Metode Pengambilan Data
3.5 Metode Pengambilan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer dari penelitian ini adalah data sebaran bulu babi, sebaran dan kondisi lamun, dan pola pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat. Data sekunder berupa data demografi dan data wilayah Kelurahan Sanur yang didapat dari Kelurahan.
3.5.1 Sebaran Bulu babi
Untuk menetukan sebaran bulu babi berupa kepadatan dan diameter bulu babi digunakan metode transek linier kuadran berdasarkan petunjuk English et al.
Universitas Indonesia
(1994) dalam Dobo (2009) yang dimodifikasi dengan menggunakan transek dan juga kuadran berukuran 2,5 x 10 m. Pada lokasi penelitian dengan panjang pantai sejauh 650 m, dibagi menjadi lima transek yang tegak lurus dengan garis pantai. Transek pertama terletak pada titik awal penelitian, dan kemudian jarak transek selanjutnya sebesar 162,5 m. Penggunaan transek yang tegak lurus dengan pantai karena untuk memudahkan untuk analisis secara spasial. Setelah itu dicatat banyak individu dan juga diameter bulu babi yang ditemukan di dalam kuadran tersebut.
3.5.2 Sebaran dan Kondisi Lamun
Data sebaran dan kondisi lamun terdiri dari persentase penutupan lamun, persentase komposisi lamun, tinggi kanopi lamun, persentase penutupan alga dan struktur dasar substrat. Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan kuadran bulu babi (2,5 x 10 m) yang di dalamnya diletakan kuadran berukuran 0,5 x 0,5 m sebanyak empat kuadran (Dobo, 2009 dengan modifikasi), secara diagaramatis disajikan pada Gambar 3.1.
Penentuan persentase penutupan lamun, adalah besarnya tutupan dari lamun pada suatu kuadran, dilakukan dengan membandingkan dengan standar yang ada. Persentase komposisi jenis adalah banyaknya individu dari suatu jenis dalam satu kuadran. Struktur dasar substrat didapat dengan melihat jenis sedimen yang terdapat dalam kuadran.
Universitas Indonesia
Garis Pantai
Gambar 3.1 Skema Metode Pengambilan Sampel Bulu Babi dan Lamun
Sumber: Modifikasi Dobo (2009)
Universitas Indonesia
Gambar 3.2 Daerah Pengambilan Sampel Lamun dan Bulu Babi
Sumber: Peta dasar: Google Earth; Wilayah lamun: pengolahan citra Aster 2006; Wilayah darata:
Profil Kelurahan Sanur, 2009; Titik transek:
Universitas Indonesia
3.5.3 Pola Pemanfaatan Bulu Babi Oleh Masyarakat
Pola pemanfataan bulu babi oleh masyarakat dilakukan dengan wawancara kepada nelayan dan juga pengamatan secara langsung. Selama pengamatan langsung, diamati juga metode nelayan mengambil bulu babi, diameter bulu babi yang diambil dan lokasi tempat mereka menemukan bulu babi. Untuk melihat hasil rata-rata tangkapan para nelayan dilakukan pencatatan terhadap seluruh nelayan yang mengambil bulu babi.
3.5.4 Konsep Pemanfaatan Bulu Babi Berkelanjutan
Data konsep pemanfaatan bulu babi berkelanjutan berupa opini atau pendapat dari tokoh adat dan kepala pemerintahan. Data tersebut didapatkan dengan cara melakukan wawancara tersusun dengan topik utama adalah tentang kondisi umum bulu babi dan padang lamun, dan konsep pemanfaatan bulu babi yang mungkin dilakukan pada kawasan Sanur. Disamping itu juga digunakan data sebaran dan kondisi lamun dan sebaran bulu babi.
