pemanfaatan bulu babi sanur pdf

UNIVERSITAS INDONESIA PEMANFAATAN BULU BABI SECARA BERKELANJUTAN PADA KAWASAN PADANG LAMUN

(Studi Pada Kawasan Padang Lamun Banjar Semawang dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur, Denpasar)

With a Summary in English (Sustainable Sea Urchin Utilization in Seagrass Bed-

A Study in Seagrass Bed Area at Banjar Semawang and Batu Jimbar,

Kelurahan Sanur, Denpasar) TESIS

Adhitya Ridwan Yulianto

0906657041

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA, JANUARI, 2012

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA PEMANFAATAN BULU BABI SECARA BERKELANJUTAN PADA KAWASAN PADANG LAMUN

(Studi Pada Kawasan Padang Lamun Banjar Semawang dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur, Denpasar)

Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER DALAM ILMU LINGKUNGAN

Adhitya Ridwan Yulianto PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA, JANUARI, 2012

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah karya sendiri Dan semua smber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Adhitya Ridwan Yulianto NPM : 0906657041 Tanda Tangan

Tanggal : 20 Januari 2012

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Adhitya Ridwan Yulianto NPM : 0906657041 Program Studi : Ilmu Lingkungan Judul Tesis : PEMANFAATAN BULU BABI SECARA

BERKELANJUTAN PADA KAWASAN PADANG LAMUN Studi pada kawasan padang lamun kawasan Banjar Semawang dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur

Tesis berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Prof. dr. Haryoto K., SKM, Dr.PH ( )

Sekretaris : Dr Suyud Warno Utomo, M.Si

Pembimbing I : Dr. M. Hutomo, APU

Pembimbing II : Dr. Luky Adrianto

Penguji Ahli : Prof. Dr. Wudiyanto

Ditetapkan di : Jakarta Tanggal

: 19 Januari 2012

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

BIODATA PENULIS

Nama

: Adhitya Ridwan Yulianto

Tempat Tanggal Lahir : Madiun, 5 Juli 1985 Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Pondok Safari Indah C5/7 Jurang Mangu Barat,

Pondok Aren, Tangerang.

Pendidikan : 1991-1997 SDN Pesanggrahan 02, Jakarta

1997-2000 SLTPN 177 Jakarta 2000-2003 SMUN 47 Jakarta 2003-2009 Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana

2010-2012 Program Studi Ilmu LingkunganProgram

Pascasarjana Universitas Indonesia

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan segala rahmat, karunia dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Pemanfaatan Bulu Babi Berkelanjutan Pada Kawasan Padang Lamun (Studi Pada Kawasan Padang Lamun Banjar Semawang dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur, Denpasar)

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Haryoto Kusnoputranto, SKM, DrPH selaku Ketua Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia

2. Dr. Malikusworo Hutomo, APU selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan arahan serta kritik sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini

3. Dr. Ir Luky Adrianto, M.Sc selaku Pembimbing II yang telah memberikan masukan masukan terutama pada masalah sosial ekonomi sehingga menambah kelengkapan tulisan ini.

4. Prof. Dr. Wudiyanto selaku Penguji Ahli yang telah memberikan masukan selama sidang.

5. Dr. Suyud Warno Utomo, M.Si. sebagai sekertaris sidang yang telah membantu dan memberikan masukan selama sidang

6. Kepada orang tua tercinta, Odhyt Widodo dan Amurwani Endang Qurniatun yang telah banyak memberikan dorongan moral maupun material, juga kepada adik Dhina dan Nia yang mendukung penulis

7. Deny S. Yusuf, M.Si selaku dosen ekologi kelautan Jurusan Biologi Fakultas MIPA UNUD yang telah banyak memberikan saran untuk melakukan pengambilan data di lampangan.

8. Asteria R. Erwin, S.Si yang telah membantu dan menemani selama pengambilan data.

9. Muhammad Zein dan keluarga, Vandus J. Sihombing, dan Sanggar A. Nasu yang telah banyak membantu penulis selama di Bali.

Universitas Indonesia

10. Mas Bayu Dharma dan Mas Kumbang yang membantu penulis dalam memecahkan masalah citra satelit.

11. Mbak Shinta Idriyanti yang telah meminjamkan GPS dan juga memberikan masukan kepada penulis

12. Teman-teman di PSIL Metta, Mas Ides, Mbak Reski, Putri, Ayu, Gorba yang juga memberikan masukan

13. Rekan-rekan di Sekertarial PSIL, Ibu Erni, Mas Udin dan Mas Nasrul, Ibu Irna yang telah membantu kelancaran administratif, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian

Penulis berharap tesis ini dapat menjadi suatu masukan berharga dalam pemanfaatan bulu babi di Indonesia, walaupun penulis tidak menyangkal masih terdapat banyak kekurangan pada tulisan tesis ini. Harapan selanjutnya adalah agar Indonesia yang memiliki daerah pesisir yang luas dapat menjadi salah satu negara penghasil bulu babi di dunia.

Jakarta, Januari 2012 Penulis,

Adhitya Ridwan Yulianto.

Universitas Indonesia

xvi

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Adhitya Ridwan Yulianto NPM : 0906657041 Program Studi : Ilmu Lingkungan Fakultas : Pascasarjana Jenis karya

: Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Pemanfaatan Bulu Babi Secara Berkelanjutan pada Kawasan Padang Lamun (Studi pada Kawasan Padang Lamu Banjar Semawang dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur, Denpasar)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta sebagai pemilik Hak Cipta

Demikian pernyataan ini saya buat sebenarnya,

Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 20 Januari 2012 Yang menyatakan

