Masyarakat Informasi dan Concerned Citizen

Masyarakat Informasi dan Concerned Citizen

Sebagai salah satu dari 77 juta jiwa di atas, geli hati penulis setiap menyaksikan budaya berdebat antar-kontestan setiap akan diselenggarakannya kontestasi pemilihan umum. Masing-masing calon cukup percaya diri ketika berdiri di belakang mimbar debat hanya karena mereka telah membawa banyak data. Calon petahana

Meninjau Peran ”Kaum Gadget”

percaya diri karena telah membawa data keberhasilannya, sedangkan calon nonpetahana percaya diri dengan data kegagalan program dari si calon petahana. Kejadian-kejadian, program-program, dan sejumlah birokrasi yang telah ditata pada akhirnya secara sistematis menjadi sebuah rangkaian datum. Rangkaian datum tersebut ujung-ujungnya menjadi data. Namun, data-data itu belum menjadi sebuah informasi, karena belum dikelola bersama ilmu pengetahuan. Budayawan Sujiwo Tedjo dalam Dalang Galau Ngetweet menerangkan, maka jangan bangga dengan predikat bahwa kita adalah masyarakat informasi. Jangan-jangan kita masih menjadi masyarakat data.

Setiap hari kita dimanjakan oleh miliaran data dari industri telematika tanpa kita dapat melahirkan keputusan dan pendapat apapun atas dasar timbunan data itu. Hanya pemimpin yang bijak dapat mengubah rangkaian data menjadi sebuah informasi karena ia telah mengelolanya bersama pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tentu kemampuan mengelola ini tak hanya pemimpin saja yang harus memiliki, rakyat pun harus memiliki. Maka, agenda demokrasi kita salah satunya adalah membangun sebuah masyarakat informasi yang intelek.

Masyarakat yang mampu menerjemahkan data menjadi informasi, pada ujungnya akan melahirkan sebuah concerned citizen, yaitu masyarakat yang peduli. Masyarakat yang peduli bukan dalam artian untuk mereka yang rajin mengkritik sembarangan, mencemooh dan menjelek-jelekkan pemerintah, tetapi concerned citizen di sini adalah mereka yang secara proaktif mengingatkan rezim yang keblinger dengan pendekatan sosial-budaya-politik yang santun tapi kritis dan memuliakan pemimpin yang memang patut dipuji.

Singkatnya, semua itu demi sebuah kesadaran bersama bahwa berdemokrasi dan berpolitik itu sejatinya adalah dalam rangka berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, setiap orang tak peduli ia raja, menteri, gubernur, jenderal, buruh tani, pedagang, atau tukang sayur secara kompak dan gotong royong turut berkontribusi untuk meletakkan unsur-unsur peradaban bangsa. Masyarakat yang dicerdaskan oleh era digital demokrasi ini didominasi oleh kalangan muda yang cenderung reformis dan linier. Tugas mereka sejatinya

Kaum Muda dan Budaya Demokrasi

bukan hanya aktif mengkritisi kebijakan saja, tetapi sebenarnya mereka juga punya kewajiban untuk turut mendidik masyarakat lainnya yang cenderung sinis, apatis, dan buta informasi terhadap warna-warni perpolitikan.

Orang-orang yang apatis ini sebenarnya adalah juga pemegang era gadget, pun masuk dalam dunia sosial-politik yang sarat akan hiruk pikuk. Mereka bukan termarjinalkan karena sosial-budaya- politiknya tidak diakui oleh negara, tetapi mereka lebih memilih tutup mata, tutup telinga, dan tutup mulut soal itu semua. Parahnya, jika tidak dibukakan mata batinnya oleh era digitalisasi demokrasi ini, mereka juga akan tutup tangan untuk turut membantu menyukseskan kematangan demokrasi kita. Pada akhirnya, agenda untuk memajukan bangsa dan negara juga menjadi terhambat.

Dari generasi yang apatis itu, terbukti dari jumlah angka golongan putih (golput) atau tidak memilih dari pemilu ke pemilu yang semakin meningkat. Angka golput ini didominasi oleh kaum muda. Secara kualitatif, golput yang merebak adalah karena alasan apatis, bukan apolitis maupun administratif. Golput karena apatis ini cukup membahayakan bagi kematangan demokrasi kita. Melihat angka golput pada pemilu 2004 (23,34%) dan pemilu 2009 (39,10%), kurang pas rasanya mengatakan bahwa Partai Golkar dan Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu pada 2004 dan 2009 tersebut.