Gambaran Terapi Malaria Tanpa Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2012

(1)

GAMBARAN TERAPI MALARIA TANPA KOMPLIKASI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2009-2012

Oleh : SUTRISNO

100100220

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

GAMBARAN TERAPI MALARIA TANPA KOMPLIKASI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2009-2012

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh : SUTRISNO

100100220

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Gambaran Terapi Malaria Tanpa Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2012

Nama : Sutrisno NIM : 100100220

Pembimbing Penguji I

(dr. Sake Juli Martina, SpFK) (dr. Soekimin, SpPA) NIP: 19780727 200312 2 003NIP: 19480801 198003 1 002

Penguji II

(dr. Ilhamd, SpPD) NIP: 19662304 199603 1 011

Medan, 11 Januari 2014 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP. 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Terapi malaria tanpa komplikasi yang dianjurkan oleh Depkes RI saat ini adalah obat kombinasi berbasis artemisin atau ACT (Artemisinin-based Combination Therapy). Akhir-akhir ini terjadi kasus resistensi parasit terhadap pengobatan tersebut di beberapa negara di Asia Tenggara dan hal tersebut mendesak WHO untuk mengeluarkan kerangka darurat bagi negara-negara terkait agar segera memperbaiki kualitas penanganan malaria.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009-2012. Tiga puluh enam pasien yang mendapatkan obat antimalaria secara oral dijadikan sebagai sampel penelitian. Kriteria eksklusi adalah wanita hamil dan pasien dengan manifestasi klinis malaria berat sesuai kriteria WHO. Data diperoleh dari rekam medis dan kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 47,2% dari keseluruhan sampel yang diteliti mendapatkan terapi malaria yang tepat pemilihan jenis dan dosis obat, 19,4% mendapatkan obat yang tepat dengan dosis yang tidak tepat, 5,6% tidak dapat dinilai karena tidak tercantum dosis obat, dan 27,8% sampel mendapatkan obat antimalaria golongan non-artemisin. Dalam hal pemilihan jenis obat, 72,2% pasien mendapatkan obat antimalaria berbasis artemisin. ACT yang dipakai adalah kombinasi artesunat dengan amodiakuin (38,8%) dan kombinasi dihydroartemisin dengan piperakuin (33,3%). Sementara itu, pemberian dosis ACT yang tepat dijumpai pada 70,8% kasus.

Terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik masih bervariasi. Para klinisi masih menggunakan obat antimalaria golongan non-artemisin sebagai terapi lini pertama.


(5)

ABSTRACT

Uncomplicated malaria therapy currently recommended by health ministry in Indonesia is artemisin-based combination therapy (ACT). Recently, there are reports from some countries in Southeast Asia regarding the occurrence of resistance of these drugs, and it urges WHO in making emergence protocol to inform the corresponding countries to fix the quality of malaria management.

This research aims to identify the uncomplicated malaria therapy given at RSUP H. Adam Malik Medan in 2009-2012. Thirty-six patients were given oral antimalarial drugs and were taken as samples by using total sampling method. Pregnant women and patients with severe malaria manifestation defined by WHO were excluded. The data were taken from medical records and then analyzed by using descriptive statistic.

As a result, 47.2% samples were given appropriate malaria therapy in terms of class and dose of medication, 19.4% samples were not given correct doses despite correct drugs, 5.6% samples cannot be determined because of the lack of dosing data, and 27.8% samples were not given the recommended antimalarial treatment. In terms of drugs given, 72,2% patients were treated with artemisin derivatives. ACT which was used include 38,8% for artesunate plus amodiaquine and 33.3% for dihydroartemisin plus piperaquine. Of all artemisin derivatives prescribed, appropriate dosing was found in 70,8% cases.

The result of this study indicated that the uncomplicated malaria drug regimen chosen in the hospital were still variable. Physicians still prescribed non-artemisin antimalarial drugs as first-line therapies.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti diberikan kesempatan untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul ”Gambaran Terapi Malaria Tanpa Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009-2012” tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada keluarga peneliti yang telah memberikan motivasi dan masukan dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Dalam penulisan karya tulis ini, peneliti telah banyak mendapat bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti dengan rendah hati ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Sake Juli Martina, SpFK selaku dosen pembimbing karya tulis ilmiah saya atas kesabaran dan waktu yang diberikannya untuk membimbing peneliti sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. dr. Soekimin, SpPA dan dr. Ilhamd, SpPD selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran-saran yang sangat berarti dalam membuat karya tulis ilmiah ini menjadi lebih baik

3. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti selama masa perkuliahan. 4. Teman kelompok satu bimbingan, Khamisah Binti Ghazali, teman-teman

peneliti terutama Rachmat Kurniawan, Jeffri Simatupang, Anderson Koman, Eric Gradiyanto Ongko, dan kakak saya Melisa, beserta teman-teman lain yang telah memberikan saran kepada peneliti selama penyusunan karya tulis.

5. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada peneliti secara langsung atau tidak langsung.


(7)

Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunan karya tulis ini karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peneliti. Oleh sebab itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti bagi kualitas karya tulis ini. Akhir kata, peneliti berharap agar Karya Tulis Ilmiah ini memberi manfaat kepada semua orang.

Medan, 09 Desember 2013 Penulis

Sutrisno 100100220


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Singkatan ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Penyakit Malaria ... 5

2.1.1. Pengertian dan Sejarah Malaria ... 5

2.1.2. Epidemiologi ... 6

2.1.3. Siklus Hidup Plasmodium ... 7

2.1.4. Patogenesis Malaria... 8

2.1.5. Gejala Klinis ... 9

2.1.6. Diagnosis ... 12

2.2. Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi ... 13

2.2.1. Pengobatan Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks ... 15

2.2.2. Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivaks ... 18

2.3. Resistensi Obat Antimalaria ... 18

2.3.1. Definisi Resistensi Obat Antimalaria ... 18

2.3.2. Penyebaran Resistensi Obat Antimalaria ... 19

2.3.3. Dampak Resistensi Obat Antimalaria ... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 21

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 21

3.2. Definisi Operasional Penelitian ... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 25

4.1. Jenis Penelitian ... 25

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 26


(9)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...27

5.1. Hasil Penelitian ...27

5.1.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ...27

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Individu ...27

5.1.3. Deskripsi Manifestasi Klinis dan Spesies Plasmodium ...32

5.1.4. Deskripsi Terapi Malaria Tanpa Komplikasi... 33

5.2. Pembahasan ...37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...42

6.1. Kesimpulan ...42

6.2. Saran ...43

DAFTAR PUSTAKA ...44 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Masa Inkubasi, Periode Prepaten, Periode Demam dan Gejala Klinis pada

Setiap SpesiesPlasmodium ... 12

2.2 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan DHP dan Primakuin ... 15

2.3 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan DHP dan Primakuin ... 16

2.4 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin ... 16

2.5 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin ... 16

2.6 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale dengan DHP ... 18

2.7 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale dengan Artesunat + Amodiakuin ... 18

5.1 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Kelompok Umur... 28

5.2 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin ... 28

5.3 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Perawatan ... 29

5.4 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 29

5.5 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Tempat Tinggal ... 30

5.6 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Riwayat Perjalanan.. 31

5.7 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ada Tidaknya Pengukuran atau Pencatatan Berat Badan ... 31

5.8 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Manifestasi Klinis ... 32

5.9 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Spesies Plasmodium ... 32

5.10 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Kadar Hemoglobin yang Dikelompokkan ... 33


(12)

5.11 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Regimen

Terapi Antimalaria ... 33 5.12 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Pemberian

Primakuin ... 34 5.13 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan

Pemilihan Jenis Obat Antimalaria ... 34 5.14 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan Dosis

Obat Antimalaria Golongan Artemisin ... 35 5.15 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan

Terapi Malaria Tanpa Komplikasi ... 35 5.16 Distribusi Frekuensi Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan

Berdasarkan Pemberian Primakuin ... 36 5.17 Distribusi Frekuensi Spesies Plasmodium Berdasarkan Regimen


(13)

DAFTAR SINGKATAN AAQ Artesunat dan Amodiakuin

ACT Artemisin-based Combination Therapy AHA Acute Hemolytic Anemia

API Annual Parasite Incidence

BB Berat Badan

DHP Dihydroartemisinin dan Piperakuin FDC Fixed Dose Combination

G6PD Glucose-6-phospate dehydrogenase

IL-6 Interleukin-6

KLB Kejadian Luar Biasa LPB Lapangan Pandang Besar

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia NAD Nanggroe Aceh Darussalam

NTB Nusa Tenggara Barat NTT Nusa Tenggara Timur RDT Rapid Diagnostic Test RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

SP Systolic Pressure

SPSS Statistical Product and Service Solution TNF Tumor Necrosis Factor


(14)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Riwayat Hidup Peneliti

Lampiran 2 Data Induk (Master data) dan Output Lampiran 3 Formulir Pengambilan Data

Lampiran 4 Ethical Clearance Lampiran 5 Surat Izin Penelitian


(15)

ABSTRAK

Terapi malaria tanpa komplikasi yang dianjurkan oleh Depkes RI saat ini adalah obat kombinasi berbasis artemisin atau ACT (Artemisinin-based Combination Therapy). Akhir-akhir ini terjadi kasus resistensi parasit terhadap pengobatan tersebut di beberapa negara di Asia Tenggara dan hal tersebut mendesak WHO untuk mengeluarkan kerangka darurat bagi negara-negara terkait agar segera memperbaiki kualitas penanganan malaria.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009-2012. Tiga puluh enam pasien yang mendapatkan obat antimalaria secara oral dijadikan sebagai sampel penelitian. Kriteria eksklusi adalah wanita hamil dan pasien dengan manifestasi klinis malaria berat sesuai kriteria WHO. Data diperoleh dari rekam medis dan kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 47,2% dari keseluruhan sampel yang diteliti mendapatkan terapi malaria yang tepat pemilihan jenis dan dosis obat, 19,4% mendapatkan obat yang tepat dengan dosis yang tidak tepat, 5,6% tidak dapat dinilai karena tidak tercantum dosis obat, dan 27,8% sampel mendapatkan obat antimalaria golongan non-artemisin. Dalam hal pemilihan jenis obat, 72,2% pasien mendapatkan obat antimalaria berbasis artemisin. ACT yang dipakai adalah kombinasi artesunat dengan amodiakuin (38,8%) dan kombinasi dihydroartemisin dengan piperakuin (33,3%). Sementara itu, pemberian dosis ACT yang tepat dijumpai pada 70,8% kasus.

Terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik masih bervariasi. Para klinisi masih menggunakan obat antimalaria golongan non-artemisin sebagai terapi lini pertama.


(16)

ABSTRACT

Uncomplicated malaria therapy currently recommended by health ministry in Indonesia is artemisin-based combination therapy (ACT). Recently, there are reports from some countries in Southeast Asia regarding the occurrence of resistance of these drugs, and it urges WHO in making emergence protocol to inform the corresponding countries to fix the quality of malaria management.

This research aims to identify the uncomplicated malaria therapy given at RSUP H. Adam Malik Medan in 2009-2012. Thirty-six patients were given oral antimalarial drugs and were taken as samples by using total sampling method. Pregnant women and patients with severe malaria manifestation defined by WHO were excluded. The data were taken from medical records and then analyzed by using descriptive statistic.

As a result, 47.2% samples were given appropriate malaria therapy in terms of class and dose of medication, 19.4% samples were not given correct doses despite correct drugs, 5.6% samples cannot be determined because of the lack of dosing data, and 27.8% samples were not given the recommended antimalarial treatment. In terms of drugs given, 72,2% patients were treated with artemisin derivatives. ACT which was used include 38,8% for artesunate plus amodiaquine and 33.3% for dihydroartemisin plus piperaquine. Of all artemisin derivatives prescribed, appropriate dosing was found in 70,8% cases.

The result of this study indicated that the uncomplicated malaria drug regimen chosen in the hospital were still variable. Physicians still prescribed non-artemisin antimalarial drugs as first-line therapies.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Malaria merupakan penyakit yang sepenuhnya dapat dicegah dan ditangani apabila intervensi terkini yang direkomendasikan telah sepenuhnya diterapkan mulai dari kontrol terhadap vektor sampai penanganan dengan obat antimalaria yang sesuai (WHO, 2012). Malaria sendiri masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama, karena turut mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu melahirkan, serta menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Laihad & Arbani, 2008). Malaria tanpa komplikasi didefinisikan sebagai malaria simtomatik dengan parasitemia malaria tanpa adanya gambaran klinis atau tanda dari disfungsi organ vital (WHO, 2010).

Menurut WHO, jumlah penderita malaria di seluruh dunia diperkirakan mencapai 154-289 juta jiwa pada tahun 2010 dengan jumlah kematian 490.000-836.000 jiwa dan mayoritas kasus terjadi pada anak di bawah 5 tahun. Pada tahun 2010 persentase kabupaten/kota endemis malaria di Indonesia diperkirakan sebesar 65%, dengan perkiraan 45% penduduk di kabupaten tersebut memiliki risiko penularan (Dinas Kesehatan RI, 2010). Pada tahun 2011 Indonesia menjadi penyumbang kasus malaria terbesar ke-3 di wilayah Asia Selatan dan Tenggara, di bawah India dan Myanmar (WHO, 2012). Sementara itu, 6,1 dari 1.000 penduduk di Sumatera Utara diperkirakan menderita penyakit malaria pada tahun 2005 (Bappeda Provinsi Sumatera Utara, 2012).

Pada tahun 2009 Departemen Kesehatan (Depkes) RI telah mencanangkan program eliminasi malaria secara bertahap untuk mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan diagnosis dan pengobatan malaria di tanah air. Di Sumatera, program tersebut diharapkan akan tuntas pada tahun 2020. Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program tersebut yang kegiatannya mencakup diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, pengawasan, dan pengendalian vektor dalam hal pendidikan masyarakat dan pengertian tentang kesehatan lingkungan, yang semuanya ditujukan untuk


(18)

memutus mata rantai penularan malaria (Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementrian Kesehatan RI, 2009). Eliminasi malaria dapat ditandai dengan pelaporan kasus malaria setahun kurang dari 1 dari 1000 populasi yang berisiko (WHO, 2011). Sesuai dengan anjuran Depkes RI, diagnosis penyakit malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan gold standard berupa sediaan darah tebal dan tipis (thick and thin blood smear) dengan mikroskop (Dinas Kesehatan RI, 2010).

Penatalaksanaan kasus malaria tanpa komplikasi mempunyai tujuan mengurangi transmisi misalnya untuk mengurangi reservoir infeksi dan mencegah penyebaran resistensi (WHO, 2010). Kegagalan dalam pengobatan dapat menyebabkan infeksi berulang atau gejala berulang dan bahkan timbulnya resistensi. Peningkatan resistensi tersebut akan meningkatkan angka morbiditas dan meluasnya penyakit infeksi (Harijanto, 2008).Untuk menanggulangi masalah resistensi tersebut, WHO merekomendasikan pengobatan malaria secara global dengan penggunaan regimen obat kombinasi berbasis artemisin atau yang disebut dengan ACT (Artemisinin-based combination therapy). Oleh karena itu, komisi ahli malaria dari Depkes RI telah menyetujui penggunaan obat ACT sebagai obat lini pertama di seluruh Indonesia sejak tahun 2004, sebagai pengganti klorokuin dan sulfadoksin-pirimethamin (Dinas Kesehatan RI, 2010). Dengan kombinasi obat antimalaria dengan mekanisme kerja berbeda dan pemberian dosis yang tepat, resistensi dapat dicegah (WHO, 2010).

Sebuah studi di Nigeria pada tahun 2012 pernah meneliti tentang manajemen kasus malaria tanpa komplikasi pada anak di bawah 5 tahun di berbagai fasilitas kesehatan. Jumlah pemberian dosis terapi ACT yang sesuai dengan pedoman nasional adalah sebanyak 300 (64,8%), dosis tidak tepat sebanyak 109 (23,5%), dan kesalahan pemilihan obat sebanyak 41 (8,9%) (Udoh et al., 2013). Penelitian di Italia yang meneliti regimen pengobatan malaria pada 291 pasien dewasa di bagian bangsal penyakit infeksi menunjukkan bahwa 8,6% pasien tersebut tidak mendapatkan terapi sesuai dengan pedoman (Antinori et al., 2011). Sementara itu, studi di India pada tahun 2008 meneliti tentang praktik peresepan obat golongan artemisin yang dilakukan dengan wawancara terhadap


(19)

511 dokter di 196 fasilitas kesehatan, 530 apoteker, dan 1.832 pasien. Monoterapi artemisin ternyata masih tersedia secara luas di banyak apotik (72,6%) dan diresepkan oleh dokter untuk kasus malaria tanpa komplikasi di seluruh negara bagian yang diteliti. Penggunaan monoterapi artemisin masih tergolong banyak dengan 14,8% pasien yang mendapatkan resep tersebut. Penggunaan ACT yang direkomendasikan hanya sebanyak 4,9% (Mishra et al., 2011). Penelitian lain di Uganda menganalisis kepatuhan tenaga medis terhadap pedoman nasional dalam pemberian terapi antimalaria berupa klorokuin pada anak di bawah 5 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan hanya 34% dari 463 anak tersebut yang mendapatkan dosis terapi yang tepat (Nshakira et al., 2002).

Atas dasar terjadinya kasus resistensi malaria terhadap obat golongan artemisin akhir-akhir ini di beberapa negara Asia Tenggara, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran pemberian terapi malaria tanpa komplikasi di salah satu rumah sakit umum pusat kota Medan dan menilai kesesuaian pemberian terapi dengan pedoman penatalaksanaan kasus malaria yang direkomendasikan Depkes RI.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitan yaitu sebagai berikut: “Bagaimana gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009-2012?”.

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009-2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui ketepatan pemilihan obat dalam terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan.


(20)

2. Mengetahui ketepatan pemberian dosis obat antimalaria golongan artemisin dalam terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Masyarakat

Dapat memperbaiki angka kesembuhan, mengurangi angka kesakitan, dan mencegah terjadinya resistensi obat antimalaria sehingga mengurangi transmisi.

1.4.2. Bagi Institusi Kesehatan

Dapat memberikan gambaran mengenai keberhasilan implementasi program pemberantasan malaria oleh Depkes RI dan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak RSUP H. Adam Malik Medan untuk dapat terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dalam penatalaksanaan kasus malaria, khususnya malaria tanpa komplikasi.

1.4.3. Bagi Peneliti

Dapat menjadi bahan pembelajaran, pengalaman belajar, dan penambah wawasan dalam melakukan penelitian di bidang kesehatan ke depannya.

1.4.4 Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan peneliti lain yang membutuhkannya sebagai bahan referensi karya tulis ilmiahnya.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Malaria

2.1.1. Pengertian dan Sejarah Malaria

Malaria merupakan penyakit infeksi akibat Protozoa dari genus Plasmodium dan ditularkan terutama melalui tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles betina. Terdapat lebih dari 120 spesies Plasmodium yang menginfeksi mamalia, unggas, dan reptil, tapi hanya empat spesies yang dikenal menginfeksi manusia secara konsisten, yaitu P. falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale (Hoffman, Campbell & White, 2006). Kasus infeksi manusia oleh spesies Plasmodium yang sebelumnya hanya menginfeksi kera ekor panjang (Macaca

sp.), P. knowlesi, semakin banyak dilaporkan di wilayah perhutanan Asia

Tenggara (WHO, 2010).

Malaria merupakan penyakit purba yang telah menimbulkan dampak besar terhadap kesehatan manusia selama sejarah peradaban manusia. Malaria juga turut mempengaruhi pola pemukiman penduduk dunia dan menimbulkan dampak kesehatan secara global. Malaria diduga berasal dari negara Afrika dan telah ikut berevolusi bersama dengan inang dan vektornya (Carter & Mendis, 2002). Pada abad ke-18, malaria (mal aria = udara kotor) diberi nama atas dasar kepercayaan Roman kuno bahwa penyakit ini ditransmisikan melalui asap berbahaya dari daerah sekitar rawa yang mengelilingi Roma (Rosenthal & Kamya, 2012). Pada tahun 1880 Alphonse Laveran, dokter militer berkebangsaan Perancis, mendeskripsikan parasit malaria di dalam darah penderita untuk pertama kalinya. Transmisi malaria oleh nyamuk Anopheles ditemukan pada tahun 1897 oleh dokter militer berkebangsaan Britania, Ronald Ross. Laveran (1907) dan Ross (1902) diberi hadiah Nobel atas penemuannya. Sementara itu, siklus hidup dalam manusia diuraikan pada tahun 1898-1899 oleh ilmuwan Italia bernama Amico Bignami, Giusseppe Bastianelli, dan Battista Grassi. Penemuan dari siklus hidup ini menjadi titik awal dari usaha mengontrol populasi nyamuk yang bertujuan mengurangi transmisi malaria (Hoffman, Campbell & White, 2006).