Adhitya Ridwan Yulianto

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

ABSTRAK

Pemanfaatan bulu babi jenis Tripneustes gratilla oleh masyarakat Sanur telah berlangsung lama dan dan centerung kearah pemanfaatan berlebih. Tujuan penelitian ini untuk melihat kondisi lamun dan bulu babi serta menganalisis hubungannya, cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan dan dampaknya dan mengembangkan konsep pemanfaatan yang mungkin dapat diterapkan di Sanur. Metode yang digunakan untuk data lamun dan bulu babi dengan menggunakan transek yang kemudian akan dilakukan analisis dengan Sistem Informasi Geografi untuk melihat sebaran dan tutupan lamun serta sebaran bulu babi. Dilakukan pula wawancara dengan nelayan dan tokoh masyarakat untuk mengetahui pemanfaatan bulu babi di Sanur. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 10 jenis lamun dengan tutupan rata-rata 32,39%, diameter bulu babi yang berkisar 2-7 cm dengan

kepadatan 0,19 individu/m 2 . Konsep pemanfaatan yang dapat dilakukan di Sanur adalah pembuatan daerah perlindungan, karena dapat menjaga populasi bulu babi

dan juga biota lainnya Kata kunci: Tripneustes gratilla, lamun, pemanfaatan bulu babi, konsep

pemanfaatan

ABSTRACT

Sea urchin utilization from species Tripneustes gratilla by local people in Sanur have been conducted since long time ago and it is tendency to be over exploitation. The objective from this reaseacrh is to indentified the condition of seagrass and sea urchin then analizing the correlation, utilization method of local fisherman and the impact for sea urchin population, and develop the utilization concept that can be adopted in Sanur. The reasearch method for collecting seagrass and sea urchin data is using transect that will analyzed with Geographical Information System for distribution and density of seagrass and the distribution of sea urchin. Also interviewing with fisherman and community leader to determine the utilization of sea urchin. According to the data, there are 10 species of seagrass with cover average are 32,39%, sea urchin diameter is about 2-7 cm with

density 0,19 individu/m 2 . Utilization concept that can be applied in Sanur is a protected area, because it can preserve the sea urchin population including another

biota. Keywords: : Tripneustes gratilla, seagrass, sea urchin utilization, utilization

concept

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

RINGKASAN PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA TESIS, DESEMBER, 2011

A. Nama

: Adhitya Ridwan Yulianto

B. Judul : Pemanfaatan Bulu Babi Berkelanjutan Pada Kawasan Padang Lamun (Studi pada Kawasan Padang lamun Banjar Semangan dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur Denpasar)

C. Jumlah Halaman : halaman permulaan, xxv, halaman isi, 85, halaman

lampiran, 16, Tabel, 10, Gambar, 39

D. Isi Ringkasan

Bulu babi adalah hewan tak bertulang belakang yang hidup pada perairan dangkal. Di Indonesia terdapat sekitar 84 jenis bulu babi yang tersebar di sepanjang pantai. Biasanya terdapat pada daerah padang lamun ataupun terumbu karang. Keberadaan bulu babi di daerah padang lamun erat kaitannya dengan aktivitas makan, selain itu padang lamun juga dijadikan tempat berlindung dari predator dan arus yang keras. Bulu babi berperan penting pada rantai makanan yang ada pada ekosistem padang lamun, dan juga memiliki peran penting dalam siklus nitrogen. Bagi manusia, bulu babi dapat menjadi sumber makanan tambahan yang banyak dicari. Berdasarkan catatan sejarah, bulu babi telah banyak dikonsumsi oleh manusia pada zaman pra sejarah dengan bukti di temukannya cangkang bulu babi pada tumpukan sisa makanan. Hingga saat ini pemanfaatan bulu babi terus berlangsung, tetapi pada beberapa daerah belum terdapat adanya suatu bentuk pemanfaatan yang jelas, sehingga ada kecenderungan kearah penangkapan berlebih. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat Sanur di daerah padang lamun masih tergolong sederhana, walaupun belum ada bukti yang jelas tentang penurunan populasi bulu babi tetapi sangat besar kemungkinannya untuk terjadi eksploitasi berlebihan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

2. Disamping itu, pada daerah Sanur belum adanya suatu konsep pemanfaatan bulu babi yang dapat mendukung keberlanjutan dari populasi bulu babi.

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi padang lamun yang kemudian menganalisis kaitannya

2. Mengkaji cara pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat di kawasan Pantai Sanur dan menganalisis dampak terhadap populasi bulu babi

3. Mengembangkan konsep pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan bulu babi yang mungkin dapat diterapkan oleh masyarakat pada kawasan Pantai Sanur

Dalam pengambilan data digunakan metode transek dengan kuadran sebesar 0,5 x 0,5 m untuk pengukuran lamun dan 2,5 x 10 m untuk pengukuran bulu babi. Dilakukan juga wawancara terhadap nelayan dan tokoh masyarakat sekitar. Pengambilan data dilaksanakan selama 30 hari. Berdasarkan data yang didapat, terdapat 10 jenis lamun yang hidup pada daerah Sanur, dengan jenis yang paling mendominasi adalah Thalasia hemprichii dan Enhalus acoroides. Tutupan lamun yang ada pada daerah Sanur adalah rata-rata 32%. Bulu babi yang ditemukan reta-rata berdiameter 5 cm dengan kepadatan

populasinya sebesar 0,19 individu/m 2 . Keberadaan bulu babi pada padang lamun ternyata memiliki hubungan, yaitu dengan tutupan lamun dan lamun jenis T.

hemprichii. Pemanfaatan bulu babi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar masih sangat tradisional, mereka melakukan pemanfaatan berdasarkan pada pasang surut air laut. Bulu babi yang didapat akan diambil gonadnya dan dimasukan ke dalam botol air mineral yang kemudian satu botolnya dijual seharga Rp. 15.000. Dalam sehari, mereka rata-rata dapat menghasilkan sebanyak dua botol air mineral gonad bulu babi. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan penangkapan bulu babi antara lain adalah menurunnya tingkat kepadatan bulu babi akibat adanya pemanfaatan yang terus menerus. Tingkat kerapatan yang berkurang juga mengakibatkan penurunan keberhasilan fertilisasi eksternal sehingga dapat mengakibatkan penurunan jumlah populasi. Akibat adanya pemanfaataan oleh masyarakat juga mengakibatkan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

adanya adaptasi yaitu dengan mempercepat kematangan gonad. Indikasi ini terlihat dari bulu babi yang berukuran lebih kecil dari ukuran seharusnya telah menunjukan gonad yang telah matang. Pengembangan konsep pemanfaatan bulu babi yang dapat dilakukan di Sanur ada tiga macam. Pertama adalah dengan melakukan penutupan musiman yang berguna untuk memberikan bulu babi tersebut waktu untuk melakukan pemijahan pada saat musimnya. Kedua adalah dengan pembatasan ukuran tangkap, tujuan dari pembatasan ukuran adalah untuk memberikan kesempatan bulu babi untuk melakukan pemijahan paling tidak satu kali dalam hidupnya agar dapat menghasilkan keturunan sebelum dimanfaatkan oleh masyarakat. Terakhir adalah dengan membuat suatu daerah perlindungan. Daerah perlindungan ini digunakan untuk melindungi lamun pada umumnya sebagai habitat dari bulu babi tersebut, dan jika habitat dari lamun ini terjaga maka bulu babi akan dapat berkembang biak dengan baik kemudian populasinya juga akan menyebar keluar daerah perlindungan dan dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