3.6 Analisis Data
Analisis mengenai kondisi lamun akan dilakukan dengan mendeskripsikan dan membandingkan dengan literatur. Dilakukan analisis regresi linier untuk melihat hubungan antara kepadatan lamun dengan lamun jenis Thalasia hemprichii yang terdapat di Sanur. Rumus dari regresi linier adalah sebagai berikut:
(3.1) Keterangan: a : Konstanta
b : Kemiringan y : Variabel terikat (T. hemprichii) x : Variabel bebas (kerapatan lamun)
Analisis citra satelit Aster tahun 2006 digunakan untuk melihat sebaran dari lamun dengan bantuan perangkat lunak komputer yaitu ER Maper. Berdasarkan data sebaran lamun hasil analisis citra Aster kemudian dianalisis untuk mendapatkan kepadatan lamun pada daerah penelitian dengan metode metode krigging, dengan bantuan perangkat lunak komputer ArcGIS. Hasil yang didapatkan kemudian di tampalkan pada hasil analisis sebaran lamun
Universitas Indonesia
menggunakan bantuan perangkat lunak ArcGIS. Dibuat sebaran keanekaragaman lamun dari setiap transek yang didapat dari hasil penelitian dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Kedalaman dasar pantai diukur pada setiap kuadran yang kemudian dirata-ratakan, dan dibuat grafil linear untuk melihat permukaan dasar lautnya. Data permukaan dasar laut kemudian ditampalkan dengan data keanekaragaman lamun.
Kondisi bulu babi dianalisis dengan melihat sebaran dan jumlah bulu babi pada setiap transek, yang kemudian juga ditampalkan pada hasil analisis sebaran dan tutupan lamun dengan bantuan perangkat lunak ArcGIS. Jumlah individu bulu babi yang didapat dibuat kepadatan rata-rata bulu babi dengan rumus:
(3.2) Keterangan: n i : Jumlah induvidu jenis i
A : Luas area
Sumber: English et al. dalam Dobo (2009)
Kaitan antara jumlah bulu babi dengan kepadatan lamun dan jumah bulu babi dengan lamun jenis T. hemprichii digunakan analisis regresi non linier. Hasil dari analisis ini akan melihat seberapa besar hubungan bulu babi dengan lamun.
(3.3) Keterangan: a : Konstanta
b : Konstanta
ln : Bilangan logaritma natural (Log e )
y : Variabel terikat (jumlah bulu babi) x :Variabel bebas (kepadatan lamun dan lamun jenis T. hemprichii)
Untuk mengkaji kegiatan pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat, selain dengan pengamatan lapangan, dilakukan pula analisis dengan menggunakan metode CPUE (Catch Per Unit Effort), yaitu perbandingan antara jumlah hasil tangkapan dengan banyak/jumlah kegiatan penangkapan per hari. Rumus yang digunakan untuk menghitung CPUE adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
(3.4) Keterangan: CPUE i : Nilai CPUE bulan i
: Hasil tangkapan selama bulan i
E i : Banyaknya melaut selama bulan i
Sumber: Bene & Tewfik (2000) Untuk melihat secara kasar banyaknya stok/bulu babi yang terambil dari setiap pengambilan oleh nelayan. Untuk melihat sisi ekonomi dari bulu babi, dilakukan analisis menggunakan metode RPUE (Revenue Per Unit Effort). Nilai RPUE didapat dengan cara mengalikan nilai CPUE dengan nilai jual gonad bulu babi dengan rumus sebagai berikut(Bene& Tewfik, 2000).
(3.5) Keterangan: CPUEi : Nilai CPUE bulan i
Pi
: Harga pada bulan i
Sumber: Bene & Tewfik (2000)
Analisis dampak dari pemanfaatan bulu babi dilakukan dengan cara mendeskripsikan berdasarkan dari bukti yang ditemukan dari kondisi bulu babi dilapangan dengan literatur dari kondisi yang normal.
Konsep pemanfaatan bulu babi dianalisis secara deskriptif dengan melihat hasil dari sebaran bulu babi dan juga sebaran kondisi lamun, cara pemanfaatan oleh nelayan. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan beberapa bentuk pemanfaatan yang ada di dunia untuk melihat konsep yang cocok diterapkan di Sanur.