(22)

2.1.2. Epidemiologi

Infeksi malaria tersebar luas di berbagai negara dan transmisi terjadi di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Oceania, di Amerika Tengah, Haiti, dan Republik Dominika, dan di Brazil serta negara Amerika Latin lainnya. Intensitas transmisi Plasmodium paling tinggi terdapat di benua Afrika (Hoffman, Campbell & White, 2006). WHO mengestimasi bahwa terdapat 219 juta kasus malaria dan 660 ribu kematian pada tahun 2010. Selain itu, diperkiran 3,3 miliar jiwa penduduk berisiko tertular penyakit malaria pada tahun 2011 dan 99 negara masih terjadi transmisi malaria secara aktif (WHO, 2012).

Sekitar 17% populasi di Indonesia memiliki transmisi tinggi, 44% populasi memiliki transmisi rendah, dan sisanya bebas malaria. Di Indonesia, kebanyakan kasus malaria diakibatkan oleh P. falciparum (55%) dan P. vivax (45%) (WHO, 2012). Di antara penderita malaria, 5-7% terinfeksi lebih dari satu spesies Plasmodium. Koinfeksi antar spesies Plasmodium tersebut pernah dideskripsikan dalam vektor nyamuk parasit malaria (Marchand et al., 2011). Infeksi campuran antara P. falciparum dan P. vivax sering dijumpai di Indonesia dan Thailand. Pada tahun 2010 P. knowlesi pernah dilaporkan di Pulau Kalimantan. P. malariae dapat ditemukan di beberapa provinsi antara lain Lampung, NTT, dan Papua. P. ovale pernah ditemukan di NTT dan Papua. Prevalensi malaria nasional berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 adalah 0,6% dimana provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional terdapat di NTB, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan NTT (4,4%) (Dinas Kesehatan RI, 2010).

Terdapat empat faktor yang menentukan epidemiologi malaria, yaitu faktor lingkungan, vektor, parasit, dan inang. Faktor-faktor tersebut yang menentukan tingkat kestabilan malaria di suatu negara (Lucas & Gilles, 2003).


(23)

2.1.3. Siklus Hidup Plasmodium

Ketika nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi menghisap darah manusia, rata-rata 5-10 sporozoit akan masuk ke jaringan atau langsung ke peredaran darah. Setelah itu sporozoit secara cepat akan menuju organ hati dan menginvasi hepatosit (sel hati) dalam 30 menit. Selama sekurangnya 5,5 hari, sporozoit yang memiliki satu inti tersebut akan berkembang menjadi skizon hati dewasa yang terdiri dari 10,000-40,000 merozoit hati dengan satu inti. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman atau hipnozoit yang dapat tinggal di dalam sel hati selama 3 tahun. Infeksi rekurensi akibat pengaktifan hipnozoit tersebut akan menimbulkan relaps.

Skizon hati dewasa akan pecah, melepas ribuan merozoit, yang akan menginvasi eritrosit (sel darah merah). Berbeda dengan ketiga parasit lainnya, merozoit P. vivax tidak dapat menginvasi eritrosit yang tidak terdapat antigen grup darah Duffy. Di dalam eritrosit, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit menjadi skizon dengan rata-rata 16 merozoit satu inti. Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Stadium eritrosit aseksual ini berlangsung sekitar 48 jam untuk P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale dan sekitar 72 jam untuk P. malariae. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi akan pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi eritrosit lainnya. Parasit pada stadium eritrositer ini dapat berkembang menjadi parasit pada stadium seksual yang dinamakan gametosit. Di dalam usus nyamuk Anopheles betina, gametosit keluar dari eritrosit dan membentuk gamet. Gamet jantan dan betina akan terjadi pembuahan membentuk zigot. Sekitar 5 jam setelah penghisapan darah, zigot akan mengalami meiosis dua langkah. Pada 18 sampai 24 jam berikutnya, zigot akan mengalami transformasi menjadi ookinet. Selanjutnya ookinet menembus dinding lambung nyamuk melalui sel epitel dan menetap di sekitar lamina basalis. Di sini ookinet akan bertransformasi menjadi ookista. Selanjutnya mulai dari hari ke-6 ookista akan mengalami pembelahan sel yang pada akhirnya akan terbentuk sekitar 8.000 sporozoit. Pada hari ke-12, sporozoit tersebut akan bermigrasi ke


(24)

kelenjar ludah nyamuk dan siap ditularkan ke manusia. (Hoffman, Campbell & White, 2006)

2.1.4. Patogenesis Malaria

Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Necrosis Factor) dan IL-6 (Interleukin-6). TNF dan IL-6 akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Demam dapat terjadi setiap hari pada infeksi P. falciparum, selang waktu satu hari pada infeksi P. vivax atau P. ovale, dan selang dua hari pada infeksi P. malariae.

Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. P. vivax dan P. ovale hanya menginfeksi kurang dari 2% sel darah merah muda (retikulosit), sedangkan P. malariae menginfeksi sel darah merah tua/ matang yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah. Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax, P. ovale, dan P. malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis. P. falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis (Dinas Kesehatan RI, 2010). Pada kasus berat, parasit dapat menyerang sampai 20% eritrosit (Rampengan, 2008).

Pembesaran limpa atau splenomegali sering dijumpai pada penderita malaria. Limpa biasanya akan teraba 3 hari setelah serangan infeksi akut (Harijanto, 2008). Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis (Rampengan, 2008).

Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai patogenesis yang khusus. Permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai antigen P. falciparum. Sitokin (TNF, IL-6, dan lain-lain) yang diproduksi oleh sel makrofag, monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya reseptor


(25)

endotel kapiler. Pada saat knob tersebut berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler terjadilah proses cytoadhesion. Proses ini menyebabkan penyumbatan pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Pembentukan mediator-mediator tersebut menyebabkan gangguan fungsi jaringan tertentu (Dinas Kesehatan RI, 2010). Hal inilah yang menjadikan P. falciparum berpotensi tinggi mengakibatkan gejala klinis berat seperti malaria otak (cerebral malaria) dan malaria pada kehamilan (pregnancy-associated malaria) (Noviyanti, 2008).

2.1.5. Gejala Klinis

Gejala klinis merupakan petunjuk penting dalam diagnosis malaria dan dipengaruhi oleh spesies Plasmodium, imunitas tubuh, usia, dan jumlah parasit yang menginfeksi. Waktu mulai terjadinya infeksi sampai timbul gejala klinis dikenal sebagai masa inkubasi. Sementara itu, periode prepaten adalah rentang waktu antara terjadinya infeksi sampai terdeteksinya parasit di dalam eritrosit dengan pemeriksaan mikroskopis (Harijanto, 2008). Baik anak maupun orang dewasa tidak menampakkan gejala semasa periode inkubasi. Tiap spesies memiliki periode inkubasi berbeda: P. falciparum, 9-14 hari; P. vivax, 12-17 hari; P. ovale, 16-18 hari; P. malariae, 18-40 hari. Periode inkubasi dapat memanjang pada pasien dengan adanya imunitas atau pada pasien yang mendapatkan kemoprofilaksis tidak lengkap. Periode inkubasi bisa sampai 6-12 bulan untuk P. vivax (Krause, 2011). Keluhan prodromal dapat terjadi selama 2-3 hari sebelum timbul demam dan dapat berupa sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, sakit tulang, otot, atau sendi, rasa lelah, anoreksia, dan diare ringan. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P.ovale, sedangkan pada P. falciparum dan P.malariae keluhan prodromal kurang jelas dan bahkan dapat timbul gejala secara mendadak (Harijanto, 2008).

Gejala klasik malaria, yang jarang dijumpai pada penyakit infeksi lain, terdiri dari serangan demam tiba-tiba dan periodik. Serangan ini diawali dengan periode dingin berlangsung kira-kira 1-2 jam dan diikuti oleh demam tinggi. Kemudian, penderita akan mulai berkeringat, dan suhu tubuh akan menurun kembali normal atau di bawah normal. Trias malaria secara keseluruhan dapat


(26)

berlangsung 6-10 jam dan lebih sering terjadi pada infeksi P. vivax (Harijanto, 2008). Sakit kepala hampir selalu terjadi dan dapat juga disertai gejala penyerta seperti batuk, rasa lelah atau tidak enak badan, nyeri otot, nyeri sendi, mual, muntah, diare, pucat, atau ikterus. Banyak penderita, terutama pada awal infeksi, tidak menunjukkan gejala klasik tersebut tapi dapat terjadi beberapa serangan demam ringan dalam sehari. Periodisitas demam terjadi bersamaan dengan rupturnya skizon dan tergantung tiap spesiesnya (misalnya 48 jam untuk P. vivax, dan P. ovale). Periodisitas sering tidak diamati pada infeksi P. falciparum dan infeksi campuran. Umumnya kejadian periodisitas demam tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk diagnosis malaria. Anak-anak dengan malaria sering menampakkan gejala yang berbeda dibandingkan orang dewasa. Anak berusia lebih dari 2 tahun tanpa adanya imunitas dapat menampakkan gejala klinis yang bervariasi (Krause, 2011).

P. falciparum merupakan jenis organisme penyebab malaria yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan spesies lainnya. Malaria ini memiliki parasitemia tinggi dan sering terjadi komplikasi. Bila tidak diobati segera, angka kematian dapat mencapai 25% pada orang dewasa dan 30% anak-anak non-imun. Pada individu dengan adanya imunitas infeksi biasanya bersifat ringan atau tidak disertai komplikasi. Pada umumnya, malaria vivaks lebih ringan dibandingkan dengan malaria falsiparum, tetapi dapat saja menyebabkan kematian akibat dari rupturnya limpa atau retikulositosis setelah anemia. Kekambuhan dapat terjadi bila pengobatan tidak tepat dan sering timbul dalam 6 bulan setelah serangan akut tapi dapat juga dalam 5 tahun setelah permulaan infeksi. P. malariae merupakan infeksi malaria paling ringan dan kronis. Rekrudesensi (kekambuhan) pernah diamati 30-50 tahun setelah serangan akut. Walaupun parasitemia sering rendah, P. malariae yang tidak diobati dapat menimbulkan masalah kesehatan kronis disamping demam (Krause, 2011). Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan di antara semua jenis malaria. Gejala klinis hampir sama dengan malaria vivaks namun lebih ringan. Serangan menggigil jarang terjadi dan splenomegali jarang sampai teraba. Infeksi P. knowlesi juga dapat menimbulkan penyakit berat dan kematian pada manusia. Gejala yang muncul dapat berupa demam tinggi.


