Keamanan Siber Menuju Perang Geometri An

Editor

Pusparida Syahdan Agussalim Burhanuddin Ashry Sallatu Aswin Baharuddin Nur Utaminingsih

Desain-Layout

Satkar Ulama

Diterbitkan oleh: Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin bersama Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (PP AIHII)

iii

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

Setiap paper dalam prosiding ini adalah hasil karya masing-masing penulisnya sebagaimana tercantum pada setiap paper. Sebagai karya akademik, setiap penulis adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap validitas data, analisis, dan kesimpulan, serta terhadap keseluruhan isi paper.

iv

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terlaksananya Konvensi Nasional (Vennas) ke-7 Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) pada tanggal 23 – 24 November 2017 dengan lancar dan sukses. Salah satu bukti keberhasilan tersebut adalah tersusunnya Prosiding Vennas ke- 7 AIHII dengan tema ―Benua Maritim Indonesia dalam Perspektif Ilmu Hubungan Internasional‖ ini.

Vennas ke-7 AIHII merupakan salah satu pertemuan nasional terbesar dengan jumlah partisipan sebanyak 138 orang yang berasal dari 45 program studi Hubungan Internasional seluruh Indonesia dan perwakilan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bila dilihat dari jumlah abstrak yang masuk dapat dikategorikan cukup banyak yaitu 91 abstrak dan 73 di antaranya dipresentasikan di dalam pertemuan ilmiah. Pada akhirnya, jumlah artikel lengkap (full paper) yang berhasil dihimpun dalam prosiding ini sebanyak 40 artikel ilmiah.

Sebagai salah satu kegiatan tahunan, pertemuan ilmiah Vennas merupakan wahana yang ditunggu-tunggu oleh komunitas epistemik HI di Indonesia. Dalam pertemuan ilmiah ini dipresentasikan berbagai penelitian terbaru dan pemikiran mutakhir para penstudi HI di Indonesia dalam menganalisis berbagai fenomena HI yang terjadi di dunia. Banyak pemikiran menarik terutama tentang maritim Indonesia ditelaah dari sudut pandang Ilmu HI.

Pertemuan ilmiah ini sekaligus menjadi ajang knowledge sharing dan knowledge creation yang pada akhirnya mengerucut pada pencarian intelektual tentang kajian HI yang memiliki ciri khas ke-Indonesiaan. Yaitu, sebuah cara pandang yang berpijak pada identitas, budaya, kondisi sosial, politik dan ekonomi Indonesia atas tafsir fenomena HI yang terjadi. Dengan demikian, analisis tersebut dapat menawarkan sesuatu kebaruan dalam khasanah HI di tataran global; bukan sekedar replikasi sudut pandang HI global atau kalangan ―Barat‖ (western) terhadap apa yang terjadi dan dikaitkan dengan posisi dan peran Indonesia.

Perjalanan menuju hal tersebut tentu masih panjang. Banyak perdebatan dapat muncul dari berbagai kalangan komunitas epistemik HI Indonesia. Namun, jalan menuju ke sana telah dirintis dan mari terus kita kembangkan demi kemajuan AIHII dan bangsa Indonesia. Akhirnya, saya mengucapkan banyak terima kasih

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

kepada seluruh panitia Vennas ke-7 AIHII, para pengurus AIHII, anggota AIHII, Rektor Universitas Hasanuddin beserta jajarannya dan para pihak yang telah membantu terselenggaranya Vennas ke-7 AIHII ini dengan sukses.

Jakarta, 1 Desember 2016 Ketua Umum Pengurus Pusat

Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII)

Prof. Dr. Tirta N. Mursitama, PhD

vi

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan-Nya kepada kita semua dalam pelaksanaan Konvensi Nasional VII Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) yang berjalan sukes dan berhasil menerbitkan Buku Prosiding ini. Konvensi kali ini meng angat tema ―Benua Maritim Indonesia dalam Perspektif Hubungan Internasional ‖. Prosiding ini memuat rangkuman singkat mengenai materi yang dibahas oleh para narasumber dalam Seminar Nasional, dan juga memuat seluruh makalah yang dipresentasikan pada Sidang Akademik dalam rangkaian Konvensi Nasional VII AIHII di Makassar, 23 November 2016.

Tema ini dipilih dengan dasar pemikiran bahwa topik kemaritiman telah menjadi isu hangat pada level nasional maupun global. Pada level nasional, isu maritim menjadi sentral karena visi Presiden Joko Widodo yang menginginkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. Hal ini membuka ruang bagi penstudi Ilmu Hubungan Internasional yang ada di Indonesia.

Sidang Akademik Konvensi Nasional VII terbagi dalam 4 (empat) sub tema, yaitu: (1) Teori dan Metodologi Ilmu Hubungan Internasional; (2) Diplomasi Indonesia dan Masyarakat ASEAN; (3) Keamanan, Demokrasi dan Masyarakat Transnasiona; dan (4) Ekonomi Politik Internasional. Selain itu, juga terdapat forum akademik dengan tema khusus, ya itu ―Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa (KIKE)‖, dan National Integrity System and Anti Corruption.

Selain presentasi akademik, Konvensi Nasional VII juga diisi dengan beberapa kegiatan yang merupakan ajang pertemuan organisasi AIHII. Dalam sidang organisasi, dibahas berbagai isu keilmuan dan proses akademik di perguruan tinggi setiap anggota AIHII, mendiskusikan alternatif pengembangan, dan juga upaya-upaya untuk memperkuat organisasi.

Prosiding menyajikan seluruh makalah yang dipresentasikan selama konvensi. Seluruh penyaji pada kegiatan ini adalah peneliti Hubungan Internasional yang sebagian besarnya merupakan dosen program studi Hubungan Internasional dari 45 universitas anggota Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia.

Akhir kata, kami dari Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Hasanuddin, seluruh jajaran Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII),

vii

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

sponsor kegiatan, para penyaji, para peserta dan panitia yang sudah berkenan mendukung kesuksesan kegiatan ini. Kami berdoa semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, selalu meridhoi niat dan usaha baik kita semua.