Universitas Indonesia
Tabel 3.3 Metode Penelitian No Tujuan Penelitian
Sumber Data Metode Analisis
1 Mengetahui sebaran dan
Sensus dan Analisis kelimpahan bulu babi juga
Survei
transek statistik sebaran dan kondisi padang
lapangan
dengan bivariat dan lamun kemudian menganalisis
metode spasial hubungan antara bulu babi dan
Seagrass dan lamun
watch (modifikasi)
2 Menganalisis cara pemanfaatan
Wawancara Deskriptif bulu babi oleh masyarakat di
Nelayan bulu
semi tersusun analitik dan kawasan Pantai Sanur yang
babi
tabulasi, meliputi waktu pengambilan,
Analisis ukuran dan jumlah bulu babi
CPUE dan yang diambil
Analisis RPUE
3 Menganalisis konsep
Deskriptif pemanfaatan bulu babi yang
Survei
Studi
literatur, analitik dan dapat diterapkan oleh
lapangan,
Wawancara tabulasi, masyarakat pada kawasan
Nelayan bulu
Analisis Pantai Sanur sehingga
babi dan
spasial pemanfaatan bulu babi dapat
kepala
pemerintahan
berkelanjutan Sumber: Pengolahan data, 2011
Universitas Indonesia
4 HASIL
4.1 Deskripsi Daerah Penelitian
4.1.1 Kondisi Geografis
Kelurahan Sanur terletak pada 8°41'3.99"S dan 115°15'29.77"E, yang merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0-10 mdpl dan termasuk dalam Wilayah Denpasar Selatan. Kelurahan Sanur memiliki garis pantai sepanjang 3,8 km.Sebelah Utara Kelurahan Sanur berbatasan dengan Desa Sanur Kaja, Selatan berbatasan dengan Selat Badung, Barat berbatasan dengan Desa Sanur Kauh, dan sebelah Timur berbatasan dengan Laut. Luas wilayah Sanur secara keseluruhan sekitar 402 Ha, yang sebagian besar adalah wilayah pemukiman dan kawasan pariwisata
4.1.2 Iklim
Suhu pada Kelurahan Sanur berkisar antara 19-34 0
C dengan rata-rata sebesar 27,7 0
C. Curah hujan rata-rata setiap tahun sebesar 1833 mm. Kelembaban udara sebesar sebesar 79% dengan keceparan angin mencapai 6 knot.
4.2 Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan
4.2.1 Sosial Masyarakat
4.2.1.1 Sejarah Singkat Sanur Menurut beberapa Pemuka Adat, kata Sanur berasal dari kata “Saha” dan “Nuhur”, yang memiliki arti memohon untuk datang pada suatu tempat. Kata-kata Saha dan Nuhur ini lama kelamaan berubah menjadi kata Sanur seperti sekarang ini. Sanur sudah dua kali mengalami pemekaran wilayah. Pada saat pemerintahan Ida Bagus Made Badra tahun 1935-1051, Sanur dimekarkan menjadi dua, bagian Timur adalah Desa Sanur dan bagian Barat adalah Desa Renon. Kemudian berdasarkan surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk. II Badung Nomor 167/Pem.15/166/1979 tertanggal 1 Desember 1979 dengan, dan dikuatkan dengan surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk.I Bali Nomer 57, tertanggal 1 Juni
Universitas Indonesia
1982, Desa Sanur dimekarkan menjadi 3 wilayah yaitu Kelurahan Sanur, Desa Sanur Kauh, dan Desa Sanur Kaja.
4.2.1.2 Sistem Pemerintahan Wilayah Sanur Wilayah Sanur memiliki dua sistem pemerintahan, yaitu pemerintahan secara dinas/administratif dan pemerintahan secara adat. Hasil dari pemekaran Desa Sanur, baik itu Kelurahan Sanur, Desa Sanur Kauh, ataupun Desa Sanur Kaja, adalah pemerintahan administratif bentukan dari pemerintah Indonesia. Dari ketiganya tersebut mewilayahi suatu kawasan yang dalam kawasan tersebut dibagi-bagi lagi menjadi Banjar Dinas atau Lingkungan. Pada Kelurahan Sanur sendiri mewilayahi sembilan Banjar Dinas atau Lingkungan. Banjar Dinas atau Lingkungan adalah komunitas terkecil dalam masyarakat yang didasari pada kegiatan administratif. Anggota lingkungan adalah seluruh penduduk yang berada pada wilayah tersebut. Pada setiap Banjar Dinas atau Lingkungan dikepalai seorang Kepala Banjar/Lingkungan yang bertanggung jawab kepada Lurah.
