Vegetation Analysis And Utilization By Ethnic Wondama Which Is living In The Wondiboy Mountains Natural Reserve , Land Papua

(1)

ANALISIS VEGETASI DAN PEMANFAATANNYA OLEH

MASYARAKAT WONDAMA DI SEKITAR KAWASAN

CAGAR ALAM PEGUNUNGAN WONDIBOY TANAH PAPUA

JAN HENDRIEK NUNAKI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ANALISIS VEGETASI DAN PEMANFAATANNYA OLEH

MASYARAKAT WONDAMA DI SEKITAR KAWASAN

CAGAR ALAM PEGUNUNGAN WONDIBOY TANAH PAPUA

JAN HENDRIEK NUNAKI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

Judul Tesis :Analisis Vegetasi dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Wondama di Sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy Tanah Papua

Nama : Jan Hendriek Nunaki NRP : G351040031 Departemen : Biologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc Dr. Ir. Ibnul Qayim Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar, M.Sc


(4)

Pernyataan Mengenai Tesis dan Sumber Informasi

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “ Analisis vegetasi dan pemanfaatannya oleh masyarakat Wondama di sekitar kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy Tanah Papua”

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.


(5)

ABSTRACT

JAN NUNAKI. Vegetation Analysis and Utilization by Ethnic Wondama which is living in the Wondiboy Mountains Natural Reserve , Land Papua. Advised by : MUHADIONO and IBNUL QAYIM

The ethnic Wondama which is living in the Wondiboy Mountains Natural Reserve (Cagar Alam Pegunungan Wondiboy - CAPW) still keep their custom and traditional wisdom (ecological wisdom) to use all natural resources around them, including plants. The objective of this research is to know about the plant diversity at species level in the forest community of the Wondiboy Mountains Natural Reserve and the level of plant utilization by the locals in that area. A descriptive method was used in this research by combining interview and field survey techniques. The standard procedure of vegetation analysis and the useful value analysis were applied to analyse the data. Results of the research show that the highest index (Importance Value) of trees at 0-500 m asl. in Eastern side dominated by Pometia pinnata (17.3%) and Myristica lepidota Bl. (17.3%) in Western side. Poles dominated by Dalbergia sp.1 (37.1) in Eastern side and Spondias cytherea Sonnerat (35.2%) in Western. Saplings dominated by Carallia brachiata (Lour.) Merr. (15.8%) in Eastern side and

Semecarpus aruensis Engl. (15.9%) in Western. Seedlings dominated by Phanera lingua (DC.) Miq. (22.3%) in Eastern side and Clerodenrum sp.1 (19.3%) in Western side. While, trees at 500-1000 m asl. dominated by Agathis sp. (29.3%) in Eastern side and Intsia bijuga (19.5%) in Western side. Poles also dominated by Pometia sp. (43.3%) in Eastern side and Haplolobus moluccanus (Leenh.) H. J. Lam (31.2%) in Western. Samplings dominated by Gnetum gnemon

(23%) in Eastern side and Gnetum gnemon (15.2%) in Western. Seedlings dominated by

Nephrolepis falcate (Cav.) C. Chr. (28.6%) in Eastern side and Zysygium sp.7 (14.4) in Western. Furthermore, the average of species richness (R’) of trees is 3.996; poles 2.076, saplings 2.281; and seedlings 1.327. The average of species abundance (H’) of trees is 2.361; poles 1.513; saplings 2.017; and seedlings 1.533. And also the average of the species evenness (E) of trees is 0.989; poles 0.962; samplings 0.946; and seedlings 0.959. Furthermore, from the vegetation structure had been reported from that area, trees is vegetation with the highest number in utilization by the locals (1622), and subsequently followed by poles (923.5), saplings (1134), seedlings (241), and liana (84. 12). And the fuel wood (firewood) is the main plant utilization of locals in this area. In addition, the several species were found in plots of vegetation profile; however we separated between vertical and horizontal projection. In vertical view, Pometia pinnata (27 m) is species dominant in plot I, Ficus benjamina

Bl. (34 m) in plot II, and Planchonia papuana Knuth. (31 m) in plot III, and Erioglossum rubiginosum (Roxb.) Bl. (29 m) in plot IV. While in horizontal, Dalbergia sp.1 12.2% (from total 99%) in plot I, Pometia pinnata 15.5% (from total 97.8%) in plot II, Aistopetalum viticoides

Schltr. 13.5% (from total 98.4%) in plot III, and Teijsmanniodendron sp 16.3% (from total 96.7%) in plot IV.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas penyertaan-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2006 ini ialah vegetasi, dengan judul Analisis Vegetasi dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Wondama di Sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy Tanah Papua.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim selaku pembimbing. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada masyarakat kampung Senderawoi yang terlibat secara langsung dan tidak langsung, atas partisipasinya dalam penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri (Elisabeth Rudamaga) dan anak (Uria Coryalis Nunaki), serta seluruh keluarga besar Nunaki atas doa dan cinta kasihnya.

Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan yang lebih baik.

Bogor, Agustus 2007

Jan Hendriek Nunaki


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nabire Provinsi Papua pada tanggal 11 Januari 1976 dari Ayah I.S. Nunaki dan ibu J. Misiro. Penulis merupakan putra keenam dari sepuluh bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih. Pada tahun 2004 penulis diterima di Pascasarjana Program Studi Biologi , Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja awalnya sebagai guru tidak tetap di SMU Santo Paulus dan SMU Negeri 1 Manokwari tahun 2001-2002. Pada tahun 2002 penulis diangkat sebagai dosen tetap Universitas Negeri Papua, mengasuh mata kuliah Biologi Umum, Struktur dan Perkembangan Tumbuhan, Mikrobiologi.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR GAMBAR ….……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiii

Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Masalah ……… 4

1.3. Kerangka Pemikiran ………. 5

1.4. Tujuan Penelitian ……….…………. 7

1.5. Manfaat Penelitian ……… 7

1.6. Hipotesis Penelitian ……….. 8

Bab II. Tinjauan Pustaka 2.1. Keanekaragaman Jenis ……….……….. 9

2.2. Vegetasi Hutan ………... 12

2.3. Struktur Tegakan ……… 15

2.4. Pemanfaatan Vegetasi ..……….. 17

2.5. Sistem Pengetahuan Tradisional ……….…………. 20

2.6. Sistem Konservasi secara Tradisional ……….………… 22

2.7. Sistem Konservasi Tradisional Masyarakat Papua ……… 23

2.8. Konsep Ekologi - Budaya .……….………... 24

2.9. Pendekatan etnoekologi ……….………… 27

Bab III. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 3.1. Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW) ... 29

3.2. Kabupaten Teluk Wondama ... 29

3.3. Historis Gunung Wondiboy ... 33

Bab IV. Metode Penelitian 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .……….……… 34

4.2. Obyek, Alat dan Bahan ...………..………. 35

4.3. Metode Penelitian ..………..……….. 35

4.4. Analisis Data ………..…..…….. 40

Bab V. Hasil dan Pembahasan 1. Dominansi Spesies ...………. 46

2. Perbedaan kondisi komunitas tumbuhan ...………. 52

3. Hubungan antara kondisi vegetasi dan faktor lingkungan.... 70

4 Indeks Keanekaragaman Jenis ... 78

5. Nilai manfaat vegetasi ... 88

6. Diagram profil vegetasi ... 99

Bab VI. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan ... 104

Saran ... 105

Daftar Pustaka ………..……….... 106


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah curah hujan dan hari hujan bulanan di Kabupaten Teluk Wondama tahun 2004

……… 30

2. Penduduk Kabupaten Teluk Wondama dan kepadatan menurut distrik

... 31

3. Nilai INP dominan jenis tingkat tumbuh berdasarkan ketinggian dari Timur dan Barat Hutan kawasan CAPW

……… 46

4. Nilai INP dominan jenis tingkat tumbuhan bawah dan liana berdasarkan ketinggian dari Timur dan Barat Hutan kawasan CAPW

... 50

5. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat pohon di kawasan CAPW

……… 52

6. Posisi dalam sumbu x pada tingkat pohon ……… 53 7. Posisi dalam sumbu y pada tingkat pohon ... 53 8. Posisi petak pengamatan dalam koordinat

sumbu x dan y pada tingkat pohon

………... 54

9. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat tihang di kawasan CAPW

……… 56

10. Posisi dalam sumbu x pada tingkat tihang ... 56 11. Posisi dalam sumbu y pada tingkat tihang ……… 57 12. Posisi petak pengamatan dalam koordinat

sumbu x dan y pada tingkat tihang

... 57

13. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat pancang di kawasan CAPW

... 59

14. Posisi dalam sumbu x pada tingkat pancang ... 60 15. Posisi dalam sumbu y pada tingkat pancang ... 60 16. Posisi petak pengamatan dalam koordinat

sumbu x dan y pada tingkat pancang


(10)

17. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat semai di kawasan CAPW

... 63

18. Posisi dalam sumbu x pada tingkat semai ... 63

19. Posisi dalam sumbu y pada tingkat semai ... 64

20. Posisi petak pengamatan dalam koordinat sumbu x dan y pada tingkat semai ... 64

21. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat tumbuhan bawah dan liana di kawasan CAPW ... 66

22. Posisi dalam sumbu x pada tingkat tumbuhan bawah dan liana ... 67

23. Posisi dalam sumbu y pada tingkat tumbuhan bawah dan liana ... 67

24. Posisi petak pengamatan dalam koordinat sumbu x dan y pada tingkat tumbuhan bawah dan liana ... 68

25. Hubungan tingkatan tumbuh pada jenis dominan dan faktor lingkungan ... 71

26. Nilai indeks keanekaragaman jenis vegetasi dari tingkat pohon, tihang, pancang dan semai ... 79

27. Nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan bawah dan liana ... 85

28. Nilai kategori pemanfaatan berdasarkan tingkat vegetasi ... 88

29. Nilai kategori pemanfaatan tumbuhan bawah dan liana ……… 91

30. Persentase nilai pemanfaatan jenis pohon ……… 93

31. Persentase nilai pemanfaatan jenis tihang ... 93

32. Persentase nilai pemanfaatan jenis pancang ……… 94


(11)

ANALISIS VEGETASI DAN PEMANFAATANNYA OLEH

MASYARAKAT WONDAMA DI SEKITAR KAWASAN

CAGAR ALAM PEGUNUNGAN WONDIBOY TANAH PAPUA

JAN HENDRIEK NUNAKI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

ANALISIS VEGETASI DAN PEMANFAATANNYA OLEH

MASYARAKAT WONDAMA DI SEKITAR KAWASAN

CAGAR ALAM PEGUNUNGAN WONDIBOY TANAH PAPUA

JAN HENDRIEK NUNAKI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(13)

Judul Tesis :Analisis Vegetasi dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Wondama di Sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy Tanah Papua

Nama : Jan Hendriek Nunaki NRP : G351040031 Departemen : Biologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc Dr. Ir. Ibnul Qayim Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar, M.Sc


(14)

Pernyataan Mengenai Tesis dan Sumber Informasi

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “ Analisis vegetasi dan pemanfaatannya oleh masyarakat Wondama di sekitar kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy Tanah Papua”

adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.


