Mutawakkil Menanyakan Siapakah Penyair Termahir?

g. Mutawakkil Menanyakan Siapakah Penyair Termahir?

Mutawakkil pernah bertanya kepada Ali bin Jahm tentang penyair termahir. Ali bin Jahm menyebutkan beberapa nama penyair yang pernah hidup pada masa jahiliah. Akan tetapi, Mutawakkil tidak tertarik dengan semua nama itu. Akhirnya, ia menoleh ke arah Imam Ali Al-Hâdî as. dan menanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Imam Al-

Hâdî as. menjawab 2 : ―Al-Humânî. Dalam sebuah syairnya ia pernah berkata, Sekelompok kaum Quraisy berbangga-bangga atas kami dengan jidad yang

lebar dan jari-jemari yang terbentang. Jika kami mengadu perang mulut dengan mereka, ia menangkan kami atas mereka dengan seruan syahadatain. Engkau lihat kami terdiam sedangkan saksi keutamaan kami atas mereka selalu mendengung di setiap perkumpulan. Sungguh Rasulullah Ahmad adalah kakek kami dan kami anak cucunya bak bintang gumintang yang cerlang. ‖ Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. seraya bertanya : ―Hai Abul

Hasan, apa yang dimaksud dengan nidâ 3 ‟ ash-shawâmi„ ?‖ Imam Al-Hâdî as. menjawab : ―Asyhadu an(l) lâ ilâha illallâh wa asyhadu anna

Muhammad(an) Rasulullah . Apakah Muhammad itu adalah kakekku atau kakekmu?‖ Sang lalim tersulut api amarah dan menjawab pertanyaannya ini dengan suara

gemetar sembari berkata 4 : ―Ia adalah kakekmu, dan kami tidak mengingkari hal ini.‖ Sang lalim mengingkari seluruh keutamaan Imam Ali Al-Hâdî as. dan jiwanya

terpenuhi oleh kebencian dan permusuhan atasnya. Oleh karena itu, ia melakukan beberapa tindakan berikut ini:

1. Menggeledah Rumah Imam Al-Hâdî as. Mutawakkil memerintahkan kekuatan militernya untuk menyerang rumah Imam Ali Al- Hâdî as. pada malam hari dan menahannya. Mereka menyerang rumahnya di pertengahan malam dan menemukannya sedang berada di dalam sebuah kamar yang tertutup. Pada saat itu, ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu dan duduk di atas pasir dan kerikil yang terhampar di atas lantai kamar itu dengan menghadap ke arah Kiblat sembari membaca firman Allah swt.: ―Apakah orang-orang yang berbuat

1 Mir‟âh Az-Zamân, jilid 9, hal. 553. 2 Al-Humânî adalah Yahyâ bin Abdul Hamid Al-Kûfî. Ia berpindah ke Baghdad dan meriwayatkan hadis di kota ini dari beberapa orang. Di antara mereka adalah Sufyân bin ‗Uyainah, Abu Bakar bin ‗Ayyâsy, dan Wakî‗. Hal ini dipaparkan oleh Al-Khathîb Al-Baghdâdî di dalam bukunya yang berjudul Târîkh Baghdad , dan ia menyebutkan beberapa hadis yang telah ia riwayatkan dari Yahyâ bin Mu‗în. Dalam komentarnya, Yahyâ bin Mu‗în berkata, ―Yahyâ bin Abdul Hamid Al-Humânî adalah orang yang jujur (Shadûq) dan terpercaya (tsiqah ).‖ Diriwayatkan bahwa Al-Humânî pernah berkata, ―Mu‗âwiyah meninggal dunia bukan atas dasar agama Islam.‖ Ia meninggal dunia di Samirra‘ pada tahun 228 Hijriah, dan ia adalah ahli hadis pertama yang meninggal dunia di kota ini. Silakan Anda rujuk Al-Kunâ wa Al- Alqâb , jilid 2, hal. 191.

