Di Syi‘ib (Lembah) Abu Thalib

f. Di Syi‘ib (Lembah) Abu Thalib

Bangsa Quraisy yang kafir sepakat untuk memboikot Nabi Muhammad saw. di Syi„ib Abu Thalib. Mereka memaksanya untuk tinggal di sana agar tidak dapat melakukan interaksi dengan masyarakat. Tujuannya, agarnya tidak memiliki kesempatan untuk merubah keyakinan dan membersihkan otak masyarakat Arab dari kotoran jahiliah. Untuk melancarkan permusuhan terhadap Bani Hâsyim, bangsa Quraisy telah mengambil beberapa keputusan berikut ini:

a. Tidak menikahkan anak-anak perempuan mereka dengan laki-laki yang berasal dari kalangan Bani Hâsyim.

b. Orang laki-laki dari kalangan mereka tidak boleh menikah dengan wanita yang berasal dari kalangan Bani Hâsyim.

c. Mereka tidak boleh melakukan transaksi jual beli dengan Bani Hâsyim. Bangsa Quraisy menggantungkan surat keputusan tersebut di tembok Ka‗bah. Rasulullah saw. terpaksa tinggal di Syi„ib Abu Thalib dengan disertai orang-orang

mukmin dari kalangan Bani Hâsyim, termasuk di antaranya adalah Imam Ali as. Mereka mengalami berbagai tekanan dan siksaan di Syi„ib tersebut. Ummul Mukminin Khadijah senantiasa memberikan bantuan yang mereka butuhkan, hingga harta kekayaannya yang melimpah habis. Rasulullah saw. tinggal di Syi„ib Abu Thalib bersama para pengikut setianya selama dua tahun lebih. Akhirnya, Allah swt. mengutus rayap untuk melahap surat keputusan yang telah digantung di tembok Ka‗bah itu. Rasulullah saw. memberitahukan peristiwa ini kepada Abu Thalib. Mendengar informasi itu, Abu Thalib bergegas menjumpai orang-orang kafir Quraisy dan memberitahukan peristiwa tersebut. Mereka tersentak kaget dan segera pergi untuk melihat surat keputusan itu. Ternyata peristiwa itu benar sesuai informasi yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Akhirnya, masyarakat menuntut agar Rasulullah saw. berserta para pengikutnya dibebaskan dari pemboikotan itu. Bangsa kafir Quraisy pun terpaksa memenuhinya. Dengan kondisi fisik yang sangat lemah, Rasulullah saw. dan para pengikutnya keluar dari tempat pemboikotan itu.

Setelah bebas dari pemboikotan ini, Rasulullah saw. mulai mengajak umat manusia kepada tauhid dan menyingkirkan seluruh tradisi jahiliah. Di jalan ini, ia tidak merasa gentar sedikit pun terhadap ancaman dan kesepakatan orang-orang kafir Quraisy untuk menghabisi dirinya. Hal ini karenanya mendapat perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, Imam Ali as., dan putra-putra Abu Thalib yang lain. Abu Thalib dan keluarganya adalah benteng dan tempat berlindung Rasulullah saw. yang kokoh. Bahkan, Abu Thalib senantiasa mendorong Rasulullah saw. untuk meneruskan perjuangannya menyebarkan risalah Islam. Dalam sebuah syair yang indah, Abu Thalib berkata kepada beliau:

Pergilah, anakku, dan sedikit pun jangan gusar, pergilah dengan gembira dan senang hati.

1 Târîkh At-Thabarî, jilid 2, hal. 63; Târîkh Ibn Al-Atsîr, jilid 2 hal. 24; Musnad Ahmad, hal. 263.

Demi Allah, mereka tak akan berani menyentuhmu, hingga aku terkubur dalam tanah nanti. Kau mengajakku dan kutahu engkau penasihatku, kau benar dan sebelum itu engkaulah sang Amîn. Aku tahu bahwa agama Muhammad adalah sebaik-baik agama, untuk manusia di dunia ini. Laksanakanlah urusanmu dan sedikit pun jangan gusar, bergembira dan senang hatilah atas hal ini.

Syair ini mengungkapkan kedalaman imam Abu Thalib. Ia adalah pengayom Islam dan pejuang muslim pertama. Sungguh celaka orang yang berpendapat bahwa ia bukan muslim dan berada dalam siksa neraka. Padahal jelas bahwa putranya adalah pembagi (qâsim) surga dan nereka. Abu Thalib adalah tonggak akidah Islam. Seandainya bukan karena sikap dan pembelaannya yang sangat berani, niscaya Islam tidak berwujud lagi, melainkan namanya saja, dan orang-orang kafir Quraisy sudah dapat memberangus Islam sejak awal kemunculannya.