Hubungan Tipe Komitmen Organisasi Terhadap Cyberloafing Pada Karyawan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara
HUBUNGAN KOMPONEN KOMITMEN
ORGANISASI TERHADAP CYBERLOAFING PADA
KARYAWAN KANTOR PERWAKILAN BANK
INDONESIA PROVINSI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
MELINA SIALLAGAN
111301301
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS PSIKOLOGI
(2)
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Hubungan Komponen Komitmen Organisasi Terhadap Cyberloafing Pada Karyawan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara” adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 12 Mei 2015
Melina Siallagan 111301031
(3)
Hubungan Tipe Komitmen Organisasi Terhadap Cyberloafing Pada Karyawan
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara
Melina Siallagan & Siti Zahreni
ABSTRAK
Perkembangan teknologi internet dimanfaatkan oleh perusahaan dan organisasi untuk menjalankan fungsinya dengan lebih baik. Namun, kehadiran internet dalam organisasi telah menimbulkan ancaman baru terkait dengan produktivitas yakni cyberloafing. Cyberloafing adalah penggunaan teknologi internet selama jam kerja untuk kepentingan pribadi. Ada beberapa studi yang telah dilakukan untuk meneliti cyberloafing. Penelitian ini bertujuan memeriksa hubungan antara tipe komitmen organisasi terhadap cyberloafing. Penelitian ini melibatkan 70 orang karyawan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera utara. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan merupakan skala adaptasi tipe komitmen organisasi (Allen & Mayer) dan skala adaptasi cyberloafing (Lim & Teo). Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa korelasi Pearson Product Moment. Hasil analisa data menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tipe-tipe komitmen organisasi terhadap
cyberloafing. Affective Commitmen berkorelasi negatif dengan cyberloafing(r = -0,38, p = 0,002). Continuance Commitment berkorelasi positif dengan cyberloafing (r = 0,439, p = 0,000). Normative Commitment berkorelasi negatif dengan cyberloafing (r = -0,433, p = 0,000)
Kata Kunci : Cyberloafing, Affective Commitment, Continuance Commitment, Normative Commitment
(4)
iv
The Relation Between Types Of Organizational Commitment And Cyberloafing In Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara
Melina Siallagan & Siti Zahreni
ABSTRACT
Development of Internet technology has been used by companies and organizations to carry out their functions better. However, the presence of the Internet in the organization have led to new threats related to the productivity of the cyberloafing. Cyberloafing is the use of Internet technology during working hours for personal gain. There are several studies that have been conducted to investigate cyberloafing. This research aims to examine the relationship between the type of organizational commitment toward cyberloafing. This research involved 70 employees at Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara. Data were collected by using the scale adapted from Organizational Commitmet Scale (Allen Meyer, 1990) and Cyberloafing Scale (Lim & Teo, 2009). Data were analyzed by using Pearson Product Moment Correlation and the result showed a significant correlation between Types of Organizational Commitment and cyberloafing. Affective Commitment has negative correlation toward cyberloafing (r = -0,38, p = 0,002). Continuance Commitment has positive correlation toward cyberloafing (r = 0,439, p = 0,000). Normative Commitment has negative correlation toward cyberloafing (r = -0,433, p = 0,000).
Keywords : Cyberloafing, Affective Commitment, Continuance Commitment, Normative Commitment
(5)
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan segala pujian dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunia yang diberikan kepada penulis sepanjang waktu terkhusus dalam menyelesaikan skripsi yang merupakan syarat untuk menyelesaikan studi program Sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dalam penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Psi., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Siti Zahreni, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang memberikan banyak dukungan, saran, bimbingan kepada penulis mulai dari awal penulisan proposal hingga selesai menjadi sebuah skripsi. 3. Ibu Vivi Gusrini Pohan, M.Sc., M.A., Psikolog dan Bapak Ferry Novliadi,
M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan waktunya untuk menguji penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.
4. Ibu Rahma Yurliani, M.Psi., Psikolog selaku dosen pemimbing akademik penulis yang memberikan bimbingan selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.
5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang telah membagikan ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat bagi penulis dan para staf bidang
(6)
vi
akademik, administrasi dan perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang membantu urusan administrasi penulis.
6. Kepada orangtua penulis, W. Siallagan dan A. Br. Manik dan kepada kakak dan abang penulis : Roynaldo Siallagan, S.H dan Wahyu Togatorop S.H, Mery Kristina Siallagan, S.Pd, Irmayanti Siallagan, S.Pd dan Ferdinan Siallagan, terimakasih atas segala doa dan dukungannya.
7. Teman-teman seperjuangan penulis Juniati, Paskha, Yohana, Leliana, Naomi, Ellienz dan Shaila terimakasih untuk kebersamaan dan diskusinya dan sahabat KTB Sheraf, Rani ketaren dan fiorella terimakasih untuk doa dan dukungannya kepada penulis. Juga kepada keluarga kos Mikha, Eryanti, Maria, Rea, Triwani, Septi, Leni dan Yesi terimakasih untuk bantuan dan canda-tawa yang diberikan kepada penulis.
8. Bapak Alde, Ibu Elly, dan Ibu Indah yang mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara dan seluruh karyawan yang bersedia dan telah meluangkan waktunya untuk menjadi subjek dalam penelitian ini.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, peneliti mengharapkan saran yang membangun dari para pembaca untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, 12 Mei 2015
(7)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13
A. Cyberloafing ... 13
1. Pengertian Cyberloafing... 13
2. Jenis-jenis Cyberloafing ... 15
3. Faktor yang Mempengaruhi Cyberloafing ... 17
B. Komitmen Organisasi ... 23
1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 23
2. Komponen Komitmen Organisasi ... 23
C. Hubungan tipe komitmen organisasi terhadap cyberloafing ... 28
(8)
viii
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 31
1. Cyberloafing ... 31
2. Komponen Komitmen Organisasi ... 32
C. Subjek Penelitian ... 33
D. Metode Pengambilan Data ... 34
1. Skala tipe komitmen organisasi ... 34
2. Skala cyberloafing ... 35
E. Uji Instrumen Penelitian ... 36
1. Validitas Alat Ukur ... 36
2. Uji Daya Beda Aitem ... 37
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 38
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 38
1. Hasil Uji Coba Skala Komitmen Organisasi ... 39
2. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing ... 40
G. Prosedur Penelitian ... 41
H. Metode Analisa Data ... 45
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 47
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 47
1. Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47
2. Berdasarkan masa kerja ... 47
B. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 48
(9)
2. Uji linearitas ... 49
C. Hasil Penelitian ... 50
D. Hasil Tambahan Penelitian ... 53
E. Pembahasan ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 63
1. Saran Metodologis ... 63
2. Saran Praktis ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 66 LAMPIRAN
(10)
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Blue Print Skala Komitmen Organisasi ... 35
Tabel 3.2 Blue Print Skala cyberloafing ... 36
Tabel 3.3 Blue Print Skala Komitmen Organisasi setelah uji coba ... 40
Tabel 3.4 Blue Print skala cyberloafing setelah uji coba ... 41
Tabel 4.1 Sebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 47
Tabel 4.2 Sebaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja ... 48
Tabel 4.3 Hasil Uji Asumsi Normalitas ... 49
Tabel 4.4 Hasil Uji Asumsi Linearitas ... 50
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Korelasi ... 51
Tabel 4.6 Interpretasi Hasil Perhitungan Korelasi ... 52
Tabel 4.7 Sumbangan Efektif Variabel Komitmen organisasi ... 52
Tabel 4.8 Perbandingan Mean Empirik Dan Mean Hipotetik ... 53
Tabel 4.9 Kategorisasi skor Cyberloafing ... 54
Tabel 4.10 Kategorisasi Skor Affective Commitment ... 54
Tabel 4.11 Kategori skor Continuance Commitment ... 55
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Skala Penelitian
Lampiran B Reliabilitas Skala
Lampiran C Uji Asumsi dan Analisa Data
Lampiran D Data Mentah
Lampiran E Data Demografis Subjek
(12)
iii
Hubungan Tipe Komitmen Organisasi Terhadap Cyberloafing Pada Karyawan
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara
Melina Siallagan & Siti Zahreni
ABSTRAK
Perkembangan teknologi internet dimanfaatkan oleh perusahaan dan organisasi untuk menjalankan fungsinya dengan lebih baik. Namun, kehadiran internet dalam organisasi telah menimbulkan ancaman baru terkait dengan produktivitas yakni cyberloafing. Cyberloafing adalah penggunaan teknologi internet selama jam kerja untuk kepentingan pribadi. Ada beberapa studi yang telah dilakukan untuk meneliti cyberloafing. Penelitian ini bertujuan memeriksa hubungan antara tipe komitmen organisasi terhadap cyberloafing. Penelitian ini melibatkan 70 orang karyawan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera utara. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan merupakan skala adaptasi tipe komitmen organisasi (Allen & Mayer) dan skala adaptasi cyberloafing (Lim & Teo). Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa korelasi Pearson Product Moment. Hasil analisa data menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tipe-tipe komitmen organisasi terhadap
cyberloafing. Affective Commitmen berkorelasi negatif dengan cyberloafing(r = -0,38, p = 0,002). Continuance Commitment berkorelasi positif dengan cyberloafing (r = 0,439, p = 0,000). Normative Commitment berkorelasi negatif dengan cyberloafing (r = -0,433, p = 0,000)
Kata Kunci : Cyberloafing, Affective Commitment, Continuance Commitment, Normative Commitment
(13)
The Relation Between Types Of Organizational Commitment And Cyberloafing In Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara
Melina Siallagan & Siti Zahreni
ABSTRACT
Development of Internet technology has been used by companies and organizations to carry out their functions better. However, the presence of the Internet in the organization have led to new threats related to the productivity of the cyberloafing. Cyberloafing is the use of Internet technology during working hours for personal gain. There are several studies that have been conducted to investigate cyberloafing. This research aims to examine the relationship between the type of organizational commitment toward cyberloafing. This research involved 70 employees at Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara. Data were collected by using the scale adapted from Organizational Commitmet Scale (Allen Meyer, 1990) and Cyberloafing Scale (Lim & Teo, 2009). Data were analyzed by using Pearson Product Moment Correlation and the result showed a significant correlation between Types of Organizational Commitment and cyberloafing. Affective Commitment has negative correlation toward cyberloafing (r = -0,38, p = 0,002). Continuance Commitment has positive correlation toward cyberloafing (r = 0,439, p = 0,000). Normative Commitment has negative correlation toward cyberloafing (r = -0,433, p = 0,000).
