Pemerintahan Mutawakkil

1. Pemerintahan Mutawakkil

Mutawakkil memegang tampuk kekuasaan dan kerajaan pada tahun 232 Hijriah. Pada tahun ini juga Imam Abu Muhammad as. dilahirkan. Jiwa Mutawakkil dipenuhi oleh kebencian dan permusuhan yang dahsyat terhadap para Bani Ali as. Mereka mengalami berbagai ragam kezaliman dan kelaliman pada masa ia berkuasa yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Pada kesempatan ini, kami akan memaparkan sebagian sisi kehidupan Mutawakkil.

a. Hidup Berfoya-foya Mutawakkil menjalani hidupnya dengan bergelimang kesia-siaan dan ia tidak sedikit pun pernah memiliki keinginan untuk hidup serius. Seluruh kehidupannya diwarnai oleh foya-foya dan pesta-pora. Para ahli sejarah menegaskan bahwa tak seorang pun dari para raja dinasti Bani Abbâsiyah yang melakukan foya-foya dan pesta pora seperti yang pernah dilakukan oleh Mutawakkil.

Di antara contoh-contoh kehidupannya yang tak berarti itu adalah peristiwa berikut ini: Pada suatu hari ia pernah berkata kepada Abul ‗Anbâs: ―Ceritakanlah kepadaku tentang keledaimu dan kematiannya, serta apakah syair yang telah ia senandungkan untukmu di alam mimpi?‖

1 Ibid., hal. 276.

Abul ‗Anbâs berkata: ―Ya, wahai Amirul Mukminin. Keledai itu adalah lebih berakal dari para hakim negara. Ia tidak pernah melakukan tindak kriminalitas dan tidak juga kesalahan. Pada suatu hari, ia tertimpa penyakit secara tiba-tiba dan mati. Setelah itu, aku melihatnya di alam mimpi, sebagaimana orang-orang lain bermimpi. Aku bertanya kepadanya, ‗Aduhai keledai kesayanganku, bukankah aku telah menyediakan air yang sejuk untukmu, bukankah aku telah membersihkan untaian gandum bagimu, dan bukankah aku telah berusaha keras untuk keselamatanmu? Lalu, mengapa engkau mati secara tiba- tiba? Bagaimana kondisimu?‘

Keledai itu menja wab, ‗Ya. Pada suatu hari, ketika engkau sedang berbicara dengan seorang penjual obat di sebuah toko obat, seekor keledai betina lewat melintasiku. Aku melihatnya dan ia berhasil merenggut seluruh kalbuku. Aku pun mencintainya dan kerinduanku kepadanya tak tertahankan. Karena kerinduan (tak terpenuhi itu), aku mati gigit jari.‘

Aku bertanya kepadanya, ‗Apakah engkau melantunkan bait syair pada saat itu?‘ ‗Ya,‘ jawabnya pendek. Lalu ia membacakan syair berikut ini untukku:

Hatiku terjerat oleh seekor keledai betina di depan pintu toko penjual obat. Ketika kita keluar, ia jebak kalbuku dengan susunan giginya yang indah. Dan dengan kedua pahanya yang lembut dan panjang bak Syanqarânî. Dengan itu aku mati; seandainya aku hidup, niscaya panjanglah hinaku.

Aku ber tanya lagi, ‗Aduhai keledai kesayanganku, apakah Syanqarânî itu?‘ Ia menjawab, ‗Syanqarânî adalah keledai yang ajaib.‘‖ Mendengar ini, Mutawakkil pun terbang melayang. Lantas, ia memerintahkan

para penyanyi untuk melantunkan bait-bait syair keledai itu untuk dirinya. Ia sangat berbahagia pada saat itu tiada taranya, dan ia tidak pernah sebahagia hari itu. Ia

menambahkan hadiah yang berlipat ganda kepada Abul 1 ‗Anbâs. Celakalah zaman dan berantakanlah masa! Apakah orang yang selalu beroya-foya

seperti ini layak menjadi penguasa muslimin, sementara itu Abu Muhammad Hasan Al- ‗Askarî as. dihengkangkan dari kekuasaan?

Mutawakkil selalu hidup bergelimangan dalam foya-foya dan pesta-pora. 2 Ia memiliki dua orang budak yang memiliki keahlian dalam bidang menyanyi dan bermain

musik. Mereka tidak pernah berpisah darinya. Salah seorang dari kedua budak itu memetik kecapi dan yang lain meniup seruling untuknya. Ia tidak memasuki arena minum-minuman keras kecuali dengan mendengar permainan musik mereka berdua. 3

