Evaluasi perubahan kelas hutan produktif tegakan jati di bagian hutan gombong selatan KPH kedu selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah

(1)

EVALUASI PERUBAHAN KELAS HUTAN PRODUKTIF

TEGAKAN JATI (

Tectona grandis

L.f.)

Di BAGIAN HUTAN GOMBONG SELATAN

KPH KEDU SELATAN

PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH

AGUS DARMANTO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

AGUS DARMANTO (E14060853) Evaluasi Perubahan Kelas Hutan Produktif Tegakan Jati (Tectona Grandis L.f.) di Bagian Hutan Gombong Selatan KPH

Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Di bawah bimbingan Ir. AHMAD HADJIB, MS.

Pengelolaan hutan yang lestari adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu/lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan dimasa yang akan datang dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Susunan kelas umur tegakan jati di Bagian Hutan Gombong Selatan sekarang sudah mengalami penurunan luasan hutan yang diakibatkan gangguan dari manusia, contohnya penebangan liar, oleh karena itu untuk menjaga kestabilan dari hutan produksi di daerah ini harus dilakukan evaluasi ulang dalam pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengklasifikasian tegakan di KPH Kedu Selatan.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder dari jangka 1964-1973, jangka 1974-1983, jangka 1984-1993, jangka 1994-2003, dan jangka 2004-2013. Struktur kelas hutan produktif dan produksi kayu jati jangka ke depan diprediksi dengan menggunakan faktor koreksi. Faktor koreksi yang digunakan dalam memproyeksikan struktur kelas hutan jangka selanjutnya ada tiga macam yaitu : faktor koreksi tingkat kelestarian (FK.1), faktor koreksi penambahan tanaman kelas umur I (FK.2) dan faktor koreksi penambahan tegakan miskin riap (FK.3). Perhitungan besarnya variable FK.1, FK.2, dan FK.3 menggunakan data sekunder buku RPKH jangka 1964-1973 sampai jangka 2004-2013. Asumsi yang digunakan untuk memprediksi struktur tegakan hutan dua jangka selanjutnya yaitu aturan selama periode proyeksi mengikuti aturan yang berlaku saat ini dan tidak ada perubahan kebijakan yang berpengaruh signifikan dalam pengelolaan perusahaan.

Faktor koreksi yang didapatkan adalah tingkat kelestarian (FK.1) berkisar antara 43,95 % sampai 75,30 %, penambahan KU I (FK.2) sebesar 61,35 % dan


(3)

penambahan miskin riap (FK.3) sebesar 3,31 %. Luas kelas hutan produktif meningkat seluas 72,35 ha atau 2,56 % dan terjadi penurunan luas Tanah Kosong (TK) seluas 72,35 ha atau 26,6 %. Luasnya tingkat penanaman (FK.2) serta terjaganya tingkat kelestarian (FK.1), mengakibatkan penambahan luasan produktif. Pada awal jangka 2014-2023 terjadi peningkatan luas hutan produktif seluas 67,96 ha atau 3,06 % dan terjadi penurunan luas TK seluas 67,96 ha atau 24,98 %. Total luas hutan produktif pada awal jangka 2014-2023 tidak mengalami penurunan total luasan produksi yang dapat diartikan perusahaan dapat mempertahankan kelestarian hutan tersebut untuk jangka selanjutnya. Pada proyeksi jangka selanjutnya 2024-2033 didapatkan FK.1 sekitar 72 % hingga 97 %, FK.2 sebesar 59,42 % dan FK.3 sebesar 4,36 %. Faktor koreksi pada jangka 2024-2033 adanya kenaikan pada FK.1 yang semula berkisar antara 43,95 % sampai 75,30 % menjadi sekitar 72 % sampai 97 %, hal ini menandakan berkurangnya gangguan hutan yang menyebabkan kerusakan pada perubahan kelas umur. Pada proyeksi jangka 2024-2033 terjadi penambahan luasan produktif sebesar 228,89 ha atau 9,96 %. Penambahan 228,89 ha merupakan tanaman pembangunan menyebabkan penurunan luas areal tidak produktif yang sama besar dengan tanaman pembangunan.


(4)

SUMMARY

AGUS DARMANTO (E14060853) Evaluation of Changes in Class Productive Teak Forest Stand (Tectona Grandis L.f) in Blok Forest South Gombong KPH South Kedu Perhutani office Unit I Central Java. Under the guidance of Ir. HADJIB AHMAD, MS.

Sustainable forest management is the process of managing forest to achieve one or more clearly specified abjectives of management with regard to the production of a continuous flow of desired forest product and services without undue reduction of its inherent value and future productivity and without undue undersirable effects n the physical and social environment. The teak stand age composition in South Gombong Blok Forest is now affected by the forest degradation due to the human disturbance (illegal cutting), therefore the sustainablelity of the forest production in this area must be reevaluated. The aim of this study was to analyse the changes in stand age clasification in South Gombong Blok Forest, South Kedu Forest District.

Materials used in this research is secondary data in the form the period 1964-1973, period 1974-1983, period 1984-1993, period 1994-2003, and 2004-2013 term. Class structure of productive forests and teak production period was predicted by using a correction factor. Correction factors used in projecting the next term forest class structure there are three kinds, namely: the preservation level correction factor (CF.1), adding a correction factor of plant age class I (CF.2) and adding a correction factor of poor stand increment (CF.3) . Calculation of variable CF.1, CF.2, and CF.3 using secondary data RPKH book term 1964-1973 until term 2004-2013. The assumptions used to predict structure of forest stands two next term of rules during projection period following the current rules and no significant policy changes in the management of the company.

The correction factor was obtained from the level of sustainability (CF.1) ranged from 43.95% - 75.30%, addition of KU I (CF.2) amounted to 61.35% and addition of poor increment (CF.3) amounted to 3.31 %. The area of productive forest class increase of 72.35 ha or 2.56% and declined Vacant Land area (TK) area of 72.35 ha or 26.6%. The number of plantation (CF.2) and sustained levels


(5)

of sustainability (CF.1), resulting in addition of productive area. In the early period of 2014-2023 there was an increase of productive forest area of 67.96 ha or 3.06% and a decline in Vacant Land broad area of 67.96 hectares or 24.98%. Total area of productive forest in early 2014-2023 period did not decrease total area of production which can be interpreted company to maintain sustainability of forest for the next term. In the next term projections 2024-2033 obtained CF.1 around 72% - 97%, CF.2 of 59.42% and 4.36% CF.3. Correction factor in the period 2024-2033 increase in originally CF.1 ranged from 43.95% - 75.30% to approximately 72% - 97%, it indicates loss of forest disturbance that causes damage to change in age class. In the 2024-2033 term projections by an additional productive area of 228.89 hectares or 9.96%. The addition of 228.89 hectares is a plant development is cause a decrease in non-productive acreage equal to the plant development.


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Perubahan Kelas Hutan Produktif Tegakan Jati (Tectona Grandis L.f.) di Bagian Hutan Gombong Selatan KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah adalah benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011 Penulis

Agus Darmanto E14060853


(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul skripsi : Evaluasi Perubahan Kelas Hutan Produktif

Tegakan Jati (Tectona Grandis L.f.) di Bagian Hutan Gombong Selatan KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

Nama : Agus Darmanto

NIM : E14060853

Program studi : Manajemen Hutan

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Ir. Ahmad Hadjib, MS (NIP. 1950 0123 197412 1001)

Menyetujui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS (NIP. 1963 0401 199403 1001)


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SW atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Evaluasi Perubahan Kelas Hutan Produktif Tegakan Jati (Tectona Grandis L.f.) di Bagian Hutan Gombong Selatan KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah” ini dengan baik atas bimbingan bapak Ir. Ahmad Hadjib, MS.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, masukan, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat digunakan dan bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Mei 2011 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nanggewer Mekar (Kabupaten Bogor) pada tanggal 14 Agustus 1988 dari Ayah Sunarmo dan Ibu Dasiyem. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

Pada tahun 2000, penulis lulus dari SD Negeri 04 Nanggewer Mekar dan pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP PGRI 1 Cibinong. Pada tahun 2003, penulis lulus dari SLTP PGRI 1 Cibinong dan melanjutkan ke SMA PLUS PGRI 1 Cibinong. Pada tahun 2006, penulis lulus dari SMA PLUS PGRI 1 Cibinong dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI IPB). Penulis memilih Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan International Forest Student Assosiation (IFSA) pada tahun 2007-2009. Penulis juga ikut serta dalam kepanitiaan FMSC Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2009-2010.

Penulis pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Cilacap dan Baturaden pada tahun 2009 dan praktek pengelolaan hutan di Sukabumi (Gunung Walat). Selanjutnya penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Mera’ang Perum Inhutani 1 Balik papan selama dua bulan.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis membuat skripsi yang berjudul “Evaluasi Perubahan Kelas Hutan Produktif Tegakan Jati (Tectona grandis L.f.) di Bagian Hutan Gombong Selatan KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah” di bawah bimbingan Ir. Ahmad Hadjib, MS.


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2010 adalah Evaluasi Perubahan Kelas Hutan Produktif Tegakan Jati (Tectona Grandis L.f.) di Bagian Hutan Gombong Selatan KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Penulis mempersembahkan skripsi ini untuk Ayah (Sunarmo), Ibu (Dasiyem), dan adikku (Dwi Oki P) serta keluarga besar yang selalu memberikan doa, kasih saying dan dukungan baik moril maupun materil.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. selaku Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. selaku ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

3. Ir. Ahmad Hadjib, MS atas kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penyelesaian skripsi.

4. Bapak Wahyu Agus Setiono (Kepala Biro SDM dan Umum), Ibu Heny (Kasi Perencanaan), Bapak Budi Widodo (Administratur / KPH Kedu Utara), Ibu Dede (Staff SPH 2 Yogya), Bapak Sajiman (Staff KPH Kedu Selatan) dan semua pihak di KPH Kedu Selatan dan SPH II Yogyakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data dan diskusi.

