Presiden B.J. Habibie

1. Presiden B.J. Habibie

Keberadaan B.J Habibie sebagai Presiden ke III menggantikan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 mendapat tentangan dari berbagai pihak. Sebahagian kelompok masyarakat berpandangan bahwa pelantikan Habibie tidak sah sebab tidak melalui persetujuan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sementara kelompok pendukung berpandangan bahwa ia dibenarkan oleh Undang Undang bila negara dalam keadaan darurat, sehingga B.J Habibie dapat melanjutkan sisa masa pemerintahan Soeharto (1998-2003). Sementara pihak mahasiswa dan beberapa pemimpin partai politik tetap berpandangan bahwa pemerintahan Habibie merupakan lanjutan dari rezim Orde Baru. Ketidakstabilan politik tesebut diperparah lagi dengan dengan konflik-konflik domestik dan kerusuhan di beberapa daerah semakin marak yang dipicu dengan isu-isu agama (FICA 2011). Hal tersebut diperparah lagi dengan adanya kerusuhan yang menewaskan 1.200 etnik Tionghoa (Singh 2000:258).

Peristiwa-peristiwa domestik ini makin menyulitkan Presiden Habibie mendapat kepercayaan dari masyarakat kendatipun Habibie terus berusaha meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa pemerintahannya tidak sama dengan rezim Soeharto. Dilain pihak, negara-negara pendonor, seperti AS dan negara- negara Eropa, yang selalu mengaitkan bantuannya dengan politik dalam negeri Indonesia dan mendesak Habibie untuk melepaskan Timor Timur dari NKRI sebab (Murphy 2005:165). Portugal berpandangan bahwa proses penyatuan Timor Timur tidak sah dan telah terjadi pelanggaran HAM yang serius di

Habibie juga mendapat desakan masyarakat internasional, terutama AS dan Australia, untuk menyelenggarakan referendum di Timor Timur. Perdana Menteri Australia ketika itu, John Howard mengirim surat pribadi pada Desember 1998, agar Habibie dapat mempertimbangkan untuk memberikan hak menentukan nasib sendiri (right of self determination) kepada rakyat Timor Timur (Downer 2000:5). Keputusan Habibie untuk melaksanakan referendum mengejutkan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Timor Timur yang pro-integrasi dengan Indonesia (Detik Online, 20 Februari 2007). Alasan Habibie memberi referendum rakyat Timor Timur, selain untuk menaikkan citra pemerintahannya, itu ditempuh demi menunjukkan kepada rakyat Indonesia bahwa era pemerintahannya berlainan dengan Orde Baru. Ia juga berpandangan bahwa keputusan tersebut dapat memudahkan Indonesia mendapatkan sokongan ekonomi dari negara donor untuk memulihkan pembangunan ekonomi Indonesia (He 2005:16).

Masalah-masalah domestik yang terjadi itu juga mempengaruhi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia di ASEAN. Hubungan Indonesia dengan negara tetangganya menjadi kurang harmonis pada era Habibie. Singapura tidak terlalu senang bila Habibie menjadi presiden. Ini berkaitan dengan masalah pribadi kedua pemimpin negara, dan juga masalah ekonomi serta kesukuan. Singapura membatalkan bantuan ekonominya sebesar USD 5 miliar lantaran konflik kesukuan dalam kerusuhan Mei 2008. Singapura juga ragu-ragu bahwa bantuan tersebut digunakan untuk pemulihan ekonomi karena banyaknya kasus korupsi di Indonesia (Murphy 2005: 263). Sikap Singapura tersebut menyebabkan hubungan keduanya memburuk. Habibie lantas membatalkan rencana kunjungan kenegaraannya ke Singapura. Dalam suatu pertemuan, Habibie menyatakan bahwa Singapura tidak menunjukkan semangat persahabatan seperti negara-negara maju lain, terutama AS dan Jepang yang proaktif membantu memulihkan ekonomi Indonesia pasca krisis keuangan 1998. Ia juga sadar bahwa Singapura tidak senang atas kepemimpinannya sebagai presiden yang ke-3 (Smith 2000:57).

Hubungan Indonesia dengan Malaysia juga terganggu akibat hubungan Habibie secara pribadi dengan pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim. Kedekatan keduanya disokong oleh hubungan rapat antara kedua organisasi keagamaan, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Institut Kajian

Dasar (IKD), yang telah berlangsung selama tujuh tahun. Pada awal kepeminpinannya, Habibie berusaha untuk mempererat hubungan baiknya dengan Malaysia. Selain karena negara jiran mempunyai kesamaan budaya dan etnik, Malaysia juga memberikan dukungan terhadap pemulihan ekonomi Indonesia. Hubungan Indonesia-Malaysia mulai memburuk ketika Anwar Ibrahim ditangkap oleh pihak pemerintah pada 20 September 1998. Sebagai bentuk dukungan dan simpati Habibie membatalkan lawatan resminya ke Malaysia serta memutuskan untuk tidak menghadiri Pertemuan Puncak APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) yang diadakan pada 17-18 November 1998. Pembatalan kunjungan Habibie ini menandai hubungan yang tak harmonis antara Jakarta dan Kuala Lumpur yang selama ini terjalin dengan baik selama 32 tahun (Leo Suryadinata 1999:126). Selama kepemimpinan B.J Habibie, peranan Indonesia di Asia Tenggara menyurut. Ini disebabkan, selain Habibie lebih fokus ke masalah domestik, ia juga lebih menitikberatkan hubungannya dengan negara-negara Eropa, terutama Jerman.