E. Daftar Kepustakaan:

63 (1968-2010)

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

SUMMARY PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA TESIS, DESEMBER, 2011

A. Name

: Adhitya Ridwan Yulianto

B. Title : Sustainable Sea Urchin Utilization in Seagrass Bed (A Study in Seagrass Bed Area at Banjar Semangan dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur Denpasar)

C. Total Pages : Opening pages, xxv, main pages, 85, annexes,16, Table,

10, Figure, 39

D. Summary : Sea Urchin is an invertebrate that live in shallow water. There are around 85 sea urchin species that live along side of the Indonesian coastal area, usually found in seagrass bed or coral reef. Sea urchins abundance in seagrass is related to their feeding behaviour, beside that seagrass can also function as protecting area from predator or wave action. Sea urchin is main element in seagrass ecosystem food chain, and as importance part in nitrogen cycle. For human being, sea urchin can be most favourable food. Indications of prehistoric human consumption of sea urchins have been discovered in various locations. Until now, sea urchin is still collected by people without control regulation, therefore in some region sea urchin tends to be over exploitated. The problem statements of this research are:

1. Sea urchin utilization in seagrass bed by the local people is categorized traditional, even there is no evidence of decreasing population but it is possible to over exploited

2. In the other hand, there is no concept about sea urchin utilization that can keep the population sustain

The objectives of this research are:

1. Identified the distrubution and abudance of sea urchin and condition and distribution of seagrass, then analysing the correlation between them

2. Studying the utilization pattern of sea urchin by local people in Sanur and analysing its impact on the sea urchin population.

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

3. Develop the concept of utilizing and protecting the sea urchin that maybe applied by local people in Sanur.

Transect method is use for data collection. There are 5 transect, and each transect contain 5 large quadrant (2,5 x 10 m) for sea urchin.Every large quarant contains four small quadrant (0,5 x 0,5 m)for seagrass. Interview to the fisherman and community leader was also conducted. Data was collected in 30 days. base on data, there are 10 seagrass species found in Sanur, with Thalasia hemprichii and Enhalus acoroides are the most dominating species. Average seagrass cover are32%. Average sea urchin diameters are 5 cm with 0,19

individu/m 2 population density. There is corelation between sea urchin population, with coverage and T. hemprichii.

Traditional fishing method is still adapted by local people. The utilization is conduct base on tidal wave status. Sea urchins gonad were collected and place it in a mineral water bottle. Each gonad bottle will be excanged for Rp 15,000. An average daily catch of sea urchin gonad is around 2 bottles. Continuous in effective utilization nonetheless have an impact to the decreasing of sea urchin density. Low density level increases the fertilization failure that could leads to decreasing population. Utilization also promotes adaptation in which sea urchin accelerates maturity. Sea urchin that has smaller size than the normal condition is an indication of matured gonads. Sea urchin utilization concept can be develop in three ways. First; by conduct seasonal closure, this can give sea urchin the time to spawn during the spawning season. Second; by limiting the catching size, the fisherman may harvest sea urchin based on a permitted size. Limiting size meant to allow sea urchin to spawn once in their lifetime. Third; by creating marine preserved area. This area will be used for seagrass shelter as the habitat for sea urchin and other biota. Sea urchin can breed normally in a well-preserved habitat, furthermore its population may spreading out of the shelter area and utilized by humans.

E. Bibliography : 63 (1968-2010)

Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bulu babi adalah kelompok hewan tidak bertulang belakang (Avertebrata) yang termasuk dalam filum Echinodermata. Hewan ini banyak ditemukan pada perairan dangkal dan biasanya terdapat pada padang lamun dan daerah terumbu karang (Suharsono, 1999). Di seluruh dunia, terdapat kurang lebih 800 jenis bulu babi dari kelas Echinodea yang terbagi dalam dua subkelas yaitu Perischoechinoidea dan Echinoidea(Radjab, Khouw, Mosse, & Uneputty, 2010). Di Indonesia sendiri, terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal dari 31 suku dan 48 marga (Clark & Rowe 1971 dalam Dobo, 2009).

Keberadaan bulu babi di kawasan padang lamun berkaitan erat dengan aktivitas makannya, dimana bulu babi adalah hewan herbivora yang juga grazer utama pada daerah padang lamun (Dy, Uy, & Coralles 2002). Di Indonesia, bulu babi yang ditemukan di padang lamun antara lain dari marga Diadema, Tripneustes, Toxopneustes, Echinotrix, Echinometra, Temnopleurus, Mespilia dan Salmacis (Aziz, 1994). Secara ekologi, padang lamun berfungsi sebagai habitat dari berbagai organisme, karena padang lamun menyediakan tempat berlindung dan juga makanan bagi berbagai macam biota laut (Bjork, Short, Mcleod, & Beer, 2008). Distribusi dan kehadiran bulu babi di padang lamun menunjukkan bahwa mereka memainkan peran ekologis yang sangat penting dan menjadi kunci penting dalam aliran energi dan daur materi (Dy, et al., 2002; Vaitilingon, Rasolofonirana, & Jangoux, 2003; Aziz, 1999) dan juga daur nitrogen (Vonk, 2008).

Bulu babi dapat dijadikan sumber makanan dengan memanfaatkan gonadnya. Beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika, Kanada juga menjadikan bulu babi sebagai makanan tambahan (Darsono & Sukarno, 1993). Cara pemanfaatan gonad bulu babi adalah dengan memakan langsung, ataupun diolah terlebih dahulu. Seperti di Jepang, pengolahan gonad bulu babi ada yang difermentasikan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Gonad bulu babi khususnya dari jenis Tripneustes gratilla telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir di Bali sebagai bahan makanan. Pengambilan bulu babi di Nusa Dua oleh nelayan setempat dilakukan dengan cara tradisional dan berlangsung sejak lama dan masih berlangsung hingga saat ini.Tidak ada catatan resmi tentang jumlah pengambilan di daerah tersebut, namun secara kualitatif disebutkan sebagai cukup banyak (Darsono & Sukarno,1993). Selain di Nusa Dua, pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat juga dilakukan pada sepanjang pantai Pererenan, Bali (Wiratmini, Wiryanto, & Raka Dalem, 2008).