5. Teman satu bimbingan dan PKL yang telah membantu penulis dalam memberikan semangat.

6. Saudara Andi, M. Agung S, serta teman-teman MNH 43, KSH 43, SVK 43, THH 43, ITK 43, AGH 43 serta pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu


(11)

DAFTARISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Sejarah Perhutani ... 3

2.2 Tinjauan Umum Tentang Jati ... 4

2.3 Pembagian Kelas Umur ... 6

2.4 Konsep Hutan Normal ... 11

2.5 Gangguan Hutan ... 13

BAB III METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 14

3.3 Pengumpulan Data ... 14

3.4 Analisis Data ... 14

BAB IV KONDISI UMUM ... 18

4.1 Letak dan Luas ... 18

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi ... 20

4.3 Daur dan Keadaan Tegakan ... 22

4.4 Bagian Hutan ... 22

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

5.1Ikhtisar Kelas Hutan ... 24


(12)

5.3Gangguan Hutan ... 28

5.4Faktor Koreksi ... 31

5.5Prediksi Struktur Kelas Hutan ... 36

5.6Proyeksi Kelas Hutan ... 40

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Pembagian wilayah kerja KPH Kedu Selatan ... 18

2. Jenis tanah pada wilayah kerja BH. Gombong Selatan ... 19

3. Daftar penyebaran penduduk per kecamatan menurut golongan- usia di sekitar hutan BH. Gombong Selatan ... 21

4. Luasan tegakan jati di BH. Gombong Selatan ... 24

5. Potensi kelas hutan produktif ... 25

6. Rekapitulasi hutan produktif BH. Gombong Selatan ... 27

7. Perubahan kelas umur pada lima jangka ... 31

8. Persen perubahan per KU dua periode terakhir ... 33

9. Perhitungan FK.1 ... 33

10. Struktur KU jangka lalu dengan angka kerusakan masing-masing- KU ... 35

11. Penambahan miskin riap (FK.3) ... 36

12. Perhitungan estimasi luas tanaman awal jangka 2014-2023 ... 37

13. Perhitungan estimasi luas miskin riap awal jangka 2014-2023 ... 38

14. Estimasi susunan kelas hutan awal jangka 2014-2023 ... 38

15. Perbandingan keadaan kelas hutan pada jangka 2004-2013- dengan jangka 2014-2023 ... 40

16. Perbandingan keadaan kelas hutan pada jangka 2004-2013 sampai jangka 2024-2033 ... 41


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Hubungan luas dengan kelas umur pada konsep hutan normal ... 12

2. Hubungan volume dengan kelas umur pada konsep hutan normal ... 12

3. Luas hutan produktif setiap jangka ... 26


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Perkembangan kelas hutan produktif KPH Kedu Selatan-

(BH. Gombong Selatan) ... 45

2. Data gangguan hutan ... 46

3. Perubahan kelas umur pada lima jangka (FK.a) ... 47

4. Penetapan persen tingkat kelestarian (FK.b) ... 47

5. Perhitungan FK.1 ... 47

6. Struktur KU jangka lalu dengan angka kerusakan masing-masing- KU ... 48

7. Penambahan miskin riap (FK.3) ... 48

8. Perhitungan estimasi luas tanaman awal jangka 2014-2023 ... 48

9. Perhitungan estimasi luas miskin riap awal jangka 2014-2023 ... 49

10. Estimasi susunan kelas hutan awal jangka 2014-2023 ... 49

11. Perbandingan jangka 2004-2013 dengan jangka 2014-2023 ... 49

12. Perubahan kelas umur pada lima jangka (FK.a) untuk proyeksi kedua ... 50

13. Penetapan persen tingkat kelestarian (FK.b) untuk proyeksi kedua ... 50

14. Perhitungan FK.1 untuk proyeksi kedua ... 51

15. Struktur KU jangka lalu dengan angka kerusakan masing-masing- KU untuk proyeksi kedua ... 51

16. Penambahan miskin riap (FK.3) untuk proyeksi kedua ... 51

17. Perhitungan estimasi luas tanaman awal jangka 2014-2023 ... 52

18. Perhitungan estimasi luas miskin riap awal jangka 2014-2023 ... 52

19. Estimasi susunan kelas hutan awal jangka 2014-2023 ... 53


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pengelolaan hutan yang lestari adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu/lebih tujuan pengelolaan tertentu yang jelas dalam menghasilkan barang dan jasa hutan yang diperlukan secara berkelanjutan, tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan dimasa yang akan datang dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1997 di dalam Suhendang 2002).

Perum Perhutani sebagai salah satu perusahaan pengelola hutan di Jawa adalah harapan masyarakat Indonesia dalam merealisasikan cita-cita negara yaitu kemakmuran rakyat. Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat perlu tindakan-tindakan perbaikan atau pencegahan penurunan kualitas serta adanya peningkatan kuantitas hasil hutan.

Jati merupakan salah satu jenis pohon yang dikelola oleh Perum Perhutani. Saat ini Perum Perhutani memberlakukan daur jati antara 40 tahun sampai 90 tahun dengan kriteria tertentu. Jati sangat diminati oleh masyarakat karena memiliki kekuatan dan keawetan yang tinggi apabila dibandingkan dengan jenis yang lain. Selain itu, kayu jati juga mempunyai corak yang indah dan mempunyai nilai kayu yang tinggi.

Perum Perhutani KPH Kedu Selatan merupakan perusahaan pengelola hutan jati yang memiliki tujuan untuk menghasilkan kayu jati secara lestari, teratur dan mencapai rentabilitas yang tinggi, serta tetap memperhatikan fungsi hutan sebagai pelindung bahaya erosi dan pengatur air. Akan tetapi, dalam pengelolaannya, hutan jati tersebut tidak dapat menghasilkan manfaat yang optimal bagi keseluruhan bidang.

Dengan bertambahnya permintaan kayu belakangan ini menyebabkan terjadinya usaha-usaha untuk mendapatkan kayu tanpa memandang sisi kelestarian dari hutan. Penurunan produktifitas hutan KPH Kedu Selatan hingga tahun 2010 (jangka perusahaan tahun 2004-2013) terjadi karena gangguan hutan yang terus terjadi pada tegakan muda. Hal tersebut disebabkan karena cukup


(17)

banyak penduduk desa di dalam kawasan karst ini yang memiliki mata pencaharian menggali batu gamping sebagai bahan batu kapur yang memerlukan kayu bakar dalam proses pembuatannya.

Melihat kondisi hutan jati saat ini, keinginan untuk memperoleh hasil produksi yang optimal akan sulit tercapai. Kualitas hutan terus mengalami penurunan akibat berbagai hal baik gangguan dari dalam maupun dari luar hutan. Hal ini tentu saja mempengaruhi fungsi dan potensi hutan tersebut yang berdampak pada terjadinya degradasi hutan produksi baik luasan, produktifitas tegakan maupun peranannya terhadap lingkungan. Untuk itu perlu pengetahuan tentang perubahan struktur kelas hutan produktif yang terjadi untuk perencanaan dimasa mendatang.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan kelas hutan produktif tegakan jati di Bagian Hutan Gombong Selatan KPH Kedu Selatan.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam membuat perencanaan pengelolaan hutan jati di Bagian Hutan Gombong Selatan KPH Kedu Selatan.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Perhutani

Saat ini pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa sepenuhnya dipegang oleh Perhutani. Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang pengusahaan hutan dan kehutanan. Dalam buku sejarah kehutanan Indonesia periode II-III tahun 1945-1983 dijelaskan bahwa pembentukan Perum Perhutani diawali dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 17-30 tahun 1961 yang menyebutkan Jawatan Kehutanan berubah statusnya menjadi Perusahaan Negara yang bersifat komersial agar kehutanan menghasilkan keuntungan dan memasok pendapatan bagi kas negara (Kementerian Kehutanan 1986). Pengusahaan hutan yang dilakukan Perum Perhutani antara lain meliputi tugas-tugas :

a. Penanaman, pemeliharaan dan peremajaan tanaman hutan. b. Perlindungan serta pengamanan hutan dan hasil hutan c. Pemungutan dan pengelolaan hasil hutan

d. Pemasaran hasil hutan

Pada tahun 1972 dibentuk Perum Perhutani yang berkedudukan di Jakarta dengan unit kawasan Unit I Jawa Tengah dan Unit II Jawa Timur. Pembentukan Perum Perhutani ini didasarkan pada PP No. 15 tahun 1972. Dengan dikeluarkannya PP tersebut, maka Perum Perhutani merupakan satu kesatuan produksi yang bertujuan melakukan usaha-usaha produktif di bidang kehutanan, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan nasional. Tujuan Perum Perhutani secara garis besar dibagi dua yaitu pelayanan kepada masyarakat di bidang kehutanan dan sebagai badan hukum yang bergerak di bidang pengusahaan hutan dan kehutanan (Kementerian Kehutanan 1986).

Berdasarkan PP No. 2 tahun 1978, wilayah kerja Perum Perhutani diperluas dengan bekas wilayah kerja Dinas Kehutanan Jawa Barat. Dengan demikian Perum Perhutani memiliki tiga unit yaitu Unit I Jawa Tengah, Unit II Jawa Timur dan Unit III Jawa Barat. Dengan terbentuknya Departemen Kehutanan pada tanggal 16 Maret 1983, Perum Perhutani menjadi salah satu BUMN yang berada


(19)

di bawah naungan Kementerian Kehutanan. Pada tahun 2001 Perum Perhutani mengalami revisi bentuk menjadi perusahaan perseroan (persero). Kemudian sesuai PP No. 30 tahun 2003 Perum Perhutani kembali menjadi perusahaan umum (Kementerian Kehutanan 1986).

Sesuai dengan kebijakan pemerintah RI yang tertuang dalam rencana pembangunan lima tahun tahap II, kebijakan kegiatan Perum Perhutani difokuskan pada peningkatan produksi kehutanan yang disesuaikan dengan kepentingan pembangunan industri dalam negeri, perluasan kesempatan tenaga kerja, peningkatan dan pemerataan pendapatan, kepentingan penjagaan kelestarian sumber kekayaaan alam serta pengelolaannya (Kementerian Kehutanan 1986).

Perkembangan zaman dan perubahan lingkungan membuat Perum Perhutani melakukan pembenahan kinerja dalam pengelolaan hutan di Jawa. Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan, Perum Perhutani saat ini berlandaskan pada visi pengelolaan sumberdaya hutan sebagai ekosistem di Pulau Jawa secara adil, efisien, dan profesional guna menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat (Kementerian Kehutanan 1986). Misi yang diupayakan adalah :

1. Melestarikan dan meningkatkan sumberdaya hutan dan mutu lingkungan hidup.

2. Menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan berupa barang dan jasa guna memupuk keuntungan perusahaan dan memenuhi hajat hidup orang banyak.

3. Mengelola sumberdaya hutan sebagai ekosistem secara partisipatif, sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat optimal bagi perusahaan dan masyarakat.

4. Memberdayakan sumberdaya manusia melalui lembaga perekonomian masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian untuk memenuhi maksud dan tujuan pendirian perusahaan.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Jati (Tectona grandis L. f) 2.2.1 Penyebaran dan kegunaan

Jati merupakan tanaman tropika yang mempunyai daya tumbuh yang sangat baik dan memiliki serat kayu dengan kualitas cerpentetry tinggi sehingga


(20)

dapat mempengaruhi daya jual dengan kualitas ekspor. Perakaran jati merupakan akar tunggang sehingga tanaman jati dapat tumbuh dengan baik di wilayah dengan curah hujan yang memadai. Indonesia yang merupakan wilayah tropis yang mengalami pergantian musim (panas dan hujan) sepanjang tahun sangat baik untuk membudidayakan tanaman jati. Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Pertumbuhan tanaman jati secara alami dapat dijumpai di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara di antaranya India, Birma, Thailand, Laos, Kamboja dan Indonesia. Pada abad ke 19 tanaman jati juga ditanam di Nigeria dan beberapa Negara Afrika tropis lain. Jati termasuk dalam family verbenaceae dan merupakan pohon tropik yang menggugurkan daun pada musim kemarau. Di Indonesia dikenal dengan nama jati, jatos, deleg, dedekan, jate, kulidawa dan kiati. Sedangkan di negara lain jati terkenal dengan nama giati (Venezuela), teak (USA, Jerman), kyun (Myanmar), sagwan (India), maisak (Thailand), teck (Perancis) dan teca (Brasil) (Martawijaya et al. 1981).

Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan, dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan kelas keawetan I serta kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap. Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furnitur dan ukiran-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah. Karena kehalusan tekstur dan keindahan warnanya, jati digolongkan sebagai kayu mewah. Oleh karena itu, banyak diolah menjadi mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel dan anak tangga yang berkelas. Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan itulah, kayu jati digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga dan kapal perang.

