Pendekatan Etnoekologi TINJAUAN PUSTAKA

dalam berinteraksi dengan lingkungan, ditambah kearifan tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani perilaku manusia dalam mengelola lingkungan Purwanto 2000. Mansoben 2003 mengatakan paling tidak ada tiga orientasi nilai budaya terhadap alam yang diwujudkan oleh masyarakat Papua. Pertama adalah alam merupakan sesuatu yang berpotensi dan harus dieksploitasi untuk kesejahteraan Kedua adalah alam merupakan sarana atau media bagi manusia untuk kelangsungan hidup dalam berekspresi melalui karyanya terhadap lingkungan. Hal ini menyebabkan manusia bersikap simpati dan solider dengan alam. Akibat dari sikap demikian ialah alam tidak boleh diperlakukan semena-mena misalnya dalam bentuk eksploitasi. Ketiga adalah alam merupakan sesuatu yang sakral, oleh karena itu tidak boleh diganggu. Konsekwensi dari nilai orientasi yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan bentuk interaksi terhadap lingkungan alamnyapun berbeda-beda pula. Ketiga nilai orientasi budaya tersebut di atas dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan yang lestari, maka tidak dapat diperdebatkan, bahwa pada masyarakat pendukung kedua nilai orientasi budaya tersebut terakhir tidak terdapat persoalan yang amat serius dengan pelestarian lingkungannya. Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang disebut pertama.

2.9. Pendekatan Etnoekologi

Akhir-akhir ini usaha menerapkan ekologi kedalam studi mengenai manusia merupakan suatu usaha untuk mendapat kerangka analisa mengenai seberapa jauh dan bagaimana cara kebudayaan manusia dibentuk oleh kondisi lingkungan dalam konsep ekosistem Geerzt 1983. Selanjutnya Keesing 1999 menyatakan bahwa penafsiran deterministik lingkungan dengan melakukan pemahaman ekosistem dalam kerja lapang disebut sebagai etnografi. Etnografi dalam perkembangan terbentuk pendekatan baru dikenal sebagai metode etnosains yaitu analisis logik berdasar bahan etnografi Poerwanto 2000. Pendekatan etnoekologi merupakan salah satu pendekatan yang ada dalam antropologi ekologi. Adapun tujuan dan metode pendekatan ini banyak berasal dari etnosains, sebagaimana diketahui bahwa etnosains bertujuan melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat masyarakat yang diteliti. Berdasar perspektif tersebut, studi etnoekologi menurut Purwanto 2003 bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi secara ekologis aktivitas intelektual dan tindakan praktis yang dilakukan sekelompok masyarakat atau etnik sesuai kondisi alamiah. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menebak perilaku orang dalam berbagai aktivitas berkaitan dengan lingkungan. Pendekatan etnoekologi merupakan salah satu pendekatan tertentu, berbeda dengan pendekatan lain dalam antropologi ekologi. Pendekatan ini mempunyai ciri tertentu yang lain dari pendekatan lainnya. Arifin 2002 menunjukkan lima 5 ciri pendekatan etnoekologi, yaitu: 1 Etnoekologi menekankan perceptual environment dan secara umum kurang memperhatikanmempertimbangkan secara serius interaksi antara domain kognitif atau dengan hasil lingkungan efektif yang hampir atau sedikit ada hubungan interaksional dengan pendekatan modern; 2 Etnoekologi dimaksudkan mendeskripsikan secara emik domain budaya, meliputi perseptual environment. Secara mendasar, etnoekologi bermaksud menganalisis semantik secara formal; 3 Analisis etnoekologi dibatasi pada saling hubungan ekologis bersifat intra cultural: 4 Etnoekologi berkaitan lingkungan efektif, hal ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi dan prediksi efek kemungkinan perilaku bervariasi dalam partisipasi lingkungan mikro, yaitu lingkungan yang sering dibatasi untuk masyarakat lain; 5 Etnoekologi membuat asumsi dengan kadar tinggi terhadap homogenitas dan stabilitas di dalam kategorisasi budaya.

BAB III KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

a. Cagar Alam Pegunungan Wondiboy CAPW

Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy CAPW merupakan kawasan pegunungan yang terpisah dari rangkaian utama barisan pegunungan tengah dan terbuka dari semua jurusan arah laut. Kawasan ini termasuk dalam wilayah biogeografis yang unik terletak di tengah antara hubungan gunung di daerah Kepala Burung dan Pegunungan Tengah. Hutan di kawasan ini termasuk tipe hutan dataran rendah. CAPW ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 595Kpts-II1992 tanggal 6 Juni 1992 dengan luas 73.022 hektar. Secara geografis terletak diantara 134 31 –134 38 Bujur Timur dan 2 30 – 2 53 Lintang Selatan dan berdasarkan administrasi sekarang berada di bawah Kebupaten Teluk Wondama hasil pemekaran kabupaten Manokwari.

b. Kabupaten Teluk Wondama 1. Keadaan Geografis

Wilayah Kabupaten Teluk Wondama terdiri 7 Distrik, 53 Kampung kelurahan dengan luas wilayah 4.996 km 2 . Kabupaten sebagian besar berada di dataran pulau Papua. Terdapat 5 buah gunung tinggi, gunung Wondiboy adalah yang tertinggi 2.340 m. Topografis mulai daerah pantai, dataran rendah hingga pegunungan. Curah hujan tertinggi menurut stasiun pencatat meteorlogi dan geofisika Teluk Wondama terjadi pada bulan Februari mencapai 412 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi bulan Desember mencapai 162 mm. Hari hujan tertinggi