Dalam sistem pemerintahan adat, Sanur terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Desa Adat Intaran dan Desa Adat Sanur Kauh. Desa adat ini dipimpin oleh seorang Bendesa Adat yang ditunjuk oleh Krama desa adat. Perbedaan antara desa adat dengan desa administritif adalah anggota dari desa adat ini adalah penyungsung (anggota) dari Pura Kahyangan Tiga, selain itu desa adat juga kesatuan sosial yang diperkuat oleh upacara agama dan kegiatan suci lainnya. Desa adat ini terdiri dari beberapa banjar adat dibawahnya. Banjar adat adalah suatu komunitas terkecil dalam masyarakat yang didasari pada kegiatan religius, dan dipimpin oleh seorang Kelian Adat. Biasanya anggota Banjar Adat ialah warga asli daerah tersebut yang seluruh kegiatan religiusnya diatur dalam banjar. Wilayah Kelurahan Sanur sendiri masuk dalam lingkupan Desa Adat Pakraman Intaran yang dibagi menjadi 19 Banjar Adat.
4.2.2 Kependudukan
Sebagai daerah tujuan wisata lokal dan internasional, menjadikan penduduk di Kelurahan Sanur sangatlah heterogen. Keanekaragaman itu mulai dari penduduk
Universitas Indonesia
lokal, pendatang dari luar wilayah Kelurahan Sanur, pendatang dari luar Bali, bahkan warga negara asing yang menetap dan tinggal disana. Tercatat pada tahun 2009 jumlah penduduk Kelurahan Sanur mencapai 9.529 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 4.921 jiwa dan perempuan sebanyak 4.608 jiwa, Seperti yang disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Pada Setiap Banjar/Lingkungan
No Banjar/Ling Jumlah Kepala Penduduk (orang) Jumlah kungan
Keluarga (KK) Laki-Laki
Perempuan (orang)
5 Sindu Kaja
6 Sindu Kelod
Sumber: Kelurahan Sanur, 2009
Tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Sanur terbanyak adalah lulusan SLTA (3.573 orang). Selain itu banyak juga yang lulusan dari Diploma (2.286 orang), hal tersebut dimungkinkan karena kesempatan kerja banyak dibutuhkan di bidang pariwisata yang membutuhkan tenaga kerja ahli. Tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Sanur disajukan dalam Tabel 4.2
Universitas Indonesia
Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat
No Pendidikan
Jumlah (orang)
1 Belum sekolah
2 Tidak/belum tamat SD
3 Tamat SD
4 Tamat SLTP
5 Tamat SLTA
Sumber: Kelurahan Sanur, 2009
Mata pencarian penduduk Keluran Sanur juga beragam, mulai dari wirausaha, pegawai negeri, hingga pengrajin. Data mata pencarian pokok warga kelurahan sanur disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3
Mata Pencarian Pokok No
Pendidikan
Jumlah
1 Pegawai Negeri
5 Tukang batu
6 Tukang kayu
12 TNI/Polri
13 Pengusaha
Sumber: Kelurahan Sanur, 2009
Universitas Indonesia
Gambar 4.1 Wilayah Kelurahan Sanur
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
4.3 Padang Lamun
4.3.1 Keanekaragaman dan Sebaran
Daerah sebaran padang lamun sepanjang Pantai di Sanur dapat dilihat pada Gambar 4.1. Ditemukan 10 jenis lamun yang menyusun ekosistem padang lamun pada lokasi penelitian. Lamun tersebut terdiri dari Enhalus acroides, Thalasia hemprichii, Cymodocea serulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Thalasodendron ciliatum. Dari kesepuluh sepies tersebut, spesies T. Hemprichiiadalahspesies yang menyebar hampir diseluruh daerah penelitian. Sebaran individu yang paling sedikit adalah dari jenis H. minor. Pola sebaran jenis lamun pada setiap transek dapat dilihat pada Gambar 4.3. Berdasarkan Gambar 4.3pada daerah penelitian terdapat komunitas lamun yang multi spesies, dimana dalam suatu wilayah ditumbuhi oleh lebih dari dua spesies.
