Mengejar Generasi Dinamis
Mengejar Generasi Dinamis
Salah satu usaha meningkatkan angka partisipasi politik adalah dengan mendekati kaum muda melalui dunia mereka. Direktur Riset Charta Politica, Yunarto Wijaya, mengatakan, anak-anak muda sekarang masih bisa diberi pemahaman mengenai politik yang baru. Pola pikir mereka lebih terbuka. Pendekatan kepada mereka harus menggunakan pendekatan yang komunikatif, menggunakan gaya bahasa mereka, dan harus dua arah. Penetrasi nilai-nilai pada mereka harus melalui komunitas di mana mereka berada, tidak bisa per individu.
Dalam konteks budaya berdemokrasi di negeri ini, mereka, generasi
Meninjau Peran ”Kaum Gadget”
pemegang gadget, adalah para pemilih pemula yang jumlahnya sekitar
80 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010) dari total pemilih yang mencapai angka 180 juta jiwa. Sebagai penguasa tlatah maya, mereka mengisi ruang publik di media sosial dengan berbagai komentar pedas dan lekas. Apa yang mencuri perhatian di masyarakat, akan menjadi perhatian mereka segera. Selanjutnya, berbagai tanggapan dan kritik mereka salurkan dengan bergegas, tanpa beban dan ringan. Secara biologis, mereka adalah anak dari orang tuanya masing-masing. Tetapi secara ideologis, mereka adalah anak kandung media sosial. Sebagai anak kandung media sosial, mereka siap merespon apa saja yang terjadi. Segala hal yang menciptakan kekaguman, kegembiraan, dan euforia mereka akrabi dengan riang. Tak terkecuali isu politik yang dilakoni oleh generasi sebelumnya. Secara ideologis, mereka ini tidak memiliki beban psikologis untuk mengkritisi. Lahir setelah rezim Orde Baru tumbang adalah salah satu penyebabnya.
Di balik sekadar julukan generasi “juru sorak” di dunia sosial- politik, generasi ini bisa dengan tajam mem-bully politikus tak becus. Sebaliknya, menjunjung tinggi-tinggi pemimpin yang mereka anggap baik. Kritikan dan pujian mereka sejatinya tidak memiliki tekanan politik apapun. Karena itu, mereka sangat dinamis, mudah berpindah sari satu isu ke isu lainnya tanpa mengingat lagi apa yang telah mereka lontarkan pada isu sebelumnya.
Pemikir sosial dan kebudayaan Yasraf Amir Piliang mengatakan, perlu strategi mencuri perhatian atau seduksi tanpa jeda berupa aneka bentuk penampakan luar dan permainan tanda untuk memikat generasi ini. Karena generasi ini sangat dinamis, yaitu: sangat cair, labil, mudah berpindah, dan bergerak cepat. Pergerakan mereka, cenderung linier dan reformis ke arah yang lebih baik dan mapan. Yang paling penting bagi penyelenggara negara untuk mematangkan demokrasi kita atas fenomena generasi demokrasi digital ini, adalah masuk ke dunia mereka, memahami mereka secara utuh, dan menjaga perasaan serta kesetiaan mereka.
Masuk ke dalam dunia mereka bukan hanya berarti ikut-ikutan membuat akun di sosial media, tetapi lebih kepada esensinya, yaitu ungkapan-ungkapan dan aspirasi yang disampaikan oleh generasi
Kaum Muda dan Budaya Demokrasi
muda mampu diambil dan diendapkan dengan baik oleh para pembuat kebijakan. Pemerintah juga secara proaktif memberikan respon balik dengan bahasa yang penuh wibawa dan sarat akan pengertian yang baik pula. Ketika interaksi ini terjadi secara berulang-ulang, maka pemerintah akan mampu memikat hati sang generasi muda karena mereka telah dipahami secara utuh. Bukan dari segi tata bahasa yang digunakan, melainkan lebih kepada inti pesan yang disampaikan. Ketika “jatuh hati” antara generasi muda dan sang penyelenggara negara telah terpaut, maka tugas dari pemerintah adalah menjaga kesetiaan dan perasaan mereka.
Tengok saja aksi empati yang digelar di dunia maya melalui media sosial tentang Save KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Pada awalnya, dukungan untuk mendukung KPK dalam edisi “Cicak vs Buaya” itu hanya gencar di dunia maya. Pada akhirnya, kekuatan itu muncul sebagai kekuatan nyata di dunia riil untuk menyelamatkan KPK. Ingatlah kita juga pada keberhasilan Joko ‘Jokowi’ Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dalam meraih DKI 1 dan 2. Mereka secara cerdas mampu mengorganisir kekuatan di media sosial yang pada akhirnya juga mengantarkan mereka pada keunggulan di pertarungan nyata.
Untuk tetap mendapat dukungan dari generasi yang jumlahnya menggoda ini, yang diperlukan pemerintah adalah pendekatan yang bijak. Bukan malah menggunakan pendekatan yang cenderung represif dan dimusuhi. Selanjutnya, segala kepentingan demokrasi yang berinti pada terbukanya akses aspirasi warga negara dapat menjadi salah satu pintu untuk membentuk masyarakat informasi yang cerdas, karena mereka telah dididik secara tak langsung oleh masyarakat sendiri. Nantinya, Anggota legislatif, praktisi eksekutif, dan aparat yudikatif akan terseleksi secara bijak. Mereka yang terpilih adalah mereka yang memang layak karena pemilih yang bijak pula melalui digitalisasi demokrasi ini.
Pada akhirnya, upaya menegakkan dan mematangkan budaya dalam berdemokrasi kita akan menemui optimisme. Melalui digitalisasi demokrasi yang dijalankan penuh oleh kaum gadget dan direspon secara apik oleh generasi senior, demokrasi kita akan
Meninjau Peran ”Kaum Gadget”
terbantu untuk lebih matang dan penuh kesantunan karena berbagai aspirasi dari bawah dan apapun bentuknya aspirasi tersebut akan dapat terakomodasi dengan baik (bottom-up democracy). Sehingga mengendap sempurna di meja-meja pemangku pengambil kebijakan untuk kebaikan bangsa dan negara ini.
Datar Pustaka
BPS Indonesia. 2014. “Jumlah Penduduk Indonesia tahun
1 9 7 1 - 2 0 1 0 ”. h t t p : / / w w w . b p s . g o . i d / t a b _ s u b / v i e w . php?kat=1&tabel=1&datar=1&id_subyek=12¬ab=1. Diakses Mei 2014.
Leksono, Ninok. 2014. Mengintip Menu Presiden Mendatang, Menatap Indonesia 2014. Jakarta: Kompas.
Sadikin, Amir dan Nina Susilo. 2014. Merawat Benih Pendorong Perubahan. Menatap Indonesia. Jakarta: Kompas.
Wijaya, Yunarto dan Ramlan Subakti. 2014. “Mengejar dengan Lekas dan Bergegas”, dalam Menatap Indonesia 2014. Jakarta: Kompas.
Restorasi Budaya Demokrasi Bangsa