Makassar, 1 Desember 2016 Ketua Departemen Hubungan Internasional

FISIP Universitas Hasanuddin

H. Darwis, Ph.D

viii

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

Benua Maritim dan Arah Baru Kajian Studi Hubungan Internasional Berperspektif Indonesia

Ishaq Rahman

Head of Editorial Board (Universitas Hasanuddin, Makassar)

ishaq@fisip.unhas.ac.id

Konvensi ini mengambil tema ―Benua Maritim Indonesia Dalam Perspektif Ilmu Hubungan Internasional‖. Tema ini dipilih dengan dua pertimbangan. Pertama, isu benua maritim saat ini sedang menjadi salah satu fokus perhatian para penstudi hubungan internasional, baik nasional maupun internasional. Pada level nasional, langkah Presiden Joko Widodo yang menjadikan tema maritim sebagai fokus kebijakan pembangunan saat ini telah mendorong peningkatan kajian dalam berbagai bidang.

Kedua, tema maritim merupakan isu hangat dalam hubungan internasional yang banyak mewarnai arah kebijakan negara-negara di dunia, yang dengan sendirinya membuka ruang kajian lebih luas dan variatif bagi para penstudi ilmu hubungan internasional. Pada tataran regional Asia Timur dan Tenggara, isu klaim berlapis terhadap Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang menempatkan Republik Rakyat Tiongkok sebagai aktor penting, beririsan dengan fenomena kebangkitan Tiongkok dalam interaksi global.

Prosiding ini menyajikan gagasan dan pemikiran dari para penstudi hubungan internasional dari seluruh Indonesia. Secara sistematis, pembagian bahasan dalam prosiding ini mengacu pada pengelompokan paper yang dipresentasikan pada konvensi. Masing-masing sub tema dalam prosiding ini menggambarkan karakter akademik yang saat ini sedang berkembang dalam kajian hubungan internasional di Indonesia.

Keamanan, Demokrasi, dan Masyarakat Transnasional

Demokrasi sedang menjadi trend global, terutama dalam 25 tahun terakhir. Setelah berakhirnya perang dingin pada tahun 1991, dunia internasional telah menyaksikan transisi demokrasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, hingga fenomena Arab Spring yang terjadi pada penghujung 2011. Dalam konteks

ix

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

demokrasi, gagasan tentang keamanan juga mengalami pergeseran makna dari keamanan wilayah (territorial security) menuju keamanan manusia (human security), dan setelah peristiwa 9/11, menuju pre-emptive security. Bahkan, pada banyak negara-negara yang bertransisi kini sedang terjadi fenomena pertukaran (tradeoff) antara keamanan dan demokrasi (Pavone, Gomez, dan Jaquet-Chivelle, 2016). Gejolak keamanan tampak terjadi pada negara-negara yang bertransisi, meskipun pada level ancaman yang berbeda-beda dan variasi eskalasi yang dinamis.

Prosiding ini menyajikan variasi gagasan tentang keamanan, demokrasi, dan masyarakat transnasional dengan pendekatan yang beragam. Mulai dari gagasan tradisional tentang keamanan wilayah, hingga gagasan kontemporer tentang keamanan siber. Adi Rio Arianto (halaman 18) bahkan melihat realitas ini bukan saja sebagai isu keamanan siber an sich, tetapi telah menjangkau dimensi-dimensi geopolitik dan keseimbangan arsitektur keamanan global, melalui apa yang dia istilahkan sebagai ―geometripolitika‖, suatu gagasan yang belum kita temukan dalam literatur mainstream. Arianto mengulas bagaimana level rasionalitas, kapabilitas, dan probabilitas senjata nuklir sebagai instrumen pemusnah massal disandingkan dengan ancaman perang siber yang lebih kontemporer.

Teori dan Metodologi Ilmu Hubungan Internasional

Dinamika pemikiran teoritik dalam hubungan internasional masih terus mencari bentuk yang aplikatif dan dapat memberi penjelaskan memuaskan terhadap peristiwa-peristiwa internasional. Epistemologi ilmu nampaknya semakin kokoh dengan diterimanya kesepahaman diantara para pengkaji bahwa tidak ada satu teori dan metodologi tunggal yang mampu mengayomi kompleksitas studi ini. Maka, karakter perkembangan teori akan selalu mengikuti perkembangan, yang sesuai dengan karakter ilmu-ilmu sosial secara umum.

Ada gejala ―kembali‖-nya pencarian metodologi terhadap aspek-aspek sosial, kultural, dan historis yang sempat diabaikan. Gagasan yang dituangkan Rizal

A. Hidayat (halaman 225) menelaah pendekatan teori sosiologi sejarah dalam penelitian hubungan internasional. Anggapan pendekatan ini sebagai ―the second class theory ‖ sepertinya menarik untuk ditelaah kembali. Pada dekade 1990-an, beberapa peneliti sebenarnya telah membuka ruang bagi penerapan pendekatan sosial murni terhadap kajian hubungan internasional, seperti karya Yosef Lapid dan Friedrich V. Kratochwil (ed) yang berjudul: ―The Return of Culture and Identity in International Relations Theory ‖ (1996).

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

Pencarian pendekatan alternatif untuk menjelaskan fenomena dalam hubungan internasional telah dimulai sejak akhir dekade 1980-an. Nicholas Greenwood Onuf memperkenalkan konstruktivisme dalam ―World of Our Making: Rules and Rule in Social Theory and Internasional Relations ‖ (1989), dan secara intensif dan konsisten dipromosikan oleh Alexander Wendt melalui serangkaian artikel dan buku. Emil Radhiansyah dan Tatok D. Sudiarto (halaman 51) mencoba melakukan telaah terhadap keputusan arbitrase pengadilan internasional mengenai Laut China Selatan dengan mengadopsi gagasan konstruktivis. Begitu juga Ali Maksum (halaman 215) menggunakan pendekatan alternatif ini untuk menjelaskan isu-isu kontemporer di Asia Tenggara.

Ekonomi Politik Benua Maritim

Pendekatan ekonomi politik internasional sejak Adam Smith, John Stuart Mill, atau Immanuel Kant (dengan gagasan klasik tentang liberalisme ekonomi) maupun ide-ide tentang interdependensi yang dikembangkan oleh Robert Keohane dan Joseph S. Nye, hingga pendekatan globalisasi yang antara lain diusung oleh Anthony Giddens, Thomas L. Friedman, dan puluhan akademisi dan penulis, nampaknya masih menjadi sentrum kajian, baik yang bersifat promotif maupun kritikal. Sementara itu, perspektif kontemporer sebagaimana ditawarkan oleh Benjamin Jerry Cohen (yang membagi tegas antara perspektif Amerika dan Inggris) masih kurang memperoleh perhatian dalam kajian ekonomi politik internasional.

