kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. Pada kasus ini pasien diberi dosis primakuin yang
ditingkatkan menjadi 0,5 mgkgBBhari Dinas Kesehatan RI, 2010.
2.2.2. Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivaks
Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mgkgBBhari selama 14 hari Dinas
Kesehatan RI, 2010. Tabel 2.6 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivaxP. ovale
dengan DHP
Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI 2010 Tabel 2.7 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivaxP. ovale
dengan Artesunat + Amodiakuin
Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI 2010
2.3.Resistensi Obat Antimalaria 2.3.1. Definisi Resistensi Obat Antimalaria
Resistensi obat antimalaria didefinisikan sebagai kemampuan suatu galur parasit untuk bertahan hidup danatau berkembang biak pada pemberian dosis
yang direkomendasikan WHO, 2010. Karakteristik parasit yang resisten diawali
Universitas Sumatera Utara
dengan kasus gagal obat yang jelas, sementara diagnosis klinis, parasitemia dan kadar metabolit obat dalam darah telah diketahui Syafruddin, 2008.
2.3.2. Penyebaran Resistensi Obat Antimalaria
Resistensi obat antimalaria sudah pernah dilaporkan pada seluruh obat antimalaria, termasuk amodiakuin, klorokuin, meflokuin, kina, sulfadoksin-
pirimetamin, dan tidak terkecuali derivatif artemisin. Distribusi global dan laju penyebaran resistensi cukup bervariasi WHO, 2010. Resistensi obat antimalaria
pertama kali menjadi permasalahan dunia pada tahun 1960-an ketika parasit menjadi resisten terhadap klorokuin. Resistensi awalnya dijumpai di daerah
Mekong dan kemudian menyebar ke benua Afrika. Hal ini memicu peningkatan angka kejadian malaria dan kematian secara signifikan, terutama pada anak
WHO, 2013. Dengan meluasnya resistensi terhadap klorokuin, sulfadoksin- pirimetamin diperkenalkan pada tahun 1977 di perbatasan Thailand-Kamboja.
Namun, resistensi terhadap obat ini segera muncul. Seiring dengan gagalnya penggunaan kina dan meflokuin di daerah ini pada tahun 1980 dan 1985, terdapat
beberapa bukti yang menunjukkan adanya galur-galur P. falciparum yang resisten ganda multiple drug-resistant dan untuk kasus-kasus tersebut artemisin danatau
obat kombinasi berbasis artemisin menjadi satu-satunya pilihan yang rasional Syafruddin, 2008.
Belakangan ini resistensi terhadap obat antimalaria golongan artemisin telah dilaporkan di Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Hal ini dudukung
oleh penelitian Dondorp dkk. yang menunjukkan adanya penurunan efektivitas pengobatan dengan artesunat di daerah perbatasan Kamboja-Thailand yang
ditandai oleh clearance parasit yang melambat secara in vivo Dondorp et al., 2009. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran dan mendesak badan organisasi
kesehatan dunia WHO untuk mengeluarkan kerangka darurat dalam upaya melawan ancaman kesehatan publik tersebut. Kerangka tersebut mendorong
negara-negara terkait termasuk Indonesia untuk segera menghapus obat antimalaria yang berkualitas rendah dan monoterapi artemisin oral dari peredaran,
Universitas Sumatera Utara
sebab penggunaannya akan berdampak pada berkurangnya kemanjuran artemisin beserta obat yang dikombinasikannya WHO, 2013.
2.3.3. Dampak Resistensi Obat Antimalaria