Keywords : Cyberloafing, Affective Commitment, Continuance Commitment, Normative Commitment
(14)
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Perkembangan internet saat ini semakin pesat. Sejak pertama kali diperkenalkan sampai saat ini pengguna internet terus meningkat. Pada tahun 1997 pengguna internet diperkirakan mencapai lebih dari 100 juta orang, kemudian pada tahun 2008 pengguna internet mencapai angka 1.407.724.920. Pada Juni tahun 2014, ada sekitar 3.035.749.340 pengguna internet diseluruh dunia (Internet World Stats, 2014).
Di Indonesia pada awal perkembangannya tahun 1990, internet hanya digunakan oleh para akademisi untuk memudahkan pertukaran data dan informasi. Dalam 10 tahun terakhir, penggunaan internet semakin meningkat yang ditandai dengan jumlah pengguna yang bertumbuh pesat setiap tahun, dan tingginya permintaan produk gadget di pasar. Saat ini pengguna internet di Indonesia telah
mencapai 82 juta orang (Kemenkominfo, 2014). Pengguna internet juga tidak hanya kalangan akademisi ataupun kalangan-kalangan tertentu namun seluruh lapisan masyarakat dapat dengan mudah masuk dan menjangkau dunia maya (APJII, 2012).
Pengguna internet terdiri dari kelompok usia yang bervariasi. Hal ini dilihat dari survey yang dilakukan oleh APJII tahun 2012, bahwa pengguna internet didominasi usia yang lebih muda pada rentang 12-34 tahun yang
(15)
mencapai total 58,4% dengan pengguna internet tertinggi pada kelompok usia 25-29 tahun yang mencapai 14,4% dari populasi (APJII, 2012).
Meningkatnya penggunaan internet juga dapat dilihat dari fenomena yang terjadi yaitu banyaknya fasilitas yang menyediakan akes internet saat ini. Internet tidak hanya bisa diakses lewat warung internet (warnet) tapi juga di tempat-tempat umum yang menyediakan wifi seperti sekolah, perpustakaan, cafe, pusat
perbelanjaan, dan sebagainya sehingga internet bisa diakses oleh siapapun dan kapanpun selama terkoneksi dengan jaringan (Suprihatin, 2009).
Berdasarkan survey APJII ditemukan bahwa pengguna internet lebih banyak menghabiskan waktu di lokasi pekerjaannya seperti kantor, sekolah, atau kampus daripada berada di luar. Pada kantor di seluruh dunia, semua karyawannya memiliki akses untuk menggunakan internet baik itu untuk pekerjaannya maupun tidak (Wallace, 2004). Saat ini, organisasi-organisasi telah meningkatkan penggunaan teknologi informasi seperti internet, komputer, tablets,
dan smartphones dalam menjalankan fungsinya. Dengan meningkatnya
penyediaan fasilitas-fasilitas teknologi informasi tersebut, perilaku karyawan yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi pada jam kerja juga meningkat (Weatherbee, 2010; Blanchard & Henle, 2008). Sekitar 63,4% pengguna internet di Indonesia adalah white Collar yaitu mereka yang bekerja dibidang manajerial
seperti tenaga profesional, tenaga tata usaha, tenaga kepemimpinan dan sejenisnya (APJII, 2012).
(16)
3
Kemudahan-kemudahan dan manfaat-manfaat yang ditawarkan internet menjadi alasan meningkatnya pengguna internet saat ini. Kebutuhan bersosialisasi, mencari informasi, bisnis, dan lain-lain menjadi alasan-alasan seseorang terlibat dalam aktivitas internet. Namun, di Indonesia pengguna internet tidak benar-benar serius dalam memanfaatkan teknologi untuk kegiatan produktif (Wibisono, 2012).
Menurut Wibisono (Dalam survey APJII, 2012) pengguna internet di Indonesia cenderung konsumtif karena menggunakan internet untuk sekedar jaringan sosial di dunia maya atau sekedar update berita terkini. Berdasarkan
Survey APJII tahun 2012 sekitar 87,8 % aktivitas internet yang digunakan adalah Jejaring sosial. Situs yang paling sering dikunjungi adalah situs jejaring sosial, mesin pencari, diikuti oleh situs berita.
Perilaku online karyawan untuk kepentingan pribadi disebut sebagai Personal Web Usage (PWU) di tempat kerja (Anandarajan, 2002). Contoh dari PWU adalah membuka situs berita, mengunjungi situs jaringan sosial, belanja online, chatting online, game online, stock trading, dan sebagainya. Penggunaan
internet untuk tujuan pribadi juga disebut sebagai cyberloafing (Lim, 2002;
Zoghbi, 2006; Henle & Blanchard, 2008; Liberman, 2011; Sawitri, 2012). Lim (2002) mendefinisilkan Cyberloafing sebagai perilaku karyawan yang
menggunakan internet perusahaan pada jam kerja untuk kepentingan pribadi dan kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
Cyberloafing memiliki dampak positif bagi karyawan dalam sebuah
(17)
meningkatkan produktifitas dan juga mengembalikan konsentrasi karyawan (Lim & Chen, 2009). Lim (2009) menemukan bahwa pria menganggap cyberloafing
membuat pekerjaannya lebih mudah dan cyberloafing memberikan emosi positif
di tempat kerja. Selain itu juga ditemukan bahwa cyberloafing dapatmengurangi
kebosanan, fatigue, stress, meningkatkan kesejahteraan psikologis, dan rekreasi
yang membuat karyawan lebih bahagia dalam pekerjaannya (Vitak, Crouse, LaRose, 2011).
Penelitian lain menemukan bahwa pekerja-pekerja yang menggunakan internet pada saat bekerja memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi.
Cyberloafing juga mengurangi kejenuhan dan kecemasan karyawan dalam
menyelesaikan pekerjaan sehari-harinya. Aktivitas browsing selama bekerja bisa
meningkatkan produktivitas dan kreativitas (Anandarajan, 2005; Stanton, 2002).
Namun, Cyberloafing merupakan penyimpangan di tempat kerja karena
menggunakan internet untuk kepentingan pribadi pada saat jam kerja (Lim, 2002). Organisasi yang menyediakan akses internet bagi karyawannya memiliki ekspektasi bahwa akses internet tersebut tidak digunakan untuk kepentingan pribadi. Namun beberapa karyawan melanggar aturan tersebut secara tidak sengaja. Hal ini dikarenakan ada beberapa situs yang menyatakan bahwa
cyberslacking tidak masalah selama tidak diketahui. Terdapat situs yang
menyediakan tombol panik yang digunakan untuk mengganti situs game atau
situs-situs lain yang tidak berkaitan dengan pekerjaan menjadi situs bisnis secara cepat ketika pemimpin melihatnya (Oswalt, Howard, Austin, 2003).
(18)
5
Efisiensi sistem informasi sebuah perusahaan berkurang ketika disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan bisnis. Organisasi juga mengalami kerugian secara materi. Dampak yang paling serius adalah ketika penggunaan fasilitas dialihkan ke hal-hal yang bukan kepentingan perusahaan dan berakibat pada penurunan pelayanan terhadap konsumen dan penurunan produktivitas karyawan yang lain (Oswalt et al, 2003).
Oleh karena itu penting bagi pemimpin sebuah organisasi mengontrol situs yang dibuka oleh karyawannya. Survey yang dilakukan oleh PC World Online menemukan bahwa lebih dari 65% karyawan setuju bahwa pimpinan mereka memiliki hak untuk memantau aktivitas internet mereka namun 95% dari mereka juga mengakui bahwa sebelum diperiksa oleh pimpinan mereka diberitahu terlebih dahulu. Hal ini membuat pemimpin tidak boleh mengontrol situs-situs yang dibuka oleh karyawan selama jam kerja.
Malachowski (2005) menyatakan bahwa cyberloafing adalah cara yang
digunakan untuk menghabiskan waktu selama jam kerja dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karyawan menghabiskan tiga jam dalam seminggu sampai 2,5 jam per-hari untuk aktivitas cyberloafing. Dengan
demikian, Cyberloafing berdampak pada produktivitas sebuah organisasi atau
perusahaan.
Salah satu alasan yang menyebabkan berkurangnya produktivitas karyawan ketika melakukan cyberloafing adalah tidak fokus dalam bekerja.
Ketika karyawan melakukan cyberloafing, mereka biasanya terlibat dalam multi
(19)
Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Greenfield (2009) bahwa individu yang melakukan multi-tasking memiliki performa kerja yang lebih buruk.
Studi ini juga dilakukan dalam desain ekperimen oleh Hembrooke (2003) pada sekelompok mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah. Sebagian mahasiswa diminta untuk mendengarkan dosen sambil menggunakan internet pada komputernya, sebahagian lagi diminta untuk menonaktifkan komputer dan fokus mendengarkan dosen. Hasilnya, mahasiswa yang komputernya dinonaktifkan lebih memahami apa yang diajarkan dosen daripada mereka yang mendengar sambil menggunakan internet (Hembrooke & Gay, 2003).