(27)

Seperti halnya pada P. falciparum, parasitemia tinggi sering dijumpai pada P. knowlesi(Harijanto, 2008).

Infeksi malaria kronis dapat mengalami komplikasi berupa splenomegali hiperreaktif dengan manifestasi splenomegali masif dan hypersplenism. Infeksi kronis juga dapat memicu sindrom nefrotik, terutama pada infeksi P. malariae(Rosenthal & Kamya, 2012).

Kasus malaria tanpa komplikasi dapat dengan mudah berkembang menjadi malaria berat jika tidak diobati secara adekuat, sedangkan prognosis malaria berat sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan yang diberikan. Di negara berkembang, malaria berat dan kematian paling banyak terjadi pada anak berusia muda, khususnya akibat dari malaria serebral dan anemia berat (Rosenthal, 2013).

Pada pasien dengan parasitemia P. falciparum stadium aseksual tanpa penyebab jelas lain, terdapatnya satu atau lebih manifestasi klinis atau temuan hasil laboratorium berikut menandakan pasien menderita malaria berat (WHO, 2010).

1. Penurunan kesadaran atau koma; 2. Kelemahan (tidak bisa duduk/berjalan); 3. Tidak bisa makan dan minum;

4. Kejang umum berulang (lebih dari 2 kali dalam 24 jam); 5. Gawat napas;

6. Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik <70 mmHg (<50 mmHg pada anak); 7. Jaundice disertai disfungsi organ vital;

8. Hemoglobinuria (blackwater fever); 9. Perdarahan spontan abnormal; dan 10. Edema paru (radiologi).

Gambaran laboratorium yang menandakan malaria berat antara lain: 1. Hipoglikemia (gula darah < 40 mg% atau < 2,2 mmol/l);

2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma < 15 mmol/l); 3. Anemia berat (Hb < 5 g% atau hematokrit < 15%);


(28)

4. Hiperparasitemia (parasit > 2 % per 100.000/µL di daerah endemis rendah atau > 5% per 100.0000/µl di daerah endemis tinggi);

5. Hiperlaktatemia (asam laktat dalam vena > 5 mmol/l); 6. Hemoglobinuria; dan

7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 3 mg% atau > 265 µmol/l).

Tabel 2.1. Masa Inkubasi, Periode Prepaten, Periode Demam dan Gejala Klinis pada Setiap SpesiesPlasmodium

Spesies Plasmodium Periode Prepaten (hari) Masa inkubasi (hari) Tipe Panas (jam) Manifestasi Klinis

Falciparum 11 12 (9-14) 24,36,48 anemia; ikterus;

hemoglobinuria; syok; algid malaria (syok, syncope, hipotensi, kulit dingin dan lembab, gejala gastrointestinal, diare, dan muntah); koma (malaria serebral); edema paru; hipoglikemia; gagal ginjal; gangguan kehamilan; kelainan retina; kematian.

Vivax 12,2 13 (12-17) 48 Anemia kronik; splenomegali; ruptur limpa.

Ovale 12 17 (16-18) 48 Sama seperti vivax

Malariae 32,7 28 (18-40) 72 Rekrudesensi sampai 50 tahun, splenomegali menetap, limpa jarang ruptur, sindrom nefrotik. Diadaptasi dari: Harijanto (2008)

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis malaria yang cepat dan tepat merupakan hal yang sangat diperlukan dalam penatalaksanaan kasus malaria. Penderita yang dicurigai secara


(29)

klinis menderita malaria harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan parasitologi. Kemungkinan penyebab demam yang lain juga perlu disingkirkan. Dua metode yang secara rutin dipakai untuk diagnosis parasitologi adalah mikroskop cahaya dan rapid diagnostic tests (RDTs) (WHO, 2010).

a. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya

Pemeriksaan ini merupakan standar baku (gold standard) dan dilakukan dengan cara membuat sediaan darah tebal dan tipis yang diberi pewarnaan Giemsa. Hapusan tebal membantu diagnosis cepat dan pasti sedangkan hapusan tipis berguna untuk mengidentifikasi spesies Plasmodium dan menilai derajat eritrosit yang telah terinfeksi. Selain itu, hapusan tipis juga berguna untuk menentukan respon terhadap terapi. Namun, perlu diketahui bahwa hasil pemeriksaan hapusan darah tunggal yang negatif tidak dapat menyingkirkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pemeriksaan berulang perlu dapat dilakukan setiap 4-6 jam. Parasit dapat ditemukan dalam hapusan darah tebal dalam 48 jam pada kebanyakan penderita malaria yang menunjukkan gejala klinis (Krause, 2011).

b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Tests/RDTs) RDT merupakan tes imunokromatografi yang mendeteksi antigen spesifik parasit dan tersedia secara komersial dalam beberapa bentuk. Tes ini dapat memberi hasil secara cepat dan membutuhkan sedikit pelatihan kepada tenaga kesehatan, namun harganya relatif mahal. WHO merekomendasikan agar tes ini setidaknya memiliki sensitivitas > 95% pada densitas lebih dari 100 parasit/µl darah. RDT dapat diandalkan untuk diagnosis malaria di daerah terpencil yang tidak tersedia mikroskop (WHO, 2010). Saat ini RDT yang digunakan program pengendalian malaria adalah yang dapat mengidentifikasi P. falciparum dan non P. falciparum (Dinas Kesehatan RI, 2010).

2.2. Pengobatan Malaria Tanpa Komplikasi

Terapi antimalaria harus segera diberikan apabila dijumpai hasil positif pada pemeriksaan hapusan darah (Krause, 2011). Terapi antimalaria berdasarkan klinis hanya dapat dilakukan apabila alat diagnostik tidak tersedia. Selain itu,


(30)

terapi perlu diberikan terapi, antimalaria yang lengkap tetap dibutuhkan sekalipun diagnosis tidak dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium apabila memang pasien dicurigai kuat menderita malaria. Terapi antimalaria lengkap juga dibutuhkan meskipun pasien dipertimbangkan mempunyai imunitas sebagian (WHO, 2010).

Malaria tanpa komplikasi dapat diberikan obat antimalaria dengan rawat jalan (Rampengan, 2008). Saat ini antimalaria yang digunakan sesuai dengan program nasional adalah derivat artemisinin golongan aminokuinolin, yaitu (Dinas Kesehatan RI, 2010):

a. Kombinasi tetap (Fixed Dose Combination = FDC) yang terdiri atas Dihydroartemisinin dan Piperakuin (DHP). 1 tablet FDC mengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin. Obat ini diberikan per–oral selama tiga hari dengan range dosis tunggal harian sebagai berikut: Dihydroartemisinin dosis 2-4 mg/kgBB; Piperakuin dosis 16-32 mg/kgBB. b. Artesunat – Amodiakuin (AAQ)

Kemasan yang ada pada program pengendalian malaria dengan 3 blister, setiap blister terdiri dari 4 tablet artesunat 50 mg dan 4 tablet amodiakuin 150 mg. Dosis amodiakuin basa yaitu 10 mg/kgBB dan dosis artesunat yaitu 4mg/kgBB.

Artemisin tidak dianjurkan diberikan sebagai monoterapi karena dapat memicu terjadinya resistensi (WHO, 2010). Sejak akhir tahun 2007 Depkes RI telah memutuskan untuk menggunakan DHP di Papua sebagai pengganti AAQ (Hasugian et al., 2007). Kombinasi ini dapat dijadikan pengobatan alternatif, khususnya di daerah dengan tingkat kegagalan terapi AAQ yang sudah tinggi (Harijanto, 2008).

Di daerah dengan transmisi rendah, primakuin dapat mencegah kekambuhan sehingga direkomendasikan pada pasien tanpa defisiensi G6PD (Glucose-6-phospate dehydrogenase) (WHO, 2010). Penggunaan primakuin sebagai gametositosid berguna untuk mengurangi transmisi malaria falsiparum, dan secara khusus membantu mengurangi penyebaran malaria falsiparum yang resisten terhadap artemisin di Asia Tenggara. WHO merekomendasikan


(31)

pemberian primakuin 0,75 mg basa/kgBB (dosis dewasa 45 mg) untuk regimen terapi malaria falsiparum di daerah dengan endemisitas rendah, terutama pada daerah dengan ancaman terjadinya resistensi terhadap artemisin. Primakuin juga digunakan sebagai penanganan radikal malaria vivaks (WHO, 2012). Pada area dengan transmisi musiman dimana relaps terjadi 6-12 bulan setelah serangan primer, terapi dengan primakuin dapat memperlambat terjadinya relaps. Ini merupakan keuntungan dalam program untuk memutuskan transmisi malaria (Dinas Kesehatan RI, 2010). Sayangnya sering didapati ketidakjelasan mengenai prevalensi dan keparahan dari defisiensi G6PD, dan pemeriksaan biasanya tidak tersedia di daerah tersebut. Pada praktiknya, kemungkinan untuk mengalami AHA (Acute Hemolytic Anemia) membatasi penggunaan primakuin (WHO, 2012).

2.2.1. Pengobatan Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks

Regimen pengobatan malaria falsiparum dan vivaks yang direkomendasikan Depkes RI sebagai lini pertama saat ini adalah yang menggunakan ACT ditambah primakuin. Dosis ACT sama untuk malaria falsiparum dan vivaks, sedangkan primakuin hanya diberikan pada hari pertama untuk malaria falsiparum (0,75 mg/kgBB) dan 14 hari untuk malaria vivaks (0,25 mg/kgBB).

a. Lini pertama

Tabel 2.2 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan DHP dan Primakuin

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010) ACT + Primakuin


(32)

Tabel 2.3 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan DHP dan Primakuin

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)

Dosis antimalaria dihydroartemisinin dan piperakuin sebaiknya disesuaikan dengan berat badan pasien. Apabila penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan, maka dosis obat dapat disesuaikan dengan umur pasien (Dinas Kesehatan RI, 2010).