Para peneliti dalam konvensi ini didominasi oleh peminatan yang fokus pada peranan negara, kelompok negara-negara (organisasi internasional dan multilateralisme), serta perusahaan multi nasional. A. Irawan J.H (halaman 306) atau Rahmi Fitriyanti (halaman 354) membahas tentang perspektif kepentingan nasional antara Indonesia dan Tiongkok sesuai dengan karakter strategi pengembangan maritim setiap negara. Sementara Ignatius Ismanto (halaman 324) memilih perspektif multilateral dalam melihat dinamika ekonomi politik di ASEAN.

Dalam pandangan penulis, apa yang disajikan oleh para peneliti dan penstudi hubungan internasional masih bersifat tradisional dan belum berani keluar dari kungkungan perspektif-perspektif klasik ekonomi politik internasional. Tentu saja hal ini sama sekali bukan sesuatu yang salah, sebab pada tingkat global sekalipun pendekatan yang sama masih terjadi. Satu hal yang menarik adalah keberanian untuk menempatkan pendekatan ekonomi politik internasional untuk menelaah fenomena akar rumput, sebagaimana ditunjukkan dalam makalah Sri Suwartiningsih (halaman 374) yang menguraikan tentang ekonomi politik pada

xi

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

masyarakat perbatasan Indonesia dan Malaysia. Tentu saja, kita akan kembali pada perdebatan klasik epistemologi keilmuan tentang obyek kajian studi hubungan internasional. Akan tetapi, sebagaimana penulis kemukakan di atas, selalu ada ruang yang dinamis bagi pendekatan-pendekatan alternatif dalam kajian hubungan internasional.

Perspektif Indonesia

Dari kelima panel yang tersedia, sebagian besar paper terdistribusi pada panel ―Diplomasi Indonesia dan Masyarakat ASEAN‖. Hal ini menunjukkan bahwa main stream perkembangan penelitian di ranah kajian hubungan internasional Indonesia cenderung bersifat inward looking, yaitu lebih didominasi oleh upaya pencarian terhadap model kajian dan fokus penelitian yang menunjukkan karakter ke-Indonesia-an. Kekhasan ini juga terlihat dari hadirnya dua makalah yang mencoba mengupas tentang fenomena korupsi dalam perspektif global. Pada satu sisi, fenomena korupsi yang cenderung domestik dianalisis dengan argumen-argumen gerakan global melawan korupsi.

Salah satu kritik yang hingga kini masih mewarnai aplikasi studi hubungan internasional adalah bagaimana membumikan kajian ini, terutama menjadikan ilmu ini sebagai kebutuhan aktual masyarakat. Secara tradisional, ulasan atau studi tentang perang dan damai, diplomasi, kerja sama pada forum-forum yang berskala global, dan sebagainya, dinilai se bagai ―kebutuhan elit‖ dibanding ―kebutuhan masyarakat‖. Di sisi lain, seiring dengan karakter interaksi global yang semakin meluruhkan batas-batas negara dan hambatan-hambatan dalam interaksi antarbangsa, terjadi pula perluasan tema dan fokus penelitian studi ilmu hubungan internasional, hingga mencakup pula tema-tema yang dinilai generik ilmu sosial.

Variasi (keluasan) dan kedalaman tema sepeti inilah yang mewarnai fokus prosiding ini, bergandengan dengan isu kajian maritim sebagai tema utama.

Referensi

Vincenzo Pavone, Elvira Santiago Gomez & David-Olivier Jaquet-Chifelle, ―A Systemic Approach to Security: Beyond the Tradeoff between Security and Liberty ‖, Journal of Democracy and Security, Vol. 12, No. 4, 2016.

Robert Howard Jackson and Georg Sørensen, Introduction to International Relations: Theories and Approaches, 4th Edition. Oxford University Press, 2010.

xii

Internasional ‖, Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 November 2016, Volume 7 / 2016

Alexander Wendt, ―Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics ‖, International Organization, Vol. 46, no. 2, 1992.

xiii

Transformasi Peta Geo-Maritim dan Diplomasi Pertahanan

Indonesia,

Dr. Ir. Abdul Rivai Ras, MM, MS, M.Si

Isu maritim menjadi penting dalam kajian Hubungan Internasional karena konsep kekuatan maritim (maritime power concept) dapat dihitung secara matematis. Kekuatan maritim suatu negara merupakan kombinasi dari faktor geografi, kapabilitas ekonomi, kapabilitas militer, kapabilitas teknologi, serta tujuan strategis kekuatan maritim suatu negara dan keinginan negara tersebut untuk menjalankan strategi maritim. Kekuatan maritim juga merupakan instrumen utama dalam kebijakan militer, yang juga menjadi salah satu potensi ekonomi suatu negara (khususnya sebagai sumber energi dan batas wilayah).

Terdapat lima Pilar Maritim Indonesia, yaitu budaya maritim, sumber daya laut, infrastruktur dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, serta pertahanan maritim. Konsep benua maritim memiliki keterkaitan dengan transformasi geo- maritim di Indonesia, terutama dalam konteks nusantara yang mengembangkan integrasi nasional dalam konteks kedaulatan. Selain itu, Indonesia tengah melakukan reorientasi pembangunan yang bertumpu pada laut, mengingat posisi Indonesia yang berada pada jalur perdagangan dunia, sebagai salah satu checkpoint yang terpenting di dunia, dimana lebih dari 40% dari total perdagangan dunia melalui perairan di Indonesia. Selat Malaka, misalnya, memiliki kapasitas deadweight tonnage sebesar 300,000 dwt, dimana angka ini lebih besar dari Terusan Suez dan Terusan Panama. Ini berarti bahwa Selat Malaka memungkinkan lebih banyak barang yang diangkut dibandingkan kedua terusan tadi.

Kompetisi politik global juga semakin kuat dimana dua pengaruh besar dunia pada saat ini, AS dan Tiongkok, semakin memfokuskan pengaruhnya pada perairan dunia, khususnya Laut China Selatan (LCS). Ini disebabkan karena pendulum geopolitik dan geoekonomi yang telah bergeser ke kawasan Asia, 70% perikanan dunia berada di Asia Pasifik, 30% produk perikanan dunia dipasok dari Indonesia, dan 10% dari tangkapan ikan dunia berada di kawasan LCS. Jalur transportasi laut kawasan Asia pun dianggap semakin penting, mengingat total nilai kargo yang mencapai USD 5 triliun per tahun.