2.2.2 Daur jati

Daur (rotation) adalah interval waktu dari mulai penanaman hingga tegakan dianggap masak tebang dan mendapat giliran untuk ditebang habis dalam suatu kelas perusahaan (Osmaston 1968).


(21)

Daur jati yang berlaku berdasarkan teknik silvikultur dan tujuan pengusahaan, dimana hasil kayu yang diharapkan untuk pendapatan pemerintah, sedangkan fungsi lain hanya sebagai pelengkap. Dalam penentuan daur jati, di samping cara perhitungan (berupa rumus dan variabel) diperlukan pula kesepakatan untuk memperhitungkan semua manfaat yang dihasilkan oleh hutan jati, baik manfaat langsung terukur dan tak terukur maupun manfaat yang tidak langsung.

Saat ini Perhutani sebagai pengelola hutan jati memberlakukan daur jati antara 40-90 tahun, sedangkan implementasinya dilaksanakan oleh Biro Perencanaan dalam menyusun Buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) yang menggunakan daur tidak sama untuk beberapa wilayah, yaitu Unit I Jawa Tengah 60 sampai 80 tahun, Unit II Jawa Timur antara 50 sampai 90 tahun, dan Unit III Jawa Barat menggunakan daur 40 tahun. Prosedur penentuan daur secara resmi belum pernah ditetapkan. Hal ini mungkin disebabkan karena apa yang telah dilaksankan selama ini sudah dianggap baik berlaku secara rutin dalam pengelolaan hutan (Perum Perhutani 1991).

2.3 Pembagian Kelas Hutan

Dalam penentuan kelas hutan jati berpedoman pada SK Direksi No. 143/Kpts/Dj/I/1974, tentang : peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Pengaturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan, khusus kelas perusahaan tebang habis jati. SK Direksi Perum Perhutani No. 859/Kpts/Dir/1999 tanggal 6 oktober 1999 tentang pedoman pengelolaan kawasan perlindungan di kawasan hutan Perum Perhutani dan diperjelas dengan adanya juknis inventarisasi kawasan perlindungan setempat (KPS) No. 01/051.1/Can/I, tanggal 1 Juli 2000.

Menurut Surat Keputusan Direktur Jendral Kehutanan No. 143/KPTS/DJ/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), pengaturan kelestarian hutan memerlukan pemisahan hutan ke dalam kelas hutan berdasarkan tujuan pengusahaannya, yaitu :


(22)

2.3.1 Bukan untuk produksi

Kelas hutan ini adalah kawasan hutan yang karena berbagai sebab tidak dapat disediakan untuk penghasilan kayu atau hasil hutan lainnya. Kawasan tersebut dibagi menjadi empat golongan yaitu :

1. Tak baik untuk produksi (TBP)

Golongan ini termasuk kawasan yang tidak baik untuk penghasilan karena keadaan alamnya, seperti sungai, tebat, rawa, sumber lumpur, bukit-batu dan sebagainya.

2. Lapangan dengan tujuan istimewa (LDTI)

Golongan ini termasuk alur, jalan rel dan jalan mobil, pekarangan-pekarangan, tempat penimbunan kayu, lapangan pengembalaan ternak tetap, kuburan, tempat pengambilan batu.

3. Hutan suaka alam dan hutan wisata (SA/HW)

Hutan suaka alam dan hutan wisata ditunjuk dengan surat keputusan pemerintah.

4. Hutan lindung

Hutan Lindung ditunjuk dengan surat keputusan pemerintah. 2.3.2 Produksi

Kawasan hutan ini merupakan kawasan untuk menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya, dalam hal ini yang terpenting adalah penghasilan kayu jati. Selain itu dihasilkan jenis-jenis kayu lainnya baik terus menerus maupun untuk sementara waktu sebagai tanaman giliran, terutama untuk kawasan yang tidak dapat ditumbuhi jati. Kelas hutan ini terdiri atas kawasan-kawasan :

1.Untuk produksi kayu jati

Produksi kayu jati dilakukan dalam suatu perusahaan yang teratur. Bentuk perusahaan lainnya pada waktu ini boleh dikatakan tidak baik untuk produksi jati. Kelas hutan ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

a. Baik untuk perusahaan tebang habis

Tidak semua kawasan dianggap baik untuk perusahaan tebang habis jati itu ditumbuhi dengan hutan jati yang hasilnya kayu jati. Kelas hutan ini dibagi dua kelompok yaitu :


(23)

1) Produktif

Kawasan yang ditumbuhi dengan hutan jati produktif dibagi lagi ke dalam kelas-kelas hutan yang didasarkan atas umur dan keadaan hutannya. Kelas umur I s/d XII (KU I s/d XII) merupakan 12 kelas umur yang terpisah-pisah berdasarkan persyaratan-persyaratan kelas hutan jati. Masing-masing meliputi 10 tahun, sehingga hutan-hutan yang pada permulaan jangka perusahaan berumur 1 sampai 10 tahun dimasukkan ke dalam kelas umur I, hutan-hutan yang berumur 11-20 tahun tergolong ke dalam kelas umur II dan seterusnya. Kerapatan bidang dasar pada kelas umur minimal 0,6.

Masak tebang adalah tegakan-tegakan yang berumur 120 tahun atau lebih dengan kondisi baik, termasuk ke dalam masak tebang. Jika batang dan tajuk pohon-pohon banyak cacat dimasukkan ke dalam anak kelas hutan miskin riap. Miskin riap dimaksudkan dengan semua hutan jati yang berdasarkan keadaannya tidak memuaskan yaitu tidak ada harapan mempunyai riap yang cukup, dimasukkan ke dalam kelas hutan miskn riap. Hutan-hutan semacam ini perlu secepat mungkin ditebang habis dan diganti dengan tanaman jati yang baru. 2) Tidak produktif

Kelas hutan ini meliputi semua lapangan-lapangan dalam kelas perusahaan tebang habis tetapi tidak ditumbuhi dengan hutan jati yang produktif. Kelas hutan ini dibagi menjadi empat kelas hutan yaitu pertama Lapangan Tebang Habis Jangka Lampau (LTHJL). Dalam perusahaan tebang habis, sering kali lapangan bekas tebangan baru ditanami pada tahun berikutnya. Jika dalam tahun terakhir itu menjadi tahun pertama, maka lapangan tersebut dimasukkan ke dalam kelas hutan Lapangan Tebang Habis Jangka Lampau (LTHJL).

Kedua, kelas hutan Tanah Kosong (TK). Kelas hutan ini meliputi lapangan yang gundul atau hampir gundul seperti padang rumput, hutan belukar, dan sebagainya yang dapat dianggap akan memberi permudaan hutan yang berhasil baik di kemudian hari setelah ditanami dengan jati. Di dalam kelas hutan ini dimasukkan juga lapangan-lapangan tidak produktif yang sudah diadakan penebangan, akan tetapi belum ditanami.


(24)

Ketiga, kelas hutan kayu lain. Kelas hutan ini meliputi semua lapangan-lapangan yang ditumbuhi kayu lain yang dapat diganti dengan tanaman jati. Kelas hutan ini dibagi menjadi dua anak kelas hutan yaitu :

1. Tanaman kayu lain (TKL)

Anak kelas hutan ini meliputi tanaman kayu lain yang dibuat pada tempat-tempat dimana jati dapat tumbuh dan tidak akan dipertahankan.

2. Hutan alam kayu lain (HAKL)

Kelas hutan ini ialah lapangan-lapangan yang ditumbuhi dengan kayu lain secara alami dan dianggap baik untuk dirombak menjadi tanaman jati. Keempat, hutan jati bertumbuh kurang. Kelas hutan ini meliputi semua lapangan-lapangan yang bertumbuhan jati yang dipandang dari sudut perusahaan harus dihitung sebagai kurang menghasilkan atau tidak menghasilkan. Kelas hutan ini dibagi menjadi dua anak kelas hutan yaitu :

1. Tanaman jati bertumbuhan kurang (TJBK)

Anak kelas hutan ini meliputi tanaman jati yang sebagian besar gagal dan pertumbuhannya buruk

2. Hutan alam jati bertumbuhan kurang (HAJBK)

Anak kelas hutan ini meliputi hutan alam jati yang sebagian besar rusak, tetapi masih dapat diubah menjadi tanaman jati yang menguntungkan dan mempunyai volume 6-25 m3/ha. Jika volumenya lebih tinggi, maka hutan ini dimasukkan kelas hutan miskin riap.

b. Tidak baik untuk perusahaan tebang habis (TBPTH)

Anak kelas hutan ini terdiri dari hutan-hutan alam jati yang berada pada : i. Lapangan-lapangan yang bonitanya sedemikian rupa, sehingga berhasilnya

tanaman kontrak pada lapangan itu sesudah ditebang habis menjadi diragukan.

ii. Lapangan-lapangan yang jika dibuka menimbulkan bahan dan struktur tanah gugur, terjadi tanah longsor, atau dapat menimbulkan aliran yang terlalu deras.


(25)

2. Bukan untuk produksi kayu jati

Lahan-lahan ini ditujukan untuk menghasilkan jenis kayu lain atau hasil hutan lainnya.

a. Tidak baik untuk jati

1)Tanah kosong tidak baik untuk jati

Kelas hutan ini ialah lapangan-lapangan yang gundul, yang tanahnya berbeda-beda dalam keadaan sedemikian rupa, sehingga orang harus menganggap bahwa tanaman jati pada lapangan-lapangan itu tidak menguntungkan. Hal ini termasuk dalam kelas hutan lapangan-lapangan dengan kondisi yang becek, yang tidak dapat dikeringkan sehingga tanah itu menjadi tidak baik untuk tanaman jati.

2) Hutan kayu lain tidak baik untuk jati (HKLTBJ)

Kelas hutan ini meliputi lapangan-lapangan yang ditumbuhi dengan kayu lain akan tetapi yang tidak termasuk ke dalam golongan hutan lindung dan yang tidak baik untuk diubah menjadi tanaman jati.

Kelas hutan ini dibagi lagi atas dua anak kelas hutan yaitu : a) Tanaman kayu lain tidak baik untuk jati (TKLTBJ)

Kelas hutan ini meliputi tanaman-tanaman jenis kayu atau tumbuhan lainnya yang tidak menghasilkan atau kurang memuaskan karena tanah-tanah itu tidak baik diubah dan ditanami lagi dengan jenis kayu lain yang bukan jenis yang ditanami semula.

b) Hutan alam kayu lain tidak baik untuk jati (HAKLTBJ)

Kelas hutan ini meliputi lapangan-lapangan yang ditumbuhi dengan kayu lain secara alami yang dianggap tidak akan berhasil menjadi baik jika diubah menjadi tanaman jati.

