Presiden K.H.Abdulrahman Wahid

2. Presiden K.H.Abdulrahman Wahid

Terpilihnya K.H. Abdulrahman Wahid sebgai Presiden Rpublik Indonesia yang ke 4 menggantikan Habibie pada tahum 1999. Gus Dur harus menghadapi sejumlah masalah domestik, seperti pemulihan ekonomi dan penyelesaian beberapa konflik komunal dan kelompok separatis. Konflik yang terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua bukan hanya mengganggu keamanan dan kesatuan nasional Indonesia, juga menjadi sorotan masyarakat internasional, terutama berkaitan dengan pelanggaran HAM. Tingginya tuntutan pemulihan ekonomi dan transformasi politik serta desakan masyarakat internasional terhadap kepemimpinan Gus Dur untuk menyelesaikan masalah HAM pasca krisis Timor Timur, mengharuskan kebijakan luar negeri Indonesia lebih tegas dan terbuka terhadap negara-negara Barat, khususnya AS dengan sekutunya. Untuk itu, Gus Dur mengadakan lawatan ke AS dan negara-negara Eropa demi menyakinkan mereka bahwa Indonesia bertekad melaksanakan pemerintahan yang demokratis dan terus mengupayakan pemulihan ekonomi dalam negeri.

Upaya Gus Dur mendapat sambutan hangat dari AS dan sekutunya, terutama Australia dan Jepang. Ketiga negara ini bahkan bersedia memberikan sokongan ekonomi kepada Indonesia, baik melalui perjanjian bilateral maupun lainnya. Namun dukungan tersebut tidak sepenuhnya diberikan kepada pemerintahan Gus Dur sebab negara-negara tersebut masih menuntut Indonesia untuk menyelesaikan masalah HAM di Indonesia, khususnya di Timor Timur. Gus Dur dituntut untuk mengadili siapa pun pihak yang terlibat dalam kasus tersebut dan menuntut Wiranto meletakkan jabatan sebagai

Menteri Kordinator Politik dan Keamanan dalam kabinet Gus Dur (Vermonte 2011). Desakan negara-negara Barat tersebut membuat Gus Dur kecewa sehingga kebijakan luar negeri Indonesia kemudian lebih diarahkan pada negara- negara Asia dengan memakai pendekatan yang disebut ―look toward Asia policy‖. Pendekatan tersebut lebih berorientasi pada kerjasama dengan negara-negara Asia yang bertujuan mengimbangi dominasi dan pengaruh negara-negara Barat di Asia, terutama AS. Gus Dur bahkan mengusulkan pembentukan kesepakatan baru negara-negara Asia yang dikenal sebagai

―poros Indonesia, Tiongkok, dan India‖. Gagasan tersebut bentuk baru dari gagasan lama Soekarno, yaitu ―Newly Emergence Force‖ pada tahun 1960-an (Smith 2000: 512).

Sikap kebijakan luar negeri yang cenderung berorientasi ke Asia Timur dan Timur Tengah menyebabkan Gus Dur mengesampingkan perhatian terhadap ASEAN yang selama ini menjadi prioritas utama politik luar negeri Indonesia. Tuntutan ekonomi dan politik dalam negeri yang kian tinggi menyebabkan Gus Dur lebih menggantungkan harapan pada bantuan negara- negara Barat dan Timur Tengah untuk memulihkan ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia ketimbang negara ASEAN yang juga sebagian besar dilanda krisis moneter. Gus Dur kembali melemahkan posisi politik luar negerinya pada forum ASEAN ketika ia berusaha membujuk Singapura untuk menyetujui pendirian Forum Pasifik Barat pada Pertemuan Puncak ASEAN di Singapura pada November 2000 dan mengusulkan Timor Leste dan Papua Nugini menjadi anggota ASEAN. Namun usulan tersebut ditolak oleh Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew. Penolakan itu menimbulkan kemarahan Gus Dur dan menyebut Lee Kuan Yew sebagai orang ―tamak‖ dan anti Melayu (South China Morning

Post, 12 January 2001). Secara umum, kepemimpinan Gus Dur dalam menyelesaikan pelbagai

masalah domestik dianggap lemah. Ia juga gagal dalam perjuangan politik luar negeri demi memenuhi kepentingan nasional Indonesia, terutama upaya memulihkan ekonomi dalam negeri. Perkara-perkara tersebut menyebabkan muncul ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahannya. Gus Dur semakin mendapat tekanan berkaitan dengan tuduhan penyalahgunaan keuangan negara yang dikenal sebagai ―Bulog Gate‖ dan ―Brunei Gate‖. Skandal ―Bulog Gate‖ berkaitan dengan penerimaan sejumlah uang dari Badan Usaha Logistik Negara (BULOG). Sedang ―Brunei Gate‖ adalah sebutan penyalahgunaan bantuan keuangan Sultan Brunei sebesar USD 2 juta untuk Indonesia dalam membantu korban tsunami di Aceh. Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyatakan Gus Dur bersalah dalam kedua kasus tersebut. Akhirnya, pada 21

Juli 2001, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia memecat Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke empat (The Jakarta Post, 25 Agustus 2000).