menghormati batas yang telah menjadi miliknya dan milik orang lain sehingga aktivitas yang dilakukan tidak diluar dari batas kepemilikan.
Dalam penentuan daerah konservasi juga digunakan konsep hanjop. Masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas tertentu seperti yang telah diatur
dalam aturan konservasi di dalam batas hanjop tersebut. Akhirnya, pengertian tentang konservasi diterjemahkan ke dalam bahasa Hatam sebagai
Igya Ser Hanjop. Istilah tersebut berasal dari kata Igya, Ser dan Hanjop. Igya artinya kita berdiri, Ser artinya penghalang atau penjaga dan Hanjop artinya
batas. Jadi arti harafiah Igya Ser Hanjop kurang lebih adalah kita berdiri menjaga batas. Istilah tersebut semacam peringatan kepada masyarakat agar
menjaga batas dengan tidak melewati batas telah ditentukan pada saat mengambil dan memanfaatkan hasil hutan. Lebih lanjut, istilah Igya Ser
Hanjop diartikan mari kita bersama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama Laksono et al. 2001
2.8. Konsep Ekologi-Budaya
Purwanto 2000 berpendapat bahwa ekologi budaya merupakan suatu dasar dalam mengkaji keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan
dan lingkungan, antara lain dengan menganalisis pola hubungan pola tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang digunakan dan yang
mempengaruhi sikap dan pandangan mereka, sehingga masyarakat dari suatu kebudayaan dapat melakukan aktivitas mereka dan akhimya mampu bertahan
hidup terus. Berdasar pendapat tersebut, dalam analisis terdapat bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi ekologis. Dalam hal ini,
Geerzt 1983 berasumsi bahwa analisis ekologis hanya relevan pada aspek inti
kebudayaan, melalui analisis ekologis mampu ditunjukkan konstelasi unsur penting paling erat berkaitan dengan pengaturan kehidupan, sehingga secara
empirik pola sosial, politik dan agama diduga erat berkaitan dengan pengaturan pola kehidupan. Oleh karena itu, pusat perhatian ekologi budaya lebih berdasar
pengalaman empirik, terutama yang paling erat berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan.
Perbedaan karakteristik lingkungan alam, sosial, binaan menunjukkan strategi adaptasi yang dikembangkan masyarakat. Strategi adaptasi berdasar
pengetahuan diperoleh dari pengalaman adaptasi terhadap lingkungan yang khas, karena itu suatu komunitas mengembangkan modal sosial yang adaptif terhadap
lingkungan. Kearifan lingkungan terkait sistem kultur sosial, yang menurut Keesing 1999 dibentuk oleh ide, aktivitas dan material; KLH 1997
menyebutkan bahwa sistem sosial kultur terdiri tiga unsur, yakni infrastruktur material, struktur sosial dan supra struktur ideologis. Sistem sosial kultural
mengacu pada sekumpulan orang yang memakai berbagai cara untuk 1 beradaptasi dengan lingkungan mereka, 2 bertindak menurut bentuk perilaku
sosio-ekologis yang sudah terpolakan, dan 3 menciptakan kepercayaan atau nilai bersama yang dirancang untuk memberi makna pada berbagai pola tindakan
kolektif mereka. Kementrian Negera Lingkungan Hidup 1997 menjelaskan bahwa ketiga
unsur sistem sosial kultural saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain, di sisi lain perangkat ini juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan biofisik.
Manfaat yang diperoleh manusia dari lingkungan, terutama masyarakat subsisten terhadap alam yang memberikan penghidupan sehingga di bentuk aturan
dalam pengelolaan lingkungan secara sosial. Norma mengatur kelakuan manusia
dalam berinteraksi dengan lingkungan, ditambah kearifan tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan yang mempedomani perilaku manusia dalam
mengelola lingkungan Purwanto 2000. Mansoben 2003 mengatakan paling tidak ada tiga orientasi nilai budaya
terhadap alam yang diwujudkan oleh masyarakat Papua. Pertama adalah alam merupakan sesuatu yang berpotensi dan harus dieksploitasi untuk kesejahteraan
Kedua adalah alam merupakan sarana atau media bagi manusia untuk
kelangsungan hidup dalam berekspresi melalui karyanya terhadap lingkungan. Hal ini menyebabkan manusia bersikap simpati dan solider dengan alam. Akibat dari
sikap demikian ialah alam tidak boleh diperlakukan semena-mena misalnya dalam bentuk eksploitasi. Ketiga adalah alam merupakan sesuatu yang sakral, oleh
karena itu tidak boleh diganggu. Konsekwensi dari nilai orientasi yang berbeda-beda inilah yang
menyebabkan bentuk interaksi terhadap lingkungan alamnyapun berbeda-beda pula. Ketiga nilai orientasi budaya tersebut di atas dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan yang lestari, maka tidak dapat diperdebatkan, bahwa pada masyarakat pendukung kedua nilai orientasi budaya tersebut terakhir tidak
terdapat persoalan yang amat serius dengan pelestarian lingkungannya. Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung nilai orientasi budaya yang
disebut pertama.
2.9. Pendekatan Etnoekologi