(15)

ABSTRACT

JAN NUNAKI. Vegetation Analysis and Utilization by Ethnic Wondama which is living in the Wondiboy Mountains Natural Reserve , Land Papua. Advised by : MUHADIONO and IBNUL QAYIM

The ethnic Wondama which is living in the Wondiboy Mountains Natural Reserve (Cagar Alam Pegunungan Wondiboy - CAPW) still keep their custom and traditional wisdom (ecological wisdom) to use all natural resources around them, including plants. The objective of this research is to know about the plant diversity at species level in the forest community of the Wondiboy Mountains Natural Reserve and the level of plant utilization by the locals in that area. A descriptive method was used in this research by combining interview and field survey techniques. The standard procedure of vegetation analysis and the useful value analysis were applied to analyse the data. Results of the research show that the highest index (Importance Value) of trees at 0-500 m asl. in Eastern side dominated by Pometia pinnata (17.3%) and Myristica lepidota Bl. (17.3%) in Western side. Poles dominated by Dalbergia sp.1 (37.1) in Eastern side and Spondias cytherea Sonnerat (35.2%) in Western. Saplings dominated by Carallia brachiata (Lour.) Merr. (15.8%) in Eastern side and

Semecarpus aruensis Engl. (15.9%) in Western. Seedlings dominated by Phanera lingua (DC.) Miq. (22.3%) in Eastern side and Clerodenrum sp.1 (19.3%) in Western side. While, trees at 500-1000 m asl. dominated by Agathis sp. (29.3%) in Eastern side and Intsia bijuga (19.5%) in Western side. Poles also dominated by Pometia sp. (43.3%) in Eastern side and Haplolobus moluccanus (Leenh.) H. J. Lam (31.2%) in Western. Samplings dominated by Gnetum gnemon

(23%) in Eastern side and Gnetum gnemon (15.2%) in Western. Seedlings dominated by

Nephrolepis falcate (Cav.) C. Chr. (28.6%) in Eastern side and Zysygium sp.7 (14.4) in Western. Furthermore, the average of species richness (R’) of trees is 3.996; poles 2.076, saplings 2.281; and seedlings 1.327. The average of species abundance (H’) of trees is 2.361; poles 1.513; saplings 2.017; and seedlings 1.533. And also the average of the species evenness (E) of trees is 0.989; poles 0.962; samplings 0.946; and seedlings 0.959. Furthermore, from the vegetation structure had been reported from that area, trees is vegetation with the highest number in utilization by the locals (1622), and subsequently followed by poles (923.5), saplings (1134), seedlings (241), and liana (84. 12). And the fuel wood (firewood) is the main plant utilization of locals in this area. In addition, the several species were found in plots of vegetation profile; however we separated between vertical and horizontal projection. In vertical view, Pometia pinnata (27 m) is species dominant in plot I, Ficus benjamina

Bl. (34 m) in plot II, and Planchonia papuana Knuth. (31 m) in plot III, and Erioglossum rubiginosum (Roxb.) Bl. (29 m) in plot IV. While in horizontal, Dalbergia sp.1 12.2% (from total 99%) in plot I, Pometia pinnata 15.5% (from total 97.8%) in plot II, Aistopetalum viticoides

Schltr. 13.5% (from total 98.4%) in plot III, and Teijsmanniodendron sp 16.3% (from total 96.7%) in plot IV.


(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas penyertaan-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2006 ini ialah vegetasi, dengan judul Analisis Vegetasi dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Wondama di Sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy Tanah Papua.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim selaku pembimbing. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada masyarakat kampung Senderawoi yang terlibat secara langsung dan tidak langsung, atas partisipasinya dalam penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri (Elisabeth Rudamaga) dan anak (Uria Coryalis Nunaki), serta seluruh keluarga besar Nunaki atas doa dan cinta kasihnya.

Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan yang lebih baik.

Bogor, Agustus 2007

Jan Hendriek Nunaki


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nabire Provinsi Papua pada tanggal 11 Januari 1976 dari Ayah I.S. Nunaki dan ibu J. Misiro. Penulis merupakan putra keenam dari sepuluh bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih. Pada tahun 2004 penulis diterima di Pascasarjana Program Studi Biologi , Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja awalnya sebagai guru tidak tetap di SMU Santo Paulus dan SMU Negeri 1 Manokwari tahun 2001-2002. Pada tahun 2002 penulis diangkat sebagai dosen tetap Universitas Negeri Papua, mengasuh mata kuliah Biologi Umum, Struktur dan Perkembangan Tumbuhan, Mikrobiologi.


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR GAMBAR ….……….. xi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiii

Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Masalah ……… 4

1.3. Kerangka Pemikiran ………. 5

1.4. Tujuan Penelitian ……….…………. 7

1.5. Manfaat Penelitian ……… 7

1.6. Hipotesis Penelitian ……….. 8

Bab II. Tinjauan Pustaka 2.1. Keanekaragaman Jenis ……….……….. 9

2.2. Vegetasi Hutan ………... 12

2.3. Struktur Tegakan ……… 15

2.4. Pemanfaatan Vegetasi ..……….. 17

2.5. Sistem Pengetahuan Tradisional ……….…………. 20

2.6. Sistem Konservasi secara Tradisional ……….………… 22

2.7. Sistem Konservasi Tradisional Masyarakat Papua ……… 23

2.8. Konsep Ekologi - Budaya .……….………... 24

2.9. Pendekatan etnoekologi ……….………… 27

Bab III. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 3.1. Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW) ... 29

3.2. Kabupaten Teluk Wondama ... 29

3.3. Historis Gunung Wondiboy ... 33

Bab IV. Metode Penelitian 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .……….……… 34

4.2. Obyek, Alat dan Bahan ...………..………. 35

4.3. Metode Penelitian ..………..……….. 35

4.4. Analisis Data ………..…..…….. 40

Bab V. Hasil dan Pembahasan 1. Dominansi Spesies ...………. 46

2. Perbedaan kondisi komunitas tumbuhan ...………. 52

3. Hubungan antara kondisi vegetasi dan faktor lingkungan.... 70

4 Indeks Keanekaragaman Jenis ... 78

5. Nilai manfaat vegetasi ... 88

6. Diagram profil vegetasi ... 99

Bab VI. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan ... 104

Saran ... 105

Daftar Pustaka ………..……….... 106


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah curah hujan dan hari hujan bulanan di Kabupaten Teluk Wondama tahun 2004

……… 30

2. Penduduk Kabupaten Teluk Wondama dan kepadatan menurut distrik

... 31

3. Nilai INP dominan jenis tingkat tumbuh berdasarkan ketinggian dari Timur dan Barat Hutan kawasan CAPW

……… 46

4. Nilai INP dominan jenis tingkat tumbuhan bawah dan liana berdasarkan ketinggian dari Timur dan Barat Hutan kawasan CAPW

... 50

5. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat pohon di kawasan CAPW

……… 52

6. Posisi dalam sumbu x pada tingkat pohon ……… 53 7. Posisi dalam sumbu y pada tingkat pohon ... 53 8. Posisi petak pengamatan dalam koordinat

sumbu x dan y pada tingkat pohon

………... 54

9. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat tihang di kawasan CAPW

……… 56

10. Posisi dalam sumbu x pada tingkat tihang ... 56 11. Posisi dalam sumbu y pada tingkat tihang ……… 57 12. Posisi petak pengamatan dalam koordinat

sumbu x dan y pada tingkat tihang

... 57

13. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat pancang di kawasan CAPW

... 59

14. Posisi dalam sumbu x pada tingkat pancang ... 60 15. Posisi dalam sumbu y pada tingkat pancang ... 60 16. Posisi petak pengamatan dalam koordinat

sumbu x dan y pada tingkat pancang


(20)

17. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat semai di kawasan CAPW

... 63

18. Posisi dalam sumbu x pada tingkat semai ... 63

19. Posisi dalam sumbu y pada tingkat semai ... 64

20. Posisi petak pengamatan dalam koordinat sumbu x dan y pada tingkat semai ... 64

21. Nilai indeks kesamaan dan ketidaksamaan tingkat tumbuhan bawah dan liana di kawasan CAPW ... 66

22. Posisi dalam sumbu x pada tingkat tumbuhan bawah dan liana ... 67

23. Posisi dalam sumbu y pada tingkat tumbuhan bawah dan liana ... 67

24. Posisi petak pengamatan dalam koordinat sumbu x dan y pada tingkat tumbuhan bawah dan liana ... 68

25. Hubungan tingkatan tumbuh pada jenis dominan dan faktor lingkungan ... 71

26. Nilai indeks keanekaragaman jenis vegetasi dari tingkat pohon, tihang, pancang dan semai ... 79

27. Nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan bawah dan liana ... 85

28. Nilai kategori pemanfaatan berdasarkan tingkat vegetasi ... 88

29. Nilai kategori pemanfaatan tumbuhan bawah dan liana ……… 91

30. Persentase nilai pemanfaatan jenis pohon ……… 93

31. Persentase nilai pemanfaatan jenis tihang ... 93

32. Persentase nilai pemanfaatan jenis pancang ……… 94


(21)

34. Tumbuhan penghasil resin ... 98 35. Profil vegetasi secara vertikal ……… 100 36. Profil vegetasi secara horizontal ……… 100

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur kerangka pemikiran penelitian ... 7 2. Lokasi penelitian ... 34 3. Teknik pengumpulan data untuk

kepentingan analisa vegetasi

... 39

4. Penempatan petak contoh dalam salib sumbu x dan y pada tingkat pohon

... 54

5. Penempatan petak contoh dalam salib sumbu x dan y pada tingkat tihang

... 58

6. Penempatan petak contoh dalam salib sumbu x dan y pada tingkat pancang

... 61

7. Penempatan petak contoh dalam salib sumbu x dan y pada tingkat semai

... .

65

8. Penempatan petak contoh dalam salib sumbu x dan y pada tingkat tumbuhan bawah dan liana

... 68

9. Hubungan jenis dominan terhadap faktor lingkungan

... 72

10. Hubungan jenis dominan tingkat pohon terhadap faktor tanah

... 74

11. Hubungan jenis dominan tingkat tihang terhadap faktor tanah

... 75

12. Hubungan jenis dominan tingkat pancang terhadap faktor tanah

... 76

13. Hubungan jenis dominan tingkat semai terhadap faktor tanah

... 77


(22)

variabel kondisi lahan

15. Perbandingan indeks kekayaan jenis (R’) ketinggian 0-500 m dpl. tingkat vegetasi

... 80

16. Perbandingan indeks kelimpahan jenis (H’) ketinggian 0-500 m dpl. tingkat vegetasi

... 81

17. Perbandingan indeks kemerataan jenis (E) ketinggian 0-500 m dpl. tingkat vegetasi.

... 82

18. Perbandingan indeks kekayaan jenis (R’) ketinggian 500-1000 m dpl. tingkat vegetasi

... 83

19. Perbandingan indeks kelimpahan jenis (H’) ketinggian 500-1000 m dpl. tingkat vegetasi

... 84

20. Perbandingan indeks kemerataan jenis (E) ketinggian 500-1000 m dpl. tingkat vegetasi

... 85

21. Perbandingan nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan bawah dan liana pada ketinggian 0-500 m dpl.

... 86

22. Perbandingan nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan bawah dan liana pada ketinggian 500-1000 m dpl.