Sebagai hewan dengan pergerakan yang sangat terbatas, membuat bulu babi menjadi mudah untuk diburu. Pengambilan bulu babi di alam terus dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek kelestariannya, sehingga rawan untuk terjadi penurunan populasinya. Penurunan stok bulu babi di alam akan semakin cepat jika tingkat eksploitasinya lebih sering dilakukan, karena penambahan individu baru (recruitment) dari populasi tersebut tidak sebanding dengan pengambilan oleh masyarakat. Seperti yang terjadi pada daerah Filipina dan Karibia, populasi bulu babi sempat menurun akibat adanya penangkapan yang berlebihan (Juinio- Menez, Pastor & Bangi 2008, Pena, Oxenford, Christopher, & Johnson, 2010). Oleh karena, itu berbagai informasi perlu dikumpulkan untuk mendasari pola pemanfaatannya agar terus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Radjab, et al., 2010; Darsono & Sukarno 1993).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, dapat diketahui bahwa bulu babi adalah hewan herbivora yang hidup dalam kawasan padang lamun dan berperan sebagai salah satu grazer utama dari lamun tersebut. Bulu babi juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai sumber makanan tambahan dengan mengambil gonadnya. Pemanfaatan bulu babi di berbagai tempat di dunia secara berlebihan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Keberadaan bulu babi dalam ekosistem lamun memainkan peran yang sangat penting. Selain menjadi grazer dalam padang lamun, bulu babi adalah kunci penting dalam transfer energi dan materi. Bulu babi juga berperan dalam daur nitrogen yang ada di kawasan padang lamun. Hal ini menjadikan bulu babi komponen yang penting dalam ekosistem, sehingga dengan hilangannya bulu babi maka akan mengganggu ekosistem padang lamun. Disamping itu, bulu babi juga bermanfaat bagi manusia dengan cara memanfaatkan gonadnya sebagai bahan makanan tambahan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di Sanur sejak dahulu dilakukan secara sederhana tanpa menggunakan peralatan khusus. Disamping itu pemanfaatan bulu babi sudah berlangsung sangat lama dan diperkirakan sudah terjadi eksploitasi yang berlebihan

2. Disamping itu, pada daerah Sanur belum adanya suatu aturan pemanfaatan bulu babi yang dapat mendukung keberlanjutan dari populasi bulu babi.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi padang lamun dan juga hubungan antara bulu babi dan dan lamun?

2. Bagaimana cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di kawasan Pantai Sanur dan dampaknya terhadap populasi bulu babi?

3. Bagaimana pengembangan konsep pemanfaatan yang berkelanjutan dan perlindungan bulu babi yang dapat diterapkan oleh nelayan pada kawasan Pantai Sanur?

Universitas Indonesia

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan, maka tujuan umum penelitian ini adalahmembuat suatu bentuk pengelolaan yang dapat diterapkan untuk pemanfaatan bulu babi. Dengan tujuan khusus sebagai berikut:

1. Mengetahui sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi padang lamun kemudian menganalisis hubungan antara bulu babi dan dan lamun.

2. Mengkaji cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di kawasan Pantai Sanur dan menganalisis dampaknya terhadap populasi bulu babi

3. Mengembangkan konsep pemanfaatan yang berkelanjutan dan perlindungan bulu babi yang mungkin dapat diterapkan oleh nelayan pada kawasan Pantai Sanur

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Masyarakat akademis, sebagai pengkayaan khasanah khususnya ilmu lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan bulu babi berbasis masyarakat.

2. Pemerintah daerah, sebagai bahan masukan; untuk memperbaiki atau meningkatkan kebijakan sehubungan dengan pengelolaan bulu babi berbasis masyarakat.

3. Masyarakat Sanur, sebagai bahan informasi, untuk mengetahui pentingnya pengelolaan bulu babi sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

4. Pemerintah pusat, sebagai bahan masukan untuk pemfaatan potensi bulu babi sebagai sumberdaya pesisir yang dapat menjadi komuditi ekspor

Universitas Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan

Ekosistem sangat berperan penting dalam kehidupan manusia dengan memberikan jasa ekosistem/lingkungan yaitu dengan menyediakan berbagai macam sumberdaya alam. Millenium Ecosystem Assessment (2003) mendefinisikan jasa- jasa ekosistem sebagai keuntungan yang diperoleh manusia dari ekosistem. Tiga jenis jasa ekosistem yang secara langsung menyumbang kepada kesejahteraan manusia, yaitu: jasa-jasa penyediaan (disebut juga barang-barang ekosistem), seperti makanan; jasa-jasa pengaturan, seperti pengaturan air, iklim atau erosi; dan jasa-jasa budaya, seperti rekreasi, spiritual dan agama (Gambar 2.1). Selain dari ketiga jenis ini, jasa-jasa pendukung mewakili jenis jasa keempat dan termasuk jasa-jasa yang penting untuk menghasilkan jasa-jasa lainnya; sebagai contoh, produksi primer, siklus nutrisi.

Gambar 2.1 Jasa Ekosistem Dengan Kesejahteraan Manusia

Sumber: Millenium Ecosystem Assessment, 2003

Universitas Indonesia

Wilayah pesisir memiliki arti strategis, karena pesisir adalah wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa ekosistem yang sangat kaya (Clark, 1996 dalam Stanis, 2005). Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya. Kondisi tersebut menjadikan sumberdaya pesisir sebagai sumberdaya bersama. Sumberdaya yang sifatnya milik bersama ini memberi kesempatan semua orang dapat masuk untuk memanfaatkannya, dan karena sifat manusia ingin mendapatkan manfaat sebesar-besarnya maka akibatnya terjadi tragedi kebersamaan (tragedy of freedom in a common) (Hardin, 1968). Keadaan tersebut dapat mengakibatkan adanya konflik yang menyebabkan sumberdaya alam menjadi rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Kelangsungan sumberdaya alam sangat dibutuhkan untuk kehidupan generasi mendatang. Hal tersebut dikarenakan sumberdaya adalah salah satu dari tiga komponen lain, sosial dan ekonomi, yang merupakan dasar dari konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu konsep baru, tetapi konsep ini mulai banyak didengar setelah adanya konfrensi di Rio de Jeneiro tahun 1992 yang dikenal dengan Earth Summit. Hasil dari konfrensi Agenda 21 yang ditandatangani oleh 178 negara yang berkomitmen dalam pembangunan berkelanjutan.

