Keuntungan Ekonomi

B. Keuntungan Ekonomi

Pasca ditetapkannya Batik sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia milik Indonesia (Intangible Cultural Heritage of Humanity) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tanggal 2 oktober 2009, keuntungan Indonesia dari ekspor batik sangat besar. Mulai dari tahun 2010-2014 bisa dikatakan sebagai periode meningkatnya ekspor batik Indonesia. Berikut ini adalah data nilai ekspor batik Indonesia sejak tahun 2010- 2014:

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Berdasarkan pada tabel diatas dapat diketahui bahwa ekspor batik Indonesia mulai dari tahun 2010-2014 mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dilihat dari tabel diatas maka nilai ekspor batik Indonesia pada tahun 2010 adalah 22 juta USD yang meningkat menjadi 340 juta USD pada tahun 2014. Artinya dalam lima tahun terakhir nilai ekspor batik nasional Indonesia tumbuh sebesar 1445% (Hidayat, 2015).

Secara umum jika dianalisisi berdasarkan data diatas maka dapat diketahui bahwa ekspor batik Indonesia yang meningkat sebesar 1445% tersebut terjadi sebelum diberlakukannya MEA maka dapat dikalkulasi menurut penulis nilai ekspor batik Indonesia pasca diberlakukannya MEA yang akan semakin besar.

Optimisme bahwa batik Indonesia akan menjadi ―raja‖ di era MEA ini diamini oleh Thomas Lembong, eks menteri perdagangan di era Jokowi yang sejak bulan Juli 2016 menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Ia menyebutkan bahwa batik akan menjadi primadona ketika

MEA berlangsung alasannya menurut beliau karena telah terjadi pergeseran tren dimana produk-produk unik semakin diincar termasuk batik (Afriyadi, 2015).

Thomas Lembong menyebutkan bahwa dipasar internasional saat ini kecenderungan menunjukkan bahwa peminat barang yang diproduksi sedikit dan eksklusif meningkat sangat drastis. Berkenaan dengan hal tersebut maka batik memiliki potensi untuk menjadi barang primadona karena produksinya yang tidak dalam konteks manufaktur massal dan bentuknya yang unik (Afriyadi, 2015).

Data dari Kementerian Perindustrian juga menunjukkan bahwa ada peningkatan ekspor batik sebelum dan sesudah diberlakukannya MEA antara lain yaitu jumlah unit usaha batik selama lima tahun sejak 2011 hingga 2015 tumbuh 14,7% dari 41.623 unit menjadi 47.755 unit. Tenaga kerja pun sama, selama 2011-2015 tumbuh 14,7% dari 173.829 orang menjadi 199.444 orang (Pujiastuti, 2015).

Hal yang sama terjadi pada nilai pembelian bahan baku yang meningkat 12,8% dari tahun 2011 senilai Rp 4,137 triliun menjadi Rp 4,746 triliun pada tahun 2015. Nilai tambah batik tumbuh 14,7% dari tahun 2011 senilai Rp 1,909 triliun menjadi Rp 2,191 triliun. Berdasarkan pada tabel diatas dapat diketahui bahwa ekspor batik Indonesia mulai dari tahun 2010-2014 mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dilihat dari tabel diatas maka nilai ekspor batik Indonesia pada tahun 2010 adalah 22 juta USD yang meningkat menjadi

340 juta USD pada tahun 2014. Artinya dalam lima tahun terakhir nilai ekspor batik nasional Indonesia tumbuh sebesar 1445% (Hidayat, 2015).

Secara umum jika dianalisisi berdasarkan data diatas maka dapat diketahui bahwa ekspor batik Indonesia yang meningkat sebesar 1445% tersebut terjadi sebelum diberlakukannya MEA maka dapat dikalkulasi menurut penulis nilai ekspor batik Indonesia pasca diberlakukannya MEA yang akan semakin besar.

Optimisme bahwa batik Indonesia akan menjadi ―raja‖ di era MEA ini diamini oleh Thomas Lembong, eks menteri perdagangan di era Jokowi yang sejak bulan Juli 2016 menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Ia menyebutkan bahwa batik akan menjadi primadona ketika MEA berlangsung alasannya menurut beliau karena telah terjadi pergeseran tren dimana produk-produk unik semakin diincar termasuk batik (Afriyadi, 2015).

Thomas Lembong menyebutkan bahwa dipasar internasional saat ini kecenderungan menunjukkan bahwa peminat barang yang diproduksi sedikit dan eksklusif meningkat sangat drastis. Berkenaan dengan hal tersebut maka batik memiliki potensi untuk menjadi barang primadona karena produksinya yang tidak dalam konteks manufaktur massal dan bentuknya yang unik (Afriyadi, 2015).

Data dari Kementerian Perindustrian juga menunjukkan bahwa ada peningkatan ekspor batik sebelum dan sesudah diberlakukannya MEA antara lain yaitu jumlah unit usaha batik selama lima tahun sejak 2011 hingga 2015 tumbuh 14,7% dari 41.623 unit menjadi 47.755 unit. Tenaga kerja pun sama, selama 2011-2015 tumbuh 14,7% dari 173.829 orang menjadi 199.444 orang (Pujiastuti, 2015)

Hal yang sama terjadi pada nilai pembelian bahan baku yang meningkat 12,8% dari tahun 2011 senilai Rp 4,137 triliun menjadi Rp 4,746 triliun pada tahun 2015. Nilai tambah batik tumbuh 14,7% dari tahun 2011 senilai Rp 1,909 triliun menjadi Rp 2,191 triliun. Peminat batik dari mancanegara yang meningkat pun tercermin dari nilai ekspor batik yang naik 14,7% dari tahun 2011 senilai Rp 43,96 triliun menjadi Rp 50,44 triliun pada 2015 (Pujiastuti, 2015).