... 87

23. Perbedaan nilai kategori pemanfaatan pada tingkat vegetasi.

... 91

24. Perbedaan pemanfaatan tingkat vegetasi berdasarkan jumlah jenis dan persentase pemanfaatan


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. INP tingkat pohon di Kawasan CAPW ketinggian 0 – 500 m dpl sebelah timur.

... 111

2. INP tingkat pohon di Kawasan CAPW ketinggian 0 – 500 m dpl sebelah barat.

... 112

3. INP tingkat pohon di Kawasan CAPW ketinggian 500 - 1000 m dpl sebelah timur.

... 113

4. INP tingkat pohon di Kawasan CAPW ketinggian 500 - 1000 m dpl sebelah barat.

... 114

5. INP tingkat tihang di Kawasan CAPW ketinggian 0-500 m dpl sebelah timur.

... 115

6. INP tingkat tihang di Kawasan CAPW ketinggian 0-500 m dpl sebelah barat.

... 115

7. INP tingkat tihang di Kawasan CAPW ketinggian 500-1000 m dpl sebelah timur.

... 116

8. INP tingkat tihang di Kawasan CAPW ketinggian 500-1000 m dpl sebelah barat.

... 116

9. INP tingkat pancang di Kawasan CAPW ketinggian 0-500 m dpl sebelah timur.

... 117

10. INP tingkat pancang di Kawasan CAPW ketinggian 0-500 m dpl sebelah barat.

... 117

11. INP tingkat pancang di Kawasan CAPW ketinggian 500-1000 m dpl sebelah timur.

... 118

12. INP tingkat pancang di Kawasan CAPW ketinggian 500-1000 m dpl sebelah barat.

... 119

13. INP tingkat semai di Kawasan CAPW ketinggian 0-500 m dpl sebelah timur.

... 119

14. INP tingkat semai di Kawasan CAPW ketinggian 0-500 m dpl sebelah barat.

... 120

15. INP tingkat semai di Kawasan CAPW ketinggian 500-1000 m dpl sebelah timur.


(24)

16. INP tingkat semai di Kawasan CAPW ketinggian 500-1000 m dpl sebelah barat

... 121

17. INP tingkat tumbuhan bawah dan liana di kawasan CAPW ketinggian 0-500 m dpl sebelah timur.

... 121

18. INP tingkat tumbuhan bawah dan liana di kawasan CAPW ketinggian 0-500 m dpl sebelah barat.

... 122

19. INP tingkat tumbuhan bawah dan liana di kawasan CAPW ketinggian 500-1000 m dpl sebelah timur.

... 122

20. INP tingkat tumbuhan bawah dan liana di kawasan CAPW ketinggian 500-1000 m dpl sebelah barat.

... 123

21. Kategori Pemanfaatan Vegetasi Pohon di Kawasan CAPW

... 124

22. Kategori Pemanfaatan Vegetasi Tihang di Kawasan CAPW

... 128

23. Kategori Pemanfaatan Vegetasi Pancang di Kawasan CAPW

... 130

24. Kategori Pemanfaatan Vegetasi Semai di Kawasan CAPW

... 133

25. Kategori Pemanfaatan Tumbuhan bawah dan liana di Kawasan CAPW

... 135

26. Nilai pemanfaatan vegetasi pohon di kawasan CAPW

... 137

27. Nilai pemanfaatan vegetasi tihang di kawasan CAPW

... 141

28. Nilai pemanfaatan vegetasi pancang di kawasan CAPW

... 143

29. Nilai pemanfaatan vegetasi semai di kawasan CAPW

... 147

30. Nilai pemanfaatan vegetasi bawah dan liana di kawasan CAPW


(25)

31. Gambar profil vegetasi petak contoh 1 ... 152 32. Gambar profil vegetasi petak contoh 2 ... 153 33. Gambar profil vegetasi petak contoh 3 ... 154 34. Gambar profil vegetasi petak contoh 4 ... 155 35. Hasil analisis tanah ... 156


(26)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch 2003).

Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang sangat tinggi dengan sebutan mega biodiversity harus mengalami masalah tragis akibat kesalahan pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya. Dalam pembangunan masa lalu dan masih berlanjut hingga kini, berbagai masalah sumberdaya alam dan ekosistem timbul karena pengelolaan tidak arif (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2003).

Pengelolaan sumberdaya dengan menerapkan kearifan masyarakat lokal merupakan pengelolaan sumber daya berbasis kemasyarakatan, yaitu suatu strategi untuk mencapai pembangunan berpusat pada masyarakat, berdasarkan budaya dan tradisi. Basis pengambilan keputusan dalam rangka pengelolaan sumber daya secara terjamin, lestari dan berkelanjutan ada pada masyarakat setempat.

Keanekaragaman hayati sering dipandang sebagai sumberdaya yang bernilai ekonomi dan jasa. Padahal keanekaragaman hayati sendiri merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem penopang kehidupan, yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem pengetahuan dan etika dan kaitan diantara berbagai aspek tersebut. Menurut Soemarwoto (2001) bahwa manusia selama ini bersikap antroposentris sebenarnya bagian dari keanekaragaman hayati,


(27)

yang berarti keanekaragaman sistem kebudayaan manusia mencerminkan potensi keanakaragaman hayati.

Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai manfaat besar bagi bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial-budaya, maupun ekonomi yang harus dikelola dan dimanfaatkan secara rasional dengan memperhatikan kebutuhan generasi masa kini dan masa datang. Hasil yang diperoleh dari hutan berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Namun demikian, selama ini pemanfaatan hasil hutan terkesan lebih terfokus pada hasil hutan kayu sedangkan hasil hutan non kayu meskipun sebenarnya mempunyai potensi cukup besar kurang mendapat perhatian.

Indonesia dengan luas daratan sekitar 189 juta hektar memiliki 120,35 juta hektar sumberdaya hutan dan 14,2 juta hektar kebun. Selama dekade terakhir ini, sumberdaya hutan dan kebun telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang berdampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pembangunan wilayah dan pertumbuhan ekonomi (Soetaryono R 2000).

Namun di sisi lain kebijakan pembangunan pada masa lalu tersebut menyebabkan timbul berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan. Pandangan sosial ekonomi masyarakat lokal, dampak pembangunan kehutanan dan perkebunan terhadap peningkatan kesejahteraan tidak cukup nyata akibat ada proses marginalisasi masyarakat sekitar hutan dan kebun yang nampak dari kesenjangan dan kemiskinan. Kondisi tersebut menjadi tekanan sehingga sulit tercapai pengelolaan hutan dan kebun secara lestari. Berdasarkan sudut pandang sumberdaya, telah terjadi deforestasi yang mencapai 1,6 juta hektar per tahun selama sepuluh tahun terakhir (Soetaryono R 2000), selanjutnya diperkirakan


(28)

sekitar 20-70 % habitat asli telah punah dan satu spesies punah setiap hari (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 1997).

Papua memiliki jumlah etnis 235 atau 42,7% dari total etnis di Indonesia dan memiliki bahasa sebanyak 240 bahasa (Ap dan Prioyulianto 1995) dengan keanekaragaman etnis dan bahasa ini merupakan sumber daya bangsa Papua yang harus dikelola dan dimanfaatkan, karena memiliki segudang pengetahuan tradisional dalam pengelolahan secara arif terhadap pemanfaatan sumber daya hayati yang ada di sekitarnya dalam tataran budaya yang tinggi.

Salah satu modal dasar bangsa Indonesia yang dimiliki dan berada di bumi Papua adalah hutan. Luas hutan diperkirakan sekitar 31,5 juta hektar atau kurang lebih 75% dari total luas daratan papua seluas 41,278 juta hektar. Dibanding luas hutan secara nasional Papua memiliki kurang lebih 22 persen dari total luas hutan di Indonesia 143 juta hektar (Nasendi 1989).

Kabupaten Teluk Wondama adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari kabupaten induk Manokwari berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 2002 dengan luas wilayah ± 5.788 Km2.

Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW) merupakan kawasan yang terletak disebelah timur, utara dan selatan ibu kota kabupaten Teluk Wondama, yang di tetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 595/Kpts-II/1992 tanggal 6 Juni 1992 dengan luas 73.022 hektar (Bisnis Indonesia 2003).

Masyarakat adat Wondama sekitar kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW) sampai saat ini masih mempertahankan nilai budaya dan kearifan ekologi dalam mengelola alam, khususnya mengenai pemanfaatan


(29)

tumbuhan karena ketergantungan masyarakat adat terhadap sumberdaya alam ini sangat tinggi.

1.2. Masalah

Keterbelakangan masyarakat adat Wondama dari arus informasi dan pengetahuan formal membuat keprihatinan pemerintah dalam proses pembangunan yang berlangsung di kabupaten berusia muda ini. Namun proses pembangunan juga berdampak negatif pada kerusakan nilai budaya yang bertahan secara alami di tengah masyarakat adat Wondama dalam melestarikan sumberdaya tumbuhan disebabkan karena tuntutan ekonomi yang tinggi. Padahal dalam beberapa studi memperlihatkan ada sinkronisasi terhadap pola hidup dengan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan secara hati-hati dan lestari .

Pembangunan infrastruktur sebagai penunjang dalam pelayanan pemerintah terhadap masyarakat, ternyata tidak selalu dilakukan dengan melihat melihat aturan dalam pengambilan hasil hutan kayu. Pengambilan sekaligus di area kepemilikan masyarakat adat umumnya dilakukan tanpa memberikan keuntungan signifikan bagi masyarakat lokal di area tersebut secara ekonomi.

Kawasan CAPW merupakan kawasan terletak disebelah timur, selatan dan utara ibu kota kabupaten Teluk Wondama. Masyarakat di sekeliling gunung ini memanfaatkan air berasal dari sungai-sungai di CAPW untuk kebutuhan sehari-hari. Akibat laju pemanfatan hasil hutan kayu yang kurang terkontrol dalam pengambilan oleh pemegang konsesi ternyata saat ini berdampak pada pengurangan sumber air terhadap pemanfaatan oleh masyarakat.