Difinisi dari mengenai pembangunan berkelanjutan sangatlah beragam. Menurut Sumarwoto dalam Sugandhy dan Hakim (2007) pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya. Menurut World Bank (2009) pembangunan berkelanjutan adalah memberikan kesempatan kepada generasi mendatang sebanyak yang kita dapatkan walaupun kesempatan tersebut tidak akan sama seperti yang kita dapat. Dalam Agenda 21 Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (1997) dalam Suhartini (2009) menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian dalam Undang-Undang no 32

Universitas Indonesia

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi dari pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Berdasarkan definisi dari pembangunan berkelanjutan, dapat dilihat bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat lepas dari tiga pilar penting yaitu perlunya koordinasi dan integrasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan (Sugandhy & Hakim, 2007). Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan setidaknya membahas berbagai hal yang antara lain berkaitan dengan upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung ekosistem, upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkannya, meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang dan mempertemukan kebutuhan-kebutuhan manusia secara antar generasi (Baiquni, 2007 dalam Suhartini, 2009).

2.2 Sistem Sosial Ekologi Peningkatan jumlah penduduk diikuti pula oleh peningkatan permintaan akan berbagai macam kebutuhan. Peningkatan tersebut diikuti pula oleh meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam yang adalah bahan baku dari berbagai kebutuhan manusia. Pamanfaatan sumberdaya alam saat ini masih cenderung kurang memperhatikan aspek berkelanjutan. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya terjadi eksploitasi sumberdaya tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan juga cadangan dari sumberdaya tersebut. Daerah pesisir yang memiliki sumberdaya alam dan jasa ekosistem yang tinggi juga tak luput dari kegiatan eksploitasi, salah satunya adalah dari sektor perikanan.

Perkembangan usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: permintaan pasar, kondisi sumberdaya laut yang dikelola, dan desakan kebutuhan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir,dapat mengakibatkan perubahan pada kondisi ekosistem tersebut. Perubahan dari ekosistem tersebut diikuti pula perubahan pada pola pemanfaatan dan kehidupan dari masyarakat. Hubungan tersebut menciptakan hubungan antara sistem ekologi (ekosistem) dengan sistem sosial (masyarakat), hubungan ini dikenal dengan sebutan sistem sosial-ekologi (social-ecological system).

Sistem sosial-ekologi adalah sebuah sistem ekologi yang berkaitan erat dan terpengaruh dengan satu atau lebih sistem sosial. Kedua sistem ini baik sistem sosial dan ekologi memiliki subsistem yang juga saling berinteraksi. Istilah sistem sosial-ekologi digunakan untuk menjelaskan hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial yang diperantarai oleh komponen biofisik dan komponen biologis selain manusia. Ketika sistem sosial dan ekologi sangat saling berhubungan akan membuat suatu sistem sosial-ekologi yang kompleks, bersifat adaptif dan terdiri dari beberapa subsistem yang juga menyatu dengan beberapa sistem yang lebih besar (Anderies, Janssen, & Ostrom, 2004). Kompleksitas sistem sosial dan ekologi digambarkan pada model konseptual sistem sosial-ekologi pada Gambar

2.2

Universitas Indonesia

Gambar 2.2 Model Konseptual Sistem Sosial-Ekologi

Sumber:Anderies, et al., 2004.

Gambar 2.2 menjelaskan hubungan antara sumberdaya alam (A), pengguna sumberdaya (B), penyedia infrasturktur (C) dan infrastruktur (D). Sumberdaya alam akan digunakan/diambil oleh beberapa pengguna sumberdaya alam (1). Dalam menggunakan sumberdaya alam, pengguna akan membutuhkan alat bantu/infrastuktur sebagai alat bantunya (2, 3, 5, 6), alat bantu ini akan mempengaruhi keadaan dari sumberdaya alam tersebut (4). Dalam hal ini, alat bantu/infrastruktur ini dapat berupa perangkat fisik dan sosial.Perangkat fisik seperti jaring, perahu, dermaga dan lainnya; perangkat sosial dapat berupa peraturan peraturan adat/lokal, nasional, maupun internasional. Dalam model ini dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa gangguan biofisik (7) seperti gempa bumi, perubahan iklim, dan perubahan alam lainnya yang berakibar pada sumberdaya alam dan infrastruktur. Selain ituterdapat gangguan sosial ekonomi(8) seperti pertambahan jumlah penduduk, politik, inflasi dan lainnya yang berakibat pada pengguna sumberdaya alam dan penyedia infrastruktur (Anderies, Janssen, & Ostrom, 2004).

Universitas Indonesia

Padang lamun adalahsalah satu ekosistem pesisir yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (Bjork, et al., 2008). Terdapat berbagai macam biota yang hidup pada ekosistem padang lamun dengan fungsi dan perannya sendiri yang masuk kedalam jaring makanan ekosistem padang lamun. Banyak biota yang berada pada ekosistem padang lamun dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya adalah bulu babi. Pemanfaatan yang berlebih pada bulu babi akan mempengaruhi keseimbangan dari ekosistem padang lamun, sehingga diperlukan suatu infrastruktur untuk menjaga keseimbangan ekosistem padang lamun.