Tabel 2.4 Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)

Tabel 2.5 Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks dengan Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin


(33)

b. Lini kedua untuk malaria falsiparum

Lini kedua yang dipakai adalah kina ditambah doksisiklin atau tetrasiklin dan dikombinasikan dengan primakuin. Pengobatan ini diberikan apabila pengobatan lini pertama tidak efektif, dimana ditemukan gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau terjadi rekrudesensi (Dinas Kesehatan RI, 2010). Lini kedua diberikan bila kegagalan terapi terjadi dalam 14 hari sejak pemberian ACT atau ACT tidak tersedia (WHO, 2010). Selain harganya yang murah, efikasi kombinasi kina-doksisiklin telah dibuktikan pada beberapa penelitian (Lubis & Pasaribu, 2008). Namun, berdasarkan data ekstensif yang ada, kina seharusnya tidak digunakan sebagai terapi malaria tanpa komplikasi ketika ACT tersedia. ACT mempunyai keuntungan dalam perhitungan dosis yang lebih mudah, yang akan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan apabila dibandingkan dengan kina yang diberikan selama 7 hari, toleransi obat yang lebih baik serta berkurangnya toksisitas yang serius (Achan et al., 2009). Penelitian di Brazil menunjukkan bahwa penggunaan ACT menunjukkan laju clearance parasit yang lebih cepat secara signifikan bila dibandingkan dengan kombinasi kina dan doksisiklin (Alecrim et al., 2006). Doksisiklin dan tetrasiklin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil dan anak di bawah usia 8 tahun. Selain dapat menimbulkan perubahan warna gigi yang menetap, dampak yang timbul dapat berupa deformitas atau gangguan pertumbuhan tulang dan gigi pada anak (Deck & Winston, 2012). Oleh karena itu, klindamisin dapat dijadikan sebagai pengganti doksisiklin dan tetrasiklin pada anak di bawah 8 tahun dan wanita hamil (WHO, 2010).

c. Lini kedua untuk malaria vivaks

Lini kedua yang dipakai adalah kombinasi kina dan primakuin. Kombinasi ini digunakan apabila pengobatan malaria vivaks tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan ACT (Dinas Kesehatan RI, 2010).

d. Pengobatan malaria vivaks yang relaps

Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis 0,25 mg/kgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit


(34)

kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. Pada kasus ini pasien diberi dosis primakuin yang ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari (Dinas Kesehatan RI, 2010).

2.2.2. Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivaks

Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (Dinas Kesehatan RI, 2010).

Tabel 2.6 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale dengan DHP

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)

Tabel 2.7 Pengobatan Infeksi Campuran P. falciparum + P. vivax/P. ovale dengan Artesunat + Amodiakuin

Dikutip dari:Dinas Kesehatan RI (2010)

2.3.Resistensi Obat Antimalaria

2.3.1. Definisi Resistensi Obat Antimalaria

Resistensi obat antimalaria didefinisikan sebagai kemampuan suatu galur parasit untuk bertahan hidup dan/atau berkembang biak pada pemberian dosis yang direkomendasikan (WHO, 2010). Karakteristik parasit yang resisten diawali


(35)

dengan kasus gagal obat yang jelas, sementara diagnosis klinis, parasitemia dan kadar metabolit obat dalam darah telah diketahui (Syafruddin, 2008).

2.3.2. Penyebaran Resistensi Obat Antimalaria

Resistensi obat antimalaria sudah pernah dilaporkan pada seluruh obat antimalaria, termasuk amodiakuin, klorokuin, meflokuin, kina, sulfadoksin-pirimetamin, dan tidak terkecuali derivatif artemisin. Distribusi global dan laju penyebaran resistensi cukup bervariasi (WHO, 2010). Resistensi obat antimalaria pertama kali menjadi permasalahan dunia pada tahun 1960-an ketika parasit menjadi resisten terhadap klorokuin. Resistensi awalnya dijumpai di daerah Mekong dan kemudian menyebar ke benua Afrika. Hal ini memicu peningkatan angka kejadian malaria dan kematian secara signifikan, terutama pada anak (WHO, 2013). Dengan meluasnya resistensi terhadap klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin diperkenalkan pada tahun 1977 di perbatasan Thailand-Kamboja. Namun, resistensi terhadap obat ini segera muncul. Seiring dengan gagalnya penggunaan kina dan meflokuin di daerah ini pada tahun 1980 dan 1985, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan adanya galur-galur P. falciparum yang resisten ganda (multiple drug-resistant) dan untuk kasus-kasus tersebut artemisin dan/atau obat kombinasi berbasis artemisin menjadi satu-satunya pilihan yang rasional (Syafruddin, 2008).

Belakangan ini resistensi terhadap obat antimalaria golongan artemisin telah dilaporkan di Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Hal ini dudukung oleh penelitian Dondorp dkk. yang menunjukkan adanya penurunan efektivitas pengobatan dengan artesunat di daerah perbatasan Kamboja-Thailand yang ditandai oleh clearance parasit yang melambat secara in vivo (Dondorp et al., 2009). Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran dan mendesak badan organisasi kesehatan dunia WHO untuk mengeluarkan kerangka darurat dalam upaya melawan ancaman kesehatan publik tersebut. Kerangka tersebut mendorong negara-negara terkait termasuk Indonesia untuk segera menghapus obat antimalaria yang berkualitas rendah dan monoterapi artemisin oral dari peredaran,


(36)

sebab penggunaannya akan berdampak pada berkurangnya kemanjuran artemisin beserta obat yang dikombinasikannya (WHO, 2013).

2.3.3. Dampak Resistensi Obat Antimalaria

Resistensi membawa ancaman serius dalam upaya penanggulangan malaria. Resistensi terhadap P. falciparum menimbulkan kekhawatiran besar akibat adanya beban berat yang harus ditanggung, potensi mematikan, kecenderungan epidemis, dan biaya obat pengganti untuk daerah dengan kejadian resistensi tersebut.

Pada awal timbulnya resistensi, gejala klinis akan membaik untuk sementara waktu. Akan tetapi, gejala akan timbul kembali (biasanya antara minggu ke-3 dan ke-6 setelah pengobatan). Anemia dapat bertambah parah dan terdapat kemungkinan lebih besar bagi gametosit untuk bertahan hidup. Keadaan ini akan menyebabkan timbulnya suatu gen resistensi. Apabila keadaan ini terus berlanjut, resistensi akan memburuk. Interval antara infeksi primer dengan rekrudesensi akan memendek sehingga menyebabkan gagalnya perbaikan gejala setelah pengobatan. Insidensi cenderung meningkat di daerah dengan transmisi rendah dan mortalitas cenderung meningkat di seluruh wilayah (WHO, 2010).


(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

3.2. Definisi Operasional Penelitian

1. Malaria tanpa komplikasi adalah kasus malaria dengan parasit positif yang mendapatkan obat antimalaria golongan artemisin atau non-artemisin yang diberikan secara oral tanpa adanya manifestasi klinis malaria berat sesuai kriteria WHO yang tercatat di rekam medis.

2. Umur adalah usia pasien malaria sewaktu datang berobat sesuai dengan tercatat di rekam medis, yaitu:

a. 9-15 tahun b. 16-22 tahun c. 23-29 tahun d. 30-36 tahun e. 37-43 tahun f. 44-50 tahun g. 51-57 tahun

3. Jenis perawatan adalah jenis penanganan yang diterima pasien sewaktu datang berkunjung sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Rawat inap b. Rawat jalan

Data Rekam Medis Pasien Malaria di RSUP H. Adam Malik

Tahun 2009-2012 Terapi Malaria Tanpa Komplikasi

- Ketepatan Pemilihan Obat - Ketepatan Dosis Obat


(38)

4. Jenis pekerjaan adalah mata pencaharian atau aktivitas sehari-hari pasien malaria sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Ibu Rumah Tangga b. Pegawai negeri c. Pegawai swasta d. Pekerja lepas e. Pelajar f. Pendeta g. Petani h. Wiraswasta

5. Tempat tinggal adalah kota atau kabupaten dimana pasien bertempat tinggal atau menetap sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Aceh Selatan b. Aceh Tamiang c. Batu Bara d. Dairi

e. Deli Serdang f. Karo

g. Langkat

h. Mandailing Natal i. Medan

j. Padang Sidempuan k. Pakpak Bharat l. Pancur Batu m. Pematang Siantar n. Serdang Bedagai o. Siak

p. Sibolga

q. Tapanuli Selatan r. Tebing Tinggi

6. Riwayat perjalanan adalah kunjungan akhir-akhir ini ke luar daerah tempat tinggal pasien sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Aceh b. Asahan c. Dairi d. Jambi

e. Mandailing Natal f. Rantau Prapat g. Siantar


(39)

i. Tanjung Pinang j. Tidak Ada

7. Pengukuran atau pencatatan berat badan adalah dokumentasi berat badan pasien di rekam medis, yaitu:

a. Diukur/dicatat b. Tidak diukur/dicatat

8. Manifestasi klinis adalah gejala atau tanda klinis yang terdapat pada pasien malaria sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Demam b. Menggigil

c. Berkeringat banyak d. Sakit Kepala e. Pucat f. Mual g. Muntah

h. Sakit otot/sendi i. Ikterus

j. Malaise k. Hepatomegali l. Splenomegali

9. Spesies Plasmodium adalah parasit penyebab malaria yang teridentifikasi pada pemeriksaan laboratorium sesuai data rekam medis, yaitu:

a. P. falciparum b. P. vivax

c. Mixed infection (P. falciparum dan P. vivax)

10.Kadar hemoglobin yang dikelompokkan adalah kadar hemoglobin (Hb) dalam darah sesuai data rekam medis yang kemudian dikategorikan sebagai berikut: a. Anemia : Hb < 12 g/dl

b. Tidak anemia : Hb > 12 g/dl

11.Regimen terapi antimalaria adalah obat antimalaria yang diresepkan untuk kasus malaria tanpa komplikasi sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Artesunat + Amodiakuin (AAQ)

b. Dihydroartemisinin + Piperakuin (DHP) c. Kina + Doksisiklin

d. Klorokuin


(40)

12.Pemberian primakuin adalah ada tidaknya peresepan obat primakuin sebagai bagian terapi malaria tanpa komplikasi sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Ada b. Tidak ada

13.Ketepatan pemilihan jenis obat antimalaria adalah tepat atau tidaknya jenis atau kelas obat antimalaria yang diberikan secara oral yang diresepkan kepada pasien sebagai lini pertama terapi malaria tanpa komplikasi, yaitu:

a. Tepat : Obat kombinasi golongan artemisin (AAQ, DHP) b. Tidak tepat : Bukan obat kombinasi golongan artemisin

14.Ketepatan dosis obat antimalaria golongan artemisin adalah ketepatan perhitungan dosis obat antimalaria kombinasi (AAQ atau DHP) dalam terapi malaria tanpa komplikasi yang disesuaikan dengan pedoman Depkes RI, yaitu: a. Tepat : Dosis obat sesuai dengan berat badan atau usia pasien

b. Tidak tepat : Dosis obat tidak sesuai dengan berat badan atau usia pasien 15.Ketepatan terapi malaria tanpa komplikasi adalah ketepatan pemilihan jenis

obat antimalaria yang diberikan secara oral dan ketepatan perhitungan dosis obat antimalaria golongan artemisin, yaitu:

a. Obat dan dosis tepat

b. Obat tepat, dosis tidak tepat c. Obat tepat, dosis tidak ditulis d. Obat tidak tepat


(41)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

3.2. Definisi Operasional Penelitian

1. Malaria tanpa komplikasi adalah kasus malaria dengan parasit positif yang mendapatkan obat antimalaria golongan artemisin atau non-artemisin yang diberikan secara oral tanpa adanya manifestasi klinis malaria berat sesuai kriteria WHO yang tercatat di rekam medis.