Untuk kasus masyarakat adat Wondama, dokumentasi melalui penelitian ini lebih difokuskan pada pemanfaatan tumbuhan yang berimplikasi langsung terhadap sistem pengetahuan mengenai kegunaan setiap tumbuhan. Dalam proses


(30)

pendokumentasian diperhatikan, bagaimana masyarakat adat memanfaatkan keanekaragaman hayati dan sejauhmana konsepsi masyarakat adat Wondama mengenai kegunaan setiap tumbuhan yang digunakan dan faktor yang mempengaruhinya, yang pada akhirnya direkonstruksi berdasar kaidah ilmiah, sehingga sistem pengetahuan tersebut lebih dikembangkan, diintegrasikan dalam upaya lestarikan strategi konservasi keanekaragaman tumbuhan baik ditingkat tradisional maupun nasional.

1.3. Kerangka Pemikiran

Berbagai isu sumberdaya alam dan ekosistem timbul karena ketidaksesuaian dan kesalahan dalam pengelolaan. Eksploitasi dilakukan secara berlebihan, konflik pemanfaatan sumberdaya dan degradasi berbagai habitat yang rentan. Semua ini merupakan fungsi dari cara pandang dan bagaimana masyarakat setempat memperlakukan sumberdaya alamnya.

Dalam kasus masyarakat adat Wondama yang hidup subsisten dan sistem sosial relatif terbuka, realitas perubahan dalam berinteraksi dengan lingkungan alam tak dapat dibendung akibat tekanan pengaruh eksternal (luar komunitas) yang semakin meningkat. Namun, strategi adaptasi yang dikembangkan berdasar perubahan kontak selektif (Purwanto 2000) karena pranata budaya masih dianut dengan kuat sehingga menjiwai perilaku hidup sebagian besar masyarakat, khususnya di Kabupaten Teluk Wondama.

Pengaruh dunia luar, tekanan kondisi ekologis dan kondisi internal masyarakat adat Wondama sangat berpengaruh dalam menentukan pola strategi adaptasi; yang tercermin dari cara pandang dalam mengelola sumberdaya hutan dan lingkungan. Kondisi lingkungan hutan relatif stabil dan pola hidup masih selaras lingkungan alamiah merupakan suatu fenomena dalam konteks perjalanan


(31)

budaya dinamis, sehingga pengkajian dan pemahaman lebih difokuskan pada sistem ekologi-budaya sebagai hasil proses strategi adaptasi jangka panjang (Geerzt 1983). Berdasarkan konsep tersebut maka dalam studi ini lebih difokuskan pada bagaimana masyarakat memanfaatkan Sumberdaya Tumbuhan (SDT) guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, melihat keanekaragaman jenis (kekayaan, kelimpahan dan kemerataan), nilai penting setiap jenis tumbuhan dan sampai sejauh mana tingkat pemanfaatannya. Proses ini dapat membantu mengetahui dan menentukan bagaimana konsepsi masyarakat adat Wondama mengelola sumberdaya alam, khususnya tumbuhan yang memenuhi kaidah konservasi ilmiah. Secara skematis alur kerangka pemikiran penelitian ditampilkan pada Gambar 1.


(32)

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan :

1. Mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan dalam komunitas

2. Mengetahui tingkat pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat adat Wondama di sekitar kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW)

3. Profil vegetasi CAPW

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian bermanfaat sebagai:

1. Informasi kepada masyarakat lokal, pengelola kawasan, Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama dan stakeholder tentang jenis-jenis tumbuhan yang ada dikawasan CAPW.

Kemerataan Nilai Penting

Kelimpahan Kekayaan

Kearifan Keanekaragaman

Jenis

Pemanfaatan SDT Masyarakat Adat

Sumberdaya Tumbuhan

Tingkat Pemanfaatan


(33)

2. Bahan masukan masyarakat Wondama tentang jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dalam mendukung kegiatan konservasi di kawasan CAPW.

3. Bahan informasi awal habitat jenis-jenis tumbuhan di CAPW berdasarkan ketinggian dari permukaan laut dalam komposisi, struktural dan fungsionalnya.

4. Bahan pertimbangan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Wondama, dan stakeholder lain untuk merevitalisasi peran masyarakat adat Wondama dalam pengelolaan Sumber Daya Tumbuhan di kawasan CAPW yang berorientasi pada konsep dan strategi konservasi tumbuhan berbasis kemasyarakatan dalam rangka mewujudkan kemandirian tradisional di era otonomi khusus Papua.

1.6. Hipotesis Penelitian

1. Kawasan CAPW merupakan kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan tinggi.

2. Masyarakat sekitar kawasan CAPW secara arif memanfaatkan tumbuhan berdasarkan kegunaanya dalam memenuhi kebutuhan setiap hari.

3. Berdasarkan ketinggian dari permukaan laut, terdapat jenis tumbuhan berbeda yang tumbuh di kawasan CAPW.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keanekaragaman Jenis

Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang disebut sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Keanekaragaman ekosistim, jenis dan genetik dalam definisi yang luas ialah keanekaragaman hayati, yang merupakan keanekaragaman kehidupan dalam semua bentuk dan tingkatan termasuk struktur, fungsi dan proses-proses ekologi di semua tingkatan. Primack et al. (1998) mendefinisikan keanekaragaman hayati adalah kekayaan hidup di bumi, jutaan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya menjadi lingkungan hidup. Dalam arti bahwa keanekaragaman hayati merupakan inti dari biologi konservasi. Jadi keanekaragaman harus dilihat dari tiga tingkatan: pada tingkatan spesies mencakup seluruh organisme di bumi, mulai bakteri, protista, jamur, dunia tumbuhan dan hewan. Pada skala lebih kecil mencakup variasi genetik di dalam spesies, di antara populasi terpisah secara geografik dan antara individu di dalam suatu populasi. Keanekaragaman hayati meliputi variasi di dalam komunitas biologi, ekosistem dan interaksi antara spesies tersebut.

Dalam memberikan definisi lebih operasional, Crow et al. (1994) mengidentifikasi keanekaragaman menjadi tiga tipe atau sub kelompok keanekaragaman, yakni : komposisi, struktural dan fungsional. Keanekaragaman komposisi adalah keanekaragaman sesuatu dalam suatu wilayah, seperti jenis dalam suatu tegakan hutan. Keanekaragaman struktur dicirikan dengan distribusi vertikal dan horizontal tumbuhan, ukuran tumbuhan, atau distribusi umur. Sedang


(35)

keanekaragaman fungsional dicirikan dengan proses ekologi, aliran energi dan hubungan trophic level. Pada tipe tersebut keanekaragaman dilihat dari berbagai tingkatan organisasi biologi, yaitu tingkatan ekosistem, jenis/spesies atau genetik (Probst and Crow, 1991).

Menurut (Bappenas, 2003) ada tiga tingkatan keanekaragaman hayati yaitu ekosistem, jenis dan gen. Keanekaragaman ekosistem mencakup keanekaan bentuk dan susunan bentang alam, daratan maupun perairan, dimana makhluk atau organisme hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme) berinteraksi membentuk jaring keterkaitan dengan lingkungan fisik. Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman jenis organisme yang menempati suatu ekosistem Selanjutnya, setiap organisme mempunyai ciri berbeda satu dengan yang lain. Keanekaragaman genetis adalah keanekaan individu di dalam jenis. Keanekaan ini disebabkan perbedaan genetis antara individu.

Soegianto (1994) mengatakan bahwa, keanekaragaman jenis adalah karakteristik tingkatan komunitas berdasar organisasi biologis, yang digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan spesies sama atau hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies dominan, maka keanekaragamannya rendah.

Keanekaragaman jenis tinggi menunjukan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi (jejaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis


(36)

lebih kompleks.

Keanekaragaman jenis (species diversity) pada dasarnya disusun dari dua komponen. Pertama adalah jumlah spesies dalam suatu areal, yang mana para ahli ekologi menyatakan sebagai kekayaan jenis (species richness). Komponen kedua adalah kemerataan (species evenness). Selanjutnya dikembangkan lagi suatu indeks yang berupaya mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan kedalam suatu nilai tunggal yang disebut sebagai indeks kelimpahan jenis .

1. Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis pertama kali di kemukakan McIntosh tahun 1967. Konsep yang dikemukakan mengenai kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas. Kempton (1979), diacu dalam Santosa (1995) mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu tertentu.

2. Kemerataan Jenis

Konsep ini menunjukan derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap jenis. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Lloyd dan Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) dapat pula digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi di antara setiap jenis dalam suatu komunitas.

3. Kelimpahan Jenis

Istilah heterogenitas pertama kali dikemukakan Good (1953), diacu dalam Krebs (1989). Istilah lain untuk konsep ini adalah kelimpahan atau species abundance

(Magurran 1988). Seperti dikemukakan semula bahwa konsep ini merupakan indeks tunggal mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Jadi kelimpahan jenis adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas, yang berhubungan dengan densitas


(37)

berdasarkan penaksiran kualitatif. Menurut Indriyanto (2006), penaksiran kualitatif, kelimpahan dapat dikelompokkan menjadi lima yaitu sangat jarang, kadang-kadang atau jarang, sering atau tidak banyak, banyak atau berlimpah dan sangat banyak.

Dalam hubungan dengan komunitas hutan, keanekaragaman jenis bervariasi dari suatu tipe hutan dengan tipe hutan lain. Keanekaragaman bervariasi sesuai kondisi lahan. Bruenig (1995) mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis secara konsisten menurun dari kandungan humus podsol dalam menuju dangkal sesuai kajian pada beberapa tipe hutan (Dipterocarpaceae campuran – kerangas perbukitan – hutan kerapah) di Sarawak, Brunei dan Cina selatan, serta Bana daerah Amazone. Kekayaan spesies berhubungan dan dibatasi kondisi tanah dimana terdapat zona perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus.

Penelitian ini juga di lakukan terhadap jenis liana. P´erez-Salicrup dan Meijere (2005) mengatakan bahwa liana penting bagi komponen floristik hutan tropis, dimana kelimpahan liana yang tinggi digunakan untuk membedakan hutan tropis dari hutan temperat. Liana mengurangi pertumbuhan individu pohon oleh persaingan pohon terhadap sumber daya cahaya, air, dan nutrisi. Liana mengurangi produksi buah di pohon dan kerusakan pohon secara fisik.

2.2. Vegetasi Hutan

Vegetasi adalah masyarakat tumbuhan atau sebuah komunitas tumbuhan. Masyarakat ini terbentuk dari beragam populasi yang merupakan kumpulan individu tumbuhan sebagai unit terkecil yang dapat dilihat, dikaji dan dibedakan satu sama lain secara mata telanjang (Muhadiono 2004). Nilai dan manfaat


(38)

vegetasi ini salah satunya adalah faktor menentukan kelestarian kehadiran jenis di permukaan bumi. Produktivitas berkaitan dengan kepentingan ekonomi manusia, sementara sistem lainnya erat hubungan dengan kepentingan ekologinya.

