Aktan 5 Struktur Aktansial dan Struktur Fungsional Cerbung Salindri

dikarepake ing kene dudu bocah kang lair kuwalik, nanging bocah binerkahan kang pinaringan kekuwatan gendam kulhu sungsang panulak balak. Pratandhane pas pener pusere bocah mau ketutup toh bunder kepleng memper cakra. ‘”Nakmas,” sambung Kyai Ganjur kepada AKP Jimat, “Untuk mencegah penjelmaan roh tadi, carilah kulup sungsang. Yang dimaksud di sini bukan anak yang lahir terbalik, tetapi anak yang berkah mendapat kekuatan gendam kulhu sungsang penolak bala. Pertandanya tepat di pusar anak tadi tertutup tanda hitam bundar mirip cakra.’

4.1.5 Aktan 5

Skema Aktan 5: Raden Wijaya sebagai Subjek a b c d e Situasi awal pada skema aktan 5 dimulai ketika prajurit Mongol telah disuruh pulang ke Mongol oleh Raden Wijaya. Sebagai imbalan atas kerjasama mengalahkan Jayakatwang, prajurit Mongol meminta dua putri keraton untuk dibawa pulang ke Mongol. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini. Sawise Jayakatwang dadi bandan, tetunggule pasukan Mongol nagih bebana putri karaton cacah loro kaya kang nate dijanjekake Raden Permintaan prajurit Mongol pengirim Peraturan tidak boleh membawa senjata penolong Raden Wijaya subjek Ø penentang Raden Wijaya penerima Pengurungan prajurit Mongol objek Wijaya. Kairid prajurit watara 300, Nieh Chie, Po Hua lan Feng Hsiang ditut asu ules ireng semu abang klangenan gawan saka Mongol, kapatah mapag putri boyongan menyang Majapahit. ‘Setelah Jayakatwang menjadi mayat, pemimpin pasukan Mongol meminta upah berupa putri keraton berjumlah dua yang pernah dijanjikan Raden Wijaya. Diantarkan oleh prajurit sekitar 300, Nieh Chie, Po Hua dan Feng Hsiang diikuti anjing hitam agak merah selir membawa dari Mongol, untuk menyongsong putri boyongan ke Majapahit.’ Tahap kecakapan pada transformasi ditandai dengan Raden Wijaya yang tidak mau menyerahkan dua putri keraton. Dia menolaknya dengan cara menyuruh prajurit Mongol masuk tanpa membawa senjata. Prajurit Mongol pun dapat dikalahkan dengan mudah ketika sampai di dalam kerajaan Majapahit. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini. Kanthi pawadan sapa wae ora kalilan nggawa gegaman nalika mlebu karaton, pasukan sabrang mau padha seleh bedhama tanpa cubriya, saengga gampang ditumpes dening prajurit Majapahit. Loro ing antarane telu komandhane bregada Mongol nemahi tiwas. Sijine nandhang tatu abot. ‘Dengan aturan siapa saja tidak diperbolehkan membawa senjata ketika masuk ke keraton, pasukan seberang tadi menaruh senjata mereka tanpa curiga, sehingga mudah ditumpas oleh prajurit Majapahit. Dua di antara tiga komandan Mongol tewas. Satunya terluka parah.’ Tahap utama pada transformasi ditandai dengan cerita penyiksaan yang dilakukan kepada dua prajurit Mongol yang tersisa di kerajaan Majapahit atas perintah Raden Wijaya. Prajurit tersebut disiksa sampai tidak menyerupai wajah manusia lagi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini. Tetunggule prajurit Mongol iki sengaja ora enggal dipateni. Nanging direncak kanggo pangewan-ewan luwih dhisik. Awak sekujur digebuki engga lencu. Driji tangane dipagas pruthul mung kari nyisa driji panudinge. Sirahe ditendhangi didhupak, didugang dianggep bal, nganti ilang sipat praupane manungsa dadi rerupan nggegilani. ‘Pemimpin prajurut Mongol tersebut sengaja tidak langsung dibunuh. Tetapi dianggap seperti hewan peliharaan terlebih dahulu. Seluruh badannya dipukuli hingga lebam. Jari tangannya dipatahkan dan hanya menyisakan jari telunjuknya saja. Kepalanya ditendang dan diinjak dianggap seperti bola, sampai tidak menyerupai manusia menjadi wajah yang menyeramkan.’ Tahap kegemilangan pada transformasi terjadi ketika prajurit Mongol yang masih hidup tersebut disiksa terus menerus hingga akhirnya dikurung di sebuah lubang bawah tanah di keraton Majapahit. Prajurit Mongol tersebut ditemani oleh anjing hitam agak merah yang dibawa dari Mongol. Bersama anjingnya, prajurit Mongol tadi dikurung lama sekali. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini. Ing satengahing mecati kasiksa, anggane diuncalake menyang njero mbluwen tutupan ngisor lemah, mapan ana pungkuran karaton, katunggonan asu ingon- ingone kang karep sabela pati. ‘Di tengah-tengah penyiksaan, badannya dilemparkan ke dalam lubang bawah tanah, di sebelah belakang keraton, ditemani anjing peliharaan yang mau membela mati.’ Situasi akhir pada skema aktan 5 ini terjadi ketika prajurit Mongol dan anjingnya yang dikurung di lubang bawah tanah lama kelamaan menjadi anjing gaib yang nantinya akan membalas dendam di tanah Jawa. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini. Sejarah terus lumaku. Wis kinodrat negara gung Majapahit kudu runtuh dening panguwasa anyar Demak Bintara sing dijampangi dening Wali Sanga. Bebarengan karo bedhahe karaton Majapahit, yitmane tahanan asal Mongol kang wis suwe kinurung sajrone rajeg wesi bisa uwal nyilih wadhag asu klangenan. Kebak pangigit-igit siniya-siya, badhan alus kasebut prasapa bakal males ukum gawe gendra Nusa Jawa salawase. ‘Sejarah terus berjalan. Sudah kodrat bahwa negara Majapahit harus runtuh oleh penguasa baru Demak Bintara yang dipimpin oleh Wali Sanga. Bersamaan dengan runtuhnya keraton Majapahit, roh tahanan dari Mongol yang sudah lama terkurung di dalam penjara besi bisa lepas meminjam tubuh anjing klangenan. Penuh pangigit-igit siniya-siya, badan anjing tersebut akan membalas dendam membuat kekacauan di Nusa Jawa seterusnya.’

4.1.6 Aktan 6