Mutawakkil memiliki lima ribu orang sahaya. Menurut sebuah riwayat, ia telah menyetubuhi mereka semua. Sebagian orang dekatnya pernah berkata : ―Sumpah demi Allah, seandainya Mutawakkil tidak dibunuh, ia tidak akan hidup (lama) lantaran sering

melakuan hubungan badan. 4 ‖ Orang-orang dekat Mutawakkil senantiasa berusaha mengadakan pendekatan

dengannya dengan memberikan hadiah sahaya-sahaya yang menawan dan khamar- khamar yang murni. Fath bin Khâqân pernah menghadiahkan seorang sahaya yang sangat cantik dan menawan, dua buah periuk yang terbuat dari emas, dan mangkok besar yang terbuat dari kaca blour dan penuh berisi khamar murni yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Fath menghadiahkan semua itu ketika Mutawakkil baru sembuh dari sebuah penyakit yang dideritanya. Bersama hadiah-hadiah itu, Fath juga menulis sebuah bait syair berikut ini:

Jika imam keluar dari renggutan penyakit dan memperoleh keselamatan dan kesembuhan,

1 Murûj Adz-Dzahab, jilid 4, hal. 43. 2 Baina Al-

3 Khulafâ‟ wa Al-Khula„â‟ fi Al-„Ashr Al-Abbâsî, hal. 115. Tsimâr Al-Qulûb, hal. 123. 4 Mir‟âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 69.

tiada obat penyembuh baginya kecuali khamar yang tertuang dalam periuk yang indah menawan, dan mata cincin yang baginya dihadiahkan. Dan semua itu sangat jitu untuk setelah sakit menahan. Mutawakkil tertarik dan tertambat hati kepada bait-bait syair itu. Pada waktu itu,

Yuhannâ bin Mâsûyeh, dokter pribadinya sedang duduk di sampingnya. Yuhannâ berkata kepadanya : ―Demi Allah, Fath lebih mahir dalam ilmu kedokteran daripada aku. Oleh karena itu, jangan paduka tentang sarannya.‖ 1

Kami telah menyebutkan foya-foya dan pesta fora Mutawakkil dalam buku kami yang berjudul Hayâh Al-Imam Hasan Al- „Askarî as. Jika pembaca budiman berkenaan, silakan rujuk.

b. Melakukan Maksiat Secara Terang-Terangan Mutawakkil selalu melakukan dosa dan maksiat secara terang-terangan, dan ia tidak pernah malu kepada masyarakat. Pada suatu hari, Hakim Ahmad bin Dâwûd pernah meminta izin untuk berjumpa dengannya. Pada waktu itu, Mutawakkil sedang bermain judi. Fath bin Khâqân ingin untuk mengumpulkan alat permainan judi itu dan Mutawakkil melarangnya seraya berkata : ―Apakah aku berbuat sesuatu terhadap Allah secara terang-terangan, lalu kututup-tutupi dari mata hamba-hamba- 2 Nya?‖

Tindak mengikuti hawa nafsu yang selalu dilakukannya itu telah melampaui batas sehingga para teman minumnya bermain catur di hadapannya 3 dan ia tidak pernah

melarang mereka. Di antara tindakan hewaninya ini adalah ia pernah meminta supaya istrinya, Rabthah bin Ghubais melepas kerudung dan menggelung rambutnya layaknya

dayang-dayang istana. Sang istri menolak dan Mutawakkil menceraikannya. 4 Ia tidak pernah berharap kewibawaan kepada Allah dan juga tidak pernah mengindahkan syiar-

syiar Islam.

c. Tindakan Terhadap Bani Ali Salah satu karakter yang bersifat substantif dalam diri Mutawakkil adalah kebenciannya yang dahsyat kepada Bani Ali as. Ia telah mengerahkan segala upaya dan usahanya untuk menzalimi dan menumpahkan darah mereka. Ia juga pernah memberlakukan embargo ekonomi atas mereka. Ia melarang segala jenis dan bentuk bantuan ekonomi dan kebajikan kepada mereka. Jika ia mendengar seseorang berbuat kebajikan kepada mereka, ia tidak segan-segan menyiksanya dan mewajibkan ia membayar denda yang

sangat berat. 5 Muslimin pun enggan untuk mengadakan segala jenis hubungan dengan mereka lantaran takut terhadap siksa yang telah ditentukan oleh sang lalim ini.

Dunia telah menjadi sempit bagi kaum Bani Ali as. Kesengsaraan dan kemiskinan mereka telah sampai pada suatu batas di mana satu gamis digunakan oleh kaum wanita mereka untuk mengerjakan salat secara bergantian. Setelah itu, mereka menambal pakaian-pakaian mereka yang robek dan duduk di atas alat-alat pemintal kain dalam

kondisi telanjang menyedihkan. 6 Padahal sang lalim itu mengeluarkan berjuta-juta dinar emas (untuk berfoya-foya) di malam-malam kelamnya dan memberikan uang yang tak

terkira jumlahnya kepada para penyanyi dan penari. Sementara itu, ia mengharamkan sepoton roti untuk keturunan Rasulullah saw.

d. Kebencian Terhadap Amirul Mukminin

1 Dâ‟irah Ma„ârif Al-Qarn Al-„Isyrin, jilid 10, hal. 964. 2 Zuhar Al-Adab, jilid 4, hal. 3. 3 Baina Al- Khulafâ‟ wa Al-Khula„â‟ fi Al-„Ashr Al-Abbâsî, hal. 108.

