Politeness Berpolitik

Politeness Berpolitik

Indonesia terkenal dengan kesantunannya (politeness) dalam berinteraksi sosial dengan sesamanya. Namun, nyatanya kesantunan ini semakin hari semakin tergerus zaman. Hal ini bisa diteliti pada sikap para pemangku pemilu saat pra-pemilu dan pasca-pemilu. Pada pra- pemilu, para calon legislatif berlomba mengadakan kampanye. Ketika kampanye dikumandangkan, norma kesopanan sering terbaikan. Para juru kampanye dengan lantang membentangkan keburukan, kekurangan, dan aib partai lain sebagai strategi menjatuhkan lawan politik demi keuntungan pribadi atau partainya. Kebusukan demi kebusukan partai lawan politik satu per satu dibongkar dan dilucuti di hadapan publik. Sindiran dan makian pedas terlontar tanpa saringan. Kegagalan partai politik yang tengah berkuasa menjadi sembako politik yang dibagikan gratis kepada calon pemilih. Maraknya kasus- kasus yang melibatkan elit politik dan pucuk pimpinan partai lain pun dikuliti tanpa tedeng aling-aling. Isu dan info yang menjadi isi kampanye diharapkan membentuk opini yang menyublim di hati dan pikiran khalayak masyarakat. Dari upaya ini, masyarakat diharapkan

Kaum Muda dan Budaya Demokrasi

akan melek dan dapat melogiskan isu yang disampaikan lalu dengan kemantapan hati mereka mendukung calon legislatif dan atau partai yang diusung juru kampanye. Pada saat inilah adab tercela, moral rendah merupakan menu murahan yang dipersembahkan kepada publik. Dengan title penuh ketidakpercayaan dan meremehkan kekuatan lawan politik, masyarakat secara terang-terangan disuguhi tontonan politik kotor yang tidak sehat. Intrik politik busuk secara konkret diperagakan secara reaktif di atas panggung politik merupakan virus yang meracuni hati dan kesantunan (politeness) berpolitik bangsa Indonesia. Padahal, aksi intrik politik itu jelas-jelas mencederai peradaban Indonesia yang unggul dan adiluhung.

Sebuah momen yang melibatkan massa yang luar biasa masif yang seharusnya diisi dengan nutrisi menu kegiatan yang lebih “menyehatkan”, dan terlaksana dalam hidangan kegiatan kampanye. Kegiatan kampanye yang menyerap dana miliaran itu tidak diisi dengan edukasi politik yang dapat menguatkan kognisi para pemilih calon-calon legislatif. Substansi kampanye tidak menekankan pada visi dan misi partai politik yang seharusnya sampai dan dipahami dengan benar oleh calon pemilih. Sayang, materi semacam itu masih kalah bersaing dengan isu negatif yang lebih dekat kepada itnah daripada realitanya. Para juru kampanye tidak mempunyai kekuatan dan rasa percaya diri untuk memenangkan pertarungan isu positif yang merupakan karakter diri dan platform partai yang mesti dihidangkan ke publik. Para juru kampanye lebih digdaya menyajikan isu negatif yang ironis pula lebih diminati masyarakat.

Pada pascapemilu, tragedi ‘pembunuhan’ moral terus berlanjut. Calon-calon yang merasa dirinya menang berdasarkan hasil penghitungan quick count yang sejatinya masih berstatus calon pemenang mulai pongah dan sombong. Mereka bak anggota DPR yang sudah dilantik. Mereka mulai berlenggak-lenggok di depan rakyat pemilihnya dan mulai melepas satu per satu janji politiknya. Antara politisi yang satu dengan yang lain, meski masih dalam satu partai, juga berseteru memperebutkan kursi dan jabatan. Mereka melukai dan mengkhianati konstituen pemilihnya. Perseteruan internal dalam tubuh PPP, PKB, dan Golkar merupakan sedikit bukti konkret yang

Demokrasi dan Komunitas Piara Burung Puyuh

semua orang menyaksikannya. Sejatinya perseteruan itu telah melukai hati rakyat yang telah menyematkan kepercayaan untuk dijaga dan diperjuangkan.

Hingga kini, menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, badai itnah berhembus dari segala arah. Setiap saat kita bisa baca di koran atau kita saksikan di media televisi, kelompok pengusung capres/cawapres mulai menebar virus kebobrokan capres/cawapres lainnya. Para pengusung saling menyerang dengan senjata yang beramunisi kejelekan calon lainnya. Isu agama, ras, dan keturunan dipolitisasi. Tragedi lumpur Lapindo yang menyengsarakan rakyat di Jawa Timur diungkap lagi. Bahkan Peristiwa Trisakti yang terjadi enam belas tahun silam diungkit kembali. Jadi, intrik politik saling hujat dan saling itnah ‘dilegalkan’ untuk menjegal lawan atau saingan. Demi tercapainya tujuan, berbagai cara keji ‘dihalalkan’ dan dijadikan senjata agar lawan politik tidak berdaya apalagi berkuasa. Padahal, tindakan seperti itu merupakan pendangkalan keadaban terhadap nilai moral dan nilai demokrasi yang secara tanpa disadari sedang diwariskan kepada generasi muda, calon pelanjut estafet kepemimpinan bangsa.

Berbagai praktik berkampanye yang impoliteness di atas telah menodai kepercayaan yang dimandatkan rakyat kepada para politisi dan elit partai. Ketidaksantunan prapemilu dan pascapemilu yang dipentaskan para elit politik telah membuat lubang di hati rakyat. Ketidakpercayaan dan kemuakan telah menggenang dan memenuhi lubuk hati. Rakyat pun mencari pelarian sekaligus hiburan pelipur lara. Berdasarkan persepsi dan apresiasi terhadap peristiwa politik yang sengaja dibangun petinggi partai, rakyat berspora membentuk komunitas sebagai bentuk protes bahwa rakyat lemah dan tertindas masih mempunyai harapan, yakni pengakuan keberadaan mereka (eksistensi menurut teori Maslow) yang merupakan kebutuhan. Salah satu bentuk koloni yang terbangun di Pulau Lombok adalah Komunitas Piara Burung Puyuh.

Kaum Muda dan Budaya Demokrasi