Posibilitas Relasi Keaktoran

Gambar 1. Posibilitas Relasi Keaktoran

Sumber: Disusun oleh peneliti dengan mengembangkan secara bebas inspirasi konsepsi World Society Barry Buzan (2004).

Yang menarik kemudian untuk dikaji lebih mendalam adalah relasi di antara aktor negara dan aktor-aktor internasional baru tersebut. Rosenau (1990) menyebut relasi antar aktor-aktor (Negara dan non Negara) tersebut dengan konsepsi ―koeksistensi‖.

Namun perkembangan hubungan internasional di abad ke-21 memperlihatkan gambaran interaksi di antara aktor-aktor internasional tersebut yang tidak sekedar ―koeksis‖ tetapi ―saling mempengaruhi‖. Dari sifat saling mempengaruhi ini, relasi negara dan aktor non negara secara hipotetik dapat berkembang menjadi relasi kooperatif, relasi saling melengkapi/ komplementer dan bahkan relasi konvergensi. Sekalipun harus diakui terjadi juga relasi koeksistensialis-fragmentatif yang sifatnya kompetitif ataupun konfliktual di antara aktor negara dan non negara.

Dimensi ruang interaksi tempat di mana aktor-aktor berinteraksi menun- jukkan gambaran yang jauh lebih kompleks. Penemuan baru di bidang

Pada tahun 1990an kajian tentang transnasionalisme ini menjadi sangat berkembang dengan istilah-istilah baru seiring dengan terjadinya turbulensi dalam politik dunia di era pasca perang dingin (Rosenau, 1990). Sebagian para pengkaji mengkaitkan perubahan ini dengan munculnya tatanan Post- Westphalia. Linklater (1996) mendiskusikan kewarganegaraan dan kedaulatan di Negara Post Westphalia. Smith (2000) mencermati hubungan transnasionalisme dengan kewarganegaraan. Portes (1997) menemukan munculnya komunitas transnasional. Foner (2007) melihat interaksi lintas batas nasional telah menjadi tantangan bagi ―nationally bounded citizenship.‖

Kajian berkembang lebih lanjut dengan pemikiran tentang bagaimana mengelola perluasan aktivitas transnasional dan hubungannya dengan peran negara. Shotwell (2001) melihat pentingnya aturan-aturan global untuk menangani masalah-masalah terkait dengan berkurangnya kemampuan sistem berbasis negara tradisional. Schaferhoff, 269 ystem 269 al Kaan (2007) membangun konsepsi tentang Transnational Public-Private Partnership dalam Hubungan Internasional, yang mereka pandang sebagai suatu tipe tata kelola hibrid, di mana aktor negara dan non negara seperti transnational corporations dan NGOs memainkan fungsi dalam mengelola isu-isu global baru. Kobrin (2008) mengkaitkan hubungan transnasional yang dilakukan oleh transnational corporations dengan tata kelola global dan berargumen bahwa sistem internasional sekarang sedang mengalami sebuah transisi menuju tata internasional post Westphalian. Vaughan (2011) menemukan beragam potensi bentuk dan manifestasi sistem negara post-Westhpalian dan berargumen bahwa institusi-institusi dan praktik-praktiknya diperlukan supaya penduduk dunia dapat membentuk suatu masyarakat internasional pengganti dan mengelola urusan-urusan mereka yang saling tergantung sama satu lainnya. Zajak (2014) mengkaji dampak intervensi aktivis, evolusi dan interaksi institusional terhadap proses konvergensi selektif antara norma global dan praktik dalam konteks Post-Westphalian Landscape.