Dalam membangun kemitraan maritim, diperlukan pertimbangan geopolitik dan geoekonomi, serta prioritas kerjasama internasional maupun regional. Indonesia sebagai negara maritim tidak hanya berpotensi sebagai pintu gerbang dan pusat aktivitas ekonomi maritim dunia, tetapi juga penyangga maritim kawasan. Di samping itu, yang dapat menjadi prioritas Indonesia dalam kerjasama internasional maritim antara lain adalah maritive governance (pembangunan kapasitas), maritime civil and criminal authority (penegakan hukum), maritime defense (kerjasama keamanan), maritime safety (keamanan lingkungan dan negosiasi), maritime response and recovery (pencarian dan penyelamatan di laut), serta maritime economy (transportasi dan perdagangan).

Speaker Bio: Abdul Rivai Ras

Perwira yang telah melalui berbagai penugasan mulai dari tingkat operasional sampai pada

tingkat kebijakan strategis. Ia mengikuti

pendidikan Perwira Karier ABRI Angkatan I dan melanjutkan berbagai pendidikan kedinasan militer dan non militer di dalam dan luar negeri, dengan pendidikan tertinggi di bidang pertahanan serta kepemimpinan keamanan nasional pada Elliot School of International Affairs, George Washington University. Ia menempuh pendidikan non-militer program pascasarjana Manajemen Operasional-Strategik, Kajian Ketahanan Nasional, Ilmu Politik Hubungan Internasional dan program doktoral Ilmu Politik di Universitas Indonesia.

Indonesia dan ASEAN Lima Tahun ke Depan,

Prof. Dr. Yanyan Mochamad Yani

Tantangan utama hubungan internasional di ASEAN adalah kehadiran pihak asing. China semakin memperkuat eksistensinya ASEAN dengan upaya membangun navigasi dan fasilitas keamanan di wilayah archipelago serta garis laut Indonesia, setelah baru-baru ini membangun pelabuhan di Sri Lanka. Aktor besar lain seperti AS juga hadir dengan menempatkan pangkalan militer dan sekutunya di sekeliling posisi silang dunia, dengan menjadikan Indonesia sebagai target strategis. Oleh karena itu, dalam menghadapi pembangunan geopolitik dan geostrategis di kawasan ini, Indonesia memerlukan grand strategy yang sinergis dan komprehensif mengenai kerangka diplomasi AS dan China, dan dalam waktu bersamaan tetap menjaga sentralitas ASEAN di kawasan Asia Tenggara.

Tantangan lain adalah penanganan terorisme masa kini dan mendatang. Jaringan Al-Qaeda semakin merambah berbagai penjuru dunia, dengan tujuan utama menghapuskan pengaruh amerika dari Iraq dan Semenanjung Arab, menghapuskan pemerintah di kawasan tersebut, membasmi Israel dan pengaruh Yahudi dan Kristen, dan memperluas kekuasan Islam di dunia. Untuk itu, perlu adanya perencanaan dan manajemen pertahanan yang tepat dalam menjawab tantangan ini, yang tercermin dalam politik luar negeri dan keamanan nasional.

Permasalahan batas-batas maritim dan pulau-pulau terluar Indonesia juga menajdi tantangan lain Indonesia dan ASEAN dalam lima tahun ke depan. Hingga saat ini terdapat 95 pulau dengan status pulau terdepan atau yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga, termasuk di dalamnya

12 pulau yang memerlukan perhatian khusus pemerintah karena dikhawatirkan akan diokupasi pihak asing, seperti pulau Miangas, Marampit, Sekatung, Rondo, Dana, Fanildo, dan Batek. Diharapkan adanya multilayer defense system (dengan medan pertahanan penyanggah) dalam menjawab tantangan ini, dimana pada pulau-pulau terluar tersebut, dan pada wilayah perbatasan.

Tantangan terakhir adalah optimalisasi keterlibatan daerah-daerah di Indonesia dalam Komunitas ASEAN paska tahun 2015. Keterlibatan pemerintah daerah dirasa penting mengingat terdapat banyak dasar hokum kerjasama daerah dengan luar negeri. UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri mengatur mengenai aspek regional dan internasional yang dilakukan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam hubungan luar negeri. Bahkan lebih khusus lagi, pemerintah Jawa Barat, misalnya, telah mengeluarkan Tantangan terakhir adalah optimalisasi keterlibatan daerah-daerah di Indonesia dalam Komunitas ASEAN paska tahun 2015. Keterlibatan pemerintah daerah dirasa penting mengingat terdapat banyak dasar hokum kerjasama daerah dengan luar negeri. UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri mengatur mengenai aspek regional dan internasional yang dilakukan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam hubungan luar negeri. Bahkan lebih khusus lagi, pemerintah Jawa Barat, misalnya, telah mengeluarkan

Yanyan Mochamad Yani

Dilahirkan di Bandung, pada tanggal 5 Oktober 1966. Jenjang Strata 1 (Drs) diraih dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran (1990). Penulis meraih gelar Strata

2, MA in International Relations (MAIR) dari Flinders University, Australia (2000) melalui beasiswa ―Australian Development Scholarship‖, memperoleh gelar Strata 3, Ph.D in International Relations dari Auckland University, New Zealand (2004) melalui beasiswa ―New Zealand Official Development Assistance

(NZODA) Study Awards‖. Yanyan adalah guru besar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP

Universitas Padjadjaran, juga pengajar Pascasarjana Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana UNPAD, dan Dosen Luar Biasa di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Parahyangan, Bandung. Berbagai tulisan artikel dan makalah tentang Hubungan Internasional telah dipublikasikan di berbagai media cetak nasional maupun internasional.