3) Hutan jati merana (HJM)

Kelas hutan ini meliputi semua hutan jati yang seluruhnya atau sebagian besar mati, akan mati, dan sudah mati. Kelas hutan ini dibagi atas dua kelas hutan yaitu :


(26)

i. Tanaman jati merana (TJM)

Keadaan anak kelas hutan ini termasuk tanaman-tanaman jati yang gagal, yang hampir mati atau yang sudah mati, yang dikarenakan penanaman yang tidak baik, pemeliharaan, dan perlindungan yang kurang.

ii. Hutan alam jati merana (HAJM)

Anak kelas hutan ini meliputi hutan alam jati yang pertumbuhannya tidak baik, disebabkan oleh tempat tumbuh (kondisi tanah).

b. Tanaman jenis kayu lain (TJKL)

Kelas hutan ini meliputi semua tanaman jenis kayu selain jati yang dapat dianggap produktif. Ditanam dengan maksud pada waktunya diambil hasilnya, baik berupa kayu maupun hasil hutan lainnya.

c. Hutan lindung terbatas (HLT)

Pemisahan anak petak dilakukan jika dalam sesuatu petak terdapat berbagai kelas hutan (kelas umur) ataupun dalam satu kelas hutan terdapat perbedaan yang besar dalam bonita atau kepadatan bidang dasar, maka petak itu dibagi atas anak petak sepanjang pembagian tersebut diperlukan. Batas anak petak dibuat sesederhana mungkin mengikuti bentuk lapangan dan sejauh mungkin mempergunakan batas alam. Kerapatan bidang dasar adalah perbandingan antara bidang dasar hasil sampling dengan bidang dasar yang terdapat dalam tabel tegakan.

2.4 Konsep Hutan Normal

Dalam pengelolaan hutan agar pengelolaan itu efisien dan terencana dengan baik maka harus ada keadaan hutan yang ideal untuk dijadikan standar. Keadaan hutan yang standar sering disebut keadaan hutan yang normal.

Menurut Meyer et al. (1961), Tegakan Hutan Normal adalah tegakan hutan yang mempunyai sebaran kelas umur normal, riap normal, dan volume normal. Sedangkan menurut Osmaston (1968) hutan normal adalah hutan yang secara praktis dapat mempertahankan derajat kesempurnaan yang dapat dicapai dalam semua bidang untuk memenuhi keputusan dari tujuan manajemen.


(27)

Luas (ha)

KU I II III IV V dsb…

Gambar 1 Hubungan luas dengan kelas umur pada konsep hutan normal.

Vol (m3)

KU

Gambar 2 Hubungan volume dengan kelas umur pada konsep hutan normal.

Gambar 1 menunjukkan konsep hutan normal dimana masing-masing kelas umur memiliki luasan yang sama dan berurutan sehingga hasil setiap tahunnya sama sedangkan Gambar 2 menunjukkan hubungan volume dengan kelas umur pada konsep hutan normal.

Osmaston 1968 menyatakan bahwa faktor-faktor dasar dari kenormalan suatu hutan mempunyai persyaratan :

1. Struktur dan komposisi hutan sesuai dengan lingkungannya atau faktor tempat tumbuh.


(28)

2. Tegakan terdiri dari kelas umur dan ukuran yang sedemikian rupa sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal baik tangible maupun intangible.

3. Organisasi yang memadai dan sesuai dengan tujuan manajemen.

2.5 Gangguan Hutan

Gangguan hutan merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kerusakan hutan dari waktu ke waktu yang juga mempengaruhi besar kecilnya degradasi hutan yang ada. Gangguan hutan berasal dari campur tangan manusia yang salah dalam mengelola hutan sehingga akan mempengaruhi peningkatan kerusakan yang ada pada kawasan hutan (Hanggumantoro 2007).

Dalam pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa, penyebab kerusakan potensial dapat bersumber dari dua aspek yakni yang berhubungan dengan karakteristik ekosistem dan masyarakat sekitar hutan. Hutan jati mempunyai ciri ekosistem yang khas diantaranya adalah ditata menurut kelas umur, ditanam sejenis dan berdaur panjang. Sebagai hutan musim, jati menggugurkan daun pada musim kemarau. Hutan tanaman jati dengan ciri ekosistem tersebut mempunyai peluang lebih besar terhadap perkembangan kerusakan oleh hama dan penyakit serta kebakaran. Beberapa interaksi yang potensial menimbulkan dampak kerusakan adalah yang berhubungan dengan perkembangan ternak rakyat, kebutuhan lahan garapan, dan tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Gangguan hutan ada yang mengakibatkan terjadinya perubahan kelas hutan seperti kelas umur berubah menjadi Tanaman Jati Bertumbuh Kurang (TJBK), Miskin Riap (MR) bahkan menjadi Tanah Kosong (TK). Biasanya di dalam memproyeksikan struktur kelas hutan untuk jangka perencanaan 10 tahun berikutnya, dilakukan dengan cara menggeser luasan setiap KU menjadi KU setingkat di atasnya. Dengan adanya gangguan hutan maka harus ada faktor koreksi yang dimasukkan sebagai koreksi terhadap luasan suatu kelas hutan yang akan berpindah menjadi kelas hutan lainnya.


(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2010 dan bertempat di KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah berupa data sekunder, yang bersumber dari buku RPKH dan buku register risalah hutan. Adapun peralatan yang digunakan untuk menunjang penelitian ini antara lain : kalkulator dan seperangkat alat komputer.

3.3 Pengumpulan Data

Data utama yang diperlukan mencakup :

1. Hasil risalah hutan yang dimuat dalam buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) lima periode terakhir (1964-1973, 1974-1983, 1984-1993, 1994-2003, 2004-2013).

2. Data perubahan kelas hutan (1984-2010). 3. Data keamanan pada beberapa tahun terakhir.

Selain data utama diperlukan juga data penunjang, mencakup data keadaan umum fisik dan sosial wilayah KPH Kedu Selatan data tersebut di atas dikumpulkan dari kantor KPH Kedu Selatan, Seksi Perencanaan Hutan II Yogyakarta, BKPH Gombong Selatan.

3.4 Analisis Data

Identifikasi gangguan hutan bertujuan untuk melihat gangguan hutan yang terjadi pada setiap jangka perusahaan. Data yang diperlukan adalah data gangguan hutan yang terjadi di KPH Kedu Selatan pada setiap jangka perusahaan kemudian gangguan terbesar yang terjadi pada setiap jangka tersebut merupakan gangguan hutan yang sangat mempengaruhi dalam perubahan luasan kelas hutan.


(30)

Dalam melakukan prediksi struktur kelas hutan dan produksi tebangan A.2 pada kelas perusahaan Jati untuk jangka kedepan, maka diperlukan beberapa faktor koreksi sebagai berikut :

1. Faktor koreksi tingkat kelestarian kelas hutan (FK.1)

Faktor koreksi tingkat kelestarian kelas hutan (FK.1) adalah angka koreksi kelas hutan produktif untuk jangka yang akan datang yang antara lain diakibatkan oleh pencurian/penjarahan dan kegagalan tanaman untuk digunakan sebagai angka koreksi dalam memprediksi struktur kelas hutan untuk jangka berikutnya. Angka ini berfungsi untuk mengkoreksi luas kelas hutan produktif pada jangka berikutnya dengan cara mengalikan FK.1 dengan luas per KU pada bagan tebang jangka ke dua. Dengan cara ini akan diperoleh komposisi kelas hutan jangka berikutnya yang telah memperhitungkan angka kelestarian per KU setelah dikurangi angka kerusakan per KU. Metode penetapan FK.1 menggunakan tahapan perhitungan sebagai berikut :

a. Perhitungan persen perubahan per KU

Melakukan perhitungan persen perubahan per KU yang merupakan rata-rata dengan menggunakan data pada interval waktu yang konstan (interval 10 tahun) sebagai berikut :

% perubahan jangka 1-jangka 2 = Luas jangka 1- Luas jangka 2 x 100 % Luas jangka 1

b. Penetapan persen tingkat kelestarian

Untuk mengetahui besarnya tingkat kelestarian, maka dilakukan dengan menggunakan data kegiatan pengelolaan jangka lalu, baik penanaman rutin maupun tebangan A.2 dengan rincian sebagai berikut :

TL = 1 – K ; K = a – b + c x 100 % ; b = B - b0 + b’ - b” a

Keterangan :

TL = Tingkat Kelestarian (%) K = Angka Kerusakan (%)

a = Jumlah luas hutan produktif pada awal jangka b = Jumlah luas hutan produktif pada saat ini

b0 = Tambahan hutan produktif akibat perubahan kelas perusahaan b’ = Luas tanaman dalam jangka lalu atau periode tertentu pada jangka berjalan


(31)

jangka berjalan

c = Tanaman rutin jangka lalu

B = Jumlah luas hutan produktif hasil risalah baru 2. Faktor koreksi penambahan tanaman kelas umur I (FK.2)

FK.2 adalah angka prediksi penambahan KU I untuk jangka yang akan datang dengan mempertimbangkan kerusakan hutan (pencurian, kegagalan tanaman, dan lain-lain), luas kelas hutan tidak produktif dan kemampuan perusahaan dalam pembuatan tanaman. FK.2 merupakan persentase perbandingan antara nilai rata-rata realisasi tanaman pada suatu jangka terhadap rata-rata luas kerusakan pada jangka sebelumnya ditambah dengan luas tebangan rutin pada jangka berjalan dan luas tanah tidak produktif (TK dan TJBK) di awal jangka.

Penerapan FK.2 dalam memprediksi penambahan tanaman KU I, dengan tahapan sebagai berikut :

a. Mengkoreksi struktur KU jangka lalu dengan angka kerusakan masing-masing KU (1-FK.1)

b. Menjumlahkan seluruh KU yang telah terkoreksi seperti pada langkah di atas (a) ditambah dengan bekas tebangan A.2, setelah dikurangi perubahan KU IV-VI yang menjadi MR dan ditambah lagi dengan luas TK dan TJBK di awal jangka

c. Hasil penjumlahan di atas dikalikan dengan FK.2, maka hasilnya ditetapkan sebagai penambahan tanaman jati untuk jangka awal.

3. Faktor koreksi penambahan miskin riap (FK.3)

FK.3 adalah angka prediksi luas miskin riap (MR) untuk jangka waktu yang akan datang dengan memperhitungkan perbandingan luas MR pada jangka lalu. Pada umumnya, timbulnya MR disebabkan oleh kerawanan hutan.

Penetapan FK.3 dalam memprediksi penambahan Miskin Riap (MR), dengan tahapan sebagi berikut :

1. Menjumlahkan KU IV-VI pada awal jangka lalu, dengan asumsi bahwa KU efektif yang dapat menjadi MR adalah KU IV-VI

2. Hasil penjumlahan di atas dikalikan dengan FK.3 dan hasil tersebut diasumsikan sebagai luas MR yang akan didapat pada jangka berikutnya. 3.4.2 Asumsi-asumsi


(32)

Dalam proses prediksi, asumsi-asumsi yang digunakan, yaitu :

1. Aturan selama periode proyeksi mengikuti aturan yang berlaku saat ini 2. Tidak ada perubahan kebijakan yang berpengaruh signifikan dalam


(33)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Wilayah kerja KPH Kedu Selatan secara geografis terletak antara 109o 16’ -110o 08’ Bujur Timur dan 07o 22’-07o 53’ Lintang Selatan. Kelas Perusahaan Jati berada di Bagian Hutan Gombong Selatan yang terletak antara 109o 23’-109o 49’ Bujur Timur dan 07o 39’-07o 46’ Lintang Selatan dengan ketinggian tempat bervariasi mulai dari 0 mdpl sampai 500 mdpl. Pembagian wilayah kerja menurut Bagian Hutan dapat dilihat dari Tabel 1 berikut :

Tabel 1 Pembagian wilayah kerja KPH Kedu Selatan

Propinsi KPH Bagian Hutan (BH) Luas (ha)

Jawa Tengah Kedu Selatan Gombong Selatan 4.263,94

Gombong Utara 12.329,57

Wadaslintang 17.462,44

Mindangan Sapuran 10.665,80

Jumlah 44.721,75

Sumber : Buku Evaluasi Potensi Sumber Daya Hutan tahun 2008

Berdasarkan letak geofrafisnya kawasan hutan KPH Kedu Selatan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : KPH Kedu Utara, Sungai Ijo dan Sungai Luk Ulo b. Sebelah Timur : Sungai Luk Ulo dan DIY

c. Sebelah Selatan : Pantai Selatan Pulau Jawa (Samudra Indonesia) d. Sebelah Barat : KPH Banyumas Timur dan Sungai Ijo

Berdasarkan pembagian administrasi pemerintahan, KPH Kedu Selatan meliputi wilayah Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kebumen, BH Gombong Selatan terletak di Kabupaten Kebumen.