Cyberloafing memiliki dampak yang signifikan bagi karyawan maupun
organisasi karena penggunaan fasilitas internet yang tidak efisien bisa membuat organisasi menjadi tidak kompetitif (Chen & Yang, 2008). Cyberloafing bisa
menyebabkan rusaknya sistem informasi organisasi yang bisa mengancam nama baik organisasi. Cyberloafing merupakan salah satu bentuk Workplace deviant
behavior tipe production deviant karena cyberloafing bisa memperlambat proses
produksi karyawan (Ahmedi, Bagheri, Ebrahimi, 2011).
Dampak negatif yang ditimbulkan cyberloafing menyebabkan dilakukan
banyak penelitian untuk mengurangi terjadinya cyberloafing, termasuk penelitian
mengenai penyebab dari cyberloafing itu sendiri. Penyebab dari cyberloafing bisa
dilihat dari faktor yang memicu timbulnya perilaku tersebut. Faktor-faktor penyebab cyberloafing yaitu faktor organisasi dan faktor individual. Faktor
organisasi meliputi pembatasan penggunaan internet, anticipated outcomes,
(20)
7
karyawan, dan karakteristik pekerjaan (Ozler, 2012; Lim&Teo, 2005). Adapun sikap terhadap organisasi dapat dilihat dengan 3 aspek yaitu kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan prejudice dalam tempat kerja (Greenberg, 1998).
Komitmen organisasi yang dimiliki karyawan merupakan hal yang sangat penting untuk organisasi dalam menghadapi persaingan global dan mengurangi kemunduran organisasi (Albdour & Altarawneh, 2014). Komitmen Organisasi merupakan persepsi individu terhadap derajat hubungannya dengan organisasi tempat dia bekerja. Kelekatan emosional terhadap organisasi membuat mereka melakukan hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi organisasi tempat dia bekerja (Jewel, 2008).
Komitmen organisasi pada individu terdiri dari tiga komponen yakni,
continuance commitment, affective commitment, dan normative commitment
(Meyer and Allen, 1990). Ketiga komponen organisasi ini ada dalam diri individu namun dengan kadar yang berbeda. Komponen Affective diartikan sebagai ikatan
emosional, identifikasi, dan keterlibatan karyawan terhadap organisasi. Komponen Continuance commitment merupakan komitmen karena adanya
kesadaran akan kerugian apabila meninggalkan organisasi. Normative
Commitment adalah persepsi kewajiban untuk tetap didalam organisasi.
Hasil penelitian Allen &Meyer (1990) menunjukkan bahwa ketiga komponen tersebut memiliki korelasi yang berbeda satu sama lain. Komponen
Affective dan continuance merupakan konstrak yang berbeda. Kemudian pada
(21)
korelasi. Ketiga komponen komitmen tersebut menimbulkan dampak yang berbeda pada perilaku tertentu. Karyawan dengan komponen affective yang tinggi
bekerja dalam perusahaan karena memang ingin melakukannya. Karyawan dengan komponen continuance yang tinggi berada dalam organisasi karena
mereka membutuhkan pekerjaan, dan karyawan dengan komitmen normative
yang tinggi bekerja karena mereka merasa wajib untuk melakukannya (Allen & Meyer, 1990).
Berdasarkan definisi dan indikator komitmen afektif yang tinggi pada seseorang lebih memungkinkan dirinya untuk melakukan usaha yang lebih baik untuk organisasinya dibanding dengan komponen continuance dan normative.
Selain itu banyak juga penelitian yang menemukan bahwa komponen afektif memiliki korelasi yang positif dengan performa kerja. Demikian juga halnya dengan komponen komitmen normative, kewajiban untuk tetap bekerja pada
perusahaan menimbulkan adanya kewajiban untuk memberikan kontribusi bagi perusahaan itu juga sehingga komitmen normative juga berkorelasi positif dengan
performa kerja. Sementara itu komitmen continuance memiliki korelasi positif
yang paling sedikit dengan performa karena orang dengan komponen continuance
yang tinggi berada dalam organsasi adalah semata-mata karena kebutuhan sehingga cenderung tidak ingin memberikan usaha yang lebih untuk organisasi (Meyer & Allen, 1991).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti hubungan ketiga komponen komitmen organisasi terhadap cyberloafing. Penelitian ini dilakukan
(22)
9
Adapun yang menjadi Visi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara adalah Menjadi Kantor Bank Indonesia yang dapat dipercaya di daerah melalui peningkatan peran dalam menjalankan tugas-tugas Bank Indonesia yang diberikan.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara mempunyai misi yaitu berperan aktif dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah melalui peningkatan pelaksanaan tugas bidang ekonomi moneter, sistem pembayaran dan pengawasan bank serta memberikan saran kepada pemerintah daerah dan lembaga terkait lainnya.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara menyediakan akses internet berupa wifi bagi karyawannya. Setiap karyawan dapat memakai
layanan internet tersebut baik dengan menggunakan komputer milik kantor ataupun milik karyawan. Dalam hal ini, tidak ada larangan khusus bagi karyawan untuk tidak menggunakan smartphone selama jam kerja.
(23)
B. PERUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan antara komponen komitmen Organisasi affective,
dengan Cyberloafing?
2. Apakah ada hubungan antara komponen komitmen continuance dengan
cyberloafing?
3. Apakah ada hubungan antara komponen komitmen normative dengan
cyberloafing?
C. TUJUAN PENELITAN
Tujuan dalam penelitian ini adalah menemukan hubungan antara komponen komitmen Organisasi dengan Cyberloafing.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi dunia psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran hubungan antara komponen komitmen organisasi dengan cyberloafing.
(24)
11
b. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan perbandingan dengan hasil-hasil penelitan selanjutnya yang berhubungan dengan cyberloafing dalam
kaitannya dengan komponen komitmen organisasi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran komitmen organisasi pada sebuah organisasi dan gambaran mengenai cyberloafing serta
keterkaitan antara komitmen organisasi terhadap cyberloafing.
E. SISTEMATIKA PENELITIAN
Penelitian ini disusun dalam suatu sistematika penulisan ilmiah yang teratur sehingga memudahkan pembaca untuk membaca dan memahaminya. Sistematika penulisan dalam penelitan ini adalah sebagai berikut :
BAB I - Pendahuluan
Bab ini menguraikan penjelasan mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II - Landasan Teoritis
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Meliputi teori-teori Cyberloafing, Komitmen Organisasi, serta dinamika antara cyberloafing dan komitmen organisasi.
(25)
BAB III - Metode Penelitian
Bab ini menguraikan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, dan metode analisa data penelitian.
BAB IV - Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan pembahasan yang diperoleh dari hasil analisis data, dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.
BAB V - Kesimpulan Dan Saran
Pada bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan.
(26)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. CYBERLOAFING
1. Pengertian Cyberloafing
Banyak pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dalam organisasi. Perbedaan pendekatan-pendekatan ini menyebabkan munculnya istilah, definisi, dan label yang berbeda mengenai cyberloafing (Weatherbee, 2010). Selain cyberloafing ada
istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan perilaku penggunaan internet untuk kepentingan pribadi, seperti Cyberslacking dan PWU (Personal Web Use).
Cyberslacking yang diartikan sebagai penggunaan internet dan e-mail yang tidak
berkaitan dengan pekerjaan di kantor yang seharusnya ditujukan untuk pekerjaan (Philips & Reddie, 2007).
Istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena penggunaan internet di tempat kerja yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, misalnya non-work related computing, cyberloafing, dan cyberslacking. Semua
istilah ini menggambarkan penggunaan internet yang tidak produktif di tempat kerja (Jiang and Thsou. 2014).
Block (2001) mendefinisikan cyberloafing sebagai tindakan karyawan
yang melaksanakan aktivitas internet non-business di jam kerja dengan
(27)
cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari Deviant Workplace Behavior.
Cyberloafing diartikan sebagai tindakan yang sengaja dilakukan karyawan untuk
menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya.
Cyberloafing didefinisikan sebagai penggunaan e-mail dan internet
organisasi untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja (Blanchard and Henle, 2008). Blanchard & Henle (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua level dari cyberloafing yakni minor dan serius. Aktivitas yang
meliputi cyberloafing minor meliputi mengirim atau menerima e-mail pribadi
pada saat bekerja, mengunjungi situs berita, keuangan, dan olahraga. Aktivitas
Cyberloafing serius meliputi perilaku yang abusive dan kegiatan-kegiatan yang
ilegal seperti perjudian online, mengunngah musik, dan mengunjungi situs-situs
dewasa (Blanchard & Henle, 2008).
Penggunaan internet selama jam kerja untuk kepentingan pribadi juga disebut sebagai Non-Work Related Computing ( Bock & Ho, 2009). Non-Work
Related Computing terdiri dari dua, yakni Junk Computing dan cyberloafing. Junk
Computing merupakan pernggunaan internet organisasi yang dilakukan karyawan
untuk tujuan pribadi dan tidak berkaitan langsung dengan tujuan organisasi.
Cyberloafing diartikan sebagai penggunaan internet pada saat jam kerja
dengan menggunakan internet organisasi. Namun cyberloafing tidak hanya
menggunakan internet milik organisasi namun juga milik pribadi. Definisi ini dikemukakan oleh Henle dan Kedharnath (2012) yaitu penggunaan teknologi
(28)
15
internet selama jam kerja untuk tujuan personal. Teknologi yang dimaksud bisa teknologi yang disediakan perusahaan dan juga miliki pribadi yang dibawa karyawan selama bekerja (misalnya, smartphone, iPad).