Universitas Indonesia
Wilayah penelitian
Gambar 4.2 Padang Lamun Daerah Sanur
Universitas Indonesia
Gambar 4.3 Sebaran Spesies Lamun Sepanjang Garis Transek
Ket: Enhalus acroides (Ea), Thalasia hemprichii (Th), Cymodocea serulata(Cs), Cymodocea rotundata(Cr), Halophila ovalis(Ho), Halophila minor(Hm), Syringodium isoetifolium(Si), Halodule uninervis(Hu), Halodule pinifolia(Hp), Thalasodendron ciliatum(Td)
Universitas Indonesia
4.3.2 Kepadatan Lamun
Kepadatan lamun didapatkan dari pengukuran persen tutupan lamun. Persen tutupan lamun pada tiap kuadran berkisar mulai dari 0 hingga 90%, dan besar tutupan lamun rata-rata sebesar 32,39%. Persen tutupan lamun rata-rata ditunjukan pada Gambar 4.4. Bervariasinya tutupan lamun karena terdapatnya cekungan-cekungan kosong sisa eksploitasi karang yang dilakukan oleh masyarakat Sanur beberapa waktu yang lalu. Dibuat analisis citra satelit untuk melihat sebaran kerapatan lamun di daerah penelitian yang disajikan pada Gambar
Gambar 4.4 Rata-rata Persen Tutupan Lamun
Universitas Indonesia
Gambar 4.5 Sebaran Tutupan Lamun di Daerah Penelitian
Universitas Indonesia
Untuk melihat dominansi dari jenis lamun dilakukan analisis regresi. Analisis regresi dilakukan antara tutupan lamun dengan jenis T. hemprichii, karena jenis ini benyak ditemukan pada ekosistem padang lamun di Sanur yang disajikan pada
Gambar 4.5. Berdasarkan gambar 4.5 dapat dilihat bahwa terdapat nilai R 2 dari hubungan tutupan lamun dengan T. hemprichii adalah sebesar 0,464. Nilai
tersebut dapat diartikan bahwa sebanyak 46,4% dari total tutupan lamun dapat dilihat dari tutupan T. hemprichii.
Gambar 4.6 Hubungan Antara Tutupan Lamun dengan kalimpahan
Thalasia hemprichii
4.4 Bulu Babi
Ditemukan sekitar lima jenis bulu babi dalam wilayah penelitian. Antara lain adalah Diadema sp., Tripneustes gratilla, Echinometra mathaei, Mespila globulus seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.7 dan Lampiran 11. Bulu babi hidup tersebar pada pesisir Sanur yang dapat ditemui pada daerah lamun ataupun bersembunyi pada batu/karang yang ada. Jenis bulu babi yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah dari jenis T. gratilla.
Universitas Indonesia
Gambar 4.7 Jenis Bulu Babi yang Ada di Bali
Diameter bulu babi yang ditemukan pada daerah transek berkisar antara 2 hingga 7cm (Gambar 4.8), dengan diameter terbanyak adalah 5 cm dan rata-rata diameter adalah 4,35 cm. Pada daerah penelitian, jumlah individu yang paling banyak ditemukan dari transek 4B sebanyak 19 individu. Kepadatan bulu babi di Sanur
sebesar 0.19 individu/m 2 , jika dibandingkan dengan daerah lain di dunia kepadatan bulu babi yang ada di Sanur tergolong sangat kecil (Gambar 4.9).
Sebaran individu bulu babi ditampalkan dengan peta tutupan lamun, sehingga dapat dilihat sebaran bulu babi pada kawasan padang lamun (Gambar 4.10).