Nasendi (1987) mendefinisikan hutan merupakan tempat atau tanah yang bertumbuh tumbuhan pohon-pohonan, kayu-kayuan atau semak, yang membentuk suatu komunitas. Hutan lindung mempunyai fungsi melindungi

dalam arti menyelamatkan hutan, tanah, air dan segala isi didalamnya. Hutan lindung terutama terdiri dari jenis pohon kayu dan di tanah, berpengaruh besar terhadap keadaan air, iklim, perekonomian negara dan lain-lain bertalian dengan kepentingan umum. Hutan produksi berfungsi ekonomis, memberi produksi atau penghasilan langsung (tangible benefit) yaitu terutama terdiri kayu, bahan bakar (energi), kulit kayu, getah, buah, minyak, produksi non kayu dan sebagainya.

Menurut Nasendi (1989), Hutan mempunyai fungsi menguasai hajat hidup orang antara lain :

1. Mengatur tata air, mencegah dan membatasi bahaya banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah

2. Memenuhi produksi hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan, industri dan ekspor

3. Membantu pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan mendorong industri hasil hutan pada khususnya

4. Melindungi iklim dan memberi daya pengaruh baik

5. Memberi keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata dan taman buru untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata


(39)

7. Memberi manfaat lain berguna bagi umum

2.2.1. Tipe Hutan

Menurut Indriyanto (2005) tipe hutan di Indonesia dibagi 2 kelompok besar. Kelompok pertama adalah hutan yang dipengaruhi iklim (temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin) disebut "formasi klimatis" terdiri atas (1) Hutan Hujan Tropika (Tropical Rain Forest), (2) Hutan Musim

(Monsoon atau Deciduous Forest), (3) Hutan Gambut (Peat Forest). Kelompok kedua adalah hutan yang dipengaruhi oleh keadaan tanah (sifat fisika, kimia, sifat biologi dan kelembaban) disebut "formasi edaphis" terdiri atas (1) Hutan Rawa

(Swamp Forest), (2) Hutan Payau (Mangrove Forest) dan (3) Hutan Pantai

(Coastal Forest).

Menurut Soerianegara dan Indrawan (2005) bahwa formasi hutan dipengaruhi oleh faktor edafis dan perbedaan vegetasi yang terdiri dari : hutan payau, hutan rawa, hutan pantai, hutan gambut, hutan kerangas, hutan hujan tropika dan hutan musim. Hutan hujan tropika dibedakan menjadi 3 zone yaitu : hutan hujan bawah (2-1000 m dpl), hutan hujan tengah (1000-3000 m dpl) dan hutan hujan atas (3000-4000 m dpl). Sedangkan hutan musim dibagi menjadi 2 zone yaitu : hutan musim bawah (2-1000 m dpl) dan hutan musim tengah atas (1000-4000 m dpl)

Secara umum di Indonesia hutan hujan tropika dibagi tiga zona menurut tinggi di permukaan laut, yaitu (1) zona hutan hujan bawah ketinggian 0-1.000 m dpl; (2) zona hutan hujan tengah ketinggian 1.000-3.300 m dpl; (3) zona hutan hujan atas ketinggian 3.300-4.100 m dpl (Indriyanto 2005).


(40)

Berdasarkan letak geografis Indonesia yang berada di antara benua Asia dan Australia, di sekitar khatulistiwa mengakibatkan adanya zone vegetasi dan tipe-tipe hutan. Zone vegetasi terdiri dari : (a) Zone barat yang berada dibawah pengaruh vegetasi Asia meliputi pulau Sumatera dan sebagian Kalimantan. (b) Zone timur berada dibawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. (c) Zone peralihan dimana dipengaruhi kedua benua meliputi pulau Jawa dan Sulawesi (Soerianegara dan Indrawan 2005).

2.3. Struktur Tegakan

Struktur tegakan ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu : struktur tegakan vertikal dan horisontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh Richard (1964) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk (stratifikasi). Sedangkan Huch et al. (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horisontal merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensi, diameter pohon dalam suatu kawasan hutan.

Struktur tegakan hutan biasa digambarkan melalui diagram profil. Diagram ini merupakan suatu sketsa semua pohon berada pada areal memiliki ukuran lebar 7,5 m dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umumnya pohon tinggi > 4,5 m atau 6 m relatif dimuat dalam diagram. Selanjutnya lebih diutamakan atau terbatas pada pohon berada pada fase dewasa (Whitmore, 1986).

Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara dan sebaran fisik pohon dalam suatu tegakan. Sebaran digambarkan berdasarkan : (1) jenis pohon, (2) bentuk ruang horisontal dan vertikal, (3) besar pohon atau bagian pohon mencakup volume tajuk, luas daun


(41)

dan lain-lain, (4) umur pohon, (5) kombinasi kondisi yang telah disebutkan sebelumnya.

Struktur tegakan baik horisontal maupun vertikal suatu tegakan hutan merupakan gambaran berguna untuk memelihara keaanekaragaman jenis yang ada (Kohyama, 1993).

Pengetahuan menyangkut struktur tegakan memberi informasi dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai tingkat semai, pancang, tihang dan pohon maupun tumbuhan bawah (Marsono dan Sastrosumarto 1981). Tumbuhan bawah dalam hubungan struktur tegakan hutan adalah penting, karena tumbuhan bawah merupakan elemen indikator fungsi dan struktur sistem ekologi hutan (Crow 1990). Selain itu struktur tegakan dalam ukuran elemen pohon membentuk tegakan serta sebaran jenis diyakini mempengaruhi terbentuknya karakteristik tumbuhan bawah (Kohyama 1993; Jones 2002).

Stratifikasi terjadi karena 2 hal penting yang dimiliki atau dialami oleh tumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan tumbuhan lain yaitu akibat persaingan antar tumbuhan dan sifat toleransi spesies pohon terhadap radiasi matahari (Indriyanto 2006).

Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat digambarkan berdasarkan : (1) jenis pohon, (2) bentuk ruang horisontal dan vertikal, (3) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, luas daun dan (4) umur pohon.


(42)

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih mengarah ke struktur tegakan horisontal dan vertikal, yakni menyangkut luas bidang dasar, frekwensi dan kerapatan pohon.

2.4. Pemanfaatan Vegetasi

Indonesia kaya tumbuhan bermanfaat, menurut Kartawinata (2004) ada sekitar 5000 jenis tumbuhan bermanfaat, di antaranya 1259 jenis kayu, 1050 jenis tumbuhan obat, 984 jenis tumbuhan dimakan ( sayur-mayur, buah-buahan, biji-bijian dan umbi), 520 jenis tumbuhan mengandung minyak, resin dan produk alami lain, 328 jenis makanan hewan dan 885 jenis tumbuhan digunakan masyarakat untuk berbagai kebutuhan. Meskipun begitu, jumlah jenis tumbuhan bermanfaat di Indonesia hanya 17% dari total jumlah jenis di Indonesia dan tumbuhan obat-obatan hanya 3%.

Pada masyarakat tradisional, sistem pengetahuan sumber daya alam khususnya keanekaragaman jenis tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang penting demi kelangsungan hidup. Tingkat pengetahuan pengelolaan keanekaragaman jenis tumbuhan setiap suku atau kelompok masyarakat berbeda satu dengan suku atau kelompok masyarakat lain. Lebih khusus di Papua yang memiliki jumlah etnis 235 atau 42,7% total etnis di Indonesia dan memiliki bahasa sebanyak 240 bahasa maka sangat kaya dengan keragaman pengetahuan lokal. Pada masyarakat yang memiliki tingkat kebudayaan tinggi, mereka mampu memanfaatkan, mengelola secara optimal untuk kepentingan hidupnya, tidak hanya kepentingan kelompok tetapi juga untuk kepentingan komersial. Sebaliknya masyarakat yang memiliki kebudayaan tertinggal, pengelolaan lingkungan


(43)

didasarkan kepentingan jangka pendek memenuhi keperluan hidup sehari-hari khususnya kebutuhan kelompok.

Purwanto (2004b), mengemukakan bahwa secara sederhana masyarakat tradisional mengelompokan dunia tumbuhan menjadi dua kelompok yaitu tumbuhan berguna dan tumbuhan tidak berguna. Khusus tumbuhan berguna, berdasarkan pemanfaatannya dapat dikelompokkan sebagai : tumbuhan bahan pangan, bahan sandang, bahan bangunan, bahan alat (rumah tangga, pertanian, perang), kerajinan, kesenian, obat-obatan tradisional dan kosmetika, perlengkapan upacara adat, kayu bakar, dan lain-lain. Menurut Pandey dan Chadha (1996), ada tiga kebutuhan dasar manusia yaitu : makanan, tempat berlindung dan pakaian yang semua disediakan tumbuhan; bahkan hewan baik karnivor maupun herbivor juga bergantung pada tumbuhan karena makanannya, dan secara ekonomi selain tumbuhan menghasilkan makanan juga menghasilkan serat, kayu, getah, minyak, gula, kertas, minuman, kulit, bumbu dan obat serta berperan pada kesuburan tanah dan konservasi.

Flora New Guinea dimasukan kedalam subdivisi timur pembagian flora Indo-Malasia, mempunyai tanaman berguna paling kaya bagi umat manusia. Muhadiono (2004), mengatakan bahwa hutan dataran Papua menunjukan kekayaan jenis luar biasa. Di antara penghuninya, yang penting adalah Intsia bijuga, Pometia pinnata, Pterocarpus indicus, Vitex cofassus, Homalium foetidum, Chrysophyllum roxburghii, Terminalia complanata, Celtis spp, Buchanania macrocarpa, Cryptocarya massoia, Palaquium spp, Intsia palembanica, Dracontomelon mangiferum, Canarium spp, Adina multifolia, Anisoptera spp, Koordersiodendron pinnatum, Manilkara fasciculata, Mastixiodendron pachyclados, Azadirachata excelsa, Mimosops elengi,


(44)

Pericopsis mooniana, Alstonia scholaris, Pometia acuminata, P. Coriacea dan

Vatica papuana. (Nasendi 1989), mengatakan bahwa jenis pohon lain yang penting adalah sagu (Metroxylon sagu) dan pohon cemara Casuarina equisetifolia, C. papuana dan C. nodiflora.

Pemanfaatan 550 jenis tumbuhan oleh masyarakat lembah Baliem Papua terdiri 526 jenis liar dan 24 jenis kultivar (Purwanto 2004a). Masyarakat Tanimbar-Kei di Maluku Tenggara memanfaatkan 112 jenis tumbuhan sebagai bahan pangan, 172 jenis tumbuhan sebagai bahan obat-obatan, 40 jenis tumbuhan sebagai bahan bangunan, 42 jenis tumbuhan sebagai bahan kayu bakar dan 4 jenis tumbuhan sebagai bahan baku racun ikan (Purwanto 2004b).

Analisa nilai manfaat Uoga et al. (2000) ada 12 kategori pemanfaatan langsung diketahui yaitu arang batu bara terbesar kontribusinya ( 18.3%) diikuti kayu bakar ( 16.8%) dan medis ( 15.7%). Kebanyakan jenis yang digunakan membuat arang adalah famili/subfamili Caesalpinioideae, Combretaceae, Mimosoideae, dan Papilionoideae yang meliputi 76% total nilai pemanfaatan untuk arang batu bara.