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
cyberloafing merupakan perilaku yang menggunakan internet pada saat jam kerja
untuk kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dan dilakukan dengan internet milik perusahaan ataupun milik pribadi.
2. Jenis-Jenis Cyberloafing
Lim dan Teo (2005) mengelompokkan perilaku cyberloafing menjadi dua
kategori utama yaitu aktivitas browsing dan emailing. Aktivitas yang termasuk
dalam aktivitas browsing adalah menggunakan internet perusahaan untuk melihat
hal-hal yang tidak berhuubungan dengan kerja pada saat jam kerja. Sementara itu aktivitas e-mailing merupakan aktivitas mengirim, menerima, dan memeriksa
e-mail yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pada saat jam kerja.
Blanchard and Henle (2008) mengemukakan 2 jenis dari cyberloafing
yaitu minor dan serious.
a. Minor Cyberloafing meliputi penggunaan email dan internet pada saat
kerja. Contohnya mengirim dan menerima pesan pribadi atau mengunjungi situs berita, keuangan, dan olahraga. Dengan demikian minor cyberloafing
mirip dengan perilaku lain yang tidak sesuai dengan pekerjaan namun diberi toleransi. Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa minor
(29)
cyberloafing tidak memiliki dampak yang merugikan bagi organsisasi,
seperti mengurangi produktivitas.
b. Serious Cyberloafing merupakan bentuk cyberloafing lain yang terdiri dari
bentuk-bentuk cyberloafing yang lebih serius. Perilaku ini kasar dan
berpotensi melakukan hal-hal yang tidak sah seperi perjudian on line, mengunduh lagu, membuka situs-situs dewasa. Jenis cyberloafing ini
memiliki dampak yang serius bagi organisasi.
Karyawan yang melakukan minor cyberloafing biasanya tidak percaya
bahwa mereka melakukan hal yang menyimpang. Sementara itu karyawan yang melakukan serious cyberloafing menyadari bahwa perbuatannya menyimpang dan
mungkin tidak akan dimaafkan dan diterima di tempat kerja (Blanchard&Henle, 2008).
Sementara itu, Li and Chung (2006) membagi cyberloafing kedalam empat
jenis yakni :
a. Aktivitas sosial yaitu penggunaan internet untuk berkomunikasi dengan teman. Aktivitas sosial yang melibatkan pengekspresian diri (facebook, twitter, dll) atau berbagi informasi via blog (blogger).
b. Aktivitas informasi yaitu menggunakan internet untuk mendapatkan informasi. Aktivitas ini terdiri dari pencarian informasi seperti situs berita. c. Aktivitas kenikmatan yaitu internet untuk menghibur. Aktivitas kesenangan ini terdiri dari aktivitas game online atau mengunduh musik
(30)
17
d. Aktivitas emosi virtual yaitu sisa dari aktivitas internet lainnya seperti berjudi atau berkencan. Aktivitas emosi virtual mendeskripsikan aktivitas online yang tidak dapat dikategorisasikan dengan aktivitas lainnya seperti berbelanja online atau mencari pacar secara online.
Adapun jenis cyberloafing yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah
jenis cyberloafing yang dikemukakan oleh Lim & Chen yaitu emailing dan
browsing.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Cyberloafing
a. Faktor Individual
1. Persepsi dan Sikap
Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki sikap yang positif terhadap komputer cenderung untuk menggunakan komputer untuk alasan personal dan ada hubungan positif antara favorable attitude towards cyberloafing
dengan cyberloafing (Liberman, Seidman, McKenna, 2011). Karyawan yang
mempersepsikan penggunaan internet mendatangkan keuntungan bagi performa kerjanya secara keseluruhan lebih cenderung terlibat dalam cyberloafing
dibanding karyawan yang lain (Vitak et al, 2011). 2. Personal Trait
Menurut Johnson and Culpa (dalam Ozler & Polat, 2012)Perilaku pengguna internet merefleksikan motif psikologis yang bervariasi. Karakter pribadi seperti malu, kesepian, isolasi, kontrol diri, self-esteem, dan locus of
(31)
kontrol diri yang rendah memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan penyimpangan di tempat kerja (Restubog, 2011). Orang-orang yang berorientasi eksternal atau mereka yang meyakini bahwa orang lain memiliki kontrol terhadap dirinya ditemukan kurang mampu dalam mengontrol penggunaan internet (Chak and Leung, 2004).
Landers dan Lounsbury (2006) meneliti kaitan kepribadian Big-Five
dengan Penggunaan internet. Hasilnya tidak ada hubungan antara neuroticism dan
openness dengan penggunaan internet. Akan tetapi, Agreeableness,
Conscientiousness, dan extraversion berhubungan negatif dengan penggunaan
internet. Orang dengan agreeableness yang rendah lebih sering menggunakan
internet. Orang-orang conscientiousness yang tinggi cenderung terorganisir dan
rendah dalam penggunaan internet. Orang dengan kepribadian introverted lebih
sering online daripada kepribadian extraversion. Hal ini karena orang-orang
extraversion terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial (tidak termasuk aktivitas
komputer).
3. Kebiasaan dan Adiksi Internet
Kebiasaan (habit) merupakan rangkaian perilaku dan situasi yang terjadi secara otomatis tanpa instruksi diri, kognisi, dan pertimbangan dalam merespon lingkungan (Woon and Pee, 2008). Diperkirakan, lebih dari setengah perilaku di media merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010). Hubungan antara kebiasaan media dan cyberloafing memiliki peran yang signifikan dalam memprediksi
perilaku tersebut. Tingginya adiksi terhadap internet bisa menyebabkan penyalahgunaan internet (Chen, Ross, Yang, 2008).
(32)
19
4. Faktor Demografis
Garret dan Danziger (2008) menemukan bahwa status pekerjaan, persepsi otonomi dalam organisasi, tingkat pemasukan, dan gender merupakan prediktor
cyberloafing yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang
berpendidikan cenderung melibatkan dirinya dalam aktivitas-aktivitas seperti mencari informasi secara online, sementara orang-orang yang berpendidikan rendah cenderung menggunakan internet untuk bermain game online (Chak and
Leung, 2004). Penelitian lain menunjukkan bahwa pria cenderung melakukan
cyberloafing lebih sering dan durasi yang lebih lam dibanding perempuan (Lim
and Chen, 2012).
5. Intention to Engage, Social Norms and Personal Ethical Codes
Intention merupakan prediktor yang akurat untuk perilaku dalam banyak
studi. Meskipun demikian penelitian juga menunjukkan bahwa intentions tidak
selalu berujung pada munculnya sebuah perilaku, namun hubungan antara
intention dan perilaku merupakan sebuah hubungan kompleks. Persepsi tentang
pentingnya larangan etis akan cyberloafing berhubungan negatif dengan perilaku
cyberloafing. Belief normative seseorang (misalnya, secara moral cyberloafing
salah) mengurangi intensi untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak et al,
(33)
b. Faktor Organisasional
1. Pembatasan Penggunaan Internet
Meskipun tidak ada persetujuan umum bahwa cyberloafing memiliki
dampak negatif, banyak organisasi menggunakan internet policy untuk membatasi
penggunaan internet. Tujuannya adalah untuk mengatur perilaku karyawan dan terbukti memiliki peran yang penting dalam cyberloafing (Doorn, 2011)
Dengan membatasi penggunaan internet karyawan, pemimpin organisasi mengurangi kemungkinan penggunaan internet untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan karyawan (Garret dan Danziger, 2008). Demikian sebaliknya, karyawan yang akan menerima hukuman yang berat apabila melakukan perbuatan yang menyimpang akan memiliki kecenderungan
cyberloafing rendah (Vitak et al, 2011).
2. Anticipated Outcome
Penelitian menunjukkan bahwa karyawan cenderung tidak melakukan
cyberloafing yang mereka persepsikan memiliki konsekuensi yang negatif kepada
organisasi maupun dirinya sendiri (Lim and Teo, 2005). 3. Dukungan Manajerial
Dukungan manajerial untuk penggunaan internet pada jam kerja tanpa menentukan bagaimana harusnya hal tersebut dilakukan cenderung meningkatkan penggunaan internet untuk kegiatan bisnis maupun aktivitas personal oleh karyawan. Dukungan ini bisa disalahartikan oleh karyawan yang menganggap bahwa dukungan tersebut mensahkan semua jenis penggunaan internet, termasuk
(34)
21
cyberloafing (Garret and Danziger, 2008). Dukungan manajerial termasuk
didalamnya kebijaksanaan yang ditetapkan oleh organisasi.
Beberapa kebijakan dalam organisasi bisa menjadi faktor yang mempengaruhi cyberloafing. Salah satu kebijaksanaan mengenai hal ini adalah
BYOH yaitu kebijaksanaan yang mengizinkan karyawan untuk menggunakan perangkat pribadi selain perangkat yang disediakan oleh organisasi/perusahaan. Kebijaksaan ini bisa meningkatkan perilaku cyberloafing karena karyawan
menggunakan perangkat mereka sendiri (Doorn, 2011).
Kebijaksanaan lain yaitu fleksibilitas kerja baik waktu maupun tempat. Kebijaksanaan ini memungkinkan karyawan untuk bekerja di luar kantor. Kebijaksanaan ini memang memiliki efek pada performa karyawan. Namun, kerugiannya adalah beberapa organisasi menetapkan kebijaksanaan ini tanpa memberikan aturan yang jelas pada karyawannya sehingga hal ini bisa meningkatkan cyberloafing karyawan (Doorn, 2011).