2. Umur adalah usia pasien malaria sewaktu datang berobat sesuai dengan tercatat di rekam medis, yaitu:

a. 9-15 tahun b. 16-22 tahun c. 23-29 tahun d. 30-36 tahun e. 37-43 tahun f. 44-50 tahun g. 51-57 tahun

3. Jenis perawatan adalah jenis penanganan yang diterima pasien sewaktu datang berkunjung sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Rawat inap b. Rawat jalan

Data Rekam Medis Pasien Malaria di RSUP H. Adam Malik

Tahun 2009-2012 Terapi Malaria Tanpa Komplikasi

- Ketepatan Pemilihan Obat - Ketepatan Dosis Obat


(42)

4. Jenis pekerjaan adalah mata pencaharian atau aktivitas sehari-hari pasien malaria sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Ibu Rumah Tangga b. Pegawai negeri c. Pegawai swasta d. Pekerja lepas e. Pelajar f. Pendeta g. Petani h. Wiraswasta

5. Tempat tinggal adalah kota atau kabupaten dimana pasien bertempat tinggal atau menetap sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Aceh Selatan b. Aceh Tamiang c. Batu Bara d. Dairi

e. Deli Serdang f. Karo

g. Langkat

h. Mandailing Natal i. Medan

j. Padang Sidempuan k. Pakpak Bharat l. Pancur Batu m. Pematang Siantar n. Serdang Bedagai o. Siak

p. Sibolga

q. Tapanuli Selatan r. Tebing Tinggi

6. Riwayat perjalanan adalah kunjungan akhir-akhir ini ke luar daerah tempat tinggal pasien sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Aceh b. Asahan c. Dairi d. Jambi

e. Mandailing Natal f. Rantau Prapat g. Siantar


(43)

i. Tanjung Pinang j. Tidak Ada

7. Pengukuran atau pencatatan berat badan adalah dokumentasi berat badan pasien di rekam medis, yaitu:

a. Diukur/dicatat b. Tidak diukur/dicatat

8. Manifestasi klinis adalah gejala atau tanda klinis yang terdapat pada pasien malaria sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Demam b. Menggigil

c. Berkeringat banyak d. Sakit Kepala e. Pucat f. Mual g. Muntah

h. Sakit otot/sendi i. Ikterus

j. Malaise k. Hepatomegali l. Splenomegali

9. Spesies Plasmodium adalah parasit penyebab malaria yang teridentifikasi pada pemeriksaan laboratorium sesuai data rekam medis, yaitu:

a. P. falciparum b. P. vivax

c. Mixed infection (P. falciparum dan P. vivax)

10.Kadar hemoglobin yang dikelompokkan adalah kadar hemoglobin (Hb) dalam darah sesuai data rekam medis yang kemudian dikategorikan sebagai berikut: a. Anemia : Hb < 12 g/dl

b. Tidak anemia : Hb > 12 g/dl

11.Regimen terapi antimalaria adalah obat antimalaria yang diresepkan untuk kasus malaria tanpa komplikasi sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Artesunat + Amodiakuin (AAQ)

b. Dihydroartemisinin + Piperakuin (DHP) c. Kina + Doksisiklin

d. Klorokuin


(44)

12.Pemberian primakuin adalah ada tidaknya peresepan obat primakuin sebagai bagian terapi malaria tanpa komplikasi sesuai data rekam medis, yaitu:

a. Ada b. Tidak ada

13.Ketepatan pemilihan jenis obat antimalaria adalah tepat atau tidaknya jenis atau kelas obat antimalaria yang diberikan secara oral yang diresepkan kepada pasien sebagai lini pertama terapi malaria tanpa komplikasi, yaitu:

a. Tepat : Obat kombinasi golongan artemisin (AAQ, DHP) b. Tidak tepat : Bukan obat kombinasi golongan artemisin

14.Ketepatan dosis obat antimalaria golongan artemisin adalah ketepatan perhitungan dosis obat antimalaria kombinasi (AAQ atau DHP) dalam terapi malaria tanpa komplikasi yang disesuaikan dengan pedoman Depkes RI, yaitu: a. Tepat : Dosis obat sesuai dengan berat badan atau usia pasien

b. Tidak tepat : Dosis obat tidak sesuai dengan berat badan atau usia pasien 15.Ketepatan terapi malaria tanpa komplikasi adalah ketepatan pemilihan jenis

obat antimalaria yang diberikan secara oral dan ketepatan perhitungan dosis obat antimalaria golongan artemisin, yaitu:

a. Obat dan dosis tepat

b. Obat tepat, dosis tidak tepat c. Obat tepat, dosis tidak ditulis d. Obat tidak tepat


(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional (studi potong lintang) dan diteliti secara retrospektif, yaitu dari data kartu status bagian rekam medis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan periode tahun 2009-2012.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di bagian instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan dari tanggal 1 Januari 2009 sampai dengan 31 Desember 2012. Waktu pengambilan data dilakukan mulai dari tanggal 5 September sampai dengan 30 September 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah pasien malaria yang mendapatkan terapi malaria tanpa komplikasi di unit rawat jalan dan rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan dari tanggal 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012.

4.3.2. Sampel Penelitian

Seluruh pasien malaria yang mendapatkan terapi malaria tanpa komplikasi, yaitu pasien yang mendapatkan obat antimalaria golongan artemisin atau non-artemisin yang diberikan secara oral yang diresepkan kepada pasien sebagai lini pertama terapi malaria tanpa komplikasi, dijadikan sebagai sampel penelitian.Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah wanita hamil dan pasien dengan manifestasi klinis malaria berat sesuai kriteria WHO.


(46)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data sekunder penderita malaria yang diperoleh dari kartu status bagian rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan sejak 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2012. Kemudian data tersebut dicatat sesuai dengan variabel yang diteliti.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu (Wahyuni, 2007):

1. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data.

2. Coding

Data yang telah dikumpul dan dikoreksikan ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode secara manual sebelum diolah dengan komputer.

3. Entry

Memasukkan data ke dalam program komputer.

4. Cleaningdata

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

5. Saving

Penyimpanan data untuk siap dianalisis. 6. Analisis data

Hasil pengolahan data kemudian dilakukan analisis secara deskriptif dengan menggunakan program komputer SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Selanjutnya, regimen terapi malaria tanpa komplikasi dinilai ketepatan jenis dan dosis obatnya. Hasil pengolahan data tersebut lalu dianalisis dan dibuat kesimpulan.


(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 355/Menkes/SK/VII/1990. RSUP H. Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 pada tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Individu

Pada penelitian ini sampel yang diperoleh mencapai 36 orang, yaitu pasien yang didiagnosis malaria dan mendapatkan regimen terapi malaria tanpa komplikasi. Dari keseluruhan sampel yang diamati, sebaran karakteristik sampel yang diamati meliputi usia, berat badan, jenis kelamin, pekerjaan, tahun rawatan, jenis perawatan, tempat tinggal, dan riwayat perjalanan.


(48)

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Kelompok Umur

Berdasarkan kelompok umur pada tabel 5.1, sampel paling banyak terdapat pada kelompok umur 16-22 tahun yaitu sebesar 30,6%, dan paling sedikit pada kelompok umur 9-15 tahun dan 44-50 tahun yaitu masing-masing sebesar 5,6%.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Laki-laki 24 66,7

2. Perempuan 12 33,3

Total 36 100

Berdasarkan jenis kelamin pada tabel 5.2, sebagian besar sampel adalah laki-laki, yaitu berjumlah 24 (66,7%) orang dan sampel dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 12 (33,3%) orang.

No. Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

1. 9-15 2 5,6

2. 16-22 11 30,6

3. 23-29 7 19,4

4. 30-36 5 13,9

5. 37-43 5 13,9

6. 44-50 2 5,6

7. 51-57 4 11,1


(49)

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Perawatan

No. Jenis Perawatan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Rawat Inap 29 80,6

2. Rawat Jalan 7 19,4

Total 36 100,0

Ditinjau dari jenis perawatan pada tabel 5.3, sebagian besar sampel dirawat inap, yaitu berjumlah 29 (80,6%) orang, dan sebagian kecilnya dirawat jalan yaitu berjumlah 7 (19,4%) orang.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No. Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Ibu Rumah Tangga 5 13,9

2. Pegawai negeri 7 19,4

3. Pegawai swasta 3 8,3

4. Pekerja lepas 2 5,6

5. Pelajar 9 25

6. Pendeta 1 2,8

7. Petani 2 5,6

8. Wiraswasta 7 19,4

Total 36 100

Berdasarkan jenis pekerjaan pada tabel 5.4, sebaran terbanyak terdapat pada kelompok pelajar yang mencapai 9 (25,0%) orang, diikuti oleh kelompok pegawai negeri dan wiraswasta masing-masing sebanyak 7 (19,4%) orang, dan ibu rumah tangga sebanyak 5 (13,9%) orang.


(50)

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Tempat Tinggal

No. Tempat Tinggal Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Aceh Selatan 1 2,8

2. Aceh Tamiang 1 2,8

3. Batu Bara 1 2,8

4. Dairi 1 2,8

5. Deli Serdang 3 8,3

6. Karo 1 2,8

7. Langkat 1 2,8

8. Mandailing Natal 1 2,8

9. Medan 14 38,9

10. Padang Sidempuan 1 2,8

11. Pakpak Bharat 1 2,8

12. Pancur Batu 1 2,8

13. Pematang Siantar 2 5,6

14. Serdang Bedagai 2 5,6

15. Siak 1 2,8

16. Sibolga 1 2,8

17. Tapanuli Selatan 2 5,6

18. Tebing Tinggi 1 2,8

Total 36 100

Berdasarkan tempat tinggal pada tabel 5.5, kebanyakan sampel berasal dari Medan yaitu sebanyak 14 (38,9%) orang, diikuti oleh Deli Serdang sebanyak 3 (8,3%) orang.


