Pembentukan Kawasan Perlindungan
5.5.3 Pembentukan Kawasan Perlindungan
Definisi tentang kawasan perlindungan laut adalah suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora fauna dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Kawasan perlindungan laut cukup substansial dalam peningkatan biomassa, ukuran, dan komposisi spesies yang lebih alami. Mekanisme peningkatan biomassa, ukuran, dan komposisi dalam kawasan perlindungan laut adalah melalui: penyebaran dari kawasan perlindungan ke wilayah di sekitarnya ‘spill over’, ekspor telur dan larva yang bersifat planktonik, mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan diluar wilayah mengalami kegagalan (Ward, Heinemann, & Evans, 2001).
Tujuan lain dari pembentukan kawasan perlindungan laut adalah untuk melindungi komponen yang penting dari suatu ekosistem yang dapat mendukung komponen ekosistem lainnya (Kelleher& Kenchington, 1991). Dalam hal ini, pembuatan daerah perlindungan untuk ekosistem lamun karena lamun adalah
Universitas Indonesia
habitat dari beberapa biota laut. Dengan melindungi lamun diharapkan biota-biota yang ada di dalam ekosistem tersebut akan tetap terjaga.
Terdapat beberapa pertimbangan untuk menetapkan suatu daerah menjadi suatu daerah perlindungan laut. Pertimbangan tersebut antara lain keadaan daerah tersebut, pertimbangan biologis, pertimbangan ekologis, kepentingan ekonomi, kepentingan sosial. Pada umumnya, penetapan daerah perlindungan laut biasanya berdasarkan pada dasar ekologis (Kelleher & Kechington, 1991).. Alasan utama dengan menjaga kondisi ekologis adalah karena dengan melindungi suatu sistem ekologi tidak hanya melindungi spesies, tetapi juga melindungi ekosistem untuk menjalankan fungsinya dan jasa-jasa lingkungan terkait (Indrawan, et al., 2007). Dengan adanya daerah perlindungan lamun ini, diharapkan bulu babi yang dimanfaatkan oleh masyarakat, dapat berkembang biak secara alami. Kemudian larva dari bulu babi tersebut menyebar keluar dari daerah perlindungan, baik itu ke daerah tepi ataupun daerah budidaya. Larva bulu babi yang menyebar inilah yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh ibu “toro-toro” dan juga masyarakat.
Proses pembuatan suatu daerah perlindungan laut diperlukan perjalanan yang sangat panjang. Diawali dengan studi lokasi, membuat batas kawasan, sosialisasi masyarakat, membuat aturan mainnya, hingga pengawasannya. Dalam proses penetapan daerah perlindungan laut, diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah setempat hingga masyarakat disekitar pesisir. Setelah daerah perlindungan terbentuk, dilaksanakan suatu pemantauan untuk melihat perkembangan dari program tersebut.
Langkah pertama adalah dengan penetapan rencana beberapa lokasi yang dapat dijadikan daerah perlindungan. Salah satu lokasi yang dapat digunakan menjadi daerah perlindungan adalah daerah transek 3 dan 4 dari daerah survey. Pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi daerah perlindungan adalah dengan melihat kondisi lamun dan juga kondisi bulu babi. Pada transek 3 dan 4, kondisi tutupan lamun tergolong baik diantara transek lainnya. Dilihat dari kondisi bulu babi, transek 3 dan 4 memiliki jumlah bulu babi yang tinggi dan juga sebaran ukuran yang cukup
Universitas Indonesia
beragam. Dengan melihat dari struktur substrat penyusun pada transek tersebut, pada transek tiga terdapat substrat lumpur hingga karang dengan didominasi oleh substrat pasir karang, dan pada transek empat lebih banyak pada substrat pasir. Dari lokasi tersebut kemudian dibuat zona-zona, yang tersiri dari kawasan lindung, kawasan penyangga, dan kawasan pemanfaatan.
Langkah selanjutnya setelah penentuan lokasi dan kawasan pendukung, yang dilakukan diskusi dan sosialisasi dengan kepala pemerintahan, tokoh masyarakat, dan juga masyarakat setempat. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara diskusi kelompok (Focus Group Discussion /FGD) sehingga dapat langsung menangkap usulan dari setiap peserta. Tujuan dari diadakan diskusi kelompok ini adalah untuk mengintegrasi hak-hak pemanfaatan tradisional dalam daerah perlindungan dan juga mekanisme pelaksanaan daerah perlindungan ini. Dalam tahap ini dijelaskan seluruh tujuan dari pembuatan daerah perlindungan dan juga tentang rencana penentuan lokasi dan zonasi dari daerah perlindungan.
