Latar Belakang Evaluasi Perubahan Kelas Hutan Produktif Tegakan Jati (Tectona grandis L.f.) (Kasus di KPH Nganjuk Perum Perhutani Unit II Jawa Timur)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju pembangunan yang begitu pesat, mengakibatkan banyak terjadinya perubahan hutan dalam waktu yang relatif singkat dan terjadi secara terus menerus. Agar kelestarian lingkungannya tetap terjaga maka dengan adanya pengelolaan hutan lestari, perubahan hutan yang terjadi secara terus menerus ini tetap dapat berlangsung tanpa mengurangi nilai kelestariannya. Perubahan hutan ini bisa terjadi karena dua hal, yaitu perubahan hutan yang direncanakan seperti penebangan dan penjarangan, serta perubahan hutan yang tidak direncanakan seperti gangguan hutan. Perubahan hutan yang tidak direncanakan ini tentunya akan sangat merugikan bagi pihak pengelola hutan. Pengelolaan hutan lestari sustainable forest management merupakan suatu proses hutan untuk mencapai kontinuitas produksi dan manfaat lain yang diinginkan tanpa mengakibatkan kemunduran nilai produktivitas hutan di masa mendatang dan tanpa menimbulkan efek yang merugikan pada lingkungan fisik serta sosial ITTO 1992. Agar pengelolaan hutan lestari dapat tercapai, maka dalam pengelolaannya dibutuhkan pengaturan hasil. Sebagaimana diungkapkan Meyer et al., 1961 bahwa kelestarian hasil memerlukan rencana jangka panjang sehingga memungkinkan pengaturan persediaan dan penggantian persediaan tegakan. Metode pengaturan hasil dalam rangka penentuan jumlah volume tebangan per tahun yang digunakan oleh pihak Perum Perhutani sebagai pihak pengelola hutan tanaman di Pulau Jawa sampai saat ini adalah metode Burn, dengan ciri menggunakan daur tunggal satu daur. Daur ekonomis umur tanaman yang paling menguntungkan untuk ditebang tanaman Jati adalah 80 tahun. Pada metode Burn, kondisi tegakan dianggap tidak mengalami perubahan selama jangka waktu tersebut, kenyataan di lapangan hampir setiap tahun tegakan hutan mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi cenderung ke arah penurunan potensi tegakan hutan sebagai akibat dari terjadinya gangguan berupa pencurian kayu. Menurut catatan Perum Perhutani, 1.700 hektar dari 21.077 hektar luas hutan di seluruh Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH Nganjuk rusak parah, yang sebagian besar diakibatkan oleh pencurian kayu Anonim 2001 . Gangguan hutan yang tinggi di KPH Nganjuk mengakibatkan rusaknya tegakan produktif dan sangat mengganggu pengaturan hasil yang sudah ditetapkan setiap tahunnya. Pencurian kayu yang terjadi lebih sering pada kelas umur yang tua, sehingga potensi tegakan pada kelas umur yang masak tebang tidak dapat memenuhi jumlah volume tebangan per tahun yang telah ditetapkan. Karena banyaknya tegakan produktif yang rusak, penebangan untuk rehabilitasi tebangan B dan D semakin meningkat bahkan lebih banyak jumlahnya bila dibandingkan dengan penebangan hutan lestari tebangan A. Pihak Perhutani KPH Nganjuk mengatasi hal tersebut selain dengan meningkatkan pengamanan bantuan personel keamanan dari pihak TNIPOLRI juga melakukan beberapa progam terhadap masyarakat sekitar, salah satunya adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM, dengan harapan tingkat gangguan hutan dapat ditekan. Dalam program PHBM ini masyarakat turut mendukung dalam kegiatan pemeliharaan dan pengamanan sampai tanaman Jati itu dipanen. Pembagian hasil yang ditawarkan dalam PHBM ini adalah 30 persen untuk masyarakat dan 70 persen untuk pihak Perhutani. Namun dari program PHBM ini dampak yang diharapkan belum terlihat, hal ini terjadi karena daur jati yang digunakan di KPH Nganjuk terlalu panjang 80 tahun, sehingga masyarakat kurang berminat karena hasil yang diperoleh terlalu lama untuk dinikmati. Bila melihat masalah tersebut di atas, maka diperlukan evaluasi perubahan kelas hutan produktif tegakan jati agar dapat mengetahui kondisi tanaman jati di lapangan saat ini dan tindakan pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Dari hasil evaluasi ini maka akan diketahui pola perubahan komposisi tegakan jati yang sedang terjadi sampai saat ini. Selain itu, juga dapat diketahui apakah dengan pola perubahan yang ada tegakan jati masih pantas menggunakan daur panjang atau sebaliknya. Dengan adanya Jati Plus Perhutani JPP dan trubusan yang mampu tumbuh berkali-kali serta dapat tumbuh dengan baik, kemungkinan untuk menggunakan daur yang lebih pendek dalam menentukan pengaturan hasil diharapkan merupakan solusi yang tepat di KPH Nganjuk. Penggunaan daur yang lebih pendek ini memiliki beberapa kelebihan yaitu hasil yang diperoleh lebih cepat, menekan biaya-biaya pengelolaan serta menarik bagi masyarakat yang ikut program PHBM.

1.2 Tujuan Penelitian