4.1.1 Tanah

Keadaan tanah di wilayah BKPH Gombong Selatan terdiri dari beberapa jenis tanah sesuai dengan jenis batuan induk yang menyusunnya serta pengaruh dari proses pembentukan tanah itu sendiri. Pengaruh dari angin laut dan laut itu sendiri menyebabkan ada perbedaan yang nyata dari jenis tanah untuk wilayah


(34)

kerja BH. Gombong Selatan. Jenis tanah, bahan induk dan fisiografi/penampakan luarnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis tanah pada wilayah kerja BH. Gombong Selatan

No. Macam tanah Fisiografi

1 Alluvial kelabu kekuningan Dataran

2 Litosol Bukit Lipatan

3 Grumosol, Regusol, dan Mediteran Bukit Lipatan

Sumber Data : Buku RPKH KPH Kedu Selatan jangka 2004-2013

4.1.2 Hidrologi

Daerah aliran sungai atau DAS didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah (PP. 33 tahun 1970 pasal 1, ayat 13). Kelas Perusahaan Jati di Bagian Hutan Gombong Selatan termasuk wilayah daerah aliran sungai (DAS) Ijo dan DAS Telomoyo. 4.1.3 Iklim

Berdasarkan data curah hujan rata-rata dari tahun 1998-2002 iklim untuk wilayah Bagian Hutan Gombong Selatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Kebumen (stasiun pengamatan Merden, kaligending, Sikayu, dan Gombong) menurut Oldeman termasuk agroklimat zona C (5-6 bulan basah berturut-turut) dan masuk dalam sub divisi 2 (periode kering 2-3 bulan dengan masa tanam 9-10 bulan) artinya apabila akan melakukan penanaman sepanjang tahun perlu perencanaan yang lebih teliti. Apabila menurut klasifikasi Schimidt dan Ferguson (1951), tipe iklimnya termasuk tipe B dengan nilai Q sebesar 18,6 %.

4.1.4 Topografi

Bagian Hutan Gombong Selatan merupakan daerah yang memiliki hamparan kawasan karst.Kawasan karst merupakan perbukitan batu gamping dengan bentuk yang sangat khas yaitu berupa tonjolan-tonjolan bukit-bukit kecil. Pada kawasan karst berkembang juga doline, gua-gua dan sungai bawah


(35)

tanah.Kawasan karst dikategorikan sebagai kawasan yang sensitif terhadap perubahan lingkungan (environmental sensitive area).

Kenampakan morfologi karst di Bagian Hutan Gombong Selatan memiliki ketinggian antara 50-400 meter dari permukaan laut.Morfologi karst mempunyai ciri-ciri yang sangat khas yang dapat diamati di daerah kegiatan yaitu adanya bentukan positif dan negatif. Kenampakan positif berupa bukit-bukit kerucut dengan penyebaran memanjang dari utara ke selatan. Bentukan negatif yang terletak di antara bukit-bukit kerucut dengan bentuk membulat sampai elips tersebar di daerah kegiatan inventarisasi yaitu doline, uvala, dan polje. Bentukan positif dan negatif mendominasi morfologi kawasan karst ini dan bentukan samacam inilah yang mencirikan kawasan karst daerah tropik, sehingga kawasan karst Gombong Selatan ini dapat digolongkan tropical karst.

Kenampakan karst di Gombong Selatan merupakan bagian rangkaian pegunungan selatan yang terpisah dari pegunungan selatan yang terletak di Jawa Barat. Penyebaran gua di RPH Redisari pada bagian timur dan RPH Tebo pada bagian barat, memanjang dari utara sampai selatan dengan arah gua umumnya relative menghadap barat-timur. KPH Kedu Selatan memiliki jumlah gua terbanyak untuk wilayah Unit I Jawa Tengah. Berdasarkan hasil identifikasi dan penataan mulut gua wilayah karst, kerjasama Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dengan yayasan Acintya Cunyata Yogyakarta tahun 1997 terdapat 123 gua dan terdapat pula sumber mata air.

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi 4.2.1 Kependudukan

Jumlah penduduk dalam wilayah kerja BH. Gombong Selatan adalah sebanyak 148.507 orang, dengan jumlah laki-laki sebanyak 74.341 (50,1%) orang dan perempuan sebanyak 74.166 orang (49,9%).

Definisi dari kepadatan penduduk adalah rata-rata banyaknya penduduk per kilometer persegi sedangkan rata pertambahan penduduk adalah angka yang menunjukan tingkat pertambahan penduduk per tahun dalam jangka waktu tertentu, angka ini dinyatakan sebagai angka persen.


(36)

Dengan rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Kebumen 0,8 % maka rara-rata pertambahan penduduk setiap tahun berkisar antara 425 orang. Hal ini menyebabkan luasan tanah (untuk bidang pertanian, industri, dan pembangunan) akan semakin sempit yang berakibat pada daya dukung lahan dan kepadatan penduduk per kilometer persegi mengalami lonjakan yang cukup besar. Akibat persaingan hidup yangakan semakin keras menimbulkan terjadinya tindakan kriminal baik yang menyangkut bidang kehutanan maupun tindakan kejahatan secara umum. Data jumlah penduduk menurut golongan usia di tiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Daftar penyebaran penduduk per kecamatan menurut golongan usia di sekitar hutan BH. Gombong Selatan

No Kecamatan Laki-laki dan Wanita (orang)

Anak-anak (1-14 th) Dewasa (15 th keatas) Jumlah

1 Ayah 15.190 36.745 51.935

2 Buayan 17.585 36.355 53.940

3 Rawakele 13.749 28.883 42.632

Sumber data : kebumen dalam angka tahun 2008

4.2.2 Mata pencaharian

Masyarakat yang berada disekitar hutan dalam wilayah kerja BKPH Gombong Selatan sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani tanaman pangan dan buruh. Keadaan ini menunjukan bahwa masyarakat masih sangat mengandalkan lahan untuk menopang kehidupannya baik untuk pertanian, perkebunan maupun bidang lain yang membutuhkan lahan yaitu industri, pedagang, nelayan, peternakan.

Mata pencaharian penduduk, jumlah penduduk dan luas wilayah per kecamatan perlu dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan hutan. Dalam upaya membangun hutan diperlukan pertimbangan yang matang untuk menyertakan masyarakat dalam upaya tersebut, karena di satu sisi dapat mempunyai nilai positif yaitu merupakan faktor pendukung pekerjaan teknis kehutanan dan dapat pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, disisi lain mempunyai nilai negatif apabila interaksi hutan dengan masyarakat negatif, seperti penjarahan


(37)

kayu/lahan, perencekan, perusakan tanaman dan sebagainya dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat sekitar hutan.

4.3 Daur dan keadaan tegakan

Berdasarkan surat dari Kepala Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan salatiga No. 930/041.6/SPPU/Can/I, tanggal 11 Agustus 2003, perihal penetapan daur kelas perusahaan jati di KPH Kedu Selatan, daur ditetapkan 40 tahun sama dengan jangka sebelumnya, mengingat komposisi kelas hutannya belum dapat dilakukan perubahan daur. Dalam pengelolaan data dan penyusunan buku RPKH dengan menggunakan program aplikasi SISDH-PDE sesuai dengan surat keputusan Direksi Perum Perhutani, nomor : 1482a/Kpts/Dir/1995 tentang pedoman penyusunan RPKH dengan program aplikasi SISDH-PDE. Dari hasil risalah hutan dan pengukuran oleh Seksi Pengukuran dan Perpetaan Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan tahun 2002 serta hasil risalah pelengkap tahun 2003 luas kawasan hutan per kelas hutan dalam KP jati di BH. Gombong Selatan adalah sebagai berikut :

1. Jati : 1.689,2 ha /40% dari total luas BH 2. Mahoni : 651 ha /15% dari total luas BH 3. Akasia : 120,8 ha/ 2,8% dari total luas BH 4. Sungkai : 22,9 ha /0,5% dari total luas BH 5. Eucalyptus : 13 ha /0,3% dari total luas BH 6. Ketapang : 5,7 ha /0,1% dari total luas BH 7. Sonokeling : 3,7 ha /0,08% dari total luas BH

Jumlah : 2.506,3 ha, maka sisa seluas 1.757,6 ha berupa : TK, LDTI, SA/HW, TBP dan lainnya.

4.4 Bagian Hutan

Bagian hutan adalah bagian dari suatu kawasan hutan yang merupakan satu kesatuan produksi dan kesatuan eksploitasi. Dengan demikian, sumber daya hutan dari bagian hutan tersebut harus dapat dimanfaatkan setiap tahun secara terus menerus dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan hutan yang baik berdasarkan azas kelestarian.

Kelas Perusahaan Jati di KPH Kedu Selatan mempunyai wilayah hutan seluas 4.263,95 ha yaitu di Bagian Hutan Gombong Selatan yang termasuk


(38)

BKPH Gombong Selatan. BKPH dikepalai oleh seorang Asper/KBKPH, dari BKPH dibagi menjadi resort pemangkuan hutan dan bagian terkecil dari manajemen dan administrasi pengelolaan hutan adalah petak. Satu petak dibatasi oleh alur yang dibuat sedemikian rupa sehingga pada saatnya dapat ditingkatkan sebagai jalan angkutan.

BAB V


(39)

5.1 Ikhtisar Kelas Hutan

Luas kelas perusahaan jati di Bagian Hutan Gombong Selatan adalah 4.263,90 ha. Luasan ini tetap sejak jangka tahun 1964 sampai dengan sekarang. Luas areal untuk produksi kayu jati relatif tetap sejak jangka 1964-1973 sampai dengan jangka 1984-1993 yaitu sekitar 3.260 ha, tapi pada jangka perusahaan tahun 1994-2003 terjadi penurunan seluas 163,2 ha yang diakibatkan oleh bencana alam. Pada jangka 2007-2013 juga terjadi penurunan luas areal produksi kayu jati seluas 46.1 ha yang diakibatkan oleh bencana alam sehingga terjadi penambahan areal bukan untuk produksi kayu jati. Pada jangka 2004-2013 untuk kelas hutan TBPTH terdapat areal seluas 218,7 ha yang merupakan luasan wilayah hutan yang dijadikan areal penyangga berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Tabel 4 Luasan tegakan jati di BH Gombong Selatan

Jangka waktu Kelas hutan

1964-1973

1974-1983

1984-1993

1994-2003

2004-2013 Untuk produksi (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) I. Baik untuk produksi kayu jati

1.1 Baik untuk perusahaan tebang habis

1.1.1 Produktif 1.881,6 2.003,8 2.038,5 1.700,7 2.223,2 1.1.2 Tidak produktif 1.382,8 1.256,4 1.221,7 1.396,3 609 Jumlah baik untuk ditebang 3.264,4 3.260,2 3.260,2 3.097 2.832,2

1.2 TBPTH 0 0 0 0 218,7

Jumlah areal produksi kayu jati 3.264,4 3.260,2 3.260,2 3.097 3.050,9 II. Bukan untuk produksi kayu jati 738,4 736,8 724,1 879,4 925,5 Bukan untuk produksi 261,1 266,9 279,6 287,5 287,5 Total 4.263,9 4.263,9 4.263,9 4.263,9 4.263,9 Sumber : Buku RPKH 1964-1973, 1974-1983, 1984-1993, 1994-2003, dan 2004-2013

5.2 Potensi Kelas Hutan untuk Produksi

Luas areal untuk produksi kayu jati dengan sistem penebangan tebang habis sejak jangka tahun 1964-1973 sampai dengan jangka 1984-1993 bervariasi antara 3.050,9 ha sampai 3.264,4 ha. Potensi kelas hutan produktif Bagianutan H Gombong Selatan selama lima jangka terakhir dapat dilihat pada Tabel 5.