2.3 Bulu Babi

2.3.1 Taksonomi, Anatomi dan Siklus Hidup

Bersama dengan bintang laut dan teripang, bulu babi masuk ke dalam filum echinodermata (Lewis, Gaffia, Hoefnagels, & Parker, 1998). Bulu babi sendiri dikelompokan ke dalam kelas echinodea yang dibagi menjadi dua subkelas, yaitu Perischoechinoidea dan Euchinoidea, dan terdapat sekitar 800 jenis bulu babi di seluruh dunia. Subkelas perischoechinodea terbagi menjadi satu bangsa (ordo) dan dua suku (family), sedangkan subkelas echinoidea terbagi menjadi 14 bangsa dan

44 suku (Radjab, 1997). Smith (2008) menyebutkan terdapat sekitar 900 jenis bulu babi yang terbagi dalam 50 suku. Klasifikasi bulu babi menurut Smith (1984) dalam Lawrence (2007a) adalah sebagai berikut

Universitas Indonesia

Filum: Echinodermata Kelas: Echinodea

Subkelas: Euchinoidea Bangsa: Echinothurioida

Suku: Echinothuridae Marga: Echinoturia

Bangsa: Diadematoida Suku: Diadematidae Marga: Centrostephanus, Diadema

Bangsa: Phymosomatoida Suku: Arbaciidae Marga: Arbacia

Bangsa: Echinoida Suku: Echinidae Marga: Echinus, Loxechinus, Paracentrotus, Psammechinus Suku: Strongylocentrotidae

Marga: Hemicentrotus, Strongylongicentrotus Suku: Toxopneustidae Marga: Lytectinus, Pseudoboletia, Pseudocentrotus,

Toxopneustes, Tripneustes

Jenis: Tripneustes gratilla

Organ-organ internal bulu babi terbungkus dalam cangkang keras yang terbuat dari kalsiumkarbonat. Seperti filum-filum echinodermata yang lainnya, sebagian besar bulu babi memiliki tubuh yang bulat dimana terdapat lima garis lipatan simetris, dan dibagi menjadi lima areal ambulakral. Areal Amburakral dipisahkan oleh lima daerah inter-ambulakral. Pada setiap daerah ambulakral terdapat kaki- kaki tubuler yang terdapat di dekat bagian mulut pada bagian bawah. Bagian tengah kebawah dari tubuh bulu babi adalah permukaan oral, yang disebut dengan peristom. Sementara bagian tengah keatas adalah permukaan aboral disebut dengan periprot, yang terdapat anus, lubang genital, dan madreporit (Lewis, et al. 1998). Morfologi bulu babi secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.3

Universitas Indonesia

Gambar 2.3 Anatomi Bulu Babi

Sumber: Dobo (2009)

Pada umumnya bulu babi memiliki lima gonad yang terdapat pada daerah inter- ambulakral (Lewis, et al., 1998). Proses pembentukan gonad atau gametogenesis terjadi dalam empat tahap, yaitu inter gametogenesis, pre gametogenesis, gametogenesis dan akhir gametogenesis kemudian pemijahan. Seluruh tahap itu memerlukan waktu selama 10-15 bulan, karena terkadang terjadi overlaping dari tahap gametogenesis dengan pre gametogenesis. Bulu babi memiliki kelamin terpisah antara betina dan jantan, walaupun sangat sulit untuk membedakannya. (Walker, Unuma, & Lesser, 2007).

Gambar 2.4 Gonad Bulu Babi Yang Dikonsumsi

Sumber: Dokumen Pribadi

Universitas Indonesia

Pada masa pemijahan, sperma dan telur bulu babi dilepaskan ke air laut dan terjadi fertilisasi eksternal. Jantan biasanya memijah terlebih dahulu sebelum betina. Pertumbuhan bulu babi diawali dengan fase larva yang berupa plankton yang sering disebut dengan echinopluteus. Larva bergerak secara pasif mengikuti arus air menuju tempat yang cocok, dan kemudian akan menetap sebagai bentos untuk berkembang. Larva kemudian bermetamorfosis menjadi bentuk dewasa, metamorfosis ini adalah perubahan dari bentuk larva menjadi bentuk juvenil, seperti yang dilihat pada Gambar 2.5. Metamorfosis bulu babi memakan waktu hanya beberapa menit, tetapi otot-otot juvenil setelah metamorfosis tidak berfungsi selama beberapa hari (McEdward & Miner, 2007). Setelah bermetamorfosis, bulu babi kemudian berkembang. Perkembangan bulu babi ini meliputi perubahan berat, diameter, dan bentuk dari cangkang yang membutuhkan proses kalsifikasi, dan produksi jaringan halus (Ebert, 2007).

Gambar 2.5 Siklus Hidup Bulu Babi

Sumber: Mahon & Parker (1999) dalam (Pena, et al., 2010)

Universitas Indonesia

2.3.2 Sebaran Geografis dan Habitat

Secara umum bulu babi tersebar hampir di seluruh daerah subtidal hingga intertidal di dunia. Bulu babi banyak terdapat pada kedalaman 2 hingga 30 m di bawah permukaan laut, tetapi ada pula yang berada hingga 100 m di bawah permukaan laut (Kelly, Hughes, & Cook, 2007). Sebagian besar bulu babi hidup di daerah terumbu karang yang ditumbuhi dengan alga (Andrew & MacDiarmid, 1999; Muthiga & McClanahan, 2007; Kelly, Hughes, & Cook, 2007; McClanahan & Muthiga, 2007; Keesing, 2007; Rogers-Bennet, 2007). Selain itu bulu babi juga terdapat pada daerah padang lamun dengan substrat yang agak keras seperti pasir atau campuran antara pasir dan karang (Vasquez, 2007; Boudouresque & Verlaque, 2007; Watts, 2007; Lawrence & Agatsuma, Ecology of Tripneustes, 2007.

Tripneustes adalah salah satu marga bulu babi yang sebaran jenisnya pada daerah tropis hingga subtropis. Distribusi bulu babi jenis Tripneustes gratilla secara global tersebar mulai dari Afrika hingga perairan Indo-Pasifik, dari Australia hingga selatan Jepang (Gambar 2.6). Persebaran T. gratilla sangat dipengaruhi

oleh suhu optimum, berkisar antara 20-31 0

C. Populasinya akan terganggu pada suhu dibawah 10 0

C. Habitat dari T. gratilla sangat bervariasi, mulai dari padang lamun dan alga yang bersubstrat pasir dengan pecahan karang hingga terumbu karang. Kepadatan T. gratilla sangat beragam, pada padang lamun kepadatan berkisar antara 0,1-6,8 individu per meter persegi (Lawrence & Agatsuma 2007). Sebaran T. gratilla dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Universitas Indonesia

Gambar 2.6 Peta Sebaran Bulu Babi (Bewarna kuning)

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tabel 2.1 Sebaran dan Habitat T. gratilla

Lokasi

Habitat dan Kepadatan

Sumber

(individu/m 2 )

Papua New Guinea Padang lamun: 0,1 – 0,33. Nojima, Mukai (1985)*, Mukai et al. (1987)*

Filipina

Padang Lamun: 0,1 – 2.

