Indonesia: Minimnya Koordinasi Negara-Swasta untuk Ekspansi Pasar Luar Negeri

B. Indonesia: Minimnya Koordinasi Negara-Swasta untuk Ekspansi Pasar Luar Negeri

Di Indonesia, koordinasi negara dan swasta lebih banyak diarahkan pada pencarian rente di pasar domestik. Pola relasi yang terbangun selama pemerintahan Suharto adalah hubungan patron-klien dimana pemerintah memberikan rente-rente ekonomi kepada swasta domestik, sementara swasta

domestik memberikan dukungan politik kepada pemerintah. 37 Pola ini berjalan sangat stabil selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa. Rente yang diberikan

negara umumnya berupa pasar domestik agar bisa sepenuhnya dikuasai swasta domestik. Oleh karena itu, sektor manufaktur, kehutanan, perbankan, dan lain-lain banyak menjadi lumbung profit bagi pengusaha-pengusaha yang dekat dengan lingkar kekuasaan Presiden Suharto. Terlebih lagi, negara juga hadir sebagai pelaku aktivitas ekonomi. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga menjamur dan menjadi sumber keuntungan ekonomi bagi perusahaan- perusahaan pencari rente ekonomi. Banyak proyek-proyek negara yang

akhirnya diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta domestik. 38 Masalahnya, pola hubungan ini tidaklah sustainable. Pola relasi yang

muncul mengarah pada pelanggengan proteksionisme, dengan demikian tidak ada usaha strategis untuk meningkatkan kekompetitifan pengusaha swasta domestik pada pasar internasional. Pasar domestik Indonesia begitu besar, dimana penduduknya menjadi yang terbesar keempat di dunia. Indonesia juga memiliki karunia kekayaan alam yang melimpah. Kedua hal ini akhirnya membuat swasta-swasta domestik lebih nyaman untuk berbisnis di dalam negeri dan enggan mencari pasar di luar negeri. Kondisi ini terus berlanjut pasca jatuhnya rezim Suharto. Banyak swasta domestik yang beradaptasi dengan demokratisasi dan menjadi pemain penting dalam sistem ini, khususnya dalam hal melanggengkan patronase lewat skema money politics, baik untuk pemilihan nasional maupun lokal. Lippo Group merupakan satu diantara

Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi-Politik Indonesia Pasca Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2005) 38 Ibid.

Di sisi lain, ekspansi swasta domestik Indonesia ke luar negeri bukannya tidak ada. Sejumlah pengusaha swasta memilih untuk melebarkan sayap ke pasar regional dan internasional, dengan harapan untuk mendiversifikasi resiko. Jika Indonesia mengalami krisis, maka perusahaan-perusahaan ini masih bisa bertahan lewat sayap bisnisnya di luar negeri. Salim Group merupakan salah satu swasta domestik yang kini bermain di pasar internasional. Pada tahun 1997, 35 persen bisnisnya telah berada di luar negeri terutama di Singapura

dan Hongkong. 40 Meski demikian, Salim Group juga mengembangkan sayap ke negara-negara berkembang, seperti dengan membeli Philippine Long Distance

Telephone dan real estate ventures di Filipina serta membangun industri pengolahan makanan dan properti di Tiongkok. 41 Lewat salah satu anak

perusahaannya, Indofood, Salim Group juga telah hadir di Afrika, misalnya di Nigeria. Poin penting yang muncul disini adalah perusahaan-perusahaan ini berekspansi tanpa ada koordinasi atau dukungan negara di belakangnya. Pilihan tersebut muncul sebagai pilihan bisnis semata. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga diketahui memfasilitasi pengusaha-pengusaha Indonesia ke kawasan Afrika dengan mendirikan pusat promosi dagang House

of Indonesia di Johannesburg, Afrika Selatan dan Harare, Zimbabwe. 42 Pusat promosi ini dibangun dan dijalankan sepenuhnya oleh swasta.

Di sisi lain, pemerintah sendiri tampaknya memang kurang maksimal dalam memfasilitasi agenda diplomasi ekonomi ini. Berbagai program pelatihan yang Indonesia tawarkan dalam KSS sebenarnya punya potensi besar untuk diteruskan dalam kerjasama perdagangan dan investasi. Herliantin, Kepala Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singasari, Malang Jawa Timur, menyampaikan bahwa banyak sekali peserta pelatihan yang belajar di institusinya yang berminat membeli produk-produk inseminasi buatan dari

BBIB. 43 Hanya saja, walaupun minatnya sudah ada, institusinya mengalami kesulitan dalam melakukan promosi, sehingga peluang bisnis tersebut akhirnya

tidak tercapai. BBIB pun masih kesulitan memasarkan produknya ke negara- negara Selatan lain. Kondisi seperti ini juga diakui oleh Tri Mumpuni, Direktur

Christian Chua, Chinese Big Business in Indonesia: The State of Capital (London & New York: Routledge, 2008), hlm. 100-104

40 Ibid. 41 Ibid. 42 Hadi, et.al., Op. Cit., hlm. 120

43 Herliantin, Kepala Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singasari, Malang, Jawa Timur, dalam Rapat Kick-off Penelitian Arah Kebijakan Indonesia dalam Kerjasama Selatan-Selatan,

pada tanggal 28 Januari 2010, di kantor Bappenas, Jakarta

Institut Bisnis Ekonomi dan Kerakyatan (IBEKA). Pemerintah Indonesia cenderung melihat KSS sebagai proyek semata tanpa ada follow-up atau

keberlanjutan. 44 Pemerintah biasanya tidak menjalankan monitoring and evaluation, apalagi tindakan lanjutan berupa kerjasama perdagangan dan

investasi. 45 Sementara itu, seorang peneliti CSIS menyatakan bahwa tampaknya memang ada keengganan dari sisi pemerintah, khususnya

Kementerian Luar Negeri, untuk mengaitkan KSS dengan diplomasi ekonomi. 46 Pemerintah ingin mempertahankan citra positif Indonesia yang membantu

negara-negara berkembang dengan tulus tanpa ada agenda apapun. Model Tiongkok dipandang sebagai model yang kurang baik karena dianggap mengambil keuntungan dari sesama negara Selatan. Dengan kondisi tersebut, tidaklah mengherankan bahwa, baik swasta domestik maupun pemerintah, akhirnya tidak berkoordinasi satu sama lain dan membuat agenda diplomasi ekonomi menjadi tidak relevan.