(40)

Kelas hutan 1964- Jangka waktu 1973

1974-1983

1984-1993

1994-2003

2004-2013

Untuk Produksi (ha) (ha) (ha) (ha) (ha)

I. Baik untuk produksi kayu jati 1.1 Baik untuk perusahaan tebang habis

a. Produktif

KU I 726.3 761.9 801.9 783 1694.5

KU II 414.3 506.2 447.7 358.4 261.9

KU III 358.6 377.6 393.7 294.2 101.9

KU IV 354.3 323.1 361.4 240.9 103.6

KU V 28.1 24 23 24.2 26.2

MT 0 0 0 0 11.2

MR 0 11 10.8 0 23.9

Total produktif 1881,6 2.003,80 2038,5 1.700,70 2.223,20 b. Tidak produktif

TK 392.7 421.1 386.4 561 272

TKL (tanaman kayu lain) 429.8 397.2 264.8 264.8 0

TJBK 560.3 438.1 570.5 570.5 337

Total tidak produktif 1382.8 1256.4 1221.7 1396.3 609 Total baik untuk perusahaan tebang

habis 3264.4 3260.2 3260.2 3097 2832.2

TBPTH 218.7

Jumlah baik untuk produksi kayu jati 3264.4 3260.2 3260.2 3097 3050.9 Sumber : Buku RPKH 1964-1973, 1974-1983, 1984-1993, 1994-2003, dan 2004-2013

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa total luasan hutan produktif pada jangka 1973 sampai 1984-1993 mengalami kenaikan. Pada jangka 1964-1973 mengalami kenaikan sebesar 122,2 ha (0,06%) ke jangka 1974-1983, setelah jangka 1974-1983 luasan produktif masih mengalami kenaikan hingga 1984-1993. Pada jangka 1994-2003 mengalami penurunan 337,8 ha atau sebesar 16,57 % dan diikuti penambahan luasan tidak produktif TK sebesar 174,6 ha atau 45,19 % dari jangka 1984-1993. Penurunan yang cukup besar ini disebabkan gangguan hutan berupa pencurian kayu, kebakaran hutan, dan bencana alam, serta era reformasi yang menimbulkan krisis multi dimensional pada tahun 1997 antara lain krisis moneter yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi kesusahan dalam menjalani hidup. Besarnya tingkat kerusakan yang mengakibatkan penurunan luasan produktif diiringi dengan bertambahnya luasan kelas hutan tidak produktif atau TJBK dan TK pada setiap jangka. Pada jangka 2004-2013 terjadi peningkatan luasan produktif karena adanya penambahan penanaman dan


(41)

ditingkatkannya pengawasan agar berkurangnya gangguan hutan, sehingga luasan produktif bertambah sebesar 522,5 ha dan luasan tidak produktif menurun untuk kelas TK sebesar 289 ha (51,51 %) dan TJBK sebesar 233,5 ha (40,93 %) dari jangka 1994-2003.Gambaran luas total produktif dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Luas hutan produktif setiap jangka.

Besarnya penurunan luasan atau tingkat kerusakan pada kelas umur terlihat jelas terjadi pada kelas umur IV menjadi kelas umur V, namun besarnya penurunan luasan tersebut tidak dapat disamakan dengan kelas umur muda ataupun kelas umur tua dikarenakan pada kelas umur V terjadi masak tebang sesuai dengan daur perusahaan yaitu 40 tahun. Besarnya penurunan pada kelas umur IV menjadi kelas umur V terjadi karena adanya aktifitas penebangan KU sehingga luasan semakin berkurang, bukan disebabkan oleh gangguan hutan. Pertambahan luasan pada kelas umur I dikarenakan adanya penanaman yang intensif pada lahan kosong contohnya untuk luasan kelas umur I pada awal jangka 2004-2013 mengalami peningkatan luasan yang cukup besar dibandingkan jangka-jangka sebelumnya mencapai 1.694,5 ha. Hal ini menunjukkan luas areal penanaman di jangka sebelumnya dengan kondisi saat ini sudah tidak dapat

1881.6

2003.8 2038.5

1700.7

2223.2

0 500 1000 1500 2000 2500

1964-1973 1974-1983 1984-1993 1994-2003 2004-2013

L

u

as

(

h

a)


(42)

dipertahankan lagi, karena sudah tidak memungkinkan lagi luasan tersebut dipanen di umur masak tebang, oleh karena itu dilakukanlah peningkatan penanaman khususnya rehabilitasi tanah kosong secara intensif.

Komposisi tegakan kelas umur dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu KU muda (KU I-II), KU tua (KU III), dan KU masak tebang (KU IV keatas). Untuk mengetahui besarnya total luas hutan produktif dan penyebaran komposisi tegakan jati dalam setiap kisaran kelas umur dan pada setiap jangka perusahaan, diperlukan data hasil rekapitulasi hutan produktif yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Rekapitulasi hutan produktif BH Gombong Selatan

KU 1964-1973 Persen (%) 1974-1983 Persen (%) 1984-1993 Persen (%) KU I-II 1140,6 60,62 1268,1 63,28 1249,6 61,30 KU III 358,6 19,06 377,6 18,84 393,7 19,31 KU IV up 382,4 20,32 358,1 17,87 395,2 19,39

Total 1881,6 100 2003,8 100 2038,5 100

Tabel 6 Lanjutan

KU 1994-2003 Persen (%) 2004-2013 Persen (%)

KU I-II 1141,4 67,11 1956,4 87,99

KU III 294,2 17,3 101,9 4,58

KU IV up 265,1 15,59 164,9 7,42

Total 1700,7 100 2223,2 100

Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa tegakan jati kelas umur muda (di bawah 20 tahun) memiliki luas yang dominan dibanding kelas umur di atas 20 tahun. Pada jangka 2004-2013 terlihat jelas tegakan jati muda sangat mendominasi yaitu mencapai 87,99 % sedangkan komposisi tegakan KU tua dan masak tebang masing-masing kurang dari 10 %. Melihat penyebaran komposisi tegakan jati tersebut pihak KPH Kedu Selatan perlu memberikan perhatian yang lebih terhadap keadaan tegakan jati baik kelas umur muda, tua dan masak tebang serta adanya upaya dalam menangani faktor-faktor terjadinya gangguan hutan yang mengakibatkan komposisi tegakan jati terganggu, jika tidak ada upaya dan perhatian maka dikhawatirkan pada masa mendatang potensi kelas umur tua dan masak tebang akan habis.

5.3 Gangguan Hutan

Perubahan luas kawasan hutan di Bagian Hutan Gombong Selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor pencurian kayu, kebakaran hutan, bencana alam,


(43)

pengembalaan, dan bibrikan. Pencurian kayu terbesar terjadi pada periode tahun 1998-2002 dengan jumlah tunggak 1.570 pohon dengan jumlah kerugian Rp 45.172.965.000,-. Pada periode tahun 1998-2002 telah terjadi dinamika sosial yang memunculkan era reformasi sehingga menimbulkan dampak terjadinya pencurian kayu secara besar-besaran di wilayah KPH Kedu Selatan. Setelah tahun 2002, pencurian kayu mulai berkurang secara kuantitas namun masih terus terjadi hingga sekarang, bahkan mengalami kenaikan kembali pada tahun 2007 yaitu dari 84 tunggak pohon pada tahun 2006 menjadi 229 tunggak pohon pada tahun 2007. Untuk tahun 2008 tercatat 300 tunggak pohon dan pada tahun 2009 sebanyak 189 tunggak pohon. Berdasarkan 5 jangka perusahaan dimulai dari tahun 1964 hingga kini tercatat bahwa pencurian sudah terjadi pada tahun 1970, namun masih dalam skala yang kecil dan terus meningkat setiap jangka perusahaan hingga memuncak pada era reformasi. Sebagai akibat munculnya krisis multi dimensional pada tahun 1997, antara lain krisis moneter, krisis kepercayaan diikuti dengan pergantian kepemimpinan nasional yang relatif cepat. Pergantian kepemimpinan yang relatif cepat mengakibatkan munculnya tuntutan dari berbagai pihak kepada pemerintah untuk meninjau kembali pola-pola pembangunan maka Perum Perhutani sebagai BUMN segera menyikapi dengan melakukan perubahan dalam manajemen secara total. Manajemen awal yang dipakai Perum Perhutani yaitu dengan menggunakan paradigma pengelolaan hutan timber management diubah menjadi forest resources management.

Besarnya kerugian akibat pencurian kayu dapat dihitung berdasarkan panjang dan diameter kayu yang hilang atau dicuri bukan berdasarkan banyaknya tunggak yang hilang. Jumlah tunggak yang sedikit dapat memiliki kerugian yang besar jika tunggak tersebut memiliki diameter dan panjang yang besar begitu pun sebaliknya jumlah tunggak yang banyak dapat memiliki kerugian yang sedikit karena memiliki diameter dan panjang yang kecil sehingga menghasilkan volume yang kecil pula. Hilangnya pohon-pohon tersebut tentu saja mempengaruhi volume tebangan yang telah direncanakan dan menambah areal yang kosong. Gangguan hutan berupa pencurian kayu ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya hutan serta kondisi sosial ekonomi


(44)

masyarakat yang masih rendah dan kepadatan penduduk yang semakin tinggi dengan lapangan pekerjaan yang sempit.

Pihak perusahaan mengupayakan adanya usaha pengamanan hutan bersama instansi lain (Muspika dan Muspida) yang lebih ditingkatkan. Pihak KPH Kedu Selatan perlu juga memikirkan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kayu bakar seperti penanaman jenis johar dan turi pada bidang tanaman. Upaya lainnya yaitu melalui PHBM pengamanan hutan yang ditawarkan kepada LMDH untuk mengamankan tegakan hutan sampai dengan akhir daur secara bagi hasil (maksimum 25 %) berdasarka SK. Dir No. 001/kpts/DIR/2002 tanggal 2 Januari 2002 tentang pedoman barbagi hasil hutan kayu.