Klumpp et al (1993), Uy

Terumbu karang dengan

et al (2000)*

lamun: 1,6 Terumbu karang dengan lamun dan alga: 1,5

Indonesia

Vonk (2008) (Sulawesi)

Padang lamun: 1,55

Indonesia (Pulau

Dobo (2009) Hatta-Laut Banda)

Padang lamun: 0,2

Lord HoweIsland

Terumbu karang dengan

Valentine (2009)

alga: 0.02 (2006); 1,3 (2008); 4 (2009)

Coconut Island

Terumbu karang dengan

Stimson (2007)

alga: 0,1

Pulau Reunion

Terumbu karang: 6,8

Lison de Loma et al

Terumbu karang dengan

makroalga: 5,0

Teluk Aqabah

Terumbu karang dengan

Terumbu karang lagoon:

Pecahan karang: 3 – 20

Regis dan Thomassin

Alga: 5 – 10

(1982)*, Maharavo

Universitas Indonesia

Lokasi

Habitat dan Kepadatan

Sumber

(individu/m 2 ) Padang lamun: 10 – 20

Padang lamun: 0,8 – 1,25

Hawaii Coral dan pecahan karang 0 Ebert (1971), Ogden et al - <1

Terumbu karang 3,7

* : Dikutip dari Lawrence & Agatsuma (2007)

2.3.3 Hubungan Bulu Babi dengan Lamun

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup terendam dalam air laut yang berasal dari kelas angiospermae dan masuk dalam tumbuhan berbiji tunggal (monokotiledon) (McKenzie & Yoshida, 2009; Bjork et al., 2008). Padang lamun memiliki banyak sekali fungsi ekologis, antar lain adalah sebagai nursery ground yang terbentuk dari kanopi daun-daun lamun. Daerah nursery ground berguna untuk memberikan perlindungan dari arus pasang surut yang keras juga predator (Watson et al., 1993 dalam Bjork et al., 2008; McKenzie & Yoshida, 2009). Padang lamun adalah sumber makanan utama untuk beberapa hewan-hewan laut yang sering melakukan grazing, seperti dugong dan penyu hijau. Selain itu juga dimanfaatkan oleh hewan-hewan herbivora lainnya seperti bulu babi (Fahruddin, 2002; Aziz, 1999).

Berdasarkan penelitian dari Vonk (2008) di daerah Sulawesi, bulu babi memakan lamun dari jenis Cymodoceae rotundata, dan Halodule uninervis. Pada daerah Lombok bulu babi lebih banyak memakan Syringodium isofolium dan Cymodoceae rotundata (Aziz, 1999). Preferensi makan bulu babi lebih dipengaruhi oleh kelimpahan dan keberadaan suatu jenis lamun pada daerah tersebut. Hilangnya daun dari lamun akibat aktivitas makan bulu babi membuat meningkatkan pembentukan daun baru, proses tersebut membutuhkan berbagai nutrien salah satunya adalah nitrogen. Dengan kata lain, aktivitas makan bulu babi ini dapat mempercepat siklus nitrogen (Vonk, 2008).

Aktivitas memakan tumbuhan (grazing) berbagai jenis lamun yang terdapat di padang lamun menjadikan bulu babi masuk dalam rantai makanan di ekosistem padang lamun. Hal yang Penting dari grazing bulu babi ini adalah dengan

Universitas Indonesia

dimungkinkannya terjadi suply energi ke level lain dari rantai makanan yang ada. Hal ini terjadi karena disaat bulu babi memakan lamun akan ada lamun sisa atau lamun tersebut terputus sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme lain atau diuraikan oleh dentritus. Lamun yang diuraikan oleh dentritus menjadi bahan organik akan digunakan oleh hewan-hewan invertebrata lainnya dan juga digunakan oleh plankton-plankton, yang membuat padang lamun akan semakin banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan karena ketersediaan plankton (Unsworth, Taylor, Powell, Bell, & Smith, 2007). Feses yang dikeluarkan bulu babi dapat menjadi sumber material organik berupa amonium yang mengandung nitrogen.

Pasokan amonium sangat penting bagi produsen primer sepeti fitoplankton dan epifit, selain fitoplankton dan epifit, lamun juga membutuhkan nitrogen bagi pertumbuhannya (Vonk, 2008).

Gambar 2.7 Rantai Makanan di Padang Lamun

Sumber: Fortes, 1990

Universitas Indonesia

2.4 Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat

Pemanfaatan bulu babi oleh manusia sebagai makanan tercatat telah terjadi sejak jaman prasejarah. Di berbagai tempat situs sejarah di dunia, ditemukan bukti- bukti bahwa manusia prasejarah mengkonsumsi bulu babi dari timbunan sisa-sisa makanan. Jenis bulu babi dari genus Strongylocentrotus ditemukan pada tumpukan sisa makanan manusia prasejarah di daerah Alaska, Amerika Utara, California dan Kepulauan Santa Cruz. Jenis Evechinus chloroticus juga ditemukan dalam sisa makanan di Selandia Baru, dan diduga suku bangsa Austronesia menjadikan bulu babi sebagai makanan favorit (Lawrence, 2007a).

Permintaan akan gonad bulu babi tercatat mulai meningkat secara signifikan sejak tahun 1970, terutama di Jepang. Sejak tahun 1970 hingga tahun 2000 perikanan bulu babi telah banyak berubah (Gambar 2.7), awal tahun 1970 bulu babi paling banyak diproduksi di daerah Barat Laut Pasifik (Jepang dan Korea) yang digunakan sebagai konsumsi domestik. Setelah tahun 1970 mulai banyak timbul perikanan bulu babi dari berbagai daerah di dunia, dan hingga tahun 2000 yang terbesar adalah pada daerah Tenggara Pasifik (Chili). Tahun 1999 tercatat Jepang (US$ 216 juta) dan Amerika Serikat (US$ 19 juta) sebagai dua negara pengimpor bulu babi terbesar (Williams, 2002). Tabel 2.2 menunjukan jenis-jenis bulu babi yang dimanfaatkan diberbagai negara di dunia

Universitas Indonesia

Gambar 2.8 Produksi Bulu Babi Dunia Berdasarkan Wilayah Laut

(Sumber: Williams, 2002)