Indonesia dalam Arus Multi-track Regionalism Asia Tenggara

Ade M. Wirasenjaya

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta adewirasenjaya@hotmail.co.id

Abstrak

Paper ini bertujuan mendiskusikan orientasi politik luar negeri Indonesia di era Jokowi dengan melihat dua determinan utama. Pertama determinan regional yang mengarah pada munculnya multi-track regionalism seiring dengan ditetapkannya Komunitas ASEAN. Meskipun negara-negara ASEAN masih tetap memegang prinsip state-led regionalism, namun berbagai perubahan yang berlangsung di kawasan ini telah melahirkan berbagai persoalan yang mendorong tampilnya aktor-aktor baru seperti terlihat dalam kemunculan trans- national advocacy netwoks. Determinan kedua adalah orientasi politik luar negeri Jokowi yang ingin menghubungan kekuatan domestik dan artikulasi Indonesia dalam berbagai forum internasional. Dengan mengajukan konsep multitrack regionalism, paper ini menyimpulkan bahwa Indonesia bisa memainkan peran yang lebih signifikan karena isu-isu regional yang muncul di Asia Tenggara merupakan isu-isu yang menjadi konsen gerakan masyarakat sipil di Indonesia.

Kata kunci: politik luar negeri Indonesia, Joko Widodo, Komunitas ASEAN, multi-track regionalism

Pendahuluan

Sejak awal, Presiden Joko Widodo telah membuat garis yang tegas tentang arah kebijakan luar negerinya dibanding sang pendahulu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY lebih memandang panggung politik internasional sebagai foreign policy outlet bagi citra Indonesia yang demokratis, moderat dan sepenuhnya tak memiliki musuh sebagaimana seriing dikemukakan dalam jargon diplomasinya: thousand friends zero enemy. Titik fokus politik luar negeri SBY adalah positioning Indonesia di dunia internasional yang diandaikan akan mendorong kapasitas domestik, Jokowi memutar pola politik luar negeri tersebut dan lebih percaya bahwa kesejahteraan menentukan kapasitas Indonesia di dunia luar. Era Jokowi seolah ingin mengembalikan lagi politik luar negeri pada prinsip dasarnya: bagaimanapun, politik luar negeri selalu lebih banyak ditentukan oleh kondisi dalam negeri ketimbang sebaliknya

(Kompas, 17 September 2014). Prinsip politik uar negeri inilah yang kemudian diturunkan dalam setidaknya empat konsep kunci politik luar negeri: Nawacita, Poros Maritim Dunia, Trisakti dan Kedaulatan.

Bagaimana eksekusi prinsip-prinsip politik luar negeri Jokowi tersebut? Bagaimana arena dan arsitektur regional yang harus dihadapi Indonesia untuk memainkan perannya dalam rangka memuluskan orientasi politik luar negeri tersebut? Tulisan ini ingin melihatnya dalam dua konteks. Pertama, pada

konteks domestik akan duraikan sejumlah ―kesibukan politik‖ yang menentukan politik luar negeri. Kedua, dinamika kawasan regional (khususnya Asia Tenggara dan ASEAN) sebagai lingkaran konsentris politik luar negeri Indonesia paling utama. Dan ketiga, kebutuhan untuk membangun multitrack regionalism dimana aktor-aktor baru kawasan datang dan muncul dengan agenda-agenda dan artikulasi non-tradisional yang kami yakini akan membawa dampak luar biasa bagi konstruksi kerjasama regional di masa-masa yang akan datang.

Kontestasi Kekuasaan Regional: Negara versus Penyandera

Politik luar negeri Indonesia era Jokowi langsung dihadapkan pada persoalan bagaimana I Indonesia mengkalkulasi kekuatannya sebagai kekuatan menengah (middle power) dalam politik internasional. Dalam banyak publikasi tentang kapasitas dan posisi di kawasan Asia Tenggara saja, Indoesia kian tertinggal dari sisi daya saing (comptetiveness). Daya saing Indonesia terus merosot ke peringkat 41 dalam laporan Word Economic Forum (WEF) tahun 2016. Bidang pendidikan Indonesia mendapat skor yang sangat rendah dalam laporan tersebut (WEF, 2016).

Persoalan di dalam negeri berimbas pada persoalan Indonesia di kawasan (regional). Problem yang segera menyita perhatian adalah posisi Indonesia nyatanya amat lemah bahkan dibanding dengan negara-negara anggota ASEAN utama seperti Thailand, Malaysia dan Singapura. Problem di kawasan ini semakin diperparah dengan kasus-kasus seperti kabut asap dan penyanderaan para awak ABK: dua kasus yang dengan mudah menjadi petunjuk tentang kekuatan power dan kapasitas Indonesia saat ini.

Terhitung sejak bulan Mei 2016 hingga kini, sudah lebih lima kali peristiwa penyanderaan atas WNI berlangsung. Peristiwa penyanderaan ini boleh jadi merupakan batu ujian paling besar bagi politik luar negeri Jokowi serta lingkungan regional yang harus dihadapi rejim ini. Penyanderaan yang terus berulang terhadap WNI oleh kelompok militan Abu Sayyaf dan faksi- faksinya menyisakan agenda besar ihwal perlindungan dan upaya-upaya untuk mengatasinya.

Penyanderaan pada gelombang sebelumnya berhasil dibebaskan oleh (pemerintah) Indonesia. Para pejabat Indonesia mengemukakan bahwa Penyanderaan pada gelombang sebelumnya berhasil dibebaskan oleh (pemerintah) Indonesia. Para pejabat Indonesia mengemukakan bahwa

Selain menyisakan agenda bagi politik perlindungan warna negara di tingkat domestik, kasus ini juga menunjukkan masih adanya ruang kosong dalam kerjasama regional ASEAN, khususnya yang menangani pergerakan lintas batas manusia. Ketika kawasan ini ingin diproyeksikan menjadi sebuah komunitas yang lebih bebas dan terbuka, ternyata ASEAN masih gagap dalam merespon dan mengeksekusi isu-isu non-tradisional.

Dari kasus penyanderaan yang sudah berlangsung sebelumnya, nampaknya upaya diplomasi oleh satu negara tidak cukup ampuh untuk memberi jalan pembebasan. Para pejabat Indonesia boleh saja menyebut ―diplomasi total‖ sebagai jalan yang menempuh berbagai jalur yang mungkin dilakukan untuk menyelematkan warga negara. Tetapi terulangnya kasus penyenderaan menjadi pertanyaan, apakah diplomasi total benar-benar tentang ―diplomasi yang melibatkan berbagai aktor politik luar negeri‖ atau diplomasi yang tunduk pada kehendak para penyandera alias melalui penebusan uang yang jumlahnya amat besar. Jika memang pembebasan sandera sebelumnya merupakan produk negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf sehingga kelompok militan itu ―terenyuh dan merasa Indonesia adalah saudara mereka‖ lalu mengapa WNI yang melintas Perairan Sulu selalu menjadi sasaran empuk untuk dikapitalisasi para pemberontak pada hari-hari ini?