4 Mir‟âh Az-Zamân, jilid 6, hal. 169. 5 Maqâtil Ath-Thâlibiyyîn, hal. 579. 6 Ibid., hal. 599.

Mutawakkil sangat membenci Imam Amirul Mukminin Ali as., sang tokoh kebenaran dan keadilan di dalam dunia Islam itu. Sang lalim ini mengingkari keberadaannya. Pada suatu hari, ia menjadikan kera-kera piaraan dan kaki tangannya sebagai penari yang menari dengan gemulai, dan ia menyerupakan dirinya dengan Imam Amirul Mukminin as. yangnya sendiri adalah diri Rasulullah saw. dan pintu kota ilmunya. Tindakan ini membuat rasa ingin membela Muntashir —yang ia sendiri adalah salah seorang keturunan orang-orang berkemanusiaan —bangkit. Lalu, ia mengambil keputusan untuk membunuhnya.

e. Penghancuran Makan Suci Imam Husain Salah satu kejahatan paling buruk yang pernah dilakukan oleh Mutawakkil adalah penghancuran makam suci sang junjungan pemuda penduduk, Imam Husain as. Makam suci ini sangat dihormati oleh seluruh muslimin dan selalu dipenuhi oleh para peziarah, meskipun haluan pemikiran mereka berbeda-beda. Sedangkan, kuburan para raja dinasti Bani Abbâsiyah terletak di sampah-sampah bumi dan menjadi tempat anjing dan binatang-binatang buas lainnya berlindung. Realita ini menceritakan kezaliman dan kelaliman yang pernah mereka lakukan.

Ketika muslimin sendiri menolak untuk menghancurkan makam suci itu, Mutawakkil menyuruh beberapa orang Yahudi yang kotor untuk menghancurkannya. Mereka menghancurkan seluruh bangunan yang terdapat di sekeliling makam suci itu. Setelah itu, mereka mengalirkan air ke makam suci tersebut. Hanya saja, air itu tidak melahapnya. Ia hanya tergenang di sekitarnya. Oleh karena itu, makam suci itu dinamakan Al-Hâ ‟ir. Dari dalam makam suci itu keluar sebuah bau wangi yang masyarakat sekitar belum pernah mencium bebauan seharum itu ... Bau wangi itu adalah semerbak wangi risalah Islam, semerbak wangi kemuliaan dan kedermawanan.

Al-Jawâhirî menyenandungkan syair: Kucium makam sucimu lalu semerbak mewangi bertebaran, semerbak mewangi kemuliaan dari tanah tak berair. Muslimin marah besar terhadap Mutawakkil dan mencelanya pada setiap

pertemuan dan majelis mereka, serta berdoa demi kebinasaannya setiap kali mereka usai mengerjakan salat. Lebih dari itu, mereka juga menulis plakat-plakat yang berisi celaan atasnya di dinding-dinding bangunan dan rumah. Bait-bait syair berikut ini tersebar luas di kalangan masyarakat kala itu:

Demi Allah, jika Bani Umaiyah telah membantai putra dari putri Nabi secara zalim, Bani Abbâsiyah telah melakukan hal yang sama. Inilah makamnya dihancurkan, karena menyesal mengapa tidak andil membantainya. Lalu, mereka mengganyangnya setelah dimakamkan. 1

Pemerintahan dan raja-raja pun datang silih berganti. Akan tetapi, makam suci Syayidus Syuhada‟ as. tetap tegar dan kokoh berdiri dan akan tetap menjadi simbol, kebanggaan, dan kemuliaan bagi umat Islam. Makam suci ini telah berhasil memiliki tempat di dalam hati sanubari muslimin dan para peziarahnya melebihi para peziarah Baitullah Al-Haram.

f. Bersama Imam Al-Hâdî Pada pembahasan yang lalu, kami telah memaparkan peristiwa pemenjaraan dan penangkapan yang telah dialami oleh Imam Al-Hâdî as., serta pelarang harta zakat dan khumus para pengikut Syi‗ah untuk sampai ke tangannya. Pada waktu itu, Imam Al- ‗Askarî as. masih berusia belia. Sanubari dan perasaannya tersiksa dan terluka oleh

1 Hayâh Al-Imam Hasan Al- „Askarî as., hal. 202.

sikap-sikap keras yang telah diambil Mutawakkil untuk melawan Imam Al-Hâdî as. dan para pengikut Syi‗ah. Hal itu berlanjut hingga Allah membebaskan masyarakat dari jeratan penguasa lalim ini, dan pucuk pemerintahan pun berpindah ke tangan Muntashir Al-Abbâsî. Berikut ini penjelasan tentang penguasa yang satu ini.