Selain gangguan hutan berupa pencurian kayu, kebakaran hutan juga berpengaruh pada potensi tegakan jati. Kebakaran terbesar terjadi pada tahun 2002 seluas 743 ha kerugian mencapai Rp 809.045.000,-. Kerugian akibat kebakaran hutan dilihat berdasarkan banyaknya pohon yang terbakar dan pohon yang mati. Besarnya kerusakan yang terjadi tentu saja menyebabkan perubahan kelas hutan dari kelas hutan produktif menjadi kelas hutan tidak produktif yaitu TK dan TJBK. Sumber terjadinya kebakaran dapat disebabkan oleh tumbuhan bawah serta serasah yang kering dan ilalang yang merupakan bahan bakar yang potensial dalam menimbulkan kebakaran. Sebagian besar kebakaran hutan merupakan perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab, diantaranya untuk mendapatkan kayu sisa hasil kebakaran hutan atau rencek dan pembukaan lahan garapan. Usaha yang dapat ditempuh untuk mencegah kebakaran hutan adalah penyuluhan bahaya api dan akibatnya serta kerugian yang ditimbulkan bagi masyarakat sekitar hutan dan mengefektifkan fungsi SATDALKAR, pendirian manara kebakaran, pembuatan ilaranapi dan sekat bakar, dan adanya pengaturan jadwal piket kebakaran bagi petugas.

Gangguan hutan dapat disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, gempa bumi, angin kencang, dan lain-lain. Bencana alam yang terjadi pada tahun 1984 di BH Gombong Selatan mengalami kerugian terbesar yaitu Rp 74.450.000,- dengan jumlah pohon yang mengalami kerusakan parah 66 pohon, sedangkan untuk jumlah pohon yang mengalami rusak terbanyak terjadi pada tahun 2007 sebanyak 223 pohon dengan kerugian sebesar Rp 21.105.000,-.


(45)

Penggembalaan merupakan salah satu gangguan hutan, namun tidak sebesar pencurian dan kebakaran hutan. Keberadaan hewan peliharaan dalam masyarakat desa dapat menjadi perusak tanaman (tegakan muda) karena memakan daun seperti mahoni dan gmelina. Hewan-hewan tersebut digembalakan di dalam hutan dan pengaritan liar untuk mendapatkan pakan ternak. Pencegahan kerusakan hutan akibat pengembalaan liar diantaranya dengan mengarahkan masyarakat untuk beralih ke hewan kandang dan penanaman hijauan makanan ternak dengan jenis rumput gajah, setaria dan king grass. Penyediaan pakan ternak dalam suatu desa dapat dikembangkan secara PHBM karena kebutuhan secara terus menerus dan dalam jumlah yang cukup besar. Pengarahan dan pembinaan pembuatan biogas dan pupuk kompos merupakan alternatif lain untuk menambah pendapatan masyarakat.

Gangguan hutan lainnya yaitu bibrikan dan sengketa tanah. Pada umumnya bibrikan adalah kejadian dimana kawasan hutan yang berbatasan dengan tanah milik dikerjakan dan dikuasai oleh masyarakat dengan cara pemindahan pal batas atau mengaburkan batas dengan menghilangkannya. Kasus bibrikan harus segera diatasi karena berpotensi mengurangi luas kawasan hutan bila dibiarkan berlarut-larut. Dengan adanya masalah tersebut maka perlu peningkatan kepedulian petugas terhadap asset Negara melalui laporan pal secara rutin, pengukuran batas hutan yang jelas dan sesuai serta penyuluhan tentang pelanggaran batas hutan kepada masyarakat. Sengketa tanah di kawasan Bagian Hutan Gombong Selatan tidak terjadi yang biasa terjadi adalah masyarakat menggarap kawasan hutan karena membutuhkan lahan garapan, tanpa peduli keadaan hutan tersebut berupa tanaman baru atau di bawah tegakan tua seakan tanah tersebut menjadi bagian dari kehidupannnya. Masyarakat mengolah secara terus-menerus dan masyarakat mengakui tanah tersebut milik Perhutani oleh sebab itu perlu adanya tindakan dimana fungsi hutan dan kelestarian hutan tetap dijaga. Masyarakat atau pesanggern harus diberi pengertian untuk menyesuaikan jenis tanaman palawija mengikuti pertumbuhan tanaman kehutanan yaitu tahun awal dengan jenis butuh cahaya tapi untuk tahun berikutnya dengan jenis yang tahan naungan.


(46)

Dalam melakukan prediksi struktur kelas hutan dan produksi tebangan A.2 jati untuk satu jangka ke depan, diperlukan beberapa faktor koreksi sebagai berikut :

1. Faktor koreksi tingkat kelestarian kelas hutan (FK.1)

Metode penetapan FK.1 menggunakan tahapan perhitungan sebagai berikut : a. Perhitungan persen perubahan per KU (FK.a)

Melakukan perhitungan persen perubahan per KU yang merupakan rata-rata lima jangka dengan rincian pada Tabel 7.

Tabel 7 Perubahan kelas umur pada lima jangka Kelas Hutan

Produksi

Luas (ha)

1964-1973 1974-1983 1984-1993 1994-2003 2004-2013

A B C D E

1694.5 783 261.9 801.9 358.4 101.9

761.9 447.7 294.2 103.6

KU I 726.3 506.2 393.7 240.9 26.2

KU II 414.3 377.6 361.4 24.2

KU III 358.6 323.1 23

KU IV 354.3 24

KU V 28.1

MR 0 11 10.8 0 23.9

Tabel 7 Lanjutan Kelas Hutan

Prod.

Luas Perubahan (ha) % Perubahan

F (A-B) G (B-C) H (C-D) I (D-E) J (A-B) K (B-C) L (C-D) M (D-E)

521.1 66.55

443.5 256.5 55.31 71.57

314.2 153.5 190.6 41.24 34.29 64.79 KU I 220.1 112.5 152.8 214.7 30.30 22.22 38.81 89.12 KU II 36.7 16.2 337.2 24.2 8.86 4.29 93.30 100

KU III 35.5 300.1 23 9.90 92.88 100

KU IV 330.3 24 93.23 100

KU V 28.1 100


(47)

Berdasarkan Tabel 7 dapat dijelaskan bahwa luasan KU I pada jangka 1964-1973 sebesar 726,3 ha mengalami penurunan pada saat berubah menjadi KU II pada jangka 1974-1983 menjadi 506,2 ha dengan angka kerusakan sebesar 30,3 % kemudian berubah menjadi KU III dengan luasan yang mengalami penurunan menjadi 393,7 ha dengan angka kerusakan sebesar 22,22 % dan mengalami penurunan kembali menjadi 240,9 ha pada KU IV dengan angka kerusakan 38,81 %.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa tingkat kerusakan terjadi pada setiap kelas umur dan setiap jangka perusahaan. Kerusakan melebihi 50 % di setiap kelas umur yang terjadi pada jangka 1994-2003 menuju ke jangka berikutnya 2004-2013. Terjadinya kerusakan yang besar pada jangka tersebut disebabkan oleh dinamika sosial yang terjadi pada tahun 1998-2001 yang memunculkan era reformasi dan berdampak pada terjadinya pencurian kayu yang besar di wilayah Bagian Hutan Gombong Selatan dan dampaknya masih berpengaruh hingga kini dengan intensitas penjarahan kayu yang semakin berkurang. Perubahan terbesar terjadi pada KU V sebesar 93,3 %, perubahan besar ini bukan hanya disebabkan karena gangguan hutan tetapi adanya kegiatan penebangan oleh perhutani pada kelas umur tersebut. Perubahan yang terjadi pada setiap kelas umur jangka perusahaan menggambarkan bahwa Bagian Hutan Gombong Selatan selalu mengalami gangguan atau kerusakan hutan. Hal ini juga dapat dilihat berdasarkan laju perubahan areal produktif setiap KU yang menggambarkan laju pengurangan luas areal produktif setiap tahunnya dari kelas umur awal menuju kelas umur berikutnya.

b. Penetapan persen tingkat kelestarian (FK. b)

Menetapkan persen kelestarian dilakukan dengan cara membandingkan luas kelas hutan produktif pada jangka sebelumnya dengan luas kawasan produktif pada jangka berjalan dan kegiatan pengelolaan yang dilakukan sehingga tingkat kelestarian diperoleh sebesar = 80.04 % dengan rincian sebagai berikut :


(48)

Tabel 8 Persen perubahan per KU dua periode terakhir

Kelas Hutan 1994-2003 (ha) 2004-2013 (ha) Pengelolaan jangka lalu (2002-2003)

KU I 783 1.694,5 438

KU II 358,4 261,9

KU III 294,2 101,9

KU IV 240,9 103,6 128

KU V 24,2 26,2

MT 0 11,2

MR 0 23,9

Jumlah 1.700,7 2.223,2 566

Dari Tabel 8 di atas dapat dihitung berapa tingkat kelestarian KPH Kedu Selatan, sebagai berikut :

b = 2.223,2 + 438 – 128 = 2.533,2 ha c = 1172 ha

k = (1.700,7 – 2.533,2 + 1172)/1.700,7 x 100 % = 19,96 % tingkat kelestarian = 100 % – 19,96 % = 80,04 %

Nilai tingkat kerusakan tersebut diperhitungkan secara merata pada semua KU sehingga diperoleh FK.1 Rincian perhitungan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut :

Tabel 9 Perhitungan FK.1

Perubahan % Perubahan

% Kerusakan

Kelas Umur A-B B-C C-D D-E

1 2 3 4 5 6

I-II 30.30 41.24 55.31 66.55 48.35

II-III 8.86 22.22 34.29 71.57 34.23

III-IV 9.90 4.29 38.81 64.79 29.45

IV-V 93.23 92.88 93.30 89.12 92.13

Tabel 9 Lanjutan Perubahan

FK. A FK. B Jumlah kolom (7+8) FK.1 (%) (kolom 9/2) Kelas Umur

7 8 9 10

I-II 51.65 80.04 131.69 65.84

II-III 65.77 80.04 145.80 72.90

III-IV 70.55 80.04 150.59 75.30


(49)

2. Faktor koreksi penambahan tanaman jati kelas umur I (FK.2)

FK.2 adalah angka prediksi penambahan KU I untuk jangka yang akan datang dengan mempertimbangkan kerusakan hutan (pencurian, kegagalan tanaman, dll), luas kelas hutan tidak produktif dan kemampuan perusahaan dalam pembuatan tanaman. FK.2 merupakan persentase perbandingan antara nilai rata-rata realisasi tanaman pada suatu jangka terhadap rata-rata-rata-rata luas kerusakan pada jangka sebelumnya ditambah dengan luas tebangan rutin pada jangka berjalan dan luas tanah tidak produktif (TK dan TJBK) di awal jangka. Perhitungan FK.2 tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Penetapan FK.2 dalam memprediksi penambahan tanaman pada KU I dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut :

a. Menjumlahkan poin (a) sampai (d) untuk luasan tanaman dalam jangka berjalan

b. Mendapatkan % per jangka (g) berdasarkan perbandingan poin (F) dengan poin (e)

c. Hasil poin (i1) didapatkan berdasarkan perkalian poin (e) dikalikan poin (h), sedangkan poin (i2) perkalian poin (i1) dengan poin (g)


(50)

Tabel 10 Struktur KU jangka lalu dengan angka kerusakan masing-masing KU

Keterangan :

a = luas Tk awal jangka (ha) b = Luas TJBK awal jangka (ha) c = Kerusakan dalam jangka (ha) d = Luas Teb. A dalam jangka (ha)

e = Luas tanaman dalam jangka berjalan (ha) f = Luas KU I dalam jangka berikut (ha) g = % per jangka

h = Rentang jangka (tahun)

i = perhitungan rata-rata tertimbang j = FK.2 (%)