3 Dalam teks asli syair tersebut disebutkan nidâ‟ ash-shawâmi„ dan kami menerjemahkannya dengan ―seruan syahadatain‖, lantaran mengambil ilham dari jawaban Imam Al-Hâdî as. ketika menjawab

pertanyaan Mutawakkil tersebut —pen. 4 Hayâh Al-Imam Ali Al-Hâdî as., hal. 241.

kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerajakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka it u.” (QS. Al-Jâtsiyah [45]:21)

Mereka membawa Imam Al-Hâdî as. ke hadapan Mutawakkil, sedangkan ia masih tetap dalam kondisi semula yang menggambarkan nilai spiritualitas para nabi as. itu dan Mutawakkil sedang duduk di depan hidangan khamar dalam kondisi mabuk sempoyongan. Ketika melihat Imam Al-Hâdî as., ia menawarkan segelas khamar kepadanya. Imam Al-Hâdî as. menghardiknya seraya berkata : ―Demi Allah, daging dan darahku tidak pernah dikotori oleh khamar untuk selamanya.‖

Mutawakkil menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. seraya berkata: ―Senandungkanlah syair untukku.‖ Imam Al-Hâdî as. menjawab : ―Aku tidak banyak meriwayatkan syair.‖ Sang lalim itu memaksa sembari berkata : ―Engkau harus menyenandungkan syair

untukku.‖ Imam Al-Hâdî as. tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengabulkan

permintaannya itu. Lalu, ia membacakan bait-bait syair menyedihkan berikut ini yang dapat merubah sang lalim yang sedang mabuk sempoyongan itu menjadi sedih dan menangis:

Mereka hidup di atas puncak kekuasaan dengan dikawal oleh pengawal- pengawal kuat, tapi puncak kekuasaan tak bermanfaat bagi mereka. Mereka diturunkan dari kedudukannya setelah beberapa saat merasa mulia, dan diletakkan di liang kuburan. Oh, alangkah jeleknya liang mereka. Sebuah suara menyeru mereka setelah mereka dikuburkan : “Manakah takhta, manakah pernik perhiasan, dan manakah gemerlap mahkota? Manakah wajah-wajah yang sebelumnya bergelimangan nikmat, yang seluruh kelambu dan tirai dibentangkan di hadapannya?” Liang kubur pun berbicara ketika ia mempertanyakan mereka : “Itulah wajah-wajah itu tengah digerayangi ulat-ulat berpesta-pora. Mereka telah banyak makan dan minum setelah beberapa masa, dan setelah berselang masa yang lama itu, mereka telah jadi mangsa.” Mutawakkil tersentak dan rasa mabuk pun sirna dari kepalanya. Ia kehilangan

kontrol dan menangis sesenggukan. Ia memerintahkan supaya gelas-gelas khamar itu disingkirkan dari hadapannya seraya menoleh ke arah Imam Al-Hâdî as. sembari bertanya : ―Hai Abul Hasan, apakah engkau memiliki utang?‖

Imam Al-Hâdî menjawab : ―Ya. Empat puluh ribu dinar.‖ Mutawakkil memerintahkan supaya uang itu diberikan kepadanya, dan ia

dikembalikan ke rumahnya. 1 Peristiwa ini mengindikasikan jihad dan sikap Imam Ali Al-Hâdî as. yang agung

dalam menghadapi sang lalim yang melakukan setiap dosa yang telah dilarang Allah swt. Ia tidak gentar dengan kerajaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Ia menasihati dan memperingatkannya atas siksa Allah yang sedang menanti. Ia juga memberitahukan masa depannya setelah ia meninggalkan dunia ini, dan bahwa bala tentara, kerajaan, dan seluruh kekuatan besar yang dimilikinya itu tidak dapat menolak kematian pasti yang telah dijanjikan. Lebih dari itu, ia memberitahukan nasib tubuhnya yang lemah itu setelah meninggal dunia, yaitu tubuh itu akan menjadi santapan ulat-ulat dengan berpesta-pora.

Bisa dipastikan bahwa nasihat semacam ini belum pernah hinggap di telinga Mutawakkil. Karena, telinganya senantiasa dihirukkan oleh suara-suara merdu para

1 Mir‟âh Az-Zamân, jilid 2, hal. 960; Tadzkirah Al-Khawwâsh, hal. 361; Al-Ithâf bi Hubb Al- Asyrâf , hal. 67.

penyanyi, dan ia dijemput maut sedangkan ia tersanjung di tengah-tengah para penari gemulai. Ia tidak pernah ingat kepada Allah swt. selama masa ia hidup.

2. Embargo Ekonomi Terhadap Imam Al-Hâdî Mutawakkil pernah memberlakukan embargo ekonomi yang sangat ketat terhadap Imam Al-Hâdî as. dan menentukan siksaan yang paling keras bagi para pengikutnya yang mengantarkan harta-harta khumus dan zakat kepadanya atau melakukan jenis hubungan apapun dengannya. Dengan demikian, pada masa kekuasaan Mutawakkil ini, ia dan seluruh keturunan Bani Ali as. hidup dalam krisis ekonomi yang sangat parah. Muslimin enggan untuk menunaikan hak-hak mereka karena takut kepada penguasa. Mukminin mengirimkan hak-hak mereka dengan menimbunnya di dalam kaleng minyak goreng dan menjual minyak goreng itu kepada mereka. Pihak penguasa tidak mengetahui strategi ini. Oleh karena itu, sebagian sahabat Imam Al-Hâdî as. dikenal

sebagai penjual minyak goreng. 1

3. Penangkapan dan Penahanan Imam Al-Hâdî Sang lalim Mutawakkil memerintahkan supaya Imam Al-Hâdî as. ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ia mendekam di dalam rumah tahanan selama beberapa waktu. Pada suatu hari, Shaqr bin Abi Dilf menjenguknya di dalam penjara. Penjaga penjara menyambutnya dengan sangat hangat, dan ia tahu bahwa Shaqr adalah seorang pengikut Syi‗ah. Penjaga penjara bertanya kepadanya: ―Untuk keperluan apa kamu datang kemari?‖

Shaqr menjawab : ―Untuk sebuah kebaikan.‖ Ia bertanya lagi : ―Mungkin kamu datang untuk menanyakan kondisi tuanmu?‖ Shaqr menjawab : ―Tuanku adalah Amirul Mukminin.‖ Yang ia maksudkan adalah

Mutawakkil. Penjaga penjara itu tersenyum seraya berkata : ―Diam kamu. Tuanmu adalah kebenaran —yaitu, Imam Al-Hâdî as—dan janganlah kamu takut kepadaku, karena aku juga mengikuti mazhabmu.‖

Shaqr berujar lega : ―Alhamdulillâh.‖ Ia bertanya lagi : ―Kamu ingin untuk menjumpainya?‖ ―Ya,‖ jawab Shaqr pendek. Ia menjawab : ―Duduklah hingga tukang pos itu keluar.‖ Ketika tukang pos itu keluar, penjaga penjara berkata kepada bawahannya:

―Antarlah Shaqr ini dan masukkanlah ke dalam bilik yang dihuni oleh ‗Alawi yang sedang ditahan itu, serta biarkanlah mereka berdua sendirian.‖

Bawahan itu mengantarkan Shaqr dan membawanya masuk ke dalam bilik Imam Al-Hâdî as. Ia duduk di atas sebuah pelepah kurma dan di hadapannya telah digali sebuah kuburan atas perintah Mutawakkil untuk menakut-nakutinya. Ia menoleh ke arah Shaqr seraya bertanya : ―Hai Shaqr, apa yang menyebabkan kamu datang kemari?‖

Shaqr menjawab : ―Aku datang hanya untuk mengetahui kondisi Anda.‖ Shaqr pun menangis tersedu-sedu karena khawatir atas jiwa Imam Al-Hâdî as. Ia

berkata kepadanya : ―Hai Shaqr, janganlah kamu menangis. Mereka tidak akan dapat berbuat kejahatan terhadap kami ....‖

Imam Al-Hâdî as. menenangkan rasa takutnya, dan ia bersyukur kepada Allah atas hal ini. Selanjutnya, ia bertanya tentang beberapa masalah agama, dan setelah Imam Al- Hâdî as. menjawabnya, ia pun mohon pamit. 2