Jalur Tunggal Regionalisme

Hadirnya isu-isu non-tradisional akan menjadi sesuatu yang niscaya mengingat posisi Asia Tenggara yang amat strategis dan menggiurkan bagi lalu-lintas perdagangan global. Dari sisi demografis, kawasan Asia Tenggara saat ini menyangga lebih dari 600 juta jiwa. Jumlah itu bisa merupakan bonus bisa juga merupakan tragedi demografis. Bisa menjadi bonus manakala desain Komunitas ASEAN menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang merata di semua negara. Sebaliknya ia akan menjadi tragedi demografis jika ketimpangan pembangunan masih terasa di satu sisi, juga kebijakan untuk mengantisipasi mobilitas manusia masih bersifat ad hoc dan ritualistik. Penting untuk menekankan dua hal ini, karena isu perlindungan dan keamanan manusia tidak bisa lagi ditangani dengan pendekatan state-sentris dan model- model penyelesaian lama sebagaimana sering mengemuka dalam berbagai perundingan dalam tubuh ASEAN. Upaya mutakhir untuk mengatasi hal ini ,yakni pertemuan tiga Menteri Pertahanan dari Indonesia, Filipina dan Malaysia di Nusa Dua, Bali (CNN , 2/8/16) nampaknya belum cukup memberi gambaran Hadirnya isu-isu non-tradisional akan menjadi sesuatu yang niscaya mengingat posisi Asia Tenggara yang amat strategis dan menggiurkan bagi lalu-lintas perdagangan global. Dari sisi demografis, kawasan Asia Tenggara saat ini menyangga lebih dari 600 juta jiwa. Jumlah itu bisa merupakan bonus bisa juga merupakan tragedi demografis. Bisa menjadi bonus manakala desain Komunitas ASEAN menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang merata di semua negara. Sebaliknya ia akan menjadi tragedi demografis jika ketimpangan pembangunan masih terasa di satu sisi, juga kebijakan untuk mengantisipasi mobilitas manusia masih bersifat ad hoc dan ritualistik. Penting untuk menekankan dua hal ini, karena isu perlindungan dan keamanan manusia tidak bisa lagi ditangani dengan pendekatan state-sentris dan model- model penyelesaian lama sebagaimana sering mengemuka dalam berbagai perundingan dalam tubuh ASEAN. Upaya mutakhir untuk mengatasi hal ini ,yakni pertemuan tiga Menteri Pertahanan dari Indonesia, Filipina dan Malaysia di Nusa Dua, Bali (CNN , 2/8/16) nampaknya belum cukup memberi gambaran

Negara-negara ASEAN mungkin harus mulai memperluas objek dari perlindungan warga negara menjadi keamanan manusia (human security). Ketika mobilitas ekonomi dan jasa dikontrol oleh kesepakatan regional, mengapa hal serupa tidak berlangsung pada manusia? Di masa yang akan datang, mengingat jalur-jalur perdagangan laut yang akan sangat dinamis dan potesial, mendesak rasanya bagi ASEAN untuk merumuskan makna dan batas perlindungan ini. Aspek berikutnya yang juga mendesak untuk direkonstruksi adalah prinsip yang seolah ―suci‖ di kawasan ini, yakni ―tidak mencampuri urusan domestik ‖ (non interference principle). Sudah lama prinsip ini menjadi moralitas regional yang dipegang dalam berbagai pola penyelesaian konflik di ASEAN. Perlu ada kebaranian bagi negara-negara ASEAN untuk mengkualifik asi ulang mana yang masuk kategori ―mencampuri urusan domestik‖ dan ―menyelamatkan keamanan dan stabilitas regional‖. Prinsip non- intervensi lahir dalam konteks ketika batas-batas kedaulatan negara belum porak-poranda oleh ekspansi pasar atau korporasi dan juga pergerakan manusia sebagaimana hari ini kita saksikan. Tak diragukan lagi, negara-negara ASEAN harus mulai merevisinya. Prinsip non-intervensi masih bisa digunakan misalnya pada saat ada warga negara salah satu negara ASEAN melakukan perbuatan melawan hukum atau berbuat kriminal di negara lainnya.

Dalam konteks penyanderaan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf terhadap WNI misalnya, terjadi benturan klasik dalam politik internasional dimana upaya intervensi untuk menyelamatkan manusia (humanitarian intervention) harus berhadapan secara diametral dengan prinsip non-intervensi yang dipegang teguh oleh pemerintah Filipina. Hal ini juga berlaku dalam kasus-kasus lainnya di negara-negara ASEAN. Padahal, kasus-kasus yang melatari semua itu adalah kasus-kasus trans-border dan lahir dari ruang internasional pasca-negara. Meskipun ASEAN telah mendesain ARC (ASEAN Security Community) sebagai produk Bali Concord II (2003), namun konstruksi tentang ancaman keamanan masih dipandang sebagai keamanan tradisional yang mengancam negara, bukan keamanan dalam konteks yang memberi perlindungan dan penyelamatan bagi manusia.

Desain regionalisme baru akan menjadi pertaruhan masyarakat Asia Tenggara yang akan mengalami pertumbuhan populasi cukup signifikan menjelang dalam satu dasawarsa ke depan. Berdasarkan prediksi yang dirilis pada KTT ASEAN di Brunei Darussalam tahun 2013, jumlah penduduk 10 negara anggota ASEAN diperkirakan akan mencapai 741,2 juta jiwa pada 2035, meningkat dibandingkan 2015 yang diperkirakan sebanyak 633,1 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk rata-rata ASEAN per tahun mencapai 0,85 persen dan Filipina menjadi negara dengan pertumbuhan penduduk tertinggi (1,44 %),

Roadmap memperlihatkan asertivitas ASEAN dalam menyongsong era baru, baik dalam merepon isu-isu politik baru seperti demokratisasi dan hak asasi manusia (HAM), maupun dalam merespon isu-isu non-tradisional seperti soal penghormatan terhadap pluralisme budaya masing-masing negara hingga masalah korupsi (Roadmap, ibid: 7-8). Namun pada sisi lain, Roadmap memperlihatkan bangunan perseptual yang sangat mengindikasikan kuatnya pola-pola regionalisme yang elitis atau sering disebut regionalisme dari atas (regionalism from above).