Jangka a b c d e f g h i1 i2 j

1964-1973 392,7 560,3 292,30 358,4 1603,7 761,90 47,51 10 16037 761900 1974-1983 421,1 438,1 442,90 335,1 1637,2 801,90 48,98 10 16372 801900 1984-1993 386,4 570,5 749,80 371 2077,7 783,00 37,69 10 20777 783000 1994-2003 561 570,5 968,20 238,9 2338,6 1694,50 72,46 10 23386 1694500 2004-2013 272 337 150,65 164,9 924,55 1223,55 132,34 10 9245,5 1223550


(51)

3. Faktor koreksi penambahan miskin riap (FK.3)

FK.3 adalah angka prediksi luas miskin riap (MR) untuk jangka yang akan datang dengan memperhitungkan perbandingan luas MR pada jangka lalu. Pada umumnya timbulnya MR disebabkan oleh kerawanan hutan. Penetapan FK.3 menggunakan perhitungan seperti pada Tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11 Penambahan Miskin Riap (FK.3)

Kelas Jangka Perusahaan (ha) Jumlah Fk 3

Umur 1964-1973 1974-1983 1984-1993 1994-2003 2004-2013 (%)

Ku IV 354,3 323,1 361,4 240,9 1279,7

Ku V 28,1 24 23 24,2 99,3

Jumlah 382,4 347,1 384,4 265,1 1379

MR 0 11 10,8 0 23,9 45,7

% 2,88 3,11 0,00 9,02 3,31

% MR Jangka 1974-1983 = 11 x 100 % = 2,88 % 382,4

% MR Jangka 1984-1993 = 10,8 x 100 % = 3,11 % 347,1

% MR Jangka 1994-2003 = 0 x 100 % = 0 384, 4

% MR Jangka 2004-2013 = 23,9 x 100 % = 9,02 % 265,1

FK.3 = 45,7 x 100 % = 3,31 % 1.379

Penetapan FK.3 dalam memprediksi penambahan miskin riap (MR), dengan tahapan sebagai berikut :

a. Menjumlahkan KU IV-VI pada awal jangka lalu. Dengan asumsi bahwa KU efektif yang dapat menjadi MR adalah KU IV-VI

b. % MR jangka selanjutnya didapatkan berdasarkan MR jangka selanjutnya dibagi dengan total KU IV dan KU V.

c. FK.3 diperoleh dari total MR seluruh jangka dibagi dengan total KU IV dan KU V seluruh jangka.

5.5 Prediksi Struktur Kelas Hutan

Dalam melakukan prediksi struktur kelas hutan dan tebangan A.2 untuk dua jangka kedepan, menggunakan RPKH jangka 2004-2013, dengan kata lain prediksi untuk selanjutnya merupakan kelipatan interval 10 tahun.


(1)

KU V 26,2 26,2

KU IV 103,6 103,6 3,31 3,43

KU III 101,9 101,9

KU II 261,9 261,9

KU I 1694,5 1694,5

Jumlah 2214 53,1 2165,9 3,43

Lampiran 10 Estimasi susunan kelas hutan awal jangka 2014-2023

Kelas hutan a b c d e

MR 23,9 23,9 3,43

MT 11,2 11,2 0

KU V 26,2 26,2 45,53

KU IV 103,6 103,6 43,95 76,73

KU III 101,9 101,9 75,30 190,93

KU II 261,9 261,9 72,90 1115,72

KU I 1694,5 1694,5 65,84 858,81

Jumlah 2223,20 61,30 2161,90 2291,16

TK 272 204,04

TJBK 337 337,00

Jumlah 609 541,04

Total 2832,20 2832,20

Lampiran 11 Perbandingan jangka 2004-2013 dengan jangka 2014-2023

Kelas hutan 2004-2013 (ha) 2014-2023 (ha)

MR 23,9 3,43

MT 11,2 0

KU V 26,2 45,53

KU IV 103,6 76,73

KU III 101,9 190,93

KU II 261,9 1115,72

KU I 1694,5 858,81

Jumlah 2223,20 2291,16

TK 272 204,04


(2)

Jumlah 609 541,04

Total 2832,20 2832,20

Lampiran 12 Perubahan kelas umur pada lima jangka (FK.a) untuk proyeksi ke dua

Kelas Huta

n Prod.

Luas (ha) Luas Perubahan (ha) % Perubahan

197 4-198 3 198 4-199 3 199 4-200 3 2004-2013

2014-2023 A-B B-C C-D D-E A-B B-C C-D D-E

A B C D E

858.81 1694. 5 1115.7 2 578.7 8 34.1 6 783 261.9 190.93

521.

1 70.97

66.5 5 27.1 0 801. 9 358.

4 101.9 76.73

443. 5

256.

5 25.17

55.3 1 71.5 7 24.7 0 KU I 761.

9 447.

7 294.

2 103.6 45.53 314.

2 153.

5 190.

6 58.07 41.2 4 34.2 9 64.7 9 56.0 5 KU II 506.

2 393.

7 240.

9 26.2

112. 5

152. 8

214.

7 26.20 22.2

2 38.8

1 89.1

2 100 KU

III

377. 6

361.

4 24.2 16.2

337.

2 24.2 4.29

93.3 0 100 KU

IV

323. 1 23

300. 1 23

92.8 8 100

KU V 24 24 100

MR 11 10.8 0 23.9 3.43

Lampiran 13 Penetapan persen tingkat kelestarian (FK. b) untuk proyeksi ke dua Kelas Hutan 2004-2013 (ha) 2014-2023 (ha)

Pengelolaan jangka lalu (2012-2013)

KU I 1694.5 858.81 1428.91

KU II 261.9 1115.72

KU III 101.9 190.93

KU IV 103.6 76.73 93.17

KU V 26.2 45.53

MT 11.2 0

MR 23.9 3.43

Jumlah 2223.2 2291.16


(3)

Perubahan % Perubahan

%

Kerusakan FK. A FK. B

Jumlah kolom (7+8) FK.1 (%) (kolom 9/2) Kelas Umur

A-B B-C C-D D-E

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

I-II 41.24 55.31 66.55 34.16 49.31 50.69 127.57 178.25 89.13

II-III 22.22 34.29 71.57 27.10 38.79 61.21 127.57 188.77 94.39

III-IV 4.29 38.81 64.79 24.70 33.15 66.85 127.57 194.42 97.21

IV-V 92.88 93.30 89.12 56.05 82.84 17.16 127.57 144.73 72.36

Lampiran 15 Struktur KU jangka lalu dengan angka kerusakan masing-masing KU untuk proyeksi

ke dua

Keterangan : a = luas Tk awal jangka (ha) b = Luas TJBK awal jangka (ha) c = Kerusakan dalam jangka (ha) d = Luas Teb. A dalam jangka (ha)

e = Luas tanaman dalam jangka berjalan (ha) f = Luas KU I dalam jangka berikut (ha) g = % per jangka

h = Rentang jangka (tahun)

i = perhitungan rata-rata tertimbang j = FK.2 (%)

jangka a b c d e f g h i1 i2 j

1964-1973 421. 1 438 .1 442. 90 335. 1 1637. 2 801.9 0 48.9 8 1

0 16372

80190 0 1974-1983 386. 4 570 .5 749.

80 371

2077. 7 783.0 0 38.6 0 1

0 20777

80190 0

1984-1993 561

570 .5 968. 20 238. 9 2338. 6 1694. 50 33.4 8 1

0 23386

78300 0

1994-2003 272 337 150. 65 164. 9 924.5 5 858.8 1 183. 28 1 0 9245. 5 16945 00 2004-2013 204. 04 337

674. 92 119. 37 1335. 33 858.8 1 64.3 1 1 0 13353 .34 85881 1.7 Jumlah 8313. 38 4997. 02 83133 .84 49401 12 59. 42


(4)

Lampiran 16 Penambahan Miskin Riap (FK.3) untuk proyeksi ke dua

Kelas Jangka Perusahaan (ha) Jumlah Fk 3

Umur 1974-1983 1984-1993 1994-2003 2004-2013 2014-2023 (%)

Ku IV 323.1 361.4 240.9 103.6 1029

Ku V 24 23 24.2 26.2 97.4

Jumlah 347.1 384.4 265.1 129.8 1126.4

MR 11 10.8 0 23.9 3.43 49.13

% 3.11 0.00 9.02 2.65 4.36

% MR Jangka 1984-1993 = % MR Jangka 1994-2003 = % MR Jangka 2004-2013 = % MR Jangka 2014-2023 = FK.3 =

Lampiran 17 Perhitungan estimasi luas tanaman awal jangka 2024-2033

Kelas hutan a b c d e f g h

MR 3.43 3.43 3.43 2.04

MT 0 0 0 0.00

KU V 45.53

45.5

3 45.53 27.06

KU IV 76.73 76.73

27.6 4

23.2

7 17.86 17.86 10.61

KU III 190.93 190.93 2.79 5.33 5.33 3.17

KU II

1115.7 2

1115.7

2 5.61 62.64 62.64 37.22

KU I 858.81 858.81

10.8

7 93.39 93.39 55.49

Jumlah KU (I)

2291.1 6

48.9 7

2242.1 9

179.2 1

228.1 8

135.5 8

TK 204.04

204.0 4

204.0 4

121.2 4

TJBK 337.00 337 337

200.2 5 Jumlah (II) 541.04

541.0 4

541.0 4

321.4 9 Jumlah I+II

2832.2 0

720.2 6

769.2 2

457.0 7


(5)

Keterangan : a = Luas awal jangka lalu (ha) b = Tebangan A jangka lalu (ha)

c = Sisa kelas hutan produktif jangka lalu (ha) d = Akr (100-Fk.1)

e = AKR-FK.3

f = Tanaman pembangunan awal jangka sebelum FK.2 (ha) g = Tanaman awal Jk sebelum Fk2 (pemb+rutin) (ha) h = Tan awal Jk FK.2 (0,5942) (ha)

Lampiran 18 Perhitungan estimasi luas miskin riap awal jangka 2024-2033

Awal jangka Tebangan A

selama jangka lalu (ha)

Kelas Hutan produktif di luar rencana tebangan A (ha)

FK.3 4,36 %

(ha)

Prediksi MR awal jangka (ha) Kelas hutan (ha) Luas (ha)

MR 3.43 3.43

KU V 45.53 45.53

KU IV 76.73 76.73 4.36 3.35

KU III 190.93 190.93

KU II 1115.72 1115.72

KU I 858.81 858.81

Jumlah 2291.16 48.97 2242.188 3.35

Lampiran 19 Estimasi susunan kelas hutan awal jangka 2024-2033

Kelas hutan a b c d e

MR 3.43 3.43 3.35

MT 0 0 0.00

KU V 45.53 45.53 55.52

KU IV 76.73 76.73 72.36 185.60

KU III 190.93 190.93 97.21 1053.08

KU II 1115.72 1115.72 94.39 765.43

KU I 858.81 858.81 89.13 457.07

Jumlah 2291.16 48.97 2242.19 2520.05

TK 204.04 0.00

TJBK 337.00 312.15

Jumlah 541.04 312.15


(6)

Lampiran 20 Perbandingan jangka 2014-2023 dengan jangka 2024-2033

Kelas hutan 2014-2023 (ha) 2024-2033 (ha)

MR 3,43 3.35

MT 0 0.00

KU V 45,53 55.52

KU IV 76,73 185.60

KU III 190,93 1053.08

KU II 1115,72 765.43

KU I 858,81 457.07

Jumlah 2291,16 2520.05

TK 204,04 0.00

TJBK 337,00 312.15

Jumlah 541,04 312.15