(51)

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Riwayat Perjalanan

No. Riwayat Perjalanan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Aceh 1 2,8

2. Asahan 1 2,8

3. Dairi 1 2,8

4. Jambi 2 5,6

5. Mandailing Natal 1 2,8

6. Rantau Prapat 1 2,8

7. Siantar 1 2,8

8. Sibolga 1 2,8

9. Tanjung Pinang 2 5,6

10. Tidak Ada 25 69,4

Total 36 100

Ditinjau dari adanya riwayat perjalanan pada tabel 5.6, kebanyakan sampel tidak memiliki riwayat perjalanan yaitu berjumlah 25 (69,4%) orang. Riwayat perjalanan ke kota Jambi dan Tanjung Pinang berperan masing-masing sebanyak 2 (5,6%) kasus.

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ada Tidaknya Pengukuran atau Pencatatan Berat Badan

No. Berat Badan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Diukur/Dicatat 2 5,6

2. Tidak Diukur/Dicatat 34 94,4

Total 36 100,0

Ditinjau dari ada tidaknya pengukuran atau pencatatan berat badan sampel, diperoleh data seperti yang ditunjukkan pada tabel 5.7. Berat badan dicatat/diukur pada 2 (5,6%) sampel dan sisanya sebanyak 34 (94,4%) orang tidak dilakukan pencatatan atau pengukuran.


(52)

5.1.3. Deskripsi Manifestasi Klinis dan Spesies Plasmodium

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Manifestasi Klinis

No. Manifestasi Klinis Ya Tidak

n % n %

1. Demam 36 100 0 0

2. Menggigil 24 66,7 12 33,3

3. Berkeringat Banyak 20 55,6 16 44,4

4. Sakit Kepala 13 36,1 23 63,9

5. Pucat 16 44,4 20 55,6

6. Mual 15 41,7 21 58,3

7. Muntah 4 11,1 32 88,9

8. Sakit Otot/Sendi 3 8,3 33 91,7

9. Ikterus 6 16,7 30 83,3

10. Malaise 7 19,4 29 80,6

11. Hepatomegali 2 5,6 34 94,4

12. Splenomegali 4 11,1 32 88,9

Berdasarkan tabel 5.8, didapati semua (100%) sampel mempunyai riwayat demam. Sementara itu, sebanyak 24 (66,7%) orang mempunyai keluhan menggigil dan 20 (55,6%) orang menunjukkan manifestasi klinis berkeringat banyak.

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Spesies Plasmodium

No. Spesies Plasmodium Jumlah (orang) Persentase (%)

1. P. falciparum 16 44,4

2. P. vivax 19 52,8

3. P. falciparum & P. vivax 1 2,8

Total 36 100

Ditinjau dari spesies Plasmodium yang menjadi penyebab atau agent infeksiseperti yang ditunjukkan pada tabel 5.9, penyebab penyakit malaria yang paling sering adalah Plasmodium vivax, yaitu sebanyak 19 (52,8%) orang.


(53)

Sebanyak 16 (44,4%) orang terinfeksi Plasmodium falciparum dan terdapat 1 orang yang mengalami infeksi campuran (mixed infection).

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Kadar Hemoglobin yang Dikelompokkan

No. Kadar Hb yang dikelompokkan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Anemia 32 88,9

2. Tidak Anemia 4 11,1

Total 36 100

Berdasarkan kadar Hb yang dikelompokkan pada tabel 5.10,didapatihasil32 (88,9%) orang menderita anemia dan sisanya 4 (11,1%) orang tidak menderita anemia.

5.1.4. Deskripsi Terapi Malaria Tanpa Komplikasi

Beberapa hal mengenai terapi malaria tanpa komplikasi yang diteliti, antara lain regimen terapi antimalaria, pemberian primakuin, ketepatan pemilihan jenis obat antimalaria, ketepatan dosis obat antimalaria golongan artemisin, dan ketepatan terapi malaria tanpa komplikasi. Selain itu, dilakukan uji silang regimen terapi yang dikelompokkan berdasarkan pemberian primakuin dan uji silang spesies Plasmodium berdasarkan regimen terapi antimalaria yang dikelompokkan.

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Regimen Terapi Antimalaria

No. Regimen Terapi Antimalaria Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Artesunat + Amodiakuin 14 38,8

2. Dihydroartemisinin + Piperakuin 12 33,3

3. Kina + Doksisiklin 6 16,7

4. Klorokuin 2 5,6

5. Klorokuin + Doksisiklin 2 5,6


(54)

Ditinjau dari regimen terapi antimalaria yang diresepkan pada tabel 5.11, didapati obat kombinasi golongan artemisin paling banyak diresepkan dengan rincian artesunat dan amodiakuin sebanyak 14 (38,8%) orang dan dihydroartemisin dan piperakuin sebanyak 12 (33,3%) orang.

Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Pemberian Primakuin

No. Pemberian Primakuin Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Ada 27 75

2. Tidak Ada 9 25

Total 36 100

Ditinjau dari pemberian primakuin pada tabel 5.12, didapati 27 (75%) pasien yang diteliti ada mendapatkan primakuin sedangkan 9 (25%) pasien sisanya tidak diresepkan primakuin.

Tabel 5.13 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan Pemilihan Jenis Obat Antimalaria

No.

Ketepatan Pemilihan

Jenis Obat Antimalaria Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Tepat (Artemisin) 26 72,2

2. Tidak tepat

(Non-Artemisin) 10 27,8

Total 36 100

Ditinjau dari ketepatan pemilihan jenis obat antimalaria pada tabel 5.13, didapati 26 (72,2%) pasien mendapatkan regimen yang tepat, yaitu obat antimalaria golongan artemisin, sedangkan 10 (27,8%) pasien sisanya tidak mendapatkan obat antimalaria golongan artemisin.


(55)

Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan Dosis Obat Antimalaria Golongan Artemisin

No.

Ketepatan Dosis Obat Antimalaria Golongan Artemisin

Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Tepat 17 70,8

2. Tidak Tepat 7 29,2

Total 24 100

Ditinjau dari ketepatan dosis obat antimalaria golongan artemisin pada tabel 5.14, didapati dari 24 pasien yang mendapatkan obat antimalaria golongan artemisin, 17 (70,8%) orang diantaranya sudah mendapatkan dosis yang tepat, sedangkan 7 (29,2%) orang sisanya mendapatkan dosis yang tidak tepat.

Tabel 5.15 Distribusi Frekuensi Penderita Malaria Berdasarkan Ketepatan Terapi Malaria Tanpa Komplikasi

No.

Ketepatan Terapi Malaria

Tanpa Komplikasi Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Obat dan dosis tepat 17 47,2

2. Obat tepat, dosis tidak tepat 7 19,4 3. Obat tepat, dosis tidak ditulis 2 5,6

4. Obat tidak tepat 10 27,8

Total 36 100

Ditinjau dari ketepatan pemberian terapi malaria tanpa komplikasi pada tabel 5.13, didapati 17 (47,2%) pasien yang diteliti mendapatkan terapi antimalaria yang rasional dengan pemilihan regimen dan dosis obat tepat. Sementara itu, 7 (19,4%) pasien mendapatkan regimen yang tepat namun dosisnya tidak tepat. Sebanyak 2 (5,6%) pasien yang diteliti tidak dapat ditentukan ketepatan dosis dikarenakan dosis obat tidak ditulis di status pasien. Sebanyak 10 (27,8%) pasien tidak mendapatkan regimen pengobatan yang tepat.


(56)

Tabel 5.16Distribusi Frekuensi Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan Berdasarkan Pemberian Primakuin

Pemberian Primakuin

Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan

Total Artemisin Non-Artemisin

n % n %

Ada 20 76,9 7 70 27

Tidak Ada 6 23,1 3 30 9

Total 26 100 10 100 36

Data pada tabel 5.14 menunjukkan bahwa 20 (76,9%) sampel yang mendapatkan terapi regimen antimalaria golongan artemisin ada diberi primakuin dan sisanya 6 (23,1%) sampel tidak mendapatkannya. Sementara itu, sebanyak 7 (70%) sampel yang mendapatkan terapi regimen antimalaria golongan non-artemisin diberi primakuin dan sisanya 3 (30%) tidak mendapatkan pengobatan primakuin.

Tabel 5.17Distribusi Frekuensi Spesies Plasmodium Berdasarkan Regimen Terapi Antimalaria yang Dikelompokkan

Regimen Terapi Antimalaria yang

Dikelompokkan

Spesies Plasmodium

Total P.

falciparum

P. vivax P.falciparum & P. vivax

n % N % n %

Artemisin 11 68,7 14 73,7 1 100 26

Non-Artemisin 5 31,3 5 26,3 0 0 10

Total 16 100 19 100 1 100 36

Berdasarkan tabel 5.15, sebanyak 11 (68,7%) sampel yang menderita malaria dengan spesies P. falciparum mendapatkan regimen terapi antimalaria golongan artemisin sedangkan 5 (31,3%) sampel mendapatkan terapi regimen antimalaria golongan non-artemisin. Sementara itu, sebanyak 14 (73,7%) sampel yang menderita malaria dengan spesies P. vivax mendapatkan terapi regimen


(57)

antimalaria golongan artemisin sedangkan 5 (26,3%) sampel mendapatkan terapi regimen antimalaria golongan non-artemisin.

5.2. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran terapi malaria tanpa komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 sampai 2012. Sebagai hasilnya, dari keseluruhan 36 pasien yang diteliti, mayoritas kasus terdapat pada kelompok usia 16-22 dan 23-29 tahun, yaitu masing-masing sebesar 30,6% dan 19,4%. Hal ini serupa dengan penelitian terdahulu di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau pada tahun 2005-2006 dengan 384 penderita malaria, dimana kebanyakan kasus malaria mengenai kelompok umur 15-44 tahun, yaitu sebesar 84,9% (Yulius, 2007). Sementara itu, mayoritas kasus malaria terdapat pada laki-laki, yaitu sejumlah 66,7% pasien. Hasil ini juga serupa dengan penelitian oleh Yulius yang mendapatkan hasil 63,3% penderita malaria berjenis kelamin laki-laki (Yulius, 2007).