Hasil analisis vegetasi di hutan hujan dataran rendah Yongsu dan Mamberamo ditemukan 412 spesies di antaranya 8 spesies merupakan spesies baru ditemukan yang belum ada di herbarium Bogoriense (spesimen contoh). Tingkat kanopi didominasi oleh Manilkara fasciculata, Mastixiodendron pachyclados, Palaquium ridleyi, Pometia pinnata, Vatica rassak, Ceratopetalum succirubun dan Parastemon urophyllus. Jumlah spesies yang ditemukan kebanyakan digunakan oleh masyarakat untuk pembuatan rumah dan perahu (CABS at al. 2000).


(45)

Di Wapoga Papua ditemukan 430 jenis tumbuhan berpembuluh kayu, palem 269 jenis dan 32 jenis semak dan herba. Khusus palem yang teridentifikasi 24 jenis, sisanya dianggap jenis baru karena belum ada spesimen contoh di herbarium Bogoriense salah satunya palem raksasa Licuala sp. Sebagian besar dari jenis-jenis yang ditemukan dimanfaatkan oleh masyarakat (CABS at al. 1998).

Pemanfaatan tumbuhan oleh Masyarakat Kabupaten Teluk Wondama disekitar CAPW sebagai bahan pangan, bahan sandang, bahan bangunan, bahan alat (rumah tangga, pertanian, berburu), kerajinan, kesenian, obat-obatan tradisional, kayu bakar dan perlengkapan upacara adat. Berdasar pengalaman pemanfaatan tumbuhan secara alami dimiliki masyarakat dan mampu mengklasifikasikan setiap jenis tumbuhan berdasar fungsi dan kegunaan.

2.5. Sistem Pengetahuan Tradisional

Pengetahuan merupakan kapasitas manusia memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramal ataupun sebagai dasar pertimbangan mengambil keputusan. Pengetahuan merupakan keluaran dari proses pembelajaran, penjelasan berdasar persepsi dan tercakup pula pemahaman dan interpretasi masuk akal. Kondisi dan hambatan karena norma budaya atau kewajiban dapat mempengaruhi arah keputusan diambil, sehingga dikatakan sistem pengetahuan bersifat dinamis,

karena terus berubah sesuai dengan waktu (Sunaryo dan Joshi 2003).

Pengetahuan tradisional secara umum diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan masyarakat tradisional untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan khusus (Warren 1991). Istilah ini sering digunakan dalam pembangunan


(46)

berkelanjutan dan rancu dengan pengetahuan teknis, pengetahuan lingkungan tradisional dan pengetahuan pedesaan. Batasan lebih rinci diberikan Johnson (1992), pengetahuan tradisional adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan uji coba secara terus-menerus melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha menyesuaikan kondisi baru. Oleh karena itu salah jika kita berpikir bahwa pengetahuan tradisional itu kuno, terbelakang, statis atau tak berubah (Sunaryo dan Joshi 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa pengetahuan tradisional tidak hanya sebatas pada apa dicerminkan dalam metode dan teknik saja, tetapi juga mencakup pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition)

berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan tradisional sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama akan menjadi suatu 'kearifan tradisional'.

Pengetahuan tradisional mengalami proses evolusi berdasar perkembangan dan perubahan kondisi alami (Purwanto 2000). Perkembangan pengetahuan tradisional dan modern sangat signifikan maka perlu keseimbangan pemahaman terhadap kedua pengetahuan tersebut di masa globalisasi. Menurut Choesin (2002) bahwa model connection sebagai reaksi simbol proses belajar dapat menggambarkan interaksi dan pertemuan pengetahuan lama dan pengetahuan baru yang datang dari luar melalui informasi diproses bersama sehingga dapat memahami perubahan yang terjadi. Dalam konteks pengelolaan lingkungan Winarto dan Choesin (2001) menyatakan bahwa model koneksi mendukung


(47)

pembentukan dan pengayaan pengetahuan tradisional melalui penguatan institusi dan pranata sosial yang telah ada.

2.6. Sistem Konservasi Secara Tradisional

Praktik konservasi tradisional merupakan kesatuan sistem pengetahuan tradisional masyarakat setempat, diperoleh dari interaksi manusia dengan lingkungan serta seluruh aspek kebudayaan yang umumnya melalui warisan leluhur dan pengalaman selama bertahun-tahun, sehingga dalam perkembangan masyarakat tersebut mempraktekkan kaidah konservasi yang memiliki kekhasan khusus sesuai kondisi daerah (Wiratno et al, 2001).

Praktek konservasi di Indonesia selama ini masih kurang memperhatikan dan melibatkan masyarakat tradisional sehingga hampir setiap kawasan konservasi belum dapat diterima secara sosial, ekonomi dan budaya (Iskandar 1992). Padahal, jika strategi konservasi didasarkan pada potensi dan aspirasi masyarakat tradisional maka biaya pembangunan kawasan konservasi sangat murah, karena pengetahuan dan kearifan tradisional menjadi energi sosial untuk tumbuh kembang komunitas di unit tradisional menuju tingkat kehidupan yang lebih baik (Wiratno et al. 2002). Contohnya dapat dilihat pada berbagai komunitas adat, seperti sistem "sasi" di Maluku, sistem"subak" di Bali, dan masih banyak lagi sistem pengelolaan tradisional yang belum terdokumentasi.

2.7. Sistem Konservasi Tradisional Masyarakat Papua

Sistem konservasi secara tradisional oleh masyarakat Papua sudah lama dikenal secara turun temurun dari nenek moyang secara lisan pada setiap suku antara lain:


(48)

a. Karar

Salah satu kebiasaan yang sampai sekarang dilakukan masyarakat pedesaan Biak Numfor dikenal dengan sebutan "karar". Istilah karar berhubungan dengan kebiasaan di mana kebun kelapa kepunyaan penduduk desa/dusun dilarang untuk diambil hasil selama jangka waktu tertentu dengan maksud agar sampai waktu ditentukan dapat diperoleh hasil lebih baik (Ap dan Prioyulianto 1995).

b. Sasi

Sasi merupakan larangan menangkap ikan pada daerah perairan tertentu selama jangka waktu tertentu; sasi merupakan tradisi dipakai masyarakat Ormu di kabupaten Jayapura. Larangan itu dilakukan pada masa pancaroba yaitu masa peralihan antara musim angin barat ke musim angin timur. Tujuannya adalah agar ikan yang telah memasuki perairan teluk di sekitar kawasan pemukiman tidak terdesak pindah ke kawasan lain serta dimaksudkan agar ikan yang ada dapat berkembang biak lebih banyak (Ap dan Prioyulianto 1995).

c. Igya Ser Hanjop

Konsep Igya Ser Hanjop diambil dalam bahasa Hatam sebagai terjemahan dari istilah konservasi dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Hatam dalam istilah tersebut karena Suku Hatam merupakan suku mayoritas di Pegunungan Arfak dan bahasanya dimengerti oleh suku-suku yang lain. Sejak dahulu masyarakat Pegunungan Arfak menerapkan konsep hanjop (batas) dalam kehidupan sehari-hari. Batas yang dimaksud adalah batas kepemilikan terutama lahan atau wilayah kampung. Masyarakat saling menjaga dan


(49)

menghormati batas yang telah menjadi miliknya dan milik orang lain sehingga aktivitas yang dilakukan tidak diluar dari batas kepemilikan.

Dalam penentuan daerah konservasi juga digunakan konsep hanjop. Masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas tertentu seperti yang telah diatur dalam aturan konservasi di dalam batas (hanjop) tersebut. Akhirnya, pengertian tentang konservasi diterjemahkan ke dalam bahasa Hatam sebagai

Igya Ser Hanjop. Istilah tersebut berasal dari kata Igya, Ser dan Hanjop. Igya

artinya kita berdiri, Ser artinya penghalang atau penjaga dan Hanjop artinya batas. Jadi arti harafiah Igya Ser Hanjop kurang lebih adalah kita berdiri menjaga batas. Istilah tersebut semacam peringatan kepada masyarakat agar menjaga batas dengan tidak melewati batas telah ditentukan pada saat mengambil dan memanfaatkan hasil hutan. Lebih lanjut, istilah Igya Ser Hanjop diartikan mari kita bersama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama (Laksono et al. 2001)

2.8. Konsep Ekologi-Budaya

Purwanto (2000) berpendapat bahwa ekologi budaya merupakan suatu dasar dalam mengkaji keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan dan lingkungan, antara lain dengan menganalisis pola hubungan pola tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang digunakan dan yang mempengaruhi sikap dan pandangan mereka, sehingga masyarakat dari suatu kebudayaan dapat melakukan aktivitas mereka dan akhimya mampu bertahan hidup terus. Berdasar pendapat tersebut, dalam analisis terdapat bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi ekologis. Dalam hal ini, Geerzt (1983) berasumsi bahwa analisis ekologis hanya relevan pada aspek inti


(50)

kebudayaan, melalui analisis ekologis mampu ditunjukkan konstelasi unsur penting paling erat berkaitan dengan pengaturan kehidupan, sehingga secara empirik pola sosial, politik dan agama diduga erat berkaitan dengan pengaturan pola kehidupan. Oleh karena itu, pusat perhatian ekologi budaya lebih berdasar pengalaman empirik, terutama yang paling erat berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan.

Perbedaan karakteristik lingkungan (alam, sosial, binaan) menunjukkan strategi adaptasi yang dikembangkan masyarakat. Strategi adaptasi berdasar pengetahuan diperoleh dari pengalaman adaptasi terhadap lingkungan yang khas, karena itu suatu komunitas mengembangkan modal sosial yang adaptif terhadap lingkungan. Kearifan lingkungan terkait sistem kultur sosial, yang menurut Keesing (1999) dibentuk oleh ide, aktivitas dan material; KLH (1997) menyebutkan bahwa sistem sosial kultur terdiri tiga unsur, yakni infrastruktur material, struktur sosial dan supra struktur ideologis. Sistem sosial kultural mengacu pada sekumpulan orang yang memakai berbagai cara untuk (1) beradaptasi dengan lingkungan mereka, (2) bertindak menurut bentuk perilaku sosio-ekologis yang sudah terpolakan, dan (3) menciptakan kepercayaan atau nilai bersama yang dirancang untuk memberi makna pada berbagai pola tindakan kolektif mereka.

Kementrian Negera Lingkungan Hidup (1997) menjelaskan bahwa ketiga unsur sistem sosial kultural saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain, di sisi lain perangkat ini juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan biofisik.

Manfaat yang diperoleh manusia dari lingkungan, terutama masyarakat subsisten terhadap alam yang memberikan penghidupan sehingga di bentuk aturan dalam pengelolaan lingkungan secara sosial. Norma mengatur kelakuan manusia


(51)

dalam berinteraksi dengan lingkungan, ditambah kearifan tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani perilaku manusia dalam mengelola lingkungan (Purwanto 2000).