4. Perceived Coworker Cyberloafing Norms
Penelitian menunjukkan bahwa norma rekan sejawat dan supervisor yang
mendukung cyberloafing berhubungan positif dengan cyberloafing. Blau (2006)
menunjukkan bahwa karyawan melihat karyawan lain yang berpotensi menjadi
role model mereka dalam organisasi dan cyberloafing dipelajari dari perilaku yang
mereka lihat dari orang tersebut (Liberman et al, 2011). Selain itu, Lim dan Teo (2005) mengemukakan bahwa individu menggunakan iklim normatif sebagai penyesuaian untuk melakukan perilaku yang dilakukan rekannya.
(35)
5. Employee Job Attitude
Cyberloafing merupakan respon emosional terhadap pekerjaan yang
membuat frustasi, oleh sebab itu sikap terhadap pekerjaan bisa mempengaruhi munculnya cyberloafing (Liberman et al, 2011). Penelitian lain menemukan
bahwa karyawan cenderung melakukan perbuatan yang tidak sesuai ketika mereka memiliki sikap yang tidak baik (Garret and Danziger, 2008). Adapun yang termasuk dalam job attitude adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan
prejudice dalam tempat kerja (Greenberg, 1998).
6. Job Demands and Resources
Studi menemukan bahwa ketika individu memiliki tuntutan kerja yang rendah kemungkinan untuk cyberloafing tinggi, hal ini dikarenakan waktu luang
yang dimiliki. Ketika karyawan tidak memiliki banyak pekerjaan, mereka akan terlibat dalam aktivitas cyberloafing untuk mengahabiskan waktu (Doorn, 2011).
c. Faktor Situasional
Penyalahgunaan komputer biasanya terjadi ketika individu memiliki akses internet dalam pekerjaannya, hal ini disebut sebagai pemicu situasional yaitu efek keadaan yang memoderasi perilaku dan hasilnya (Weatherbee, 2010). Kondisi fasilitas merupakan hal yang penting, sehingga individu yang memiliki intensi untuk melakukan sebuah tindakan tidak mampu melakukannya karena lingkungannya tidak memungkinkan untuk dilakukannya tindakan tersebut. Studi menemukan bahwa ada hubungan positif antara kondisi cyberloafing dengan
(36)
23
Dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku cyberloafing adalah sikap karyawan yaitu
komitmen organisasi.
B. KOMITMEN ORGANISASI 1. Pengertian Komitmen Organisasi
Allen dan Meyer (1990) mendefiniskan komitmen organisasi sebagai kondisi psikologis yang menunjukkan hubungan antara karyawan dan organisasi yang berimplikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi. Allen dan Meyer menambahkan bahwa komitmen organisasi adalah kondisi psikologis yang mengikat individu dengan organisasi.
Berdasarkan uraian definisi diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah kondisi psikologis antara individu dan organisasi yang meliputi internalisasi peran dalam organisasi, evaluasi positif terhadap organisasi dan tanggungjawab terhadap organisasi yang menimbulkan keinginan untuk berkontribusi terhadap organisasi.
2. Komponen Komitmen Organisasi
Allen dan Meyer (1990) mengemukakan tiga komponen komitmen organisasi yaitu affective, normative, dan continuance. Masing-masing komponen
ini terdapat dalam diri individu dengan kadar yang berbeda-beda. Affective
Commitment merupakan komitmen yang berkaitan dengan seberapa besar
keinginan individu untuk berada di organisasi. Continuance commitment
(37)
commitment berkaitan dengan perasaan akan adanya kewajiban untuk tetap berada
di organisasi. Karyawan yang memiliki normative commitment yang tinggi
cenderung merasa dirinya harus tetap berada di organisasi.
a. Affective Commitment
Beberapa studi menggambarkan Affective Commitment sebagai orientasi
afektif karyawan terhadap organisasi. Karyawan dengan Affective Commitment
bekerja untuk organisasi karena mereka memang ingin melakukannya. Porter dan Mowday (1979) menggambarkan pendekatan ini sebagai kekuatan relatif indentifikasi dan keterlibatan individu dalam sebuah organisasi.
Affective commitment adalah kelekatan emosional, identifikasi, dan
keterlibatan dalam organisasi. Komponen ini merupakan orientasi terhadap organisasi yang menghubungkan identitas seseorang dengan organisasi (Meyer &Allen, 1997). Orang dengan Affective Commitment mendukung tujuan
organisasi dan berjuang untuk mencapai misi organisasi tersebut. Ketika sebuah organisasi mengalami sebuah perubahan, karyawan akan mempertanyakan apakah nilai yang dimilikinya masih sesuai dengan nilai organisasi. Apabila mereka merasa tidak sesuai maka mereka akan memutuskan untuk resign (Greenberg,
1997).
Affective commitment dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni tantangan
pekerjaan, kejelasan peran, kejelasan tujuan, kesulitan tujuan, penerimaan oleh manajemen, kelekatan rekan, kesamaan, kepentingan pribadi, feedback,
(38)
25
Individu dengan affective commitment memiliki karakter sebagai berikut
(Allen & Meyer, 1993) :
a. Setia dan tidak melihat kualitas hubungan berdasarkan perhitungan ekonomi.
b. Terlibat dalam hubungan organisasi dan berpartisipasi dalam pengembangan organisasi.
c. Memiliki kelekatan emosional dengan organisasi
d. Memiliki keinginan untuk mempertahankan hubungan dengan organisasi.
b. Continuance Commitment
Ketika seseorang memasuki sebuah organisasi, mereka mempertahankan hubungan dengan organisasi tersebut karena kurangnya alternatif untuk kesempatan yang lain apabila ia meninggalkan organisasi tersebut. Hal ini didefinisikan oleh Meyer & Allen (1990) yang menyatakan bahwa Continuance
Commitment didasarkan pada dua faktor, yakni :
1) Investasi yang telah mereka buat di organisasi, dan 2) Persepsi bahwa tidak ada alternatif lain.
Meyer & Allen (1990) mendefinisikan continuance commitment sebagai
kesadaran akan kerugian apabila meninggalkan organisasi. Continuance
commitment dapat dikatakan sebagai kelekatan instrumental terhadap organisasi
karena asosiasi individu dengan organisasi didasarkan pada perhitungan keuntungan ekonomi yang bisa diperoleh (Beck & Wilson, 2000). Dalam hal ini,
(39)
anggota sebuah organisasi memiliki sebuah komitmen karena adanya penghargaan ekstrinsik yang diperoleh bukan karena mengidentifikasikan dirinya terhadap nilai dan tujuan organisasi.
Semakin lama seseorang berada dalam sebuah organisasi semakin banyak investasi yang telah mereka buat dalam organsasi tersebut. Banyak orang berkomitmen untuk tetap bekerja dalam sebuah organisasi karena takut kehilangan investasi tersebut. Investasi yang dibuat bisa berupa hal-hal yang dianggap berharga oleh individu, misalnya rencana pensiun, keuntungan dari organisasi, status dan lain-lain yang mungkin akan hilang apabila dirinya meninggalkan organisasi sehingga dia memutuskan untuk tetap berada di organisasi (Greenberg, 1997).
Individu dengan continuance commitment dapat dilihat dengan
karakteristik berikut (Meyer &Allen, 1993):
- Bekerja di sebuah organsasi adalah karena pertimbangan ekonomi dan sosial - Merasa rugi / kehilangan investasi apabila keluar dari organisasi tempat ia bekerja
- Menganggap bekerja pada organisasi merupakan suatu kebutuhan
- Merasa bahwa bekerja pada organisasi merupakan kesempatan / peluang yang terbaik
b. Normative Commitment
Normative commitment merupakan perasaan karyawan tentang kewajiban
(40)
27
organsiasi didasarkan pada tugas, loyalitas, dan kewajiban moral. Meyer & Allen (1990) mengemukakan bahwa Normative Commitment terjadi berdasarkan
pengalaman sebelumnya, misalnya berdasarkan pengalaman keluarga (orangtua yang menekankan pada kesetiaan terhadap pekerjaan) atau berdasarkan pengalaman budaya (sanksi akan pergantian pekerjaan). Aspek normative menimbulkan persepsi individu akan kewajibannya untuk berada di sebuah organisasi. Normative Commitment merupakan hasil dari penerimaan keuntungan
yang menimbulkan perasaan bahwa hal tersebut harus dibalas.
Normative Commitment juga diartikan sebagai perasaan tentang kewajiban
untuk bekerja di sebuah organisasi karena adanya tekanan dari orang lain. Orang dengan Normative Commitment yang tinggi sangat memperhatikan pendapat
oranglain apabila mereka keluar dari pekerjaannya. Mereka enggan mengecewakan pimpinan dan rekan kerjanya apabila mereka memutuskan untuk
resign (Greenberg, 1996).
Snape dan Redman (2003) menyatakan bahwa affective commitment dan
normative commitment berhubungan secara signifikan kepada intensi untuk
berpartisipasi dalam pekerjaan. Meskipun demikian affective commitment
memiliki dampak yang lebih kuat. Dibanding dengan continuance dan normative,
affective commitment adalah komponen komitmen organisasi yang diharapkan
untuk dimiliki oleh karyawan (He, 2008).
Karakteristik individu dengan normative commitment adalah sebagai
berikut (Meyer&Allen, 1993) :
(41)
- Tidak tertarik pada tawaran organisasi lain yang mungkin lebih baik dari tempat ia bekerja
- Mempunyai rasa kesetiaan pada organisasi tempat ia bekerja, Tidak keluar masuk pekerjaan/menjadi satu dengan organisasi
- Berkeinginan untuk menghabiskan sisa karirnya pada organisasi tempat ia bekerja
C. HUBUNGAN KOMPONEN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP CYBERLOAFING
Lim (2002) mendefinisikan cyberloafing sebagai penggunaan internet
perusahaan untuk kepentingan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja. Cyberloafing menjadi cara yang biasa yang digunakan karyawan untuk
menghabiskan waktu dalam pekerjaannya. Oleh sebab itu cyberloafing
mengurangi produktivitas karyawan.