Berat badan dan usia sangat diperlukan untuk menentukan dosis antimalaria golongan ACT, dan tidak adanya rekaman atau penggunaan parameter tersebut dapat menyebabkan terjadinya resistensi obat tersebut akibat kesalahan dalam perhitungan dosis. Pada penelitian ini, pengukuran atau pencatatan berat badan didapati hanya dilakukan pada dua orang. Pencatatan tersebut dilakukan pada dua dari lima pasien anak, yang berusia di bawah 18 tahun. Sementara itu, data berat badan pada usia dewasa tidak dapat diperoleh karena tidak terdata di rekam medis. Hasil ini dapat menandakan rendahnya penggunaan berat badan dalam penentuan dosis obat antimalaria golongan ACT. Perhitungan dosis sepertinya lebih disesuaikan dengan usia pasien. Akan tetapi, hal ini tidak berarti penanganan yang diberikan tidak tepat. Hanya saja, perhitungan dosis berdasarkan berat badan lebih dianjurkan dibandingkan berdasarkan usia, baik pada anak maupun orang dewasa (WHO, 2010).

Kebanyakan pasien berasal dari Kota Medan yaitu 38,9%, dan sisanya terdistribusi luas dari berbagai wilayah di provinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), Sumatera Utara, dan Riau. Riwayat perjalanan yang dicatat dari


(58)

rekam medis dinilai tinggi rendahnya risiko penularan malaria sesuai data yang diperoleh dari buku bagan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) (Departemen Kesehatan RI, 2008). Riwayat perjalanan pasien ke tempat endemis malaria sangat bervariasi. Yang termasuk daerah risiko tinggi malaria antara lain Asahan, Jambi, Mandailing Natal, Sibolga, dan Tanjung Pinang. Terdapat satu pasien dengan riwayat perjalanan ke Aceh yang merupakan tempat risiko malaria, namun tidak spesifik daerah mana. Riwayat perjalanan ke daaerah tanpa risiko malaria terdiri dari Dairi, Siantar, dan Rantau Prapat. Peneliti tidak dapat menentukan berapa lama pastinya waktu sejak kunjungan terakhir pasien ke tempat tersebut. Wisatawan yang tertular malaria sering didapati tidak memiliki imunitas, baik yang tinggal di kota dengan sedikit atau tanpa transmisi di negara endemis, maupun yang berasal dari daerah non-endemis yang mengunjungi suatu daerah endemis malaria (WHO, 2010).

Mayoritas penderita malaria dirawat inap atau diopname, yaitu sebanyak 80,6% kasus. Hal ini kemungkinan didasari pertimbangan dokter terhadap keadaan umum pasien malaria yang datang berobat yang memerlukan pemantauan secara berkala atau akibat dari diagnosis tertunda. Pasien malaria tanpa komplikasi umumnya dapat menjalani perawatan jalan.

Spesies Plasmodium yang paling banyak teridentifikasi pada penelitian ini adalah Plasmodium vivax, yaitu sebanyak 52,8% kasus. Dijumpai satu pasien yang mengalami infeksi campuran. Di Indonesia, P. falciparum menjadi penyebab kasus malaria terbanyak. Namun, perbedaan jumlah kasus antara P. vivax dan P. falciparum tidak begitu signifikan. Hal ini mungkin dikarenakan parasit malaria yang tidak terdistribusi secara merata dari berbagai wilayah. Selain itu, migrasi penduduk atau sistem perujukan pasien barangkali dapat menjadi faktor penyebabnya. Penelitian lain yang meneliti tentang distribusi proporsi penderita malaria dengan parasit positif yang dirawat inap di RSD Kolonel Abundjani Bangko Kabupaten Merangin Provinsi Jambi tahun 2009 mendapatkan hasil 86,5% pasien yang diteliti terinfeksi oleh P. falciparum (Silalahi, 2011).

Anemia merupakan komplikasi malaria yang umum terjadi di daerah endemis, sehingga pengukuran Hb rutin penting untuk dilakukan. Sebanyak


(59)

88,9% sampel yang diteliti menderita anemia dengan rata-rata Hb adalah 9,383 g/dl. Hal ini tidak berbeda jauh dengan penelitian oleh Antinori dkk. (2011) di Italia pada penderita malaria yang dirawat inap dimana didapati kasus anemia dijumpai pada 89,3% sampelnya.

Saat ini ACT menjadi terapi lini pertama pada kasus malaria tanpa komplikasi, sehingga upaya harus dibuat untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam peresepan obat antimalaria. Peresepan yang tidak rasional dapat mengakibatkan terbentuknya parasit yang resisten terhadap pengobatan tersebut. Secara keseluruhan, sebagian besar pasien (72,2%) sudah mendapatkan obat antimalaria golongan artemisin. Obat antimalaria yang paling banyak dipakai adalah regimen obat kombinasi berbasis artemisin (ACT) dengan rincian artesunat dengan amodiakuin pada 38,8% sampel dan dihydroartemisin dengan piperakuin pada 33,3% sampel. Selama penelitian, tidak dijumpai adanya penggunaan monoterapi artemisin. Namun, masih didapati kasus pemilihan regimen yang tidak sesuai dengan anjuran Depkes RI sebagai terapi lini pertama malaria tanpa komplikasi, yaitu kina dengan doksisiklin (16,7%), klorokuin (5,6%) dan klorokuin dengan doksisiklin (5,6%). Hal ini dapat menunjukkan program pemerintah dalam upaya pemberantasan malaria belum sepenuhnya berhasil.Penelitian di Uganda yang menilai praktik peresepan obat antimalaria pada pasien rawat jalan dengan parasit positif menunjukkan tingginya angka compliance terhadap pedoman penatalaksanaan yang direkomendasikan. Dari 46.265 kunjungan yang ada, 94,5% pasien diberi ACT (Sears et al., 2013).

Ditinjau dari segi ketepatan pemberian dosis obat antimalaria golongan artemisin, 17 dari 24 (70,8%) sudah mendapatkan dosis yang tepat, sedangkan tujuh (29,2%) pasien sisanya mendapatkan dosis yang tidak tepat. Sementara itu, dari keseluruhan sampel yang diteliti, 47,2% di antaranya mendapatkan terapi malaria yang rasional dalam hal pemilihan jenis obat dan dosis obat, sedangkan 19,4% sampel mendapatkan obat antimalaria golongan artemisin dengan dosis tidak tepat. Selama penelitian, sebanyak dua sampel (5,6%) yang mendapatkan antimalaria golongan artemisin tidak dapat ditentukan ketepatan dosis obatnya dikarenakan tidak tercantum data di kartu status pasien. Sementara itu, 27,8%


(1)

Statistics Hemoglobin

N Valid 36

Missing 0

Mean 9,383

Std. Deviation 2,4509

Tabel Frekuensi Terapi Malaria Tanpa Komplikasi Regimen Terapi Antimalaria

Frequenc y

Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Artesunat + Amodiakuin 14 38,8 38,8 38,8 Dihydroartemisinin + Piperakuin 12 33,3 33,3 72,1

Kina + Doksisiklin 6 16,7 16,7 88,8

Klorokuin 2 5,6 5,6 94,4

Klorokuin + Doksisiklin 2 5,6 5,6 100,0

Total 36 100,0 100,0

Pemberian Primakuin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Ada 27 75,0 75,0 75,0

Tidak Ada 9 25,0 25,0 100,0

Total 36 100,0 100,0

Ketepatan Pemilihan Jenis Obat Antimalaria Frequency Percent Valid

Percent

Cumulative Percent

Valid

Tepat (Artemisin) 26 72,2 72,2 72,2

Tidak tepat (Non-Artemisin) 10 27,8 27,8 100,0


(2)

Ketepatan Terapi Malaria Tanpa Komplikasi Frequen

cy

Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Obat dan dosis tepat 17 47,2 47,2 47,2 Obat tepat, dosis tidak ditulis 2 5,6 5,6 52,8 Obat tepat, dosis tidak tepat 7 19,4 19,4 72,2

Obat tidak tepat 10 27,8 27,8 100,0

Total 36 100,0 100,0

Crosstab Regimen Antimalaria yang Dikelompokkan Berdasarkan Pemberian Primakuin

Pemberian Primakuin * Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan Crosstabulation

Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan

Total Artemisin Non-Artemisin

Pemberian Primakuin

Ada

Count 20 7 27

% within Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan

76,9% 70% 75,0%

Tidak Ada

Count 6 3 9

% within Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan

23,1% 30% 25,0%

Total

Count 26 10 36

% within Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan

100,0% 100,0% 100,0%


(3)

Crosstab Spesies Plasmodium Berdasarkan Regimen Antimalaria yang Dikelompokkan

Regimen Antimalaria Yang Dikelompokkan * Spesies Plasmodium Crosstabulation Spesies Plasmodium Total P.

falciparum

P. falciparum & P. vivax

P. vivax

Regimen Antimalaria Yang Dikelompok kan

Artemisin

Count 11 1 14 26

% within Jenis Parasit Malaria

68,7% 100,0% 73,7% 72,2%

Non-Artemisin

Count 5 0 5 10

% within Jenis Parasit Malaria

31,3% 0,0% 26,3% 27,8%

Total

Count 16 1 19 36

% within Jenis Parasit Malaria


(4)

Lampiran 3

Formulir Pengambilan Data

No. Status: No. Studi: Nama pasien: Rawat inap Tgl. Masuk/Keluar: Rawat jalan

Data demografis

Tanggal lahir (dd/mm/yy) atau usia (tahun): BB (kg): Jenis kelamin: Laki-laki Perempuan Tempat tinggal:

Pekerjaan: Riwayat perjalanan: Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Laboratorium Spesies: P. falciparum P. vivaxCampuran Lain-lain: _______ Hb: ___ g/dl

Demam Ikterus Hepatomegali Splenomegali Sakit kepala Mual Muntah Malaise

Pucat Nyeri otot/sendi Menggigil Berkeringat Banyak Kriteria malaria berat

Jaundice dengan disfungsi organ vital Kesadaran menurun/koma Kejang umum berulang Lemah otot

Gawat napas Gagal sirkulasi (SP < 70; < 50 mmHg pada anak) Perdarahan spontan abnormal Edema paru (radiologi)

Tidak bisa makan dan minum Urin berwarna merah gelap atau hitam Hiperparasitemia (Parasitemia > 5% per 100.0000/µl)

Anemia berat (Hb < 5 g/dl)

Hipoglikemia (Gula darah < 40 mg/dl atau < 2,2 mmol/l) Asidosis metabolik (Bikarbonat plasma < 15 mmol/l) Hiperlaktatemia (Asam laktat dalam vena > 5 mmol/l)

Gangguan ginjal (Kreatinin serum > 3 mg/dl atau > 265 µmol/l) Hemoglobinuria

Pengobatan

Antimalaria Dosis

Tepat pemilihan obat dan tepat dosis Tepat pemilihan obat dan tidak tepat dosis Tidak tepat pemilihan obat


(5)

(6)

Lampiran 5