Mansoben (2003) mengatakan paling tidak ada tiga orientasi nilai budaya terhadap alam yang diwujudkan oleh masyarakat Papua. Pertama adalah alam merupakan sesuatu yang berpotensi dan harus dieksploitasi untuk kesejahteraan Kedua adalah alam merupakan sarana atau media bagi manusia untuk kelangsungan hidup dalam berekspresi melalui karyanya terhadap lingkungan. Hal ini menyebabkan manusia bersikap simpati dan solider dengan alam. Akibat dari sikap demikian ialah alam tidak boleh diperlakukan semena-mena misalnya dalam bentuk eksploitasi. Ketiga adalah alam merupakan sesuatu yang sakral, oleh karena itu tidak boleh diganggu.

Konsekwensi dari nilai orientasi yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan bentuk interaksi terhadap lingkungan alamnyapun berbeda-beda pula. Ketiga nilai orientasi budaya tersebut di atas dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan yang lestari, maka tidak dapat diperdebatkan, bahwa pada masyarakat pendukung kedua nilai orientasi budaya tersebut terakhir tidak terdapat persoalan yang amat serius dengan pelestarian lingkungannya. Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang disebut pertama.

2.9. Pendekatan Etnoekologi

Akhir-akhir ini usaha menerapkan ekologi kedalam studi mengenai manusia merupakan suatu usaha untuk mendapat kerangka analisa mengenai seberapa jauh dan bagaimana cara kebudayaan manusia dibentuk oleh kondisi lingkungan dalam


(52)

konsep ekosistem (Geerzt 1983). Selanjutnya Keesing (1999) menyatakan bahwa penafsiran deterministik lingkungan dengan melakukan pemahaman ekosistem dalam kerja lapang disebut sebagai etnografi. Etnografi dalam perkembangan terbentuk pendekatan baru dikenal sebagai metode etnosains yaitu analisis logik berdasar bahan etnografi (Poerwanto 2000).

Pendekatan etnoekologi merupakan salah satu pendekatan yang ada dalam antropologi ekologi. Adapun tujuan dan metode pendekatan ini banyak berasal dari etnosains,

sebagaimana diketahui bahwa etnosains bertujuan melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat masyarakat yang diteliti. Berdasar perspektif tersebut, studi etnoekologi menurut Purwanto (2003) bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi secara ekologis aktivitas intelektual dan tindakan praktis yang dilakukan sekelompok masyarakat atau etnik sesuai kondisi alamiah. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menebak perilaku orang dalam berbagai aktivitas berkaitan dengan lingkungan.

Pendekatan etnoekologi merupakan salah satu pendekatan tertentu, berbeda dengan pendekatan lain dalam antropologi ekologi. Pendekatan ini mempunyai ciri tertentu yang lain dari pendekatan lainnya. Arifin (2002) menunjukkan lima (5) ciri pendekatan etnoekologi, yaitu: (1) Etnoekologi menekankan "perceptual environment" dan secara umum kurang memperhatikan/mempertimbangkan secara serius interaksi antara domain kognitif atau dengan hasil lingkungan efektif yang hampir atau sedikit ada hubungan interaksional dengan pendekatan modern; (2) Etnoekologi dimaksudkan mendeskripsikan secara emik domain budaya, meliputi "perseptual environment". Secara mendasar, etnoekologi bermaksud menganalisis semantik secara formal;

(3) Analisis etnoekologi dibatasi pada saling hubungan ekologis bersifat intra cultural: (4) Etnoekologi berkaitan lingkungan efektif, hal ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi dan prediksi efek kemungkinan perilaku bervariasi dalam


(53)

partisipasi lingkungan mikro, yaitu lingkungan yang sering dibatasi untuk masyarakat lain; (5) Etnoekologi membuat asumsi dengan kadar tinggi terhadap homogenitas dan stabilitas di dalam kategorisasi budaya.


(54)

BAB III

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

a. Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW)

Kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW) merupakan kawasan pegunungan yang terpisah dari rangkaian utama barisan pegunungan tengah dan terbuka dari semua jurusan arah laut. Kawasan ini termasuk dalam wilayah biogeografis yang unik terletak di tengah antara hubungan gunung di daerah Kepala Burung dan Pegunungan Tengah. Hutan di kawasan ini termasuk tipe hutan dataran rendah.

CAPW ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 595/Kpts-II/1992 tanggal 6 Juni 1992 dengan luas 73.022 hektar. Secara geografis terletak diantara 134031' –134038' Bujur Timur dan 2030' – 2053' Lintang Selatan dan berdasarkan administrasi sekarang berada di bawah Kebupaten Teluk Wondama hasil pemekaran kabupaten Manokwari.

b. Kabupaten Teluk Wondama 1. Keadaan Geografis

Wilayah Kabupaten Teluk Wondama terdiri 7 Distrik, 53 Kampung/ kelurahan dengan luas wilayah 4.996 km2. Kabupaten sebagian besar berada di dataran pulau Papua. Terdapat 5 buah gunung tinggi, gunung Wondiboy adalah yang tertinggi 2.340 m. Topografis mulai daerah pantai, dataran rendah hingga pegunungan.

Curah hujan tertinggi menurut stasiun pencatat meteorlogi dan geofisika Teluk Wondama terjadi pada bulan Februari mencapai 412 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi bulan Desember mencapai 162 mm. Hari hujan tertinggi


(55)

bulan Mei mencapai 26 hari, sedangkan hari hujan terendah terjadi bulan Maret dan Agustus sebesar 12 hari (Bappeda dan BPS, 2004). Data selengkapnya tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah curah hujan dan hari hujan bulanan di Kabupaten Teluk Wondama tahun 2004

No Bulan Jumlah curah hujan (mm) Jumlah hari hujan (hari)

1 Januari 301 14

2 Pebruari 412 16

3 Maret 180 12

4 April 259 14

5 Mei 416 26

6 Juni 236 17

7 Juli 190 13

8 Agustus 264 12

9 September 210 15

10 Oktober 314 19

11 November 197 14

12 Desember 162 3

Sumber :Bappeda dan BPS, 2004

Letak geografis Kabupaten Teluk Wondama yaitu bagian utara 0o15' LS, bagian selatan 3o25' LS, bagian barat 132o35' BT dan bagian Timur 134o45' BT. Berdasar batas wilayah Kabupaten Teluk Wondama yaitu sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Fak-Fak, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Nabire. Jarak ibu kota Kabupaten ke ibu kota Provinsi adalah 110 mil laut.

2. Penduduk

Penduduk Kabupaten Teluk Wondama tahun 2004 berjumlah 19.946 jiwa. Berdasar jumlah penduduk tersebut 10.502 jiwa merupakan penduduk laki-laki dan 9.444 perempuan. Jika dibanding penduduk tahun sebelumnya (2003) sebesar 19.217 jiwa, maka penduduk Kabupaten Teluk Wondama mengalami peningkatan, hal ini disebabkan situasi dan kondisi semakin kondusif serta akibat pemekaran Kabupaten. Pada tahun 2004 rumah tangga di Kabupaten Teluk


(56)

Wondama berjumlah 4.393 jumlah ini meningkat bila dibanding jumlah rumah tangga tahun 2003 sebanyak 4.231.

Rata-rata kepadatan penduduk per km2 adalah 3,99 jiwa. Distrik yang terbanyak penduduknya adalah distrik Wasior ibu kota Kabupaten dengan jumlah penduduk 5.286 jiwa sedangkan Distrik paling sedikit jumlah penduduknya adalah Distrik Wasior Barat dengan jumlah penduduk 1.089 jiwa dari total penduduk Kabupaten. Penduduk Kabupaten Teluk Wondama dan kepadatan menurut distrik tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Penduduk Kabupaten Teluk Wondama dan kepadatan menurut distrik

No Distrik Luas daerah (Km2)

Rumah tangga Penduduk Kepadatan per Km2

1 Wasior Barat 365 254 1.089 2.98

2 Wasior Selatan 1.042 849 3.745 3.59

3 Wasior 1.158 1.140 5.286 4.56

4 Wasior Utara 1.037 537 2.581 2.49

5 Windesi 594 579 2.339 3.94

6 Wamesa 392 299 1.748 4.46

7 Rumberpon 408 735 3.158 7.74

Jumlah 4.996 4.393 19.946 3.99

Sumber :Bappeda dan BPS, 2004

3. Pendidikan

Jumlah sekolah di Kabupaten Teluk Wondama tahun 2004 berjumlah 48 buah terdiri sekolah Taman Kanak-kanak 1, sekolah dasar/SD 42, SLTP 4 dan SLTA 1 sekolah.

Apabila dilihat dari jumlah murid, pada tahun ajaran 2004/2005 untuk TK muridnya 35, jumlah murid SD 3.781 orang, SLTP jumlah muridnya 589 orang dan SLTA jumlah muridnya 100 orang.

Jumlah tenaga pengajar tahun ajaran 2004/2005 berjumlah 157 orang. Jumlah ini terdiri dari 1 orang (0,64%) guru TK, 119 orang (75,80%) guru SD, 23 orang (14,65%) guru SLTP dan 14 orang (8,92%) guru SLTA.


(57)

4. Kesehatan

Dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi setiap warga masyarakat, pembangunan di bidang kesehatan terus digalakkan di seluruh wilayah Kabupaten Teluk Wondama. Pada tahun 2004 jumlah Puskesmas di Kabupaten Teluk Wondama ada 4 buah, puskesmas pembantu 16 buah.

Tenaga paramedis tahun 2004 sebanyak 41 orang terdiri 2 orang dokter dan 39 orang perawat, untuk dokter 2 orang merupakan dokter umum.

5. Agama dan Kepercayaan

Jumlah pemeluk agama di Kabupaten Teluk Wondama semakin berkembang, hal ini dikarenakan ada perhatian pemerintah yang baik dengan dibangun beberapa sarana peribadatan di samping toleransi tinggi di antara pemeluk agama dengan pemerintah maupun toleransi antar pemeluk agama.

Pada tahun 2004 jumlah tempat peribadatan 31 buah terdiri 27 (87,10%) tempat peribadatan bagi pemeluk agama Kristen Protestan, 2(6,45%) tempat peribadatan bagi pemeluk agama Islam dan 2 (6,45%) tempat peribadatan bagi pemeluk agama Kristen Katolik.