Di lain sisi, pembentukkan Komunitas ASEAN 2015 sesungguhnya merupakan sebuah gejala yang ―ahistoris‖ mengingat Asia Tenggara sejak mula bukanlah sebuah konsep ―kawasan‖. Menurut analisis ahli sejarah Asia

Tengara, Anthony Reid (1999), Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang secara historis berbeda kelahirannya dengan kawasan lain di dunia seperti Eropa Barat, India, Dunia Arab, Cina, bahkan kawasan Asia Timur yang amat dipengaruhi oleh kultur Cina (cinized). Bagi Reid pula, ―Asia Tenggara tidak mempunyai persamaan agama, bahasa atau kebudayaan klasik yang besar dan tidak pernah menjadi bagian dari sebuah polity (negara) yang tunggal. Penyebutan Asia Tenggara bahkan diberikan oleh pihak-pihak luar untuk memudahkan secara geografis, yang kemudian diganti dengan istilah-istilah lain yang bahkan jauh lebih tidak memuaskan seperti India Jauh (Further India) atau Indo-China (Reid, 1999: 4-5). Reid hanya ingin menegaskan bahwa konstruksi eksternal merupakan hal yang melekat pada pembentukan kawasan Asia Tenggara sejak kelahirannya.

Salah satu karakterisitik ASEAN adalah kuatnya model-model penyelesaian konflik khas Asia yang menempatkan harmoni, kooperasi dan non-intervensi. Pola-pola penyelesaian seperti itu telah menjebak ASEAN ke dalam ritualisme yang acapkali gagal menangkap perubaan drastis yang berlangsung pada level sosial dan budaya.

Gelombang Ketiga Regionalisme Asia Tenggara: Fragmentasi Aktor Kawasan

Isu-isu non-tradisional yang semula tidak menjadi perhatian dan tidak terlihat, akhir-akhir ini mulai muncul dan dipastikan akan menguat di kawasan Asia Tenggara. Isu-isu itu misalnya tentang perbatasan (border), lingkungan (khususnya hutan), pekerja migran serta perdagangan manusia merupakan beberapa contoh yang harus diakomodasi dalam desain regionalisme baru Asia Tenggara. Tak juga kalah pentingnya adalah isu perdagangan manusia dimana Asia Tenggara merupakan salah satu zona yang dianggap paling berbahaya di

Dilihat secara makro, fase ASEAN sebagai asosiasi kerjasama antar- negara bisa dibagi ke dalam tiga periode penting. Periode pertama dapat disebut sebagai regionalism making process (1960-1980 an). Periode ini merpakan periode konsolidasi negara-negara Asia Tenggara untuk bersepakat tentang bangunan kerjasama yang ingin mereka bentuk. Periode ini lebih menunjuk pada upaya membangun cetak biru kerjasama kawasan. Periode kedua merupakan fase developmental-state regionalism pada dua dasawarsa berikutnya (1980-an hingga awal tahun 2000 an). Periode ini muncul bersamaan dengan bekerjanya – mengutip Jayasurya (2001: 33) -- ―embedded mercantilisme Asia Tenggara‖. Fase ini ditandai dengan bekerjanya pola produksi kapitalisme khas Asia dimana negara menjadi entitas tunggal dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi kawasan. Akibatnya, inisiatif- inisiatif regional selalu berorientasi pada logika-logika pertumbuhan, juga pada saat yang sama mengkualifikasi aktor-aktor yang seharusnya terlibat dalam dinamika regional. Barangkali produk dari fase ini adalah makin kuatnya prinsip non-intervensi, makin elitisnya formasi ASEAN dan makin terbukanya Asia Tenggara pada pintu-pintu investasi dan perdagangan dari luar.

Sedang fase ketiga baru saja dimulai, yakni fase yang ingin kami sebut sebagai multi-track regionalism. Momentumnya berlangsung ketika kesepakatan Bali (2013) dilakukan dan negara-negara ASEAN bersepakat tentang peta jalan dan visi baru kawasan. Di bawah ―tagline‖ One Vision, One Identity, One Community, 10 negara ASEAN sepakat untuk mencapai tiga pilar penting (ASEAN Secretariat, 2013).

Fase pertama menunjuk pada kreasi dan intrusi negara-negara Barat yang membutuhkan zona penyangga dari konflik ideologis Timur-Barat saat itu. ASEAN dibayangkan sebagai kisah sukses modernisasi Barat melalui contagion effect dan demonstration effect. Efek pertama menyangkut upaya- upaya

developmentalisme di kawasan Asia Tenggara dengan cara-cara yang amat pragmatis dan efisien. Motif ini tidak lepas dari posisi dan peran Asia yang begitu penting bagi perluasan pengaruh dan kepentingan global Amerika Serikat. Seperti ditulis Robert J Lieber (2006;159), baik secara politik maupun ekonomi, Asia merupakan tempat bagi ribuan pasukan penjaga keamanan dan investasi besar-besaran dari negara Paman Sam. Amerika membangun

Efek kedua -- demonstation effect -- menyangkut upaya-upaya kawasan melakukan akselerasi modernisasi. Untuk dua program besar tersebut, jelas kekuatan dan preferensi negara-negara Barat seperti Amerika tidak akan absen. Asia Tenggara adalah role model bagi penyebaran modernisasi Barat (Simpson, 2008). Kedua upaya tersebut nampaknya sukses dijalankan, baik oleh Barat sendiri maupun oleh negara-negara ASEAN pada beberapa dekade berikutnya.

Fase kedua menunjuk pada akibat langsung dari dampak munculnya konsolidasi negara sebagai aktor pembangunan (developmental-state) di sejumlah negara Asia, dimana Asia Tenggara digambarkan sebagai rombongan angsa yang mengikuti si Angsa utama Asia, yakni Jepang. Beberapa ilmuwan menyebut bahwa regionalisme ASEAN adalah developmental-state regionalism dimana negara menjadi penentu dan menjadi aktor utama. Developmental-state merupakan model kebijakan pembangunan yang menempatkan negara sebagai penentu dan eksekutor sekaligus. Dari sisi isu, model ini lebih memberi perhatian pada aspek ekonomi (Beeson,2007).