Universitas Indonesia
Gambar 4.8 Sebaran Diameter Bulu Babi yang Ditemukan
Gambar 4.9 Kepadatan Bulu Babi di Berbagai Wilayah
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Universitas Indonesia
Gambar 4.10 Sebaran Jumlah Individu Bulu Babi Setiap Transek
Universitas Indonesia
4.5 Hubungan Lamun Dengan Bulu Babi
Untuk mengetahui hubungan antara bulu babi dengan lamun, dibuat grafik regresi non linier antara banyaknya bulu babi pada setiap transek dengan persen tutupan lamun (Gambar 4.11). Hasil dari regresi linier antara banyaknya bulu babi pada setiap transek dengan persen tutupan lamun menunjukan nilai koefisien
determinasi (R 2 ) 0,296. Angkat pada koefisien determinasi menunjukan bahwa hanya sebanyak 29% jumlah bulu babi dapat dijelaskan oleh tutupan lamun.
Gambar 4.11 Hubungan Antara Kepadatan Bulu Babi Dengan
PersenTutupan Lamun
Selain itu dibuat juga grafik regresi non linier jumlah bulu babi dengan lamun jenis T. hemprichii (Gambar 4.12). Dipakai jenis T. hemprichii karena jenis ini adalah jenis yang paling mendominasi padang lamun di daerah Sanur, dan juga beberapa penelitian menunjukkan bulu babi mengkonsumsi lamun jenis ini.
Begitu pula dengan jumlah bulu babi dengan lamun jenis T. Hemprichii. Nilai R 2 yang ditunjukan sebesar 0,292 yang berarti jumlah bulu babi dapat dijelaskan oleh
kehadiran lamun jenis T.hemprichii sebanyak 29,2%.
Universitas Indonesia
Gambar 4.12 Hubungan Antara Kepadatan Bulu Babi Dengan Tutupan T. hemprichii
Hubungan jumlah bulu babi dengan substrat yang ada pada padang lamun juga ditampilkan pada Tabel 4.4. Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa bulu babi terbanyak terdapat pada substrat pasir dengan rata-rata sebanyak 11,4. Tingkat kehadiran bulu babi terbanyak pada substrat pasir karang, hal ini menjelaskan bahwa bulu babi lebih menyukai substrat yang berpasir dan berpasir karang.
Tabel 4.4 Sebaran Kelimpahan Bulu Babi Berdasarkan Tipe Substrat
Kehadiran Substrat
Transek (individu)
rata2
1 2 3 4 5 (%) Lumpur 0 0 1 0 0 0.2 20 Pasir lumpur
0 9 12 0 0 4.2 40 Pasir 9 4 0 39 5 11.4 80
pasir karang
6 4 26 2 4 8.4 100 Karang 0 3 0 0 0 0.6 20
Universitas Indonesia
4.6 Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat Setempat
4.6.1 Profil Nelayan Bulu Babi
Nelayan yang mengambil bulu babi adalah wanita, dan sering dipanggil dengan sebutan ibu “toro-toro” karena nama lokal dari bulu babi adalah “toro-toro”. Ibu “toro-toro” adalah wanita paruh baya, dengan kisaran umur mereka 50-70 tahun (Gambar 4.13A), dan telah mengambil bulu babi lebih dari 10 tahun yang lalu bahkan ada yang sejak kecil atau remaja (Gambar 4.13B). Mereka adalah penduduk daerah Sanur, tetapi sebagian besar mereka tinggal di luar Banjar Batu Jimbar dan Semawang (Gambar 4.13C). Pada Gambar 4.14D, ditunjukan sebagian besar dari ibu toro-toro menjadikan pekerjaan mencari bulu babi ini sebagai pekerjaan sampingan, tetapi ada juga yang menjadikannya sebagai pekerjaan utama.