Dari penelusuran teoretis terhadap perkembangan terkini hubungan internasional, terlihat adanya pengayaan makna konsep internasional: baik pengayaan dimensi aktor maupun perluasan dimensi ruang interaksi. Hubungan di antara kedua dimensi tersebut melahirkan konsepsi baru tentang

Pengayaan Makna Konsep Internasional

Empat kasus menjadi kajian empirikal untuk melihat pengayaan dimensi aktor dan perluasan dimensi ruang interaksi, serta implikasinya bagi munculnya kebutuhan pada institusi-institusi baru. Di masing-masing kasus terebut dilihat seberapa jauh konsepsi internasional telah berkembang dari pendefinisian konvensional yang melekat dalam tatanan Westphalian. Dua dimensi yang akan dilihat adalah: dimensi keaktoran dan relasi di antara mereka (koeksistensi, kooperatif, komplementer, atau konvergensi), dan dimensi batas juridiksi (state territory atau suprateritorialitas).

Pembangunan Kota HAM

Gerakan pembangunan kota ramah HAM adalah inisiatif dari organisasi non pemerintah internasional (INGO) yang bekerjasama dengan pemerintah

daerah untuk ―membumikan‖ penegakan HAM di level kota atau kabupaten. INGO tersebut adalah: The People‘s Movement for Human Rights

Education (PDHRE) yang dibentuk tahun 1989 dan bergerak secara internasional dengan suatu keyakinan terhadap kekuatan pembelajaran HAM dalam transformasi ekonomi dan sistem. INGO yang bermarkas di New York ini bekerjasama secara langsung dan tidak langsung dengan jaringan CSO yang berafiliasi dengannya maupun partner di lebih dari enam puluh negara di seluruh. Tujuan jaringan ini adalah untuk membangun dan memajukan pembelajaran HAM sebagai gaya hidup. PDHR mengharapkan kerjasama in i dapat ―enable women and men to re-imagine their lives and discover their own power to define the

destiny of their community‖. 1 Pendekatan di tingkat kota didasarkan pada argumentasi pada realitas

bahwa 2 milyar penduduk dunia saat ini tinggal di daerah kota. Sehingga kota merupakan mikroskomos dari suatu negara. Empat milyar perempuan dan laki laki, kaum muda dan anak-anak tinggal di kota dalam jangka lima belas hingga duapuluh tahun; Dengan keberagaman penghuni kota dan isu-isu yang terkait, kota menghadapi situasi di mana tidak ada pengetahuan yang melekat, sistem dukungan, atau panduan bagaimana hidup satu sama lain dan bagaimana

http://www.pdhre.org/projects/hrcommun.html

Kota yang pertamakali mengembangkan Kota HAM adalah Rosario, Argentina sejak 1997 melalui pelatihan kepada polisi untuk mengedepankan pendekatan HAM. Sejak itu gagasan bergulir ke kota-kota lain di dunia, termasuk Graz – Austria, Santa Cruz – Bolivia, Bihac – Bosnia, Porto Alegre – Brazil, Edmonton, Winnipeg – Canada, Temuco, Valparaiso – Chile, Bongo, Newton, Wa, Nimamobi, Walewale – Ghana, Nagpur – India, Korogocho – Kenya , Kita, Kati, Kayes, Sikasso, Timbuktu – Mali, Bucuy Municipality – Philippines, Musha – Rwanda, Thies 3 – Senegal, Mogale – South Africa, Kaohsiung – Taiwan.

Di Indonesia, kota yang sudah berkomitmen dan mengimplementasikan untuk membangun kota HAM adalah Poso, Bojonegoro dan Wonosobo (INFID, 2015). Perwujudan kota HAM di kota-kota tersebut mendapat dukungan dan pendampingan dari INFID. Contoh kota lain yang berkomitmen membangun diri sebagai Kota HAM adalah Bandung. Walikota Bandung telah mendeklarasikan komitmen untuk membangun Bandung sebagai Kota HAM pada tanggal 2 April

2015 4 ; dan telah menandatagani piagam Deklarasi HAM pada tanggal 11 Desember 2015 yang berisikan langkah-langkah implementasi pembangunan

Bandung sebagai kota HAM. 5 Pembangunan Bandung sebagai kota Ramah HAM didukung oleh Paguyuban Hak Asasi Manusia (Paham) Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST). 6