Jumlah pemeluk agama tahun 2004 adalah 12.488 orang terdiri 12.208 orang (97,76%) pemeluk agama Kristen Protestan, 141 orang (1,13%) pemeluk agama Kristen Katolik dan 139 orang (1,11%) pemeluk agama Islam.

c. Historis Gunung Wondiboy

Secara historis nama gunung Wondiboy yang dijadikan sebagai kawasan cagar alam, baru digunakan sekitar tahun 1950-an sejak pergantian pemerintahan New Guinea dan kehadiran orang Belanda di Wondama. Sebelumnya nama gunung ini adalah Wondamawi yang mempunyai arti tersendiri dan merupakan


(58)

bagian dari jati diri orang Wondama karena mempunyai nilai historis yang begitu panjang berkaitan dengan keberadaan orang Wondama. Wondamawi terdiri kata (Wondama = nanti sendiri datang; Wi = gunung) jadi Wondamawi artinya manusia yang berasal dari gunung turun ke pantai. Selanjutnya secara arif masyarakat Wondama mengelola dan memanfaatkan vegetasi yang ada di kawasan CAPW (Warami, Marani, Sawaki, 18 Juni 2006, komunikasi pribadi)


(59)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW), Kabupaten Teluk Wondama Papua (lihat Gambar 2). Waktu penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu dari bulan April – Juni 2006.

Gambar 2 : Peta lokasi penelitian di CAPW Kabupaten Teluk Wondama Keterangan :

(1, 2, 3 ..., 16) = titik lokasi petak contoh penelitian

(1, 2, 3 dan 4) = titik lokasi bagian timur CAPW ketinggian 0-500 m dpl. (5, 6, 7 dan 8) = titik lokasi bagian timur CAPW ketinggian 500-1000 m dpl. (9, 10, 11 dan 12) = titik lokasi bagian barat CAPW ketinggian 500-1000 m dpl. (13, 14, 15 dan 16) = titik lokasi bagian barat CAPW ketinggian 0-500 m dpl

4.2. Obyek, Alat dan Bahan

Sumber : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) LOKASI


(1)

Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch. 2003. The State of the Forest Indonesia. Bogor, Indonesia

French A.R. and Smith T.B. 2005. Importance of Body Size in Determining Dominance Hierarchies among Diverse Tropical Frugivores. Journal Biotropica 37(1): 96–101

Geerzt C. 1983. Involusi Pertanian.. Proses Peruhahan Ekologi di Indonesia. Yayasan Obor dan Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

Ibie, B.F. 1997. Pendugaan Dimensi Tegakan Hutan Rawa Gambut Sekunder Berdasarkan Struktur Tegakan di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya. Tesis Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta

Iskandar J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia. Djambatan. Jakarta

Johnson M. 1992. Lore: Capturing Traditional Environmental Knowledge. DRC: Ottawa, Canada.

Jones, L. 2002. Promoting Regeneration within a Rain Forest Plantation. The Effect of Tree Species and Structure on Vegetation Recruitment Patterns. Tropical Resources: The Bulletin of the Yale Tropical Resources Institute, Vol. 2: 21-24

Kartawinata, K. 2004. Biodiversity Conservation in Relation to Plant Used for Medicines and Other Products in Indonesia. Journal of Tropical Ethnobiology 1 (2) : 1-11

Keesing RM. 1999. Antropologi Budaya. Suatu Perspektif Kontemporer.Jilid 1. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia. Strategi National Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta

Kohyama, T. 1993. Size Structured Tree Population in Gap Dynamic Forest. Journal of Ecology, 81 : 131-145.

Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper & Row Publishers Inc. New York.

Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Laksono PM. 2001. Igya Ser Hanjop, Masyarakat Arfak dan Konsep Konservasi. Studi Antropologi dan Ekologi di Pegunungan Arfak, Irian Jaya. KEHATI, PSAP-UGM, YBLBC. Yogyakarta.


(2)

Longman dan Jenik. 1987. Tropical Forest and its Environment (second edition). Singapore publishers (PTE). Singapore.

Ludwig, J.A. and Reynolds, J.F. 1988. Statistical Ecology : A Primer on Methods on Computing. John Willey and Sons.

Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm Limited. London.

Mansoben JR, 2003, Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau dari Aspek Budaya, Jurnal Antropologi Papua Vol. 2 : 1-12

Marsono, D. dan Sasrosumarto. 1981. Tegakan Tinggal Akibat Pelaksanaan Tebang Pilih Indonesia di Kalimantan Timur dan Sekitarnya. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Indonesia.

Martin GJ. 1998 Etnobotani. Natural Histrory Publication (Borneo), WWF international. Kinibalu, Malaysia.

Mueller-Dombois D dan Ellenberg H.1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons Inc. New York

Muhadiono. 2004. Vegetasi Tropis. Laboratorium Ekologi-IPB. Bogor

Nasendi, B.D. 1987. Mengungkap Manfaat Hutan dan Peranan Ekonomi Kehutanan dalam Konteks Ekonomi Indonesia dari Masa Kemasa Sebelum Pelita. Bahan Kuliah Ekonomi Kehutanan lanjutan. IPB

Nasendi, B.D.1989. Type, Fungsi dan Potensi Hutan di Irian Jaya (Pemanfaatan dan Pengembangannya dalam rangka Pembangunan Kehutanan yang Berlanjut), Makalah pada Kursus Integrasi – Motivasi Persatuan Mahasiswa Irian Jaya Tgl 3 – 16 Agustus 1989, Jakarta.

Oliver and Larson, 1990. Forest Stand Dynamic. Biological Resource Management Series. McGraw Hill, New York.

P´erez-Salicrup, D.R. dan Meijere, Wessel de. 2005. Number of Lianas per Tree and Number of Trees Climbed by Lianas at Los Tuxtlas, Mexico. Biotropica Journal 37(1): 153–156

Pandey, S.N dan Chadha, A. 1996. Economic Botany. Vikas Publishing. New Delhi

Primack, R; Supriatna, J; Indrawan, M; dan Kramadibrata, P. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Probst, J.R. and Crow, T.R. 1991. Integrating Biological Diversity and Resources Management. Journal of Forestry 89 : 12-17


(3)

Purwanto H. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Purwanto Y. 2003. Studi Etnoekologi, Ruang Lingkup, Peranan dan Implikasinya. Bahan Kuliah Etnoekologi, Program Studi Biologi-Program Pascasarjana IPB, Bogor

Purwanto, Y. 2004a. Understanding Traditional Plant Use and Management : The Dani-Baliem Perceptions of the Plant Diversity. Journal of Tropical Ethnobiology 1 (1) : 9 -42.

Purwanto, Y. 2004b. Etnobotani Masyarakat Tanimbar-Kei Maluku Tenggara. Perhimpunan masyarakat Etnobotani Indonesia. Bogor

Richard, P.W. 1964. The Tropical Rain Forest an Ecological Study. Cambridge of University London.

Santosa, Y. 1995. Konsep Ukuran Keanekaragaman Jenis di Hutan Tropika. Jurusan Konservasi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor

Setiadi D dan Tjondronegoro PD. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Laboratorium Ekologi IPB. Bogor

Soegianto. 1994. Ekologi Kuantitatif (Metode Analisis Populasi dan Komunitas). Usaha Nasional. Surabaya

Soemarwoto O. 2001. Atur Diri Sendiri; Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan Ramah Lingkungan; Berpihak pada Rakyat, Ekonomi Berkelanjutan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Soerianegara Ishemat dan Andry Irawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan IPB. Bogor.

Soetaryono R. 2000. Landasan Hukum dan Kebijakan Bagi Pengelolaan Hutan Lestari dan berkelanjutan di Indonesia. Di dalam: Pembenahan Sistem Pengelolaan Hutan Alam Produksi dan Pemulihan Fungsi Hutan melalui Upaya Reboisasi dan Konservasi Hutan di Indonesia. Prosiding Seminar dalam Rangka HAPKA XI; Bogor, 24-25 Agu 2000. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 25 -38.

Sunaryo dan Joshi. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Tradisional Dalam Sistem Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southheast Asia, Bogor.

Uoga EJL, Itkowski ETFW dan Balkwill K. 2000. Differential Utilization and Ethnobotany of Trees in Kitulanghalo Forest Reserve and Surrounding


(4)

Communal Lands, Eastern Tanzania. Journal Economic Botany 54 (3) : 328 -343.

Warren DM.1991. Using Traditional Knowledge for Agricultural Development. World Bank Discussion Paper 127, Washington DC.

Whitmore. 1986. Tropical Rain Forest of the Far East. Second Edition. Clerendon Press. Oxford.

Winarto YT. dan Choesin EM 2001. Pengayaan Pengetahuan Tradisioal Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolahan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan. Journal Antropologi Indonesia No. 64. Jurusan Antropologi, Universitas Indonesia, Jakarta

Wiratno, Indriyo D, Syarifudin dan Kartikasari A. 2001. Berkaca di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolahan Taman Nasional. Forest Press – Gibbon Foundation – PILI NGO Movement, Jakarta.


(5)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Jenis dominan hutan CAPW ketinggian 0-500 m dpl tingkat pohon sebelah timur didominasi oleh Pometia pinnata (17.3%), tihang Dalbergia sp.1 (37.1), pancang Carallia brachiata (Lour.) Merr. (15.8%), semai Phanera lingua (DC) Miq. (22.3%). Sebelah barat tingkat pohon didominasi jenis Myristica lepidota BI. (17.3%), tihang Spondias cytherea Sonnerat. (35.2%), pancang Semecarpus aruensis Engl. (15.9%) dan semai Clerodendrum sp.1 (19.3%). 2. Ketinggian 500-1000 m dpl sebelah timur CAPW tingkat pohon didominasi

jenis Agathis sp. (29.3%), tihang pometia sp. (43.3%), pancang Dalbergia sp.1 (22.3%) dan semai Nephrolepis falcata Cav. C. Chr (28.6%). Sebelah barat tingkat pohon didominasi jenis Intsia bijuga (19.5%), tihang Haplolobus moluccanus (Leenh.)H.J.Lam (31.2%), pancang Gnetum gnemon (15.2%) dan semai Zysygium sp.7 (14.4%)

3. Keanekaragaman jenis dalam komunitas yang ada diketinggian 0 – 500 m dpl. secara umum lebih tinggi dibanding komunitas diketinggian 500 – 1000 m dpl. 4. Berdasarkan floristik total jumlah tumbuhan yang diperoleh di kawasan CAPW 216 jenis dengan 3 kategori pemanfaatan terbesar adalah kayu bakar 130 (15.63%), kedua adalah bahan bangunan 117 (14.06%), ketiga adalah alat berburu 103 (12.38%).

5. Botani biopestisida dan resin merupakan tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alternatif dalam meningkatkan pendapatan sehari-hari.


(6)

6. Profil vegetasi secara vertikal ke empat petak contoh didominasi oleh jenis pohon dengan ketinggian antara 27-34 meter; secara horizontal mempunyai total luas penutupan antara 96.7-99%

Saran

1. Melestarikan CAPW dengan memberdayakan masyarakat lokal disekitar kawasan.

2. Jenis tumbuhan yang banyak diexploitasi karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi harus dibudidayakan disekitar kawasan pemukiman (buffer zone) dan zona pemanfaatan .

3. Buffer zone (daerah penyangga) ditetapkan dengan jelas oleh pemerintah, di lapangan dan didukung dengan peraturan pemanfaatan yang baik.