Susilo Bambang Yudoyono (SBY)

4. Susilo Bambang Yudoyono (SBY)

Pada awal pemerintahan SBY, Indonesia dilanda berbagai bencana alam terutama peristiwa tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Namun hal itu justru menjadi momentum untuk meningkatkan kerjasama dengan negara- negara Barat serta mempercepat proses penyelesaian konflik Aceh. Perhatian dan bantuan masyarakat internasional yang begitu besar terhadap peristiwa tsunami di Aceh telah membuka peluang bagi SBY dalam membina hubungan baik dengan negara-negara Barat yang selama ini mempunyai persepsi buruk terhadap Indonesia akibat peristiwa Timor Timur tahun 1999.

Australia dan AS misalnya, yang semula menekan Indonesia berkaitan dengan isu HAM justru paling pertama memberikan bantuan kepada korban tsunami di Aceh yang kemudian diikuti oleh beberapa negara donor dan negara-negara lainnya (Harian Merdeka, 28 Desember 2004). Peristiwa tsunami juga kian memudahkan proses perdamaian antara pihak Indonesia dan GAM. Kedua pihak bersetuju untuk gencatan senjata dan melakukan perundingan demi mencari penyelesaian konflik Aceh (Kamarulnizam Abdullah: 2005). Meski perundingan ini mendapat tentangan dari kalangan militer, tetapi SBY bersikukuh berunding dengan GAM. Melalui perantaraan Crisis

Management Initiative (CMI), akhirnya GAM bersetuju untuk tidak memisahkan diri dari NKRI dan menerima otonomi khusus. Pada 15 Agustus 2005, perwakilan Indonesia Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud yang mewakili GAM sepakat menandatangani Memorandum Kesepahaman (MoU) Helsinki (Djalal 2010).

Kepemimpinan Indonesia di ASEAN kurang bersinar pada masa B.J Habibie, Gus Dus, dan Megawati karena ketiganya lebih menitikberatkan pada penyelesaian masalah-masalah dalam negeri. Olehnya demikian, SBY ingin mengembalikan peranan Indonesia di ASEAN, terutama berkaitan dengan masalah keamanan, demokrasi, dan HAM. Demi menyelesaikan masalah- masalah tersebut, diperlukan suatu kesamaan pandangan dan komunitas yang berpadu satu sama lainnya dengan dasar aturan yang jelas. Indonesia kembali menunjukkan kepemimpinannya di ASEAN ketika berhasil mendorong terbentuknya pembentukan Komunitas ASEAN yang terdiri dari tiga aspek, yakni Komunitas Keamanan, Komunitas Ekonomi, dan Komunitas Sosio- budaya ASEAN. Ketiga tonggak ini ter- maktub dalam langkah tahapan yang disahkan pada Pertemuan Puncak ASEAN ke-14 di Hua Hin, Thailand, 24 Oktober 2009. Indonesia mengharapkan bahwa para pemimpin ASEAN berkomitmen mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN yang semula dari tahun 2020 menjadi tahun 2015 (The Jakarta Post, 01 Juli 2013).

Setelah terpilih sebagai Ketua ASEAN pada 2011, Indonesia lebih menitiberatkan perhatian pada penguatan HAM dan proses demokrasi. Sebagai ketua ASEAN pada tahun 2011, Indonesia telah mengambil beberapa inisiatif mekanisme penyelesaian sengketa di antara negara-negara anggota ASEAN di antaranya Indonesia mengusulkan berdirinya ASEAN Initiative Talk for Peace and Reconciliation yang disahkan pada KTT ASE- AN di Kamboja. Sedangkan masalah Myanmar juga mengalami kemajuan. Meskipun Amerika Serikat menghendaki agar Myanmar itu diasingkan dari negara-negara Asia Tenggara, tetapi ASEAN di bawah kepemimpinan Indonesia justru memberikan kesempatan kepada Myanmar untuk menjadi ketua ASEAN 2014.