Munculnya cyberloafing dipengaruhi oleh sikap karyawan terhadap
organisasi (Ozler, 2012). Sikap karyawan meliputi kepuasan kerja, prejudice, dan
komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan persepsi individu terhadap derajat hubungannya dengan organisasi tempat dia bekerja. Rogojan (2009) menemukan bahwa komitmen organisasi berkorelasi negatif dengan workplace
deviant behavior. Komitmen Organisasi terdiri dari tiga komponen yakni
komponen affective, continuance, dan normative.
Meskipun demikian tidak semua komponen komitmen organisasi bisa mendatangkan keuntungan bagi organisasi (Kirmizi and Deniz, 2009). Hal ini
(42)
29
juga didukung oleh penelitian Boehman (2006) yang menemukan bahwa ada korelasi negatif antara komitmen affective dan komitmen continuance. Demikian
juga, ada korelasi positif antara komitmen affective dan komitmen normative.
Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada hubungan ketiga komponen komitmen organisasi terhadap cyberloafing.
Komponen komitmen affective, continuance, dan normative bisa
menimbulkan produktivitas yang berbeda (Phips, Prieto, Ndinguri, 2013). Scechter (1985) menyatakan orang dengan komitmen affective yang tinggi
memiliki performa yang lebih baik dalam pekerjaannya dibanding dengan orang yang memiliki komitmen continuance. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan positif antara affective dan normative commitment dengan perilaku
yang diinginkan di organisasi. Sementara itu continuance commitment
berhubungan negatif dengan perilaku yang diinginkan dalam organisasi (Meyer and Allen, 1991).
Berdasarkan hasil penelitian (Memari, Mahdieh, Marnani, 2013) ditemukan bahwa ketiga komponen komitmen organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan performa kerja karyawan. Penelitian lain yaitu penelitian meta analisa yang dilakukan oleh Meyer, Stanley, Herscovitch, & Topolnytsky (2002)yang menemukan bahwa diantara ketiga komponen komitmen organisasi, affective commitment memiliki korelasi yang paling kuat dan paling
baik dengan faktor yang berkaitan dengan organisasi (kehadiran, performa, dan
organizational citizenship behavior) dan faktor yang berkaitan dengan individu
(43)
perilaku yang diharapkan meskipun tidak sekuat affective commitment.
Continuance commitment tidak berkaitan atau berkorelasi negatif dengan faktor
tersebut.
Cyberloafing merupakan sebuah perilaku yang termasuk kedalam
penyimpangan produktivitas yang dapat mengurangi tingkat performa kerja karyawan (Lim, 2002). Sementara itu efektivitas sebuah organisasi tidak hanya bergantung pada stabilitas kerja melainkan karyawan harus dapat diandalkan dalam melakukan pekerjaannya dan memiliki keinginan untuk melakukan usaha yang lebih untuk pekerjaannya. Hal ini merupakan bentuk dari komitmen organisasi itu sendiri. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara komponen komitmen Affective, Continuance, dan Normative terhadap
cyberloafing.
D. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan dinamika kedua variabel yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah :
1. Affective Commitment berkorelasi negatif dengan cyberloafing.
2. Continuance commitment berkorelasi positif dengan cyberloafing.
(44)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan usaha untuk menjawab permasalahan, memahami peraturan, dan memprediksikan keadaan dimasa yang akan datang (Nursalam, 2001). Pada bab ini akan diuraikan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengumpulan sampel, metode pengambilan data dan metode analisa data.
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini yakni : 1. Variabel Bebas : Komponen Komitmen Organisasi, yaitu,
a. Affective Commitment
b. Continuance Commitment
c. Normative Commitment
2. Variabel Tergantung : Cyberloafing
B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL 1. Cyberloafing
Cyberloafing adalah frekuensi perilaku karyawan yang menggunakan
internet baik milik organisasi/perusahaan atau miliki pribadi yang tidak berhubungan dengan pekerjannya pada saat jam kerja. Perilaku ini diukur berdasarkan dua kategori, yakni :
(45)
a. Browsing, aktivitas browsing untuk melihat hal-hal yang tidak
berhubungan dengan kerja pada saat jam kerja.
b. E-mailing, yakni aktivitas mengirim, menerima, dan memeriksa
e-mail yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pada saat jam kerja.
Frekuensi Cyberloafing dapat diketahui dengan alat ukur berupa skala
adaptasi cyberloafing Lim dan Chen (2009) yaitu aktifitas browsing dan
e-mailing. Skor total dari komponen emailing dan browsing akan menunjukkan
perilaku cyberloafing karyawan dalam perusahaan. Skor yang tinggi
mengindikasikan bahwa individu memiliki frekuensi cyberloafing yang tinggi.
Sebaliknya skor yang rendah mengindikasikan bahwa individu jarang atau memiliki frekuensi cyberloafing yang rendah.
2. Komponen Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tiga komponen, yakni affective commitment, continuance commitment, dan normative
commitment.
Komponen Affective Commitment adalah kelekatan emosional individu
pada organisasi yang membuat dirinya mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, terlibat dalam organisasi dan mempertahankan keanggotannya dalam organisasi. Komponen Continuance adalah komitmen yang didasarkan pada
perhitungan keuntungan ekonomi yang bisa diperoleh atau penghargaan ekstrinsik yang diperoleh. Komponen normative adalah komitmen yang didasarkan pada
(46)
33
Komitmen organisasi karyawan diungkap melalui revisi skala adaptasi komitmen organisasi Allen dan Meyer (1990). Semakin tinggi skor individu pada skala affective commitment, maka individu dapat digolongkan sebagai orang yang
memiliki affective commitment. Begitu juga hal nya dengan normative
commitment dan continuance commitment.
C. SUBJEK PENELITIAN
Populasi adalah seluruh subjek yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama (Hadi, 2000). Subjek dalam sebuah populasi memiliki karakter yang membedakannya dengan subjek dari populasi yang lain (Azwar, 2010). Penelitian ini merupakan penelitian populasi. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara sebanyak 124 karyawan. Skala dibagikan sebanyak 124 kepada responden dan skala yang kembali dan bisa digunakan sebanyak 70 skala.
Adapun karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Memiliki akses internet di tempat kerja
Dalam hal ini, akses internet yang dimaksud tidak terbatas pada internet yang difasilitasi oleh perusahaan namun juga internet pribadi karyawan. b. Karyawan bekerja minimal enam bulan
Hal ini berdasarkan asumsi bahwa karyawan telah mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi sehingga dapat muncul komitmen organisasi (Baron & Greenberg, 1995).
(47)
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Skala merupakan perangkat pertanyaan atau pernyataan yang disusun untuk mengungkap atribut tertentu melalui respon terhadap pertanyaan tersebut (Azwar, 2002).
1. Skala Komitmen Organisasi
Untuk mengungkap data mengenai komponen komitmen organisasi yang dimiliki karyawan maka digunakan skala adaptasi komitmen organisasi berdasarkan komponen komitmen organisasi oleh Allen & Meyer (1990) yakni skala affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment.
Skala adaptasi komitmen organisasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan revisi skala Allen & Meyer oleh Stephen Jaros (2007). Skala ini terdiri dari 17 aitem favorable dan 3 aitem unfavorable. Setiap aitem terdiri dari 5
pilihan jawaban yakni SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N (Netral), Tidak Setuju (TS), dan STS (Sangat Tidak Setuju).
Untuk aitem favorable penilaiannya adalah SS (Sangat Setuju) akan diberi
skor 5, S (Setuju) akan diberi skor 4, N (Netral) akan diberi skor 3, TS (Tidak Setuju) akan diberi skor 2, dan STS (Sangat Tidak Setuju) akan diberi skor 1. Sedangkan untuk aitem unfavorable penilaiannya adalah STS (Sangat Tidak
Setuju) akan diberi skor 5, TS (Tidak Setuju) akan diberi skor 4, N (Netral) akan diberi skor 3, S (Setuju) akan diberi skor 2, dan SS (Sangat Setuju) akan diberi skor 1.
(48)
35
Tabel 3.1
Blue Print Skala Komitmen organisasi
N o.
Komponen Favorable Unfavorable Jumlah aitem
Bobot (%)
1 Affective
1,2,3,7 4,5,6,8 8 40
2 Continuance 9,10,11,12,13, 14
- 6 30
3 Normative 15,16,17,18,19 ,20
- 6 30
Total 20 100
2. Skala Cyberloafing
Untuk memperoleh data mengenai perilaku cyberloafing karyawan,
penelitian ini menggunakan skala perilaku cyberloafing yang diadaptasi dari skala
Lim dan Chen (2009). Skala ini terdiri dari 12 item favorable. Setiap aitem terdiri
dari 5 pilihan jawaban yakni SS (Sangat Sering), S (Sering), K (Kadang), J (Jarang), dan TP (Tidak Pernah). Penilaian untuk aitem akan bergerak dari 5 ke 1, skor akan diberikan 5 untuk jawaban SS dan 1 untuk jawaban TP.
(49)
Tabel 3.2
Blue Print Skala Cyberloafing No.
1
Kategori Pernyataan Jumlah Bobot (%)
1 Emailing 10,11, 12 3 25
2 Browsing 1,2,3,4,5,6,7,8,9 9 75
Total 12 100%
E. UJI INSTRUMEN PENELITIAN
Guna mencapai tingkat objektivitas yang tinggi, penelitian ilmiah mensyaratkan penggunaan prosedur pengumpulan data yang akurat dan terpercaya. Hasil penelitian dapat diinterpretasikan dengan tepat bila kesimpulannya didasarkan pada data yang diperoleh lewat suatu proses pengukuran yang tinggi validitas dan reliabilitasnya, serta objektif (Azwar, 2012).
1. Validitas Alat Ukur
Validitas merupakan sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan
(50)
37
tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2012).
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menguji validitas adalah validitas isi. Validitas isi bertujuan untuk menguji relevansi aitem dengan tujuan ukur skala yang mana penilaian ini tidak dapat dilakukan oleh peneliti sendiri, namun juga memerlukan penilaian dari orang yang kompeten (expert
judgemement).
2. Uji Daya Beda Aitem
Daya diskriminasi aitem adalah sejauhmana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Indeks daya diskriminasi aitem merupakan indikator konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi aitem total. Pengujian daya diskriminasi aitem dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan
koefisien korelasi aitem total.
Pengujian daya diskriminasi aitem ini dilakukan dengan mengkolerasikan antara skor tiap aitem dengan skor total, dengan menggunakan teknik korelasi
Pearson Product Moment secara komputasi dengan program SPSS for windows
20,0 version. Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor aitem dengan
skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien
(51)
korelasinya rendah dan mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya rendah. Bila koefisien korelasi yang dimaksud ternyata berharga negatif, dapat dipastikan terdapat kecacatan serius pada aitem yang bersangkutan (Azwar, 2012). Koefisien korelasi aitem total yang digunakan pada penelitian ini adalah rix ≥ 0,30.
3. Reliabilitas Alat Ukur
Salah satu ciri instrumen ukur yang berkualitas baik adalah reliabel, yaitu mampu menghasilkan skor yang cermat dengan error pengukuran kecil. Pengertian reliabilitas mengacu kepada keterpercayaan atau konsistensi hasil ukur, yang mengandung makna seberapa tinggi kecermatan pengukuran (Azwar, 2012).
Teknik yang digunakan dalam mengukur reliabilitas alat ukur ini adalah teknik reliabilitas koefisien Alpha Cronbach dengan koefisien lebih besar dari 0,05. Penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS versi 20.0 for Windows untuk menguji reliabilitas alat ukur. Reliabilitas dinyatakan dalam koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00, maka semakin tinggi reliabilitas alat ukur tersebut. Sebaliknya, semakin koefisien reliabilitas mendekati angka 0, maka semakin rendah reliabilitas alat ukurnya.
F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR
Adapun uji coba alat ukur penelitian ini dilakukan terhadap 65 orang responden yang dianggap memiliki kesamaan karakteristik dengan subjek penelitian yang diinginkan.
(52)
39
1. Hasil Uji Coba skala Komitmen Organisasi a. Uji coba skala Affective Commitment
Hasil uji coba terhadap skala affective commitment menunjukkan
koefisien α = 0.824 dengan rxy aitem yang bergerak dari 0.218 sampai dengan 0.774. Aitem yang digunakan dalam uji coba skala komitmen organisasi afektif sebanyak 8 aitem. Berdasarkan hasil analisa aitem sebanyak 7 aitem memiliki nilai diskriminasi aitem diatas 0.30 dan 1 aitem memiliki diskriminasi aitem dibawah 0,30.
b. Uji Coba Skala Continuance Commitment.
Aitem yang digunakan dalam uji coba skala continuance commitment
sebanyak 6 aitem. Berdasarkan analisa, aitem yang memiliki daya diskriminasi diatas 0.30 sebanyak 6 aitem. Hasil uji coba terhadap skala continuance
commitment menunjukkan koefisien α = 0.837dengan rxy aitem yang bergerak dari 0,385 sampai dengan 0,809 yang memiliki daya diskriminasi aitem yang tinggi (rxy ≥ 0.30).
c. Uji coba skala Normative Commitment
Aitem yang digunakan dalam uji coba skala normative commitment
sebanyak 6 aitem. Berdasarkan analisa, aitem yang memiliki daya diskriminasi diatas 0.3 sebanyak 6 aitem. Hasil uji coba terhadap skala continuance
commitment menunjukkan koefisien α = 0.813 dengan rxy aitem yang bergerak dari 0.341 sampai dengan 0.767 yang memiliki daya diskriminasi aitem yang tinggi (rxy≥ 0.30).
(53)
Tabel 3.3
Blue Print Skala Komitmen Organisasi Setelah Uji Coba
N o.
Komponen Favorable Unfavorable Jumlah aitem
Bobot (%)
1 Affective
1,2,3,7 4,5,6,8 8 40
2 Continuance 9,10,11,12,13, 14
- 6 30
3 Normative 15,16,17,18,19 ,20
- 6 30
Total 20 100
2. Hasil Uji Coba Skala Cyberloafing
Aitem yang diujicobakan dalam skala dalam skala cyberloafing sebanyak
12 aitem. Berdasarkan hasil analisa aitem 12 aitem tersebut memiliki nilai diskriminasi aitem diatas 0.30. Oleh sebab itu 12 aitem tersebut akan digunakan untuk mengukur cyberloafing. Hasil uji coba terhadap skala cyberloafing
menunjukkan koefisien α = 0.912 dengan rxy aitem yang bergerak dari 0.457 sampai dengan 0.824 yang memiliki daya diskriminasi aitem yang tinggi (rxy ≥ 0.30). Pada skala cyberloafing tidak ada aitem yang gugur.
(54)
41
Tabel 3.4
Blue Print Skala Cyberloafing setelah uji coba No.
1
Kategori Pernyataan Jumlah Bobot (%)
1 Emailing 10,11, 12 3 25
2 Browsing 1,2,3,4,5,6,7,8,9 9 75
Total 12 100%
G. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Persiapan Penelitian
Peneliti melakukan beberapa tahapan persiapan dalam menyusun penelitian, tahapan-tahapan tersebut meliputi :
a. Pencarian Referensi
Dalam tahapan ini, peneliti mencari referensi-referensi mengenai kedua variabel di buku, jurnal, e-book dan e-journal. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mencari teori variabel independen dan variabel dependen serta dinamika keduanya.
b. Pembuatan Alat Ukur
Pada tahap ini, peneliti mengadaptasi alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku cyberloafing dan komitmen organisasi. Berikut adalah tahapan
(55)
1. Penerjemahan Skala
Ketika mengadaptasi sebuah skala, hal yang pertama dilakukan adalah menerjemahkan skala dari bahasa asli ke bahasa target. Hal ini merupakan proses yang kompleks untuk memastikan bahwa versi akhir dari skala tidak hanya sesuai dengan konteks yang baru tapi juga konsisten dengan versi aslinya.
Para ahli menyatakan bahwa penterjemah dalam hal ini haruslah independen dan menguasai dua bahasa (bilingual). Saat ini direkomendasikan untuk menggunakan paling tidak dua penerjemah bilingual untuk menyelesaikan proses ini sehingga mengurangi resiko masalah bahasa, psikologis, budaya, dan bias teoritis dan praktis. Beaton (2000) menyatakan bahwa penerjemah harus fasih dalam bahasa asli skala dan merupakan penduduk asli bahasa target. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jasa dua orang guru bahasa inggris dan merupakan penduduk asli Indonesia.
2. Sintesa Terjemahan
Setelah proses penerjemahan dari bahasa asli ke bahasa target, peneliti harus memiliki paling tidak dua versi skala terjemahan kemudian disimpulkan. Artinya, menilai arti kata, ungkapan, konsepsi/pengertian, perbedaan bahasa dan kontekstual, untuk menciptakan versi tunggal. Dalam proses ini peneliti membandingkan terjemahan dari kedua penerjemah dan membuatnya menjadi versi tunggal.
(56)
43
3. Evaluasi oleh ahli
Setelah proses sintesa terjemahan, peneliti kemudian meminta bantuan ahli dalam bidang psikologi untuk mengevaluasi skala adaptasi. Ahli akan menilai aspek yang penting, seperti struktur, tata-letak, instruksi instrumen, serta cakupan dalam setiap aitem. Misalnya, ahli akan mempertimbangkan apakah istilah atau ungkapan bisa digeneralisasikan untuk konteks dan populasi yang berbeda dan apakah ungkapan aitem sesuai dengan target populasi. Ahli dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing peneliti.
4. Evaluasi Oleh Target Populasi
Tahapan ini bertujuan untuk memeriksa apakah aitem, skala respon dan instruksi dapat dipahami oleh target populasi. Oleh sebab itu, prosedur ini bertujuan untuk menginvestigasi apakah instruksi jelas, apakah istilah-istilah dalam aitem sesuai, apakah ungkapan sesuai dengan ungkapan yang digunakan populasi, dan sebagainya. Subjek dalam tahapan ini adalah perwakilan karyawan Bank Indonesia Medan.
5. Back-Translation
Back-translation disarankan sebagai tambahan cek kontrol kualitas. Back
translation artinya menerjemahkan versi yang telah disintesa dan direvisi kedalam
bahasa asli. Tujuannya adalah mengevaluasi apakah bersi terjemahan merefleksikan konten dari versi asli. Back translation tidak berarti bahwa aitem harus indentik secara literal dengan versi asli namun aitem harus memiliki kesamaan konsep.
(57)
6. Pilot Study
Sebelum mengaplikasikan skala yang telah diadaptasi, terlebih dahulu dilakukan pilot study, yaitu aplikasi skala pada skala kecil yang merefleksikan karakteristik sampel/target populasi. Adapun subjek dalam pilot study ini adalah
karyawan yang bekerja di bank sebanyak 65 orang.
c. Permohonan Izin Melakukan Penelitian
Pada tahapan ini peneliti memohon izin kepada pimpinan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara untuk pengambilan data penelitian disana.
d. Revisi Alat Ukur
Setelah alat ukur yang disusun diujicobakan kepada beberapa karyawan, peneliti kemudian menemukan aitem-aitem yang bisa digunakan dan aitem yang tidak bisa digunakan. Dengan bantuan SPSS Versi 20 peneliti menemukan data validitas dan reliabilitas alat ukur, sehingga aitem-aitem yang dinilai layak digunakan akan disusun kembali didalam buklet. Berdasarkan hasil uji coba ditemukan satu aitem yang memiliki nilai daya diskriminasi dibawah 0.30 yaitu aitem affective commitment yang memiliki daya diskriminasi 0,218.
Apabila aitem yang digunakan memiliki daya diskriminasi aitem yang rendah maka aitem harus direvisi kembali (Azwar, 2012). Peneliti kemudian melakukan revisi terhadap aitem tersebut dengan mengganti kalimat aitem sesuai dengan hasil sintesa terjemahan dari bahasa asli. Hal ini karena sebelumnya, aitem tersebut diubah kalimatnya pada saat diskusi dengan calon responden. Namun
(58)
45
karena daya diskriminasi aitemnya rendah, peneliti memutuskan untuk menggunakan kalimat asli sesuai dengan kalimat sintesa terjemahan yang telah dievaluasi oleh ahli.
2. Pelaksanaan Penelitian
Dalam tahapan ini, peneliti melaksanakan penelitian dengan menyebarkan skala pada karyawan yang telah memenuhi karakteristik populasi. Karyawan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara kemudian diberikan skala cyberloafing dan komitmen organisasi. Selanjutnya, peneliti mengumpulkan
skala untuk pengolahan data.
3. Pengolahan Data Penelitian
Setelah skala yang disebar dikumpulkan oleh peneliti, maka selanjutnya adalah pengolahan data yang menggunakan IBM SPSS STATISTICS 20
H. METODE ANALISA DATA
Untuk mendapatkan hubungan antara dua atau lebih variabel maka dapat digunakan teknik statistik yang disebut dengan korelasi ganda (Multiple
Correlation). Analisa korelasi ganda adalah korelasi antara serangkaian variabel
prediktor dengan satu variabel dependen (Cozby, 2003). Teknik yang digunakan untuk menguji hubungan variabel adalah Pearson Correlation Product Moment.
Sebelum dilakukan analisa tersebut, dilakukan uji asumsi berikut : 1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari penelitian masing-masing variabel telah menyebar secara normal. Uji normalitas
(59)
sebaran dianalisis dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov, dengan bantuan
SPSS versi 20,0 for windows. Kaidah normal yang digunakan adalah jika p > 0,05
maka sebarannya dinyatakan normal, sedangkan jika p < 0,05 maka sebarannya dinyatakan tidak normal (Field, 2009).
2. Uji Linearitas
Uji Linearitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah variabel penelitian memiliki hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Uji linearitas dalam penelitian ini dilakukan melalui Test For Linearity dengan memperhatikan nilai
Linearity dan Deviation from linearity pada Anova Table program SPSS version
20.0 for Windows. Linearity menunjukkan sejauh mana jika variabel dependen
diprediksi persis di garis lurus. Jika hasilnya signifikan (p< 0.05) maka model linier. Pada kolom deviation from linearity, apabila (p>0,05)maka dapat dikatakan
(60)
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini merupakan seluruh karyawan tetap kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Utara yang berjumlah 124 orang. Kemudian sampel yang digunakan untuk penelitian sebanyak 70 orang, hal ini berdasarkan kriteria yang ditetapkan peneliti. Berikut ini deskripsi umum subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan masa kerja.
a. Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.1
Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase (%)
Pria 39 55.71
Wanita 31 44.29
Total 70 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah subjek penelitian yang berjenis kelamin pria berjumlah 39 (55,71%) orang dan berjenis kelamin wanita berjumlah 31 orang (44,29%).
b. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Masa Kerja
Masa kerja merupakan lamanya tenaga kerja bekerja pada sebuah organisasi. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada kinerja bila dengan semakin lamanya masa kerja personal semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya akan memberikan
(1)
LAMPIRAN F
(2)
A. Sejarah Singkat Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Utara
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Utara (semula bernama kantor Bank Indonesia Medan) merupakan kantor Cabang De Javasche Bank yang ke 11 dan mulai dibuka pada tanggal 30 Juli 1907 bersamaan dengan kantor Cabang Tanjung Balai dan Tanjung Pura yang masing-masing dibuka tanggal 15 Januari 1908 dan 03 Februari 1908.
Pada awalnya Pembukaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Utara, Tanjung Balai, dan Tanjung Pura sebagai kebutuhan untuk menunjang kebijaksanaan moneter pemerintah Hindia Belanda (atas usul de Javasche Bank) yang ketika itu memberlakukan guldenisasi bagi keresidenan pantai timur sumatra. Dengan berkembangnya kegiatan kantor Bank Indonesia Medan dan adanya pengaruh resesi dunia tahun 1930-an maka kantor cabang Tanjung Balai dan Tanjung Pura akhirnya ditutup.
Pada saat berdirinya, kantor Cabang Medan hanya menempati sebuah bangunan sementara. Untuk gedung yang permanen,atas petunjuk Pemerintah disediakan sebidang tanah di dekat Esplanade (lapangan umum) yang pembangunannya dilaksanankan sebelum selesainya politik moneter “Guldenisasi” keresidenan Pantai Timur Sumatera. Untuk persiapan kantor-kantor di Tanjung Balai dan Tanjung Pura, Kepala biro perancang Hulswit diminta untuk merancang pembangunan kantor kedua tempat itu. Rencana pembangunan gedung kantor yang permanen bagi kantor Cabang Medan dilakukan bersamaan dengan perluasan tahap kedua Kantor Pusat (Jakarta Kota) pada tahun 1912 dan beberapa gedung kantor lainnya. Gedung-gedung ini
(3)
menunjukkan ciri arsitektur yang sama mengikuti ciri arsitektur Eropa pada zamannya.
Kantor Bank Indonesia Medan pertama kali dipimpin oleh L. Von Hormert. Pada tahun 1951 saat nasionalisasi, Pemimpin Cabang adalah S.F. Van Musschenbroek dan pada saat Undang-undang Bank Indonesia tahun 1953 diberlakukan, Pemimpin Cabang Medan adalah M. Planteman. Putra Indonesia pertama yang mengendalikan Bank Indonesia Cabang Medan adalah M. Rifai. B. Visi, Misi dan Sasaran Strategis Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatra Utara
a. Visi
Adapun yang menjadi Visi Kantor Bank Indonesia Medan adalah Menjadi Kantor Bank Indonesia yang dapat dipercaya di daerah melalui peningkatan peran dalam menjalankan tugas-tugas Bank Indonesia yang diberikan.
b. Misi
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara mempunyai misi yaitu berperan aktif dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah melalui peningkatan pelaksanaan tugas bidang ekonomi moneter, sistem pembayaran dan pengawasan bank serta memberikan saran kepada pemerintah daerah dan lembaga terkait lainnya.
d. Nilai-nilai dan Sasaran Strategis
Nilai-nilai yang menjadi dasar bagi manajemen dan pegawai bank indonesia untuk bertindak atau berperilaku adalah terdiri dari kompetensi, integritas, transparansi, akuntabilitas, kebersamaan (KITA-Kompak).
(4)
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara mempunyai beberapa sasaran strategis yaitu sebagai berikut :
1. Informasi berkualitas dalam rangka mendukung kebijakan Kantor Pusat dan Pengembangan Ekonomi di wilayah kerja.
2. Peningkatan sistem perbankan yang sehat dalam rangka mendukung ekonomi daerah.
3. Kelancaran dan keamanan sistem pembayaran di wilayah kerja. 4. Pengelolaan keuangan satuan kerja secara efektif dan efisien.
5. Mengoptimalkan kajian dan penyediaan informasi di wilayah kerja. Informasi berkualitas dalam rangka mendukung kebijakan Kantor Pusat dan Pengembangan Ekonomi di wilayah kerja.
C. Struktur Organisasi Kantor Bank Indonesia Medan
Bentuk struktur organisasi Kantor Bank Indonesia Medan adalah struktur organisasi garis dan staf. Secara struktural, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara dipimpin oleh seorang pemimpin dengan kualifikasi pegawai Golongan VIII. Dalam menjalankan tugasnya Pemimpin Bank Indonesia dibantu oleh seorang Deputi Pemimpin (Golongan VIII) yang mengkoordinir bidang-bidang yang ada pada Kantor Bank Indonesia Kelas I, sebagai mana Kantor Bank Indonesia Medan, terdiri dari 2 (dua) tim dan 2 (dua ) bidang yang terdiri atas beberapa seksi/kelompok, yaitu :Tim Ekonomi dan Moneter, Tim Pengawasan Bank, Sistem Pembayaran dan Bidang Manajemen Intern.
(5)
Tim Ekonomi Moneter - Kelompok Pemberdayaan sektor riil dan UMKM - Kelompok Kajian Ekonomi - Kelompok Statistik dan Survey KBI Banda Aceh KBI Lhokseumawe KBI Sibolga KBI Pematang siantar STRUKTUR ORGANISASI KANTOR PERWAKILAN BANK
INDONESIA PROVINSI SUMATERA UTARA
Keterangan : Hubungan Komando Hubungan Koordinasi Pemimpin Bank Indonesia Deputi Pemimpin Bank Indonesia Bidang sistem pembayaran -Seksi Distribusi uang dan layanan kas
- Seksi
pengolahan uang - Seksi layanan nasabah - Seksi penyelenggaran kliring Bidang Manajemen Intern
- Seksi Sumber Daya Manusia - Seksi Logistik - Seksi secretariat, pengaman dan protokol
Tim Pengawasan Bank -Kelompok Pengawas Bank I - Kelompok Pengawas Bank II Seksi informasi & administrasi bank
(6)