Untuk waktu yang panjang, negara menjadi aktor dan eksekutor penting dalam berbagai skema regionalisme yang dicanangkan para pemimpin Asia Tenggara. Perubahan yang cukup signifikan terjadi menjelang dasawarsa 90-an ketika arus migrasi manusia dan gerakan masyarakat transnasional mulai memberi perspektif lain tentang arah regionalisme. Kekuatan hegemonik pada fase pertama, yakni Amerika Serikat, yang memberi pengaru politik bagi pembentukkan dan road map ASEAN pada masa-masa awal, kini secara perlahan mulai menghadapi banyak kompetitor. Hal ini juga tak lepas dari munculnya kekuatan middle-powers dalam politik maupun ekonomi internasional. Sedang kekuatan hegemonik pada fase kedua, si angsa Jepang, juga mulai menyusut peran-peran ekonominya sehubungan dengan munculnya kekuatan ekonomi baru dari Asia seperti Korea Selatan, India, China dan Taiwan. Daya tahan negara-negara ASEAN menghadapi krisis ekonomi tahun 1997 nampaknya menjadi titik penting bagi ASEAN untuk lebih bebas membentuk desain dan arsitektur kerjasama, dari yang semua amat longgar menjadi sebuah kerjasama yang lebih sistematis dan struktural. Inilah yang

A SEAN, yakni ―ASEAN Way‖ . Hampir dipastikan, rute Masyarakat ASEAN akan sangat berbeda

dengan misalnya, rute Masyarakat Eropa (ME). Pada kasus ME, ada semacam keinginan untuk menjadi blok resistensi dari laju dan pengaruh Amerika Serikat. Pada rute Masyarakat ASEAN, sebagaimana sering muncul dalam sejumlah dokumen hasil serial KTT, persistensi nampaknya menjadi target besar – yakni bagaimana transformasi ASEAN sebagai penyangga kapitalisme pinggiran – bisa terus dipelihara. Selain itu, menjadikan Uni Eropa sebagai model regionalisme baru juga menyisakan persoalan karena mozaik kebudayaan kedua kawasan juga amat berbeda.

Fase ―muti-track regionalism‖ merupakan sebuah implikasi ketimbang merujuk pada desain yang memang secara terencana dirancang oleh negara- negara ASEAN. Ada dua fenomena penting yang layak diidentifikasi mengapa fase ini merupakan sebuah fenomena pentinng bagi ASEAN. Pertama, berkurangnya regimentasi kekuatan tradisional dalam politik internasional di Asia Tenggara. Kedua, pada saat yang sama, terdapat pula proses berkurangnya peran negara sebagai akibat langsung proses transisi demokrasi di sejumlah negara Asia Tenggara. Fenomena pertama memunculkan makin banyaknya ruang-ruang interaksi dan kooperasi antara negara-negara ASEAN dengan berbagai aktor baru dalam hubungan internasional. Fenomena kedua ditandai dengan makin kuatnya pengaruh aktor-aktor dari arena regional civil society yang terlibat dalam konstruksi isu dan pembenetukan jaringan. Barangkali jauh dari radar pengawasan negara, di Asia Tenggara muncul apa yang oleh Keck dan Sikkink (1999) disebut transnational advocacy networks atau oleh Khaldor (2007) disebut global civil society

Kekuatan masyarakat sipil seperti non-state organizations (NGOs) di ASEAN kini tak bisa diabaikan peran-perannya. Berbagai isu baru dalam lingkup regional mulai muncul sebagai akibat langsung globalisasi dan kehadiran aktor-aktor di luar negara yang semakin artikulatif membentuk komunitas di luar radar negara. Kekuatan masyarakat sipil seperti kaum aktivis telah merancang inisiatif-inisiatif yang menghubungan berbagai elemen dan isu yang melintas-batas negara

Dalam isu hak asasi manusia, jejaring masyarakat sipil ASEAN yang bergiat dalam isu tersebut aktif mengajukan proposal pendirian Badan HAM ASEAN. Badan ini mencoba mengadopsi lembaga serupa yang sudah mapan di Eropa. Namun, proposal tersebut masih terbentur karena perbedaan persepsional dan visi penegakkan HAM di antara negara-negara ASEAN

Dalam sebuah analisis, Alexander C Chandra (2009) mengemukakan tentang perlunya ASEAN mengubah jalan regionalisme dari yang terlalu elitis menjadi regionalisme yang populis. Sebenarnya di kalangan pemimpin ASEAN sendiri mulai tumbuh kesadaran untuk melibatkan sebanyak mungkin aktor dalam mengembangkan Komunitas ASEAN. Hanya saja, menurut Chandra, para pemimpin di kawasan ini lebih menyukai term people-oriented ketimbang people-centred. Keduanya jelas mengimplikasikan hal yang berbeda. Dalam tatapan Chanda: ―.....the people-oriented ASEAN can be interpreted that the policies pursued by the Association‘s policy-makers shall be oriented toward the cocerns and interests of the people. However, under this principle, the final

decision making still lies amongst the region‘s political elite. In contrast, ASEAN as a people-centred organization call for the grouping to place people at the heart, or centre, of its decision- making process....‖

Disukai atau tidak oleh para pengambil kebijakan di ASEAN, kehadiran masyarakat sipil trans-nasional telah menjadi aktor yang berpengaruh dalam mengajukan sudut pandang lain tentang arah regionalisme Asia Tenggara. Kelompok-kelompok masyarakat sipil tersebut lahir melalui proses perluasan norma demokrasi di sebagian besar negara ASEAN, maupun sebagai akibat langsung dari berubahnya watak hubungan internasional pada umumnya. Seperti disinggung sebelumnya, berbagai insiatif yang lahir dalam merespon isu-isu non-tradisional telah melahirkan pola-pola baru kerjasama, aliansi juga kolaborasi masyarakat sipil baik di dalam kawasan Asia Tenggara sendiri maupun yang dibangun oleh jaringan masyarakat sipil yang melintas-batas benua.

Dalam ruang-ruang baru regionalisme yang kini memunculkan aktor- aktor baru kawasan, barangkali Indonesia bisa memainkan peran yang lebih aktif dan artikulatif. Watak aktor transnasional antara lain mereka akan membangun kerjasama yang berbasis pada isu ketimbang ikatan historis. Masing-masing isu yang kini populer dalam hubungan internasional seperti