Pada pemilihan umum presiden 8 Juli 2009, SBY terpilih untuk kedua kalinya dan semaikan membaiknya citra Indonesia sejalan dengan peranannya yang semakin aktif di pelbagai organisasi dan forum internasional, membawa Indonesia menjadi salah satu anggota G-20. Indonesia merupakan satu- satunya negara ASEAN yang menjadi anggota forum ekonomi tersebut. Sejak Indonesia menjadi anggota G-20, SBY telah tampil memperjuangkan pelbagai kepentingan negara-negara berkembang, terutama terkait dengan masalah pembangunan dan penertiban pengaturan keuangan dunia serta masalah- masalah korupsi yang banyak merugikan negara-negara berkembang. Dalam

Pertemuan Puncak di Seoul, Korea Selatan, pada 11-12 November 2010, Indonesia dan negara G-20 lainnya berhasil turut mendorong pendirian Global Financial Safety Net (GFSN) dan Anti-Corruption Working Group (ACWG) setelah Indonesia dan Prancis terpilih menjadi Co-Chair Anti-Corruption Working Group (KBS News, 12 Desember 2010). Tampilnya Indonesia dalam Forum G-20 tidak hanya membawa manfaat bagi negara-negara berkembang, tetapi juga bagi ASEAN. Sebagai salah satu negara pendiri ASEAN, Indonesia dalam memainkan perannya berusaha membawa agenda kepentingan ASEAN pada forum G-20.

Karena kebijakan global yang diterapkan oleh negara maju ke negara berkembang kadangkala tidak sesuai dengan keadaan negara-negara berkembang sehingga kita selalu gagal dalam penerapannya. Oleh karena itu, melalui keanggotaan Indonesia di G20, ASEAN secara kolektif bisa mempengaruhi keputusan G-20 untuk perbaikan ekonomi negara-negara ASEAN. Dalam proses pengambilan keputusan di G20, Indonesia dan ASEAN dapat saling melengkapi. Jika Indonesia berbicara atas nama G20 maka ASEAN dapat mendukung Indonesia dan sebaliknya jika Ketua ASEAN berbicara di forum G20 maka Indonesia dapat mem-backup ASEAN (12 April 2012). Indonesia berkepentingan membawa ASEAN ke forum G20 sebagai perwakilan negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara. Sikap negara-negara G-20 yang mau menerima ASEAN sebagai mitra bicara disambut baik oleh para pemimpin ASEAN. kedudukannya sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB selama November 2007, Indonesia mengambil inisiatif menyelenggarakan perdebatan terbuka dengan tema ―The role of regional and subregional organization in the maintenance of international peace and security‖ (UN News Center 2007). Tujuan pertemuan ini adalah untuk memperkuatkan peranan organisasi-organsiasi kawasan dan sub-kawasan dalam memelihara perdamaian dan keamanan rantau kawasan dan internasional, serta mengenal dan mengembangkan modalitas bagi peningkatan sumbangannya kepada Majelis Keamanan PBB dalam menjalankan mandatnya.

Dilain Pihak, Indonesia pada masa SBY juga memainkan peranan penting dalam penegakan HAM di dunia. Tahun 2007, Indonesia kembali terpilih menjadi Ketua Dewan HAM dengan memperoleh dukungan suara dari 165 negara anggota PBB. Meski masih banyak kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan di Indonesia, tetapi ini menunjukkan banyak kemajuan yang sangat signifikan. Laporan Human Rights Practices Report yang diterbitkan oleh Bureau of Democracy, Human Rights and Labor AS pada tahun 2009 menyatakan bahwa penegakan HAM di bawah kepemimpinan SBY telah

Sebelumnya, Indonesia menjadi tumpuan masyarakat internasional dengan kasus pelanggaran HAM di Timor Timur yang menjadi agenda penting di Majelis HAM PBB (Human Right Council) semenjak tahun 1999. Setelah Indonesia berusaha melakukan pendekatan dengan pemerintahan Timor Leste, akhirnya kedua negara sepakat mendirikan Majelis Kebenaran dan Persahabatan yang bertujuan mengadakan pengusutan terhadap kasus pelanggaran HAM. Berdasarkan laporan hasil kerja majelis tersebut, kedua negara setuju mengakhiri kasus pelanggaran HAM antara Indonesia dan Timor Leste. Pengertian yang baik dan dukungan dari banyak negara, termasuk Dewan Keamanan PBB pada sidangnya 16 Agustus 2008, telah menutup satu bagian sejarah kelam hubungan Indonesia –Timor Leste.