Sangat perlu dilakukan pembahasan mendalam mengenai penetapan zonasi. Mengingat pesisir termasuk dalam sumberdaya alam bersama, maka pemanfaatannya tidak hanya dilakukan oleh salah satu elemen saja sehingga zonasi adalah hal yang sangat penting (Indrawan, et al., 2007). Berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian, kegiatan pariwisata terjadi pada daerah 50-100 m dari garis pantai. Sehingga pembuatan daerah perlindungan akan lebih ke arah tubir mulai dari 150-300 m dari garis pantai, agar kegiatan pariwisata juga dapat terus berlangsung. Pembuatan zonasi ini dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah yang tertutup dan wilayah yang dapat dimanfaatkan. Wilayah yang tertutup digunakan sebagai wilayah perlindungan dengan memperhitungkan daerah tepi atau buffer zone. Daerah buffer zone adalah daerah yang mengalami serangkaian perubahan dan merupakan daerah peralihan antara daerah yang dilindungi dengan daerah yang tidak dilindungi (Kelleher & Kechington, 1991). Mekanisme dari penutupan wilayah ini perlu dibahas lebih lanjut dengan berbagai elemen masyarakat dan tokoh masyarakat sehingga dapat mengintegrasikan kepentingan-kepentingan dari masyarakat yang lain
Universitas Indonesia
Setelah mendapat kesepakatan tentang zonasi daerah perlindungan, diskusi selanjutnya membahas tentang bagaimana mekanisme pelaksanaan dari daerah perlindungan ini. Pertama adalah tentang prasarana penunjuang bagi daerah perlindungan tersebut, baik itu pemasangan papan larangan ataupun pembuatan patok pembatas daerah perlindungan. Kemudian dibahas mengenai penyusunan dan penerapan aturan untuk pemanfaatan sumberdaya laut. Aturan-aturan ini nantinya akan mencangkup kegiatan apa saja yang dapat dilakukan ataupun yang tidak dapat dilakukan, lokasi yang dapat dijadikan kegiatan pemanfaatan, dan juga sanksi-sanksi yang diberikan jika terjadi pelanggaran.
Konflik selalu akan timbul pada daerah perlindungan, konflik yang sering muncul adalah masalah penggunaan lahan ataupun konflik kepentingan lainnya. Konflik penggunaan lahan berkaitan erat dengan zonasi kawasan perlindungan mengingat pesisir adalah sumberdaya yang pemanfaatannya dilakukan banyak pihak. Sehingga dalam pembentukan suatu zonasi diharapkan dapat menampung seluruh keinginan masyarakat. Selain itu perlu dibahas juga mekanisme dari pemecahan konflik tersebut, sehingga dapat diselesaikan secara adat ataupun kekeluargaan.
Jika semua telah terbentuk, maka diperlukan suatu sistem pemantauan. Pemantauan adalah salah satu komponen yang sangat penting dalam pembentukan wilayah perlindungan. Dalam kegiatan pemantauan digunakan untuk melihat fungsi ekologis dari habitat tersebut, komunitas hayati dan komposisi dari tiap spesies. Dari kegiatan pemantauan ini akan dapat diketahui kondisi ekologisnya sehingga dapat diketahui keberhasilan suatu daerah perlindungan. Selain itu dari kegiatan pemantauan juga didapat informasi kerusakan suatu elemen pada wilayah perlindungan sehingga dapat dilakukan penanggulangan agar kerusakan tersebut tidak menyebabkan kegagalan dari wilayah perlindungan (Indrawan, et al., 2007). Penjelasan tentang sistem pemantauan juga harus disepakati oleh berbagai elemen masyarakat, sehingga dapat dengan jelas menjabarkan tata cara kegiatan pemantauan dan badan yang bertanggung jawab untuk melakukan pemantauan.
Universitas Indonesia
Konsep pembuatan daerah perlindungan dianggap metode yang cocok untuk daerah Sanur. Hal tersebut karena dalam pelaksanaannya, nelayan dapat melakukan pemanfaatan bulu babi kapan saja tanpa ada pengaturan waktu, sehingga sedikit banyak tidak mengganggu pendapatan nelayan. Pengawasan juga lebih mudah, yaitu dengan pemantauan pada daerah perlindungan saja. Dengan adanya daerah perlindungan ini, pemanfaatan bulu babi diharapkan dapat terus berlangsung dan tidak terhenti jika para ibu “toro-toro” sudah tidak melaut lagi, tetapi dapat diteruskan oleh generasi selanjutnya. Selain itu, pembentukan daerah perlindungan diharapkan dapat meningkatkan populasi bulu babi akan menambah pendapatan dari nelayan dan membuka kesempatan baru bagi masyarakat Sanur untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Manfaat lain yang dapat dirasakan adalah melimpahnya biota laut yang ada di kawasan pantai Sanur, sehingga pemanfaatan biota lain seperti ikan dapat juga merasakan manfaatnya. Disamping itu melimpahnya biota laut juga dapat mendukung sektor pariwisata dengan menyajikan berbagai macam biota yang eksotik bagi wisatawan.
Kendala yang ada pada daerah Sanur adalah tokoh masyarakat dan pemerintah daerah terlihat kurang peduli terhadap masalah perikanan terutama bulu babi. Anggapan yang timbul dari mereka adalah pemanfaatan bulu babi tidak akan berlangsung lama, mengingat yang melakukan pemanfaatan adalah ibu “toro- toro” yang telah paruh baya, sehingga begitu mereka tidak ada generasi selanjutnya tidak akan melakukan pemanfaatan lagi. Di lain sisi, para tokoh masyarakat dan pemerintah menyutujui usulan mengenai daerah perlindungan yang dapat menjaga keanekaragaman. Dengan alasan daerah perlindungan akan dapat menjaga ekosistem pesisir sehingga dapat mendukung pariwisata di Sanur. Kendala selanjutnya yang timbul adalah mereka tidak mengetahui mekanisme dari pembentukan dan juga pelaksanaan dari daerah perlindungan tersebut. Sehingga diperlukan adanya sosialisasi lebih lanjut yang membahas masalah tersebut.
Universitas Indonesia