Tabel 2.2 Jenis Bulu Babi yang Dikonsumsi

Distribusi Wilayah Anthocidaris crassipina

Nama Ilmiah

Nama Lokal

Jepang, Korea, Cina

Echinometra spp. Daerah iklim tropis

Echinus esculentus Atlantik Utara

Evenchinus choroticus

Selandia Baru Glyptocidaris crenulatus

Kina

Cina

Heliocidaris erythrogramma

Purple Sea

Australia

Urchin

Hemicentrotus pulcherrimus Jepang, Korea, Cina

Loxechinus albus

Chili, Peru Lytechinus variegatus

Erizo

Atlantik Barat, Karibia

Paracentrotus lividus Atlantik, Mediterania

Psammechinus miliaris Atlantik Timur Laut

Pseudocentrotus depressus Jepang, Korea

Stronglycentrotus droebachiensis Green Sea Daerah kutub utara

Urchin

Stronglycentrotus franciscanus Red Sea Urchin Alaska hingga Kalifornia Stronglycentrotus intermedius

Jepang, Rusia, Korea

Universitas Indonesia

Distribusi Wilayah Stronglycentrotus nudus

Nama Ilmiah

Nama Lokal

Jepang, Cina

Stronglycentrotus pallidus Rusia

Stronglycentrotus polyacantus Rusia

Stronglycentrotus purpuratus

Purple Sea

Alaska hingga Kalifornia

Urchin

Tripneustes gratilla Toro toro (Bali) Seluruh seluruh perairan di wilayah Indo-Pasifik tropis laut)

Sumber: William, 2002

Gambar 2.9 Berbagai Jenis Bulu Babi yang Dikonsumsi

Ket: A. Heliocidaris erythrogramma B. Stronglycentrotus droebachiensis C. Loxechinus albus D. Tripneustes gratilla E. Stronglycentrotus franciscanus Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Universitas Indonesia

Sebagai salah satu negara penghasil dan pengimport bulu babi terbesar di Dunia, Jepang mengkonsumsi berbagai jenis bulu babi tetapi yang utama adalah jenis Stronglycentrotus intermedius. Metode penangkapan bulu babi di Jepang juga beragam, mulai dari pengambilan sederhana dengan tangan, menyelam, jaring hingga pukat (trawls). Pada awal tahun 1970, penangkapan bulu babi mencapai lebih dari 20.000 ton, dan terus menurun secara perlahan selama 30 tahun yang disebabkan karena juga menurunnya keberadaan bulu babi jenis S. intermedius. Perikanan bulu babi di Jepang dikelola secara kooperatif dengan berbagai jenis bentuk kontrol, seperti batasan penangkapan perhari, minimum ukuran yang ditangkap, penutupan musimam (William, 2002).

Perikanan bulu babi terbesar terdapat di Chili dengan terfokus hanya pada satu jenis saja yaitu Erizo, Loxechinus albus. Sejak pertengahan tahun 1990, Chili menguasai lebih dari setengah produksi bulu babi di dunia. Penangkapan bulu babi berawal dengan cara tradisional hingga saat ini sudah menggunakan cara menyelam. Produksi terbanyak tercatat pada tahun 1999 yaitu sebesar 55.654 ton gonad bulu babi. Perikanan bulu babi di Chili menunjukan adanya eksploitasi berlebih, dengan diikuti adanya kecenderungan meninggalkan daerah tangkapan lama dan mencari daerah baru ke arah Selatan. Produksi bulu babi dapat bertahan dan terus bertambah karena adanya daerah baru dengan sumberdaya yang masih bagus. Pengelolaan perikanan dilakukan secara lokal di daerah bagian Utara dengan cara penutupan musiman dam pembatasan ukuran tangkap namun pelaksanaannya berjalan dengan sangat buruk (William, 2002).

Pemanfaatan bulu babi di Asia Tenggara khususnya Filipina sebagian besar adalah dari jenis Tripneustes gratilla. Pengambilan dilakukan dengan metode yang sederhana, dan tidak ada pencatatan hasil yang jelas (William, 2002).. Pemanfaatan bulu babi pada awalnya berlangsung tanpa adanya aturan, sehingga pada tahun 1992 di Bolinao, Filipina populasi bulu babi di alam mengalami penurunan drastis akibat pemanfaatan yang berlebih. Setelah tahun 1992 tidak ada lagi pemanfaatan bulu babi di daerah tersebut. Pada tahun 1999 tercatat telah terdapat beberapa anakan bulu babi pada daerah tersebut, pemanfaatan bulu babi

Universitas Indonesia

mulai berlangsung kembali sejak tahun 2000. Pengelolaan di Filipina adalah dengan penutupan musiman, tetapi penegakan peraturan sangat lemah dan tidak efektif sehingga terdapat kecenderungan tereksploitasi (Juinio-Menez, 1998).

Di beberapa belahan dunia, terdapat berbagai jenis masakan yang berbahan dasar dari bulu babi. Di Prancis, gonad bulu babi dimakan mentah dengan menggunakan roti dan tambahan lemon. Jepang memiliki berbagai variasi masakan yang menggunakan bulu babi, selain sushi ada beberapa makanan lain seperti Uni no Kanten, Echizen Uni, Shimonoseki Uni, Kaiyaki Uni, dan masih banyak lagi. Bulu babi juga di jadikan saus untuk ikan di Selandia Baru. Di Filipina bulu babi dimasak dengan cara memecahkan cangkang bawah dan menyisakan gonadnya, kemudian dimasukan beras dan dikukus, setelah matang cangkang dibuang dan menyisakan nasi dengan lima garis gonad (Lawrence 2007b)

2.5 Konservasi Sumberdaya Alam Berbagai macam manusia yang telah ternyata mengubah, mendegradasi, dan merusak bentang alam dalam skala luas. Aktivitas tersebut ternyata berdampak buruk terhadap sumberdaya alam yang ada. Ancaman utama terhadap sumberdaya alam akibat kegiatan adalah kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi habitat, pemanfaatan spesies secara berlebihan, invasi spesies asing, dan meningkatnya penyebaran penyakit (Indrawan, Primack & Supriatna, 2007). Sehingga diperlukan suatu upaya konservasi untuk menjaga kelestarian dari sumberdaya alam tersebut. Pengertian konservasi sumberdaya alam menurut Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah pengelolaan sumberdaya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengantetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

Tiga sasaran pokok konservasi atau yang disebut dengan strategi konservasi yaitu:

1. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologi yang menunjang sistem penyangga

Universitas Indonesia

kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia.

2. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa, yaitu dengan menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memungkinkan kebutuhan manusia yang menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan.