terjadi dan dapat membentuk tegakan murni setelah mengalami kebakaran serta mudah tumbuh tunas tunggak, tetapi permudaan alami ini jarang dilakukan karena
akan menghasilkan kayu berkualitas rendah. Menurut Martawijaya et al., 1981, tanaman Jati mempunyai sistem tebang habis permudaan buatan musim hujan
yang berjarak tanam 3m x 1m atau 3m x 3m tergantung pada bonita tanah.
2.2 Pengelolaan Hutan Lestari
Pengelolaan hutan yang lestari adalah pengurusan dan penggunaan lahan hutan dan hutan pada tingkatan rata-rata yang memungkinkan tetap terpeliharanya
keanekaragaman hayati, produktivitas, kapasitas regenerasi, vitalitas, dan kemampuannya untuk memenuhi fungsi-fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial pada
tingkat lokal, nasional, dan global serta tidak menyebabkan kerusakan kepada ekosistem lainnya pada saat ini maupun pada masa yang akan datang Ministerial
Conference on the Protection of Forest in Europe 1993 dalam Helms 1998. Sejak konferensi bumi yang kedua di Rio De Janeiro tahun 1992,
pengelolaan hutan yang lestari tidak hanya menjadi perhatian rimbawan saja, melainkan menjadi tanggung jawab semua perencana pembangunan di semua
sektor dan bersifat global. Pengelolaan hutan tidak hanya berorientasi kepada masalah kelestarian hasil hutan saja tetapi juga memperhitungkan kesejahteraan
masyarakat lokal, kelestarian lingkungan hidup secara luas, dan keanekaragaman hayati Simon 1994.
Menurut ITTO 1992 untuk dapat terlaksananya manajemen hutan lestari, maka terdapat lima pokok kriteria yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Forest Resource Base, yaitu terjaminnya sumber-sumber hutan yang dapat
dikelola secara lestari. 2. The Continuity of Flow of Forest Products, yaitu kontinuitas hasil hutan
yang dapat dipungut berdasarkan azas-azas kelestarian. 3. The Level of Environmental Control, yang secara sungguh-sungguh
mempertimbangkan kondisi lingkungan dan dampak-dampaknya yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan lestari yang berwawasan
lingkungan. 4. Social and Economic Aspects, yaitu dengan memperhitungkan pengaruh-
pengaruh kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan. Dalam tingakt nasional, juga memperhitungkan peningkatan pendapatan penduduk dan negara dalam arti luas.
5. Institutional Frameworks, yaitu penyempurnaan wadah kelembagaan yang dinamis dan mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lestari.
Institutional frameworks juga mencakup pengembangan sumber daya manusia, serta kemajuan penelitian, ilmu dan teknologi yang kesemuanya
turut mendukung terciptanya manajemen hutan lestari. Kelima kriteria yang diperkenalkan ITTO tersebut kemudian dijabarkan
lebih lanjut dalam bentuk ciri atau indikator. Maka indikator berikut merupakan tanda-tanda yang diperlukan dalam pelaksanaan manajemen hutan yang lestari.
1. Tersedianya tata guna hutan yang komprehensif yang secara penuh mempertimbangkan tujuan-tujuan pengelolaan hutan dan kehutanan.
2. Tercukupinya luas hutan permanen, yaitu hutan tetap yang dipertahankan fungsinya sebagai hutan. Luas hutan yang permanen akan mendukung
target dan sasaran pembangunan hutan dan kehutanan. 3. Ditetapkannya target dan sasaran pembangunan hutan tanaman, distribusi
kelas umur, dan rencana tanaman tahunan. Kesemua indikator tersebut di atas mengarah kepada terlaksananya kriteria
pertama yaitu Forest Resource Base. Menurut Meyer 1961, kelestarian hasil hutan adalah penyediaan yang
teratur dan kontinyu hasil hutan yang diperuntukan sesuai kemampuan maksimum hutan tersebut. Tipe-tipe kelestarian hasil yang dikenal antara lain :
1. Hasil integral integral yield, terdiri dari satu tegakan seumur sehingga penanaman dilakukan pada saat yang sama dan pemanenan pada saat yang
sama pula. 2. Hasil periodik intermittent yield, terdiri dari beberapa kelas umur
sehingga penanaman dan penebangan dilakukan pada selang waktu tertentu.
3. Hasil tahunan annual yield, terdiri dari beberapa kelas umur dan selalu ada bagian tegakan yang siap ditebang setiap tahun.
Agar pengelolaan hutan yang lestari dapat tercapai, sudah semestinya ada pola ideal yang mendekati keadaan hutan normal. Dimana ada beberapa syarat
umum yang harus dimiliki, yaitu Osmaston 1968 : 1. Komposisi dan struktur hutannya harus seimbang dengan lingkungan
sekitar. Dengan kata lain pertumbuhan tanaman dan metode silvikultur yang dipakai harus cocok dengan semua keganjilan yang ada.
2. Stok pertumbuhan tanaman harus dapat terus memberikan kemungkinan yang terbaik dari kuantitas yang diinginkan.
3. Pengorganisasian hutan secara menyeluruh harus disediakan untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar.
4. Pengorganisasian hutan sampai pada unit-unit pekerjaan dan seluruh administrasinya harus jadi kemungkinan yang terbaik.
Keempat syarat tersebut di atas dikombinasikan untuk efesiensi kerja, dan bukan hanya secara silvikultur saja, tetapi secara pengelolaan dan pelaksanaannya juga.
Menurut Knuchel 1953 diacu dalam Osmaston 1968 definisi hutan normal itu sendiri adalah hutan yang telah mencapai dan dapat mempertahankan
tingkat yang hampir mendekati kesempurnaan untuk mencapai seluruh tujuan yang telah direncanakan. Konsep hutan normal pada intinya agar dalam
pengelolaan hutan sebaiknya dapat diperoleh hasil yang tetap dan secara terus- menerus, dimana di dalam hutan tersebut seharusnya terdapat tegakan dengan
umur yang berbeda-beda, sehingga dalam menentukan jumlah volume tebangannya tidak mengalami kekurangan atau kelebihan jatah tebang Osmaston
1968. Berdasarkan sistem silvikultur, hutan normal diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu sistem tegakan seumur dan sistem tegakan tidak seumur. Prinsip hasil yang secara terus-menerus dan konsep hutan normal dibuat untuk tegakan seumur. Pada
model tegakan seumur didasarkan pada sistem tebang habis silvikultur dan hasil tahunan secara terus-menerus, beberapa tegakan yang berumur seragam masing-
masing memiliki area produktifitas yang sama. Dengan kata lain ada beberapa rangkaian normal dari beberapa gradasi umur yang masing-masing dibedakan satu
tahun, yang mana setiap kelas umur memiliki kapasitas hasil yang sama. Setiap gradasi umur yang paling tua ditebang, ada penanaman kembali supaya hasil
tahunan yang tetap dan secara terus-menerus dapat tercapai. Kemudian dalam tegakan seumur terdapat beberapa kelas umur, yang mana kelas umur ini
merupakan hasil dari pengelompokkan dari beberapa gradasi umur lima, sepuluh tahun atau lebih. Untuk tegakan jati, dalam satu kelas umur biasanya
menggunakan sepuluh gradasi umur atau umur satu tahun hingga sepuluh tahun untuk kelas umur pertama. Jadi ada 3 tiga norma yang harus dimiliki oleh hutan
normal, yaitu rangkaian normal dari beberapa gradasi umur, stok pertumbuhan yang normal dan pertumbuhan yang normal Osmaston 1968.
Kelestarian hasil hutan menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan hutan tertentu, dimana antara pertumbuhan dan pemanenan
harus seimbang. Menurut Simon 1994, hutan yang tertata penuh akan menghasilkan kayu yang sama, tahunan atau selama periode tertentu, baik dalam
arti volume, ukuran maupun kualitas. Terwujudnya kelestarian hutan adalah adanya jaminan kepastian kawasan hutan yang tetap yang diakui oleh semua
pihak, sistem perhitungan etat yang tidak over-cutting, dan telah dirumuskan sistem permudaan yang menjamin permudaan kembali kawasan bekas tebangan.
2.3 Pembagian Kelas Hutan