan
simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut. Cara manusia mengartikan dunia dan diri sendiri berhubungan erat
dengan masyarakatnya. Interaksi membuat seseorang mengenal dunia dan dirinya sendiri. Sebelum bertindak manusia mengenakan arti-arti tertentu kepada
dunianya sesuai dengan skema-skema interpretasi yang telah disampaikan kepadanya melalui proses-proses sosial. Sehubungan dengan proses-proses
tersebut yang mengawali perilaku manusia, konsep pengambilan peran role taking amat penting. Sebelum seorang diri bertindak, ia membayangkan dirinya
dalam posisi orang lain dan mencoba untuk memahami apa yaang diharapkan oleh pihak pihak lainnya. Semakin orang mengambil alih atau membatinkan peranan-
peranan sosial, semakin terbentuk pula identitas atau kediriannya. Orang harus berkomunikasi supaya dapat berinteraksi lebih lanjut. Orang
harus berpegang pada suatu perspektif bersama yang menghasilkan bahwa para pesrta memperoleh pandangan kurang lebih sama mengenai situasi dan peranan
mereka masing – masing.
II.2 Identitas Diri