Gambar 4.13 Profil Nelayan Bulu Babi
Keterangan: A. Usia nelayan B. Lama nelayan telah mengambil bulu babi. C. Tempat tinggal nelayan D. Pekerjaan lain nelayan
Universitas Indonesia
4.6.2 Waktu Pengambilan
Waktu pengambilan bulu babi di laut tergantung kepada pasang surut air laut, sehingga tidak setiap hari para ibu “toro-toro” dapat mengambil bulu babi. Aktivitas pengambilan bulu babi di laut yang tercatat selama waktu penelitian sebanyak 16 hari, dan dapat dilihat pada Gambar 4.14. Pada Gambar 4.14 juga dikelompokan menjadi empat kelompok berdasarkan hari saat melaut, yaitu A, B,
C dan D. Dalam keempat kelompok tersebut dapat dilihat bahwa kelompok A dan
C memiliki jumlah nelayan yang melaut tidak sebesar pada kelompok B dan C. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan waktu air laut surut. Pada kelompok
A dan C surut terjadi pagi hari sedangkan B dan D surut terjadi siang hari.Surut yang ada di Sanur terjadi dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari, sehingga mempengaruhi preferensi waktu pengambilan bulu babi yang ditunjukan pada Gambar 4.15. Berdasarkan penuturan ibu ‘toro-toro’, dalam satu bulan mereka mengambil bulu babi sebanyak 7-12 kali seperti yang disajikan pada Gambar
Gambar 4.14 Jumlah Nelayan Bulu Babi per Hari Selama Penelitian
Universitas Indonesia
Gambar 4.15 Preferensi Waktu Pengambilan Bulu Babi
Gambar 4.16 Frekuensi Ibu “Toro-toro” Mengambil Bulu Babi Dalam
Sebulan
4.6.3 Cara Pengambilan
Peralatan yang digunakan dalam melakukan pengambilan bulu babi masih sangat sederhana. Sebagai perlindungan tangan, ibu “toro-toro”menggunakan kain yang dililit kejari-jari mereka yang kemudian diikat (Gambar 4.17ª). Untuk melindungi kaki, mereka menggunakan alas kaki berupa sepatu dan celana panjang yang menutupi kaki mereka. Dalam mencari bulu babi, ibu “toro-toro” mengorek-orek dibawah dedaunan lamun jika keadaan laut sedang jernih, tetapi jika air laut sedang keruh mereka menginjak-injak dedaunan lamun untuk merasakan keberadaan bulu babi dibawahnya (Gambar 4.17B). Setelah mendapatkan bulu babi, cangkang tersebut akan dibelah dan dibersihkan isinya (Gambar 4.17C dan D), setelah itu gonadnya diekstrak kedalam botol air mineral (Gambar 4.18).
Universitas Indonesia
Gambar 4.17 Tahap Pemanfaatan Bulu Babi Dilakukan Ibu “toro-toro”
Ket: A. Persiapan sebelum melaut B. Mencari bulu babi C. Membelah bulu babi D. Membersihkan isi bulu babi
Gambar 4.18 Gonad Bulu Babi yang Telah Diekstrak ke Dalam Botol
Universitas Indonesia
Dalam sekali melaut, ibu “toro-toro” mendapatkan gonad bulu babi sebanyak 2-4 botol, seperti yang ditunjukan pada Gambar 4.19. Bulu babi yang dimanfaatkan oleh ibu “toro-toro” berkisar antar 4 hingga 7 cm, dengan rata-rata berukuran 5,5 cm, yang ditunjukan pada Gambar 4.20. Ibu “toro-toro” lebih banyak mencari bulu babi pada daerah lamun (Gambar 4.21), terutama pada lamun dengan kerapatan tinggi (Gambar 4.22), selain itu juga mencari pada daerah karang dan juga ceruk-ceruk.
Gambar 4.19 Rata-rata Gonad Bulu Babi yang Didapatkan per Hari
Gambar 4.20 Diameter Bulu Babi yang Dimanfaatkan
Universitas Indonesia
Gambar 4.21 Preferensi Lokasi Mencari Bulu Babi
Gambar 4.22 Kondisi Lamun yang Dipilih Ibu “Toro-toro”
Pada beberapa tahun yang lalu jumlah pencari bulu babi lebih banyak dari pada saat ini dan tidak terbatas pada kaum wanita saja, dengan hasil yang juga lebih banyak dari saat ini. Berdasarkan penuturan ibu “toro-toro”, untuk mencari bulu babi saat ini lebih sulit dibandingkan beberapa tahun yang lalu (Gambar 4.23). Pada beberapa tahun yang lalu, sangat mudah mendapatkan 5-6 botol gonad bulu babi bahkan dapat mencapai satu jerigen air, tetapi saat ini untuk mendapatkan dua botol gonad sudah sangat susah. Hal tersebut yang mengakibatkan berkurangnya nelayan karena hasil yang didapatkan juga sudah banyak berkurang.
Universitas Indonesia
Gambar 4.23 Persepsi Tentang Kondisi Bulu Babi Saat ini Dibandingkan Dahulu
4.6.4 Pengambilan Bulu Babi Selama Satu Bulan
Banyaknya bulu babi yang didapatkan ibu “toro-toro” dalam sebulan rata-rata sebanyak 14 botol selama sebulan dengan kisaran dari 3 hingga 29 botol perbulan. Pendapatan rata-rata perbulannya adalah sebesar Rp. 220.000. Nilai Catch Per Unit Effort (CPUE) dari kegiatan pemanfaatan bulu babi selama waktu penelitian adalah sebesar 2,07 botol. Kemudian berdasarkan nilai CPUE didapatkan nilai Revenue Per Unit Effort (RPUE) sebesar Rp. 31.058. Nilai CPUE dan RPUE dari setiap ibu “toro-toro” dapat dilihat pada Tabel 4.5
Universitas Indonesia
Tabel 4.5 CPUE dan RPUE Total Nelayan Bulu Babi
banyak hari
hasil yang
perkiraan
CPUE RPUE
nelayan melaut didapat
pendapatan (Rp) (botol/hari) (Rp/hari)
(hari) (Botol)
Gambar 4.24 Hasil CPUE Nelayan Selama Penelitian
Dalam gambar 4.24 dapat dilihat bahwa saat terjadi pasang tidak ada aktivitas pemanfaatan yang dilakukan oleh ibu “toro-toro”. Pada saat surut ibu toro-toro baru akan melakukan kegiatan pemanfaatan bulu babi. Selama penelitian terjadi
Universitas Indonesia
empat kelompok waktu pemanfaatan bulu babi yang dikelompokan dengan lingkaran A, B, C dan D. Kelompok A dan C memiliki, nilai CPUE yang relatif lebih kecil dibandingkan kelompok B dan D. Hal tersebut disebabkan karena surut yang terjadi pada kelompok A dan C adalah pagi hari, dan kelompok B dan D terjadi siang hari yang mempengaruhi jumlah ibu “toro-toro” sehingga ikut mempengaruhi nilai CPUE
4.6.5 Persepsi Tokoh Masyarakat
Persepsi para tokoh masyarakat mengenai kondisi pantai Sanur secara umum mengatakan bahwa kondisi pantai Sanur telah mengalami penurunan, yang disebabkan oleh aktivitas manusia juga perkembangan pariwisata di Sanur. Aktivitas masyarakat Sanur yang merusak pantai adalah mengambil batu koral yang digunakan sebagai bahan bangunan. Kegiatan perikanan atau nelayan di Sanur juga sudah semakin berkurang, dan hanya dijadikan sebuah hobi saja. Banyak penduduk yang beralih mata pencariannya ke sektor pariwisata yang memang penghasilan yang didapatkan lebih besar dibandingkan hasil dari melaut.
Telur bulu babi merupakan makanan pendamping yang diminati oleh masyarakat Sanur. Telur bulu babi dapat dioleh dengan berbagai macam cara, seperti ditumis, rebus, kukus ataupun dimakan langsung. Beberapa tahun yang lalu bulu babi dapat dibeli di pasar, tetapi saat ini untuk mencari bulu babi dengan cara datang kepantai dan langsung membeli ke ibu “toro-toro”. Bulu babi yang semakin susah dicari dapat membuat hilangnya aktivitas pemanfaatan bulu babi di pantai Sanur. Pembuatan suatu bentuk perlindungan dinilai perlu oleh beberapa tokoh masyarakat, tetapi diperlukan peran serta berbagai elemen untuk melakukan sosialisasi dan juga memberikan penjelasan kepada para tokoh masyarakat. Rangkuman hasil wawancara disajikan pada Lampiran 4.
Universitas Indonesia