pembentukan dan pengayaan pengetahuan tradisional melalui penguatan institusi dan pranata sosial yang telah ada.
2.6. Sistem Konservasi Secara Tradisional
Praktik konservasi tradisional merupakan kesatuan sistem pengetahuan tradisional masyarakat setempat, diperoleh dari interaksi manusia dengan
lingkungan serta seluruh aspek kebudayaan yang umumnya melalui warisan leluhur dan pengalaman selama bertahun-tahun, sehingga dalam perkembangan
masyarakat tersebut mempraktekkan kaidah konservasi yang memiliki kekhasan khusus sesuai kondisi daerah Wiratno et al, 2001.
Praktek konservasi di Indonesia selama ini masih kurang memperhatikan dan melibatkan masyarakat tradisional sehingga hampir setiap kawasan
konservasi belum dapat diterima secara sosial, ekonomi dan budaya Iskandar 1992. Padahal, jika strategi konservasi didasarkan pada potensi dan aspirasi
masyarakat tradisional maka biaya pembangunan kawasan konservasi sangat murah, karena pengetahuan dan kearifan tradisional menjadi energi sosial untuk
tumbuh kembang komunitas di unit tradisional menuju tingkat kehidupan yang lebih baik Wiratno et al. 2002. Contohnya dapat dilihat pada berbagai komunitas
adat, seperti sistem sasi di Maluku, sistem subak di Bali, dan masih banyak
lagi sistem pengelolaan tradisional yang belum terdokumentasi.
2.7. Sistem Konservasi Tradisional Masyarakat Papua
Sistem konservasi secara tradisional oleh masyarakat Papua sudah lama dikenal secara turun temurun dari nenek moyang secara lisan pada setiap suku antara lain:
a. Karar
Salah satu kebiasaan yang sampai sekarang dilakukan masyarakat pedesaan Biak Numfor dikenal dengan sebutan karar. Istilah karar berhubungan
dengan kebiasaan di mana kebun kelapa kepunyaan penduduk desadusun dilarang untuk diambil hasil selama jangka waktu tertentu dengan maksud
agar sampai waktu ditentukan dapat diperoleh hasil lebih baik Ap dan Prioyulianto 1995.
b. Sasi
Sasi merupakan larangan menangkap ikan pada daerah perairan tertentu selama jangka waktu tertentu; sasi merupakan tradisi dipakai masyarakat
Ormu di kabupaten Jayapura. Larangan itu dilakukan pada masa pancaroba yaitu masa peralihan antara musim angin barat ke musim angin timur.
Tujuannya adalah agar ikan yang telah memasuki perairan teluk di sekitar kawasan pemukiman tidak terdesak pindah ke kawasan lain serta
dimaksudkan agar ikan yang ada dapat berkembang biak lebih banyak Ap dan Prioyulianto 1995.
c. Igya Ser Hanjop
Konsep Igya Ser Hanjop diambil dalam bahasa Hatam sebagai terjemahan dari istilah konservasi dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Hatam
dalam istilah tersebut karena Suku Hatam merupakan suku mayoritas di Pegunungan Arfak dan bahasanya dimengerti oleh suku-suku yang lain. Sejak
dahulu masyarakat Pegunungan Arfak menerapkan konsep hanjop batas dalam kehidupan sehari-hari. Batas yang dimaksud adalah batas kepemilikan
terutama lahan atau wilayah kampung. Masyarakat saling menjaga dan
menghormati batas yang telah menjadi miliknya dan milik orang lain sehingga aktivitas yang dilakukan tidak diluar dari batas kepemilikan.
Dalam penentuan daerah konservasi juga digunakan konsep hanjop. Masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas tertentu seperti yang telah diatur
dalam aturan konservasi di dalam batas hanjop tersebut. Akhirnya, pengertian tentang konservasi diterjemahkan ke dalam bahasa Hatam sebagai
Igya Ser Hanjop. Istilah tersebut berasal dari kata Igya, Ser dan Hanjop. Igya artinya kita berdiri, Ser artinya penghalang atau penjaga dan Hanjop artinya
batas. Jadi arti harafiah Igya Ser Hanjop kurang lebih adalah kita berdiri menjaga batas. Istilah tersebut semacam peringatan kepada masyarakat agar
menjaga batas dengan tidak melewati batas telah ditentukan pada saat mengambil dan memanfaatkan hasil hutan. Lebih lanjut, istilah Igya Ser
Hanjop diartikan mari kita bersama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama Laksono et al. 2001